Saturday, April 13, 2024

M E L A T I 18

 M E L A T I    18

(Tien Kumalasari)

 

Samiaji menatap Ramon tak berkedip, seperti menunggu jawaban, apakah si penemu dompet dan gadis yang ditemuinya dan bernama Melati adalah orang yang sama.

“Yang menemukan dompet Bapak? Namanya Melati juga?”

“Ya, dia masih muda, cantik, lembut, baik. Dia luar biasa, tadinya menolak bapak berikan upah sebagai tanda terima kasih. Lalu setelah sampai di rumahnya, dia menelpon bapak, apakah benar uang yang bapak berikan senilai seribu dolar?”

Samiaji terkekeh lucu, mengingat sikap Melati yang kebingungan mendapat uang banyak darinya.

“Dia gadis yang jujur. Baru semalam bapak menelpon, tapi hanya ketemu ibunya. Katanya dia sedang keluar. Bapak ingin mengganggunya, menggodanya, sudah dibelanjakan apa saja uang pemberian bapak itu, tapi ibunya bilang tidak tahu. Ya sudah, nanti bapak mau menelponnya lagi. Tapi … apa benar Melati yang dipekerjakan oleh Harjono adalah Melati si baik hati itu?”

“Ramon kan sudah bilang, dia terlilit utang, entah dia Melati yang sama atau bukan. Saya kesal pada bapak saya, dia tidak mau kalau Melati mencicilnya.”

“Pasti bapakmu yang doyan perempuan itu ingin menguasai Melati. Kalau benar, kasihan sekali.”

“Saya sudah membujuk bapak supaya mau menerima permintaan Melati untuk mencicil hutang ayahnya itu, tapi tampaknya susah sekali mengendalikan bapak,” sesal Ramon dengan wajah muram.

“Maaf Ramon, aku sudah tahu bagaimana tabiat ayahmu. Kalau saja aku tidak tahu bahwa kamu laki-laki yang baik, mana mungkin aku mengijinkan Raisa menikah sama kamu. Takutnya watak Harjono menurun ke kamu.”

“Saya sangat mengecam tindakan ayah saya.”

“Sebentar, aku harus menegurnya nanti. Tapi aku mau mengurus masalah gadis bernama Melati itu. Aku akan menelpon dia.”

Samiaji mengambil ponselnya dan menelpon Melati, yang langsung diangkat, karena saat itu Melati sedang bersiap untuk berangkat bekerja, bahkan sudah menuntun sepedanya keluar halaman.

“Wa’alaikumussalam pak,” sambut Melati ketika Samiaji mengucapkan salam.

“Kamu di mana sekarang?”

“Saya mau berangkat bekerja, Pak.”

“Oh, yang kamu pernah bilang bahwa kamu bekerja di sebuah perusahaan katering itu?”

“Ya, Pak. Ibu bilang, semalam Bapak menelpon saya.”

“Hanya iseng saja, kamu sudah belanja apa saja dengan itu? Aku berharap kamu bisa bersenang-senang.”

Melati diam membisu. Ia harus berkata apa, sementara uangnya sudah dibuatnya untuk mencicil hutangnya kepada Harjo.

“Melati, kamu masih di situ?”

“Iy … iya, Pak. Itu … uangnya … uangnya … masih … masih ada,” katanya gugup.

Sikap itu membuat Samiaji curiga. Mengapa Melati kelihatan gugup menjawab gurauannya?

“Melati, apakah kamu baik-baik saja?”

“Ya Pak, saya baik-baik saja.”

“Aku tidak bermaksud apa-apa, aku ingin agar kamu bisa bersenang-senang dengan uang itu.”

“Yy.. ya, tentu saja, terima kasih banyak ya Pak. Saya akan bekerja dulu, takut terlambat.”

“Baiklah, nanti aku mau menelpon lagi. Selamat bekerja, dan berhati-hatilah, Nak.”

Melati mengangguk. Tak sadar bahwa tentu saja Samiaji tak bisa melihat bahwa dia mengangguk. Samiaji hanya merasa, Melati tiba-tiba menutup ponselnya.

