Friday, April 12, 2024

M E L A T I 17

 M E L A T I    17

(Tien Kumalasari)

 

Harjo meringis kesakitan. Dahinya terantuk lantai, kaki kiri dan kanannya mengikutinya. Menimbulkan suara berdebum, berbarengan dengan teriakan histerisnya karena kesakitan.

Ramon terkejut. Ia bangkit, lalu meraih tombol lampu yang ada di atasnya. Ia merasa seperti bermimpi, sedang diserang oleh entah siapa, dia menendangnya sebagai perlawanan. Ketika lampu menyala. Ramon melongok ke bawah, dan sangat terkejut melihat sang ayah yang hampir telanjang sedang merintih kesakitan.

“Bapak?” katanya sambil turun untuk membantu ayahnya bangun.

“Kk … kamu? Kamu ada di sini?”

“Saya baru datang tadi, ketika Bapak tidak di rumah.”

Dengan bingung, Harjo mencari bajunya yang bertebaran di lantai. Lalu mengenakannya dengan tergesa-gesa. Ia masih heran, karena ia mengira yang terbaring di ranjang itu adalah Melati.

“Kamu … mengapa … mengapa?”

“Apa yang sebenarnya ingin Bapak lakukan?”

Harjo memijit keningnya yang benjol  sebesar telur, Ramon menarik laci meja di sampingnya dan menemukan obat gosok di sana. Ia membalurkannya ke dahi ayahnya. Harjo meringis kesakitan. Belum kedua lututnya yang entah terluka atau tidak, tapi nyerimya bukan alang kepalang.

“Di mana dia? Di mana dia? Kamu mengusirnya?”

“Maksud Bapak Melati? Gadis pembantu itu?”

“Kamu sudah tahu dia itu siapa? Apa yang kamu lakukan padanya?”

“Tentu saja saya mengusirnya keluar dari kamar ini. Mengapa Bapak menyuruhnya tidur di sini? Bukankah ini kamar saya yang selamanya tidak pernah ada yang berani menempatinya?”

“Ayo, bawa aku keluar, aku harus minum obat penghilang rasa sakit.”

“Bapak mabuk, baru saja minum minuman keras, mana bisa minum obat sembarangan?”

Ramon menuntun ayahnya keluar dari kamar. Mereka duduk di sofa. Harjo terbaring di sofa panjang, sambil masih meringis kesakitan.

“Sial benar … kamu tiba-tiba datang … menggagalkan rencanaku … sial …!”

Ramon membuka celana panjang ayahnya, dan melihat kedua lututnya yang membiru. Ia kembali menggosoknya dengan obat yang masih digenggamnya.

“Siapa Melati?”

“Gadis itu … bukankah sangat menarik? Kamu jangan menentangku.”

“Bapak masih suka melakukan itu? Gadis itu kelihatannya masih lugu, mau Bapak apakan dia?”

“Kamu laki-laki, bagaimana bisa bertanya ‘mau bapak apakan’?”

“Saya sama Bapak itu berbeda. Saya tidak suka main perempuan.”

“Itu karena kamu punya istri? Lhah aku?”

“Kenapa Bapak tidak mencari istri saja, daripada main perempuan nggak karuan?”

“Ya itu, dia itu yang akan bapak jadikan ibu sambung kamu nanti.”

“Apa? Bapak memperlakukannya sangat kotor, belum jadi istri sudah mau dibuat mainan. Istri macam apa yang Bapak cari?”

“Dia bukan gadis sembarangan. Bapak akan menjadikannya ratu di rumah ini?”

“Omong kosong apa yang Bapak katakan. Ramon tidak suka kelakuan Bapak. Apalagi Melati gadis yang masih polos, dan kelihatannya bukan gadis murahan.”

“Memang bukan, itu sebabnya Bapak suka.”

“Tidak. Bapak ingin mempermainkannya semalam, Bapak memperlakukan gadis itu seperti perempuan lain.”

“Kamu tidak usah ikut campur. Itu urusan bapakmu ini, jadi lebih baik diam dan urus semua yang menjadi urusanmu sendiri.”