“Tampaknya aneh,” gumam Samiaji sambil meletakkan ponselnya kembali ke atas meja.

“Aneh bagaimana Pak?” tanya Raisa.

“Ketika aku menanyakan, apakah uang pemberian aku sudah dibelanjakan apa saja, dan berharap dia mempergunakannya untuk bersenang-senang, dia tampak sangat gugup."

“Jangan-jangan ….” sambung Ramon.

“Jangan-jangan apa Mas?”

“Melati bilang bahwa dia sudah mencicil hutangnya pada bapak sebanyak lima belas juta, apakah itu uang pemberian dari Bapak ya?”

“Apa? Itu kan senilai hampir seribu dolar dari uang yang aku berikan? Dia mengatakan uang itu dari mana?”

“Sayangnya tidak, masa saya juga menanyakan dari mana uang sebanyak itu?”

“Pasti dia adalah Melati yang sama. Nanti siang aku akan menelpon lagi. Berapa juta uang yang dipinjam oleh ayah Melati?”

“Ayahnya sudah meninggal. Melati dan ibunya tidak tahu bahwa almarhum berhutang sama bapak. Jumlahnya enam puluh juta, berikut bunganya.”

“Hutang berapa, sehingga menjadi enam puluh juta?”

“Katanya sih, lima puluh juta.”

“Ayahmu benar-benar keterlaluan. Nanti aku mau bicara sama dia. Akan aku samperin dia di kantornya, siang ini.”

“Apa yang akan Bapak lakukan?” kata Raisa yang merasa khawatir sang ayah akan ribut dengan besannya.

“Kamu diam saja. Dia pernah bilang tidak akan lagi menjadi rentenir, tapi kenyataannya apa. Bapak juga akan membantu Melati melunasi hutangnya. Kalian setuju kan?”

“Terserah apa yang akan Bapak lakukan. Raisa percaya bahwa Bapak akan melakukan hal baik,” kata Raisa.

“Ayah mertuaku memang luar biasa. Ramon akan mendukung, Pak.”

“Baiklah, ayo kita sarapan, sampai dingin nasi goreng buatan Raisa.”

“Apa perlu Raisa hangatkan lagi?”

“Tidak usah, bapak percaya masakan kamu, hangat ataupun dingin, pasti enak,” kata Samiaji sambil menyendok nasinya.

***

Di tempat kerja, Melati tampak lebih banyak melamun. Telpon dari Samiaji yang diterimanya, amat sangat mengganggunya. Pastinya Samiaji tidak bermaksud apa-apa. Ia hanya ingin, agar uang yang diberikannya bisa membuat Melati bersenang-senang, membeli apapun yang disukai dan diinginkannya. Mana mungkin dia mengatakan bahwa uang itu dipergunakan untuk membayar hutang? Bahkan masih kurang banyak?

Bagaimana nanti, kalau Samiaji menelpon lagi? Bukankah tadi dia bilang akan menelpon lagi? Apa yang harus dijawabnya? Atau dia berbohong saja? Sudah dibelikan baju, dan makanan enak, lalu sisanya ditabung. Itu lebih baik. Bohong sedikit tidak apa-apa kan, yang penting Samiaji akan senang karena uang pemberiannya dipergunakan untuk membeli sesuatu yang bermanfaat.

Dengan pemikiran itu, Melati mulai mengerjakan tugasnya. Hari itu kosong, tidak ada pesanan, tapi dua hari mendatang mulai lagi banyak pesanan. Kata orang Jawa, ini bulan baik untuk menikahkan anak.

“Mbak Melati, transfer untuk uang muka dari keluarga Sularso sudah masuk,” kata Ana mengejutkannya.

“Baiklah, aku sudah menerima bukti transfernya juga kok. Kamu siapkan semuanya, ya. Aku akan melihat lagi catatan menu yang dipilih.”

“Ya Mbak.”

Melati sedang fokus pada laptopnya, sehingga tak sadar ada seseorang yang memperhatikannya di balik kaca. Melati baru mengangkat wajahnya ketika mendengar suara menyebut namanya.

“Melati.”

“Mas Daniel?”

Daniel tertawa.

“Aku sudah lama berdiri di situ, memperhatikan kamu yang sedang bekerja. Sibuk ya?”

“Tidak, silakan duduk Mas.”

“Saya sudah membawa catatan pesanan untuk Minggu depan. Daftar menunya sudah tercatat di sini,” kata Daniel sambil menyodorkan selembar kertas catatan.

“Oh, iya Mas. Lumayan banyak ya, untuk limaratus porsi. Sebentar, sebenarnya Mas Daniel ini bagian apa, kok pesan makanan juga mas Daniel yang mengerjakan?”

“Sebenarnya ini tugas temanku, tapi aku yang minta supaya aku yang mengurusnya. Mengurus pesanannya sih, cuma, nanti teman aku juga mau datang sendiri kemari.”

“Kenapa Mas repot-repot sih, kepala perawat mengurus katering.”

Daniel tertawa.

“Kan aku sudah bilang bahwa memang aku yang ingin.”

“Karena Mas banyak mengerti tentang menu?”

“Bukan, yang memilih menu juga bukan aku. Nanti teman aku juga mau datang kemari untuk berbicara tentang detailnya.”

“Lalu kenapa Mas sendiri yang datang kemari?”

“Kan aku senang, bisa ketemu kamu,” canda Daniel, membuat Melati tersipu, sampai-sampai wajahnya bersemu merah. Entah mengapa, ucapan Daniel membuatnya berdebar.

“Kamu nggak suka ya, kalau aku menemui kamu?”

“Apa? Eh, siapa bilang … suka kok ….” katanya sambil membaca pilihan menu yang tertulis di catatan itu.

“Baiklah, kalau suka, nanti sore aku ke rumah kamu ya. Boleh kan?”

“Boleh … tentu saja boleh.”

“Baiklah, aku sungkan terlalu lama mengganggu kamu, aku pamit dulu ya.”

Melati mengangkat wajahnya, kemudian mengangguk malu.

Ketika Daniel pergi, Melati baru ingat, bahwa sore harinya dia harus pergi bekerja di rumah Harjo. Melati ingin mengabarinya, tapi enggan. Nanti Daniel malah bertanya banyak hal tentang pekerjaan yang dilakukan di rumah Harjo. Melati tak ingin orang tahu tentang keadaan menyedihkan yang menimpa keluarganya.

Lalu Melati membaca selembar kertas yang diterimanya dari Daniel. Sebenarnya hanya tulisan menu-menu yang dipilih, dan jumlahnya. Harusnya Daniel tak usah memberikan catatan itu, kalau toh yang berkewajiban mengatur suguhan tamu akan datang sendiri nanti. Melati tersenyum mendengar alasan Daniel yang membuatnya harus memberikan catatan itu. Supaya bertemu dengannya? Senyuman Melati melebar. Ia memasukkan catatan itu ke dalam laci dan melanjutkan bekerja.

***

 Harjono sedang berada di ruang kerjanya, ketika Kabul yang kepalanya masih diikat perban memasukinya.

“Kamu sudah keluar dari rumah sakit?” tanya Harjo.

“Saya hanya luka ringan, Memalukan kalau terlalu lama dirawat, seperti orang sakit berat saja.”

“Bagus, sekarang kerjakan tugas kamu seperti biasa.”

“Saya ingin mengatakan, bahwa ada tamu ingin bertemu tuan Harjo.”

“Tamu, siapa? Terima saja seperti biasa kalau dia akan membayar hutang, mengapa harus melapor ke aku sih?”

“Bukan, saya bilang ada tamu ingin bertemu Tuan. Memang harus bertemu Tuan.”

“Siapa?”

“Tuan Samiaji.”

“Oh, si tua itu, pasti akan mengomeli aku. Ramon sudah mengadu rupanya kepada mertuanya. Dasar anak tak mau kompak dengan bapaknya,” omel Harjo, yang lalu memberi isyarat agar Kabul mempersilakannya masuk.