“Karena saya adalah anak Bapak, maka saya ingin memperingatkan Bapak, bahwa sudah saatnya Bapak istirahat. Saya juga mendengar bahwa Bapak masih suka menghutangkan uang dengan bunga yang tinggi. Mengapa Bapak melakukannya? Kekayaan Bapak dengan membuka usaha dealer itu sudah cukup. Untuk apa menimbun materi, apalagi dengan cara yang sangat kejam?”

“Kamu itu kalau pulang, selalu itu saja yang kamu bicarakan. Kembalilah tidur, dan mana Melati?”

“Sudah saya suruh tidur di kamarnya. Saya mohon Bapak jangan mengganggunya. Kasihan dia.”

“Apa katamu? Kasihan? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia. Ingat, dia itu milikku.”

“Mana mungkin saya suka? Istri saya sudah cukup bagi saya. Dia cantik, dan juga pintar. Tak akan ada duanya.”

“Hm, baguslah kamu bisa menjalani menjadi laki-laki dan suami yang baik. Bapak juga ingin segera berhenti mencari perempuan. Melati sudah cukup.”

“Mengapa Melati? Dia masih sangat muda, pantasnya menjadi cucu Bapak.”

“Jangan mengejek bapakmu ini, sudah, bapak mau tidur. Kepala pusing, kamu pikir tadi kamu tidak menyakiti bapak? Tiba-tiba saja menendang sekuat tenaga, tidak ingat kalau tulang bapakmu ini adalah tulang tua.”

“Sekarang Bapak mengakui kalau tulangnya sudah tua, tadi waktu mau memperkosa Melati, merasa masih muda, begitu?”

“Diam kamu! Sudah menyakiti, masih mengomel pula.”

Harjo berdiri dan dengan tertatih berjalan menuju kamarnya. Agak kesal karena Ramon telah menghalangi niat yang sudah menjadi angan-angannya sejak hari masih sore.

Ramon mengangkat bahu, lalu kembali lagi ke kamarnya. Malam sudah sangat larut, bahkan sudah menjelang pagi. Tapi melihat sikap ayahnya, tampaknya besok pagi Ramon ingin segera meninggalkan rumah ayahnya.

***

Pagi-pagi sekali, Melati sudah keluar dari kamarnya. Ia langsung pergi ke dapur, untuk menyiapkan minum dan sarapan untuk tuan Harjo. Ketika ia menghidangkan minuman ke meja makan, ia melihat laki-laki muda itu sudah duduk di sana.

“Tuan … tuan muda yang semalam itu kan?”

“Namaku Ramon. Bagaimana keadaan kamu?”

“Saya baik. Saya akan membuatkan minum untuk Tuan.”

“Pasti bibik sudah membuatkannya,” kata Ramon. Dan tak lama kemudian, bibik pembantu memang sudah keluar dengan membawa segelas coklat susu dan sepiring roti bakar, seperti kesukaan ayahnya.

“Terima kasih Bik.”

“Apa tuan mau dibuatkan sarapan? Nasi goreng, atau apa?”

“Tidak Bik, saya akan pamit setelah bapak bangun. Menyusul istri ke rumah orang tuanya.”

“Oh, baiklah kalau begitu.”

“Melati,” panggilnya.

Melati yang akan kembali ke dapur, menghentikan langkahnya.

“Biasanya kamu pulang jam berapa?”

“Nanti setelah tuan Harjo bangun dan sarapan.”

“Pulanglah sekarang saja.”

“Sekarang? Bagaimana kalau tuan Harjo marah?”

“Aku nanti yang akan menjawabnya.”

“Terima kasih Tuan Muda. Dan kalau mungkin, tolong bicaralah pada tuan Harjo, bahwa saya mohon diijinkan untuk mencicil hutang ayah saya, tanpa harus bekerja malam di sini.”

“Pertama-tama, panggil saya pak Ramon, bukan tuan muda.”

“Oh, baiklah, pak Ramon.”

“Kedua, aku akan mencoba bicara dengan bapak tentang hal itu, tapi aku tidak janji, karena susah sekali mengendalikan orang tua yang satu itu.”

“Yang penting adalah, saya tidak akan mengingkari hutang itu.”

“Baik, sekarang kamu boleh pulang. Sudah sarapan?”

“Tidak usah, saya biasa sarapan di rumah, karena ibu saya selalu menunggu untuk sarapan bersama.”

Ramon mengangguk. Dan dengan wajah suka cita, Melati berpamit pada bibik pembantu, lalu mengambil tas yang masih ditinggalkannya di kamar, kemudian berlalu.

Ramon menggelengkan kepalanya dengan wajah kusut. Sesungguhnya ada yang ingin dibicarakannya dengan sang ayah tentang sebuah usaha, tapi diurungkannya ketika melihat kelakuannya.

Ia menghirup minumannya pelan, sambil menyuapkan roti bakar yang dihidangkan, sepotong demi sepotong.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah depan.

“Melatiii!!”

Ramon mendiamkannya. Ketika sang ayah masih juga berteriak saat memasuki ruang makan, barulah Ramon menjawabnya.

“Melati sudah pulang,” katanya sambil menyuapkan sepotong roti terakhirnya.

Harjo melotot menatap anaknya.

“Siapa yang menyuruhnya pulang? Dia belum melakukan apa-apa, pagi ini.”

“Ramon yang menyuruhnya.”

“Apa? Lancang sekali kamu ini. Siapa memberi kuasa kamu untuk menyuruhnya pulang?”

“Bapak duduk dulu, dan silakan minum minuman ini. Melati yang menyiapkannya lhoh.”

“Tapi dia belum boleh pulang kalau belum mendapat ijinku.”

Harjo duduk dengan wajah marah. Ramon tersenyum setelah melihat sang ayah menghirup minumannya.

“Siapa sebenarnya Melati itu, dan mengapa dia harus bekerja malam di sini? Bayarannya lumayan mahal juga, tuh.”

“Darimana kamu tahu tentang Melati dan bayarannya juga? Melati menceritakan semuanya sama kamu?”

“Ramon yang bertanya, dan Melati mengatakan semuanya.”

“Berarti sudah jelas kan? Mengapa kamu masih menanyakannya?”

“Pertama-tama, saya ingin mengingatkan Bapak, agar berhenti menjadi rentenir. Apalagi rentenir yang sangat kejam.”

“Punya hak apa kamu mengatur hidupku?”

“Ramon adalah putra Bapak, dan sudah menjadi kewajiban seorang anak untuk mengingatkan apabila sang ayah melakukan kesalahan.”

“Aku tidak merasa melakukan kesalahan. Aku tuh menolong orang yang membutuhkan, dan wajar dong, kalau aku meminta imbalan atas semua yang aku lakukan? Aku tuh pengusaha, pengusaha itu pekerjaannya berusaha, agar bisa mendapatkan untung. Kalau semuanya cuma-cuma, habis dong modal kita.”

 “Mencari imbalan, bukan dengan mencekik leher. Itu pembunuhan namanya. Tidak mati orangnya, tapi mati kehidupannya. Bapak itu sudah tua, ada baiknya Bapak berhenti melakukan hal-hal seperti itu.”

“Kamu ngomong begitu, karena kasihan pada Melati? Atau jangan-jangan kamu mulai suka sama dia?”

“Sekali lagi Ramon bilang, Ramon sudan punya Raisa, dan tidak ada wanita lain yang bisa menggantikannya. Ramon hanya mengingatkan Bapak, bahwa apa yang Bapak lakukan itu tidak benar.”

“Ah, sudahlah. Jangan ikut campur kamu.”

“Baiklah, sekarang tentang Melati. Ramon sudah tahu bahwa Melati bersedia bekerja malam hari di rumah ini, karena terbelit hutang ayahnya yang sudah meninggal.”

“Ya, dan aku cukup membuatnya ringan dengan bekerja di sini, jadi dia tak perlu mencari uang lagi. Mencari uang itu kan  susah.”

“Bukankah Melati sudah mengatakan sanggup mencicilnya? Mengapa Bapak tidak mengijinkannya?”

“Bodoh, bukankah kamu sudah tahu alasannya?”

“Karena ingin menjadikannya istri? Sangat tidak pantas.”

“Sudah, kamu diam saja, jangan ikut campur.”

“Baiklah, Ramon mengatakan itu semua, dan berharap Bapak segera bertobat. Bapak sudah tua, bukankah lebih baik menabung pahala daripada menabung dosa?”