“Pak Sam, rupanya. Silakan duduk,” kata Harjo dengan senyum sumringah yang dibuat-buat, lalu mendahului duduk di sofa yang biasa dipergunakan untuk menerima tamu.

“Kamu seperti pejabat saja. Mereka tahu siapa aku, tapi menyuruh aku menunggu sementara mereka harus melapor dulu sama kamu.”

“Maaf Pak, mereka menjaga formalitas yang sudah saya tentukan. Maaf kalau membuat Bapak terganggu.”

Samiaji memang lebih tua dari Harjo. Dulunya Samiaji adalah pengusaha besar yang dihormati dan disegani oleh Harjo, karena pada awalnya, Samiaji lah yang memberikan modal ketika dia membuka usaha dealer mobil. Hanya saja kemudian Harjo menyelewengkan sebagian modal itu untuk dijadikan alat untuk mencari keuntungan yang lebih besar. Ia sangat nyaman menjadi rentenir, karena uang bisa mengalir lebih cepat dan keuntungannya lebih besar. Bukan rentenir biasa, rentenir yang mencekik leher.

“Sudah lama kita tidak ketemu, ya Pak. Bapak sehat-sehat saja kan?”

“Alhamdulillah saya sehat. Badanku kecil, tapi sehat. Badan kamu agak gemuk, aku yakin kamu punya banyak penyakit.”

Harjo tertawa.

 “Bapak, kenapa mendoakan saya banyak penyakit?”

“Aku tidak mendoakan, tapi melihat badan tambun, banyak lemak, mustahil tidak banyak penyakit. Ditambah kelakuan yang tidak bener. Wah, justru itu penyakit yang tidak ada bandingannya.”

Wajah Harjo mendadak muram. Dia tahu kemana arah tujuan perkataan sang besan, yang selalu mencela apa yang dilakukannya.

“Saya hanya mencari makan.”

“Jadi kamu kekurangan makan?”

“Bukan begitu, makan yang saya maksud bukan untuk saya sendiri. Saya punya karyawan, dan mereka butuh makan, untuk anak istri, mungkin orang tua, ya kan?”

“Kata-katamu itu sekilas seperti perkataan orang yang memiliki hati mulia. Tapi sesungguhnya kamu adalah orang yang kejam.”

“Pak Sam, apa maksud Bapak?”

“Kamu ternyata masih menjadi rentenir, dulu aku sudah memperingatkan kamu kan? Sekarang masih saja kamu lakukan. Dengar, memakan keringat orang itu sangat nista. Buruk. Dosa.”

“Rupanya Ramon sudah mengadu kepada ayah mertuanya.”

“Terserah kamu mau bilang apa. Aku bilang, lepaskan Melati.” kata Samiaji tandas.

“Maksud pak Sam apa?”

“Melati adalah orangku. Jangan sampai kamu memperlakukannya dengan tidak manusiawi.”

“Melati … siapanya Bapak?”

“Dia masih kerabatku. Berikan padaku catatan hutangnya. Aku menunggu di rumah.”

***

Melati merasa lega, karena sampai dia pulang, pak Samiaji tidak juga menelponnya. Kebohongan yang sudah dirancangnya tak jadi diungkapkannya.

Ketika sore hari dia berangkat ke rumah Harjo, ia sengaja meninggalkan ponselnya di rumah.

“Bu, nanti kalau pak Samiaji menelpon lagi, ibu bilang saja bahwa ibu tidak tahu, seperti semalam ya Bu?”

Karti mengangguk. Sore hari itu, entah mengapa. Melihat kepergian Melati, hatinya terasa seperti disayat-sayat.

“Firasat buruk apa yang aku rasakan ini?” gumamnya pilu.

Karti masuk ke dalam rumah, duduk di ruang tamu, dan menangis terisak-isak.

“Sungguh berat sekali beban yang kamu pikul Melati, mengapa harus begini hidup kita ini?”

Daniel turun dari sepeda motornya, melangkah mendekati rumah, dan sayup ia mendengar suara isak.

Daniel naik keteras, dan tangis itu semakin nyata. Ia nekat masuk, melongok ke dalam ruang tamu, dan melihat Karti sedang menutupi wajahnya sambil menangis.

Batin Daniel terasa tersayat. Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Besok lagi ya.

 

62 comments:

  1. 🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋

    Alhamdulillah.....
    Melati_18 sudah hadir....

    Aduh penasaran aku.....
    Melati oh.... Melati.... Kasihan nasib mu...., semoga pak Samiaji (besan Harjo) mengangkat derajatmu ...

    Matur nuwun bu Tien....
    Sehat terus dan terus sehat nggih.......

    🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun mas Kakek

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  3. Mtrnwn mbak Tien . Salam sehat dr Cimahi

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah tayang *MELATI* ke delapan belas
    Moga bunda Tien sehat selalu doaku
    Aamiin yaa Rabbal'alamiin

    ReplyDelete
  5. 💞🌸💞🌸💞🌸💞🌸
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MELATI 18 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu Tien
    yang baik hati.
    Semoga Bu Tien tetap
    sehat & smangaats.
    Salam aduhai...😍🤩
    💞🌸💞🌸💞🌸💞🌸

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun jeng Tien semoga selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun mbak Yaniiik

      Delete
  7. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat,Pak Samiaji tolonglah Melati👍 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  8. Semoga melati tetap harum.mewangi sepanjang hari..matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  10. Maturnuwun Bu Tien .... sehat selalu nggih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Endang

      Delete
  11. Mudah mudah an Tuhan selalu Melati anak baik

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda tien
    Semoga sehat walafiat nggeh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Endah

      Delete
  13. Makasih mba Tien.
    Salam hangat, sehat selalu dan tetap aduhai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Sul
      Aduhai deh

      Delete
  14. Terima Kasih Mbu tien.. ceritanya mantaap sekali, tak sabar melihat kelanjutannya... sehat sllu Mbu Tien bersama keluarga trcnta...

    ReplyDelete
  15. Melati anak yg baik,sabar dan jujur pasti Allah melindunginya dr segala marabahaya dan bencana.....
    Matur Nuwun mbak Tien sdh menghadirkan Melati episode 18
    Salam Sehat, Tetap semangat dan senantiasa bersyukur...
    Salam Aduhai dr Surabaya 🙏😍♥️

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah...
    Ya Alloh ...selamatkan Melati.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  17. Hamdallah...cerbung Melati 18 telah tayang

    Taqaballahu Minna Wa Minkum

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu nggeh Bunda. Bahagia bersama Keluarga di Sala.

    Melati oh Melati...Gusti Allah ora sare ya, pak Samiaji akan membereskan semua hutang ayah mu.

    dan

    Daniel segera menyusul untuk melindungi mu, dari ulah jahat s Raja Lintah Darat Harjono.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  18. Alhamdulillah, MELATI 18 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah MELATI~18 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat semangat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  20. Alhamdulillah Melati sudah tayang lagi, baru sempat buka langsung baca 2 part.
    Terimakasih bu Tien, Selamat Idul Fitri 1445H mohon maaf lahir batin.
    Semoga bu Tien sehat selalu
    🤲🙏

    ReplyDelete

  21. Alhamdullilah
    Cerbung *MELATI 18* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  22. Begitulah pak Samiaji, orang baik, suka menolong sesama. Kini giliran Melati mendapat uluran tangannya.
    Ternyata Harjo juga pernah mendapat bantuan pak Samiaji ya, sayang sebagian dipakai untuk usaha renten.
    Daniel akan ketemu siapa ya, nanti kalau menyusul Melati kerumah Harjo.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  23. Selamat hari lebaran maaf lahir batin
    Alhamdulillah... pak Samiaji menolong Melati

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, semoga Bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  25. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Bu.....

    ReplyDelete
  26. Terimakasih Mbak Tien...
    Dengan hp dalam dua hari ini tak bisa komen lagi. Kenapa?
    Ini saya pakai dekstop

    ReplyDelete
  27. Hp nya ikut berlebaran 'kali
    Sami2 MasMIRa

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien
    Sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰

    ReplyDelete

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...