“Diam!! Aku tidak ingin anakku mendikte jalanku.”

Ramon menghela napas panjang. Dan karena tampaknya susah sekali berbicara dengan sang ayah, maka dia segera berpamit pulang ke rumah mertuanya.

***

Karti merasa senang, pagi itu Melati sampai di rumah lebih pagi dari hari kemarin.

Dengan wajah berseri, dia segera membuat teh hangat untuk anak gadisnya.

“Tumben pulang lebih awal, Nak.”

Melati tersenyum. Selalu menampakkan senyuman setiap kali bertemu ibunya, karena tak ingin sang ibu mengkhawatirkannya.

“Pekerjaan Melati sudah selesai. Melati beli nasi sayur urap untuk sarapan, ibu mau kan?” kata Melati sambil meletakkan beberapa bungkusan di meja makan, kemudian mengambil piring dan sendok yang disiapkannya sekalian.

“Apa kabar semalam? Baik-baik saja?”

“Baik Bu.”

“Matamu kelihatan sayu, seperti masih mengantuk.”

“Semalam Melati tidur larut.”

“Bekerja apa, sampai larut begitu?” tanya sang ibu curiga dan tentu saja khawatir.

“Bukan bekerja apa-apa. Melati saja yang tidak bisa tidur.”

“Ya sudah, mandilah biar tubuh terasa segar.”

Melati masuk ke dalam kamar, mempersiapkan baju kerja, kemudian beranjak ke kamar mandi.

Karti tak pernah bisa berhenti mengkhawatirkan anak gadisnya., walaupun selama dua malam bekerja, Melati tampak biasa-biasa saja. Baru dua malam, padahal nantinya akan sampai sembilan puluh malam.

“Alangkah masih lamanya,” keluh Karti sambil duduk di kursi sambil menunggu Melati selesai mandi.

Tak lama menunggu, Melati sudah keluar dengan baju seragam kerjanya.

“Sudah rapi sekalian, Mel?”

“Supaya tidak tergesa-gesa Bu.”

“Semalam ibu membaca surat perjanjian kerja kamu dengan tuan Harjo.”

“Oh, ibu membacanya?”

“Benarkah itu semua?”

“Semoga saja benar, itu adalah satu-satunya jalan yang bisa kita jalani, ibu tak usah khawatir.”

“Semalam pak Samiaji juga menelpon.”

“Pak Samiaji? Ada apa ya? Iya, ponsel Melati memang ketinggalan.”

“Tidak apa-apa, entahlah. Dia bertanya, kamu sudah belanja apa saja dari uang yang dia beri. Cuma itu.”

“Ibu tidak mengatakan bahwa uang itu untuk membayar hutang kan?”

“Tidak, ibu bilang tidak tahu.”

“Nanti kalau senggang, Melati mau menelponnya.”

***

Raisa, istri Ramon menyiapkan makan pagi untuk suaminya yang ternyata sudah kembali pagi-pagi sekali. Agak heran dia ketika menanyakannya.

“Katanya, Mas mau bicara tentang bisnis.”

“Nggak jadi, agak kesal sama bapak," sungutnya.

“Memangnya kenapa?”

“Ketika aku datang, di kamar yang biasa kita tidur itu, tiba-tiba ada yang tidur di sana.”

“Ada tamu?”

“Bukan tamu. Bapak punya pembantu baru, yang dipekerjakannya setiap malam untuk membayar hutang.”

“Gimana maksudnya tuh?” tanya Raisa heran, sementara sang ayah hanya mendengar saja sambil mencomot telur ceplok yang terhidang.

Lalu Ramon menceritakan perihal Gadis bernama Melati yang dipekerjakan sang ayah demi membayar hutang.

Tiba-tiba sang ayah nyeletuk.

“Namanya Melati? Kok sama dengan nama gadis yang menemukan dompet bapak yang berisi uang ribuan dolar?”

***

Besok lagi ya.

53 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillaah, mtrnwn mb Tien, wlpn sibuk msh sempat menulis . Semoga mb Tien sehat sll.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun jeng dokter

      Delete
  3. Alhamdulillah.....
    Melati _17 sdh tayang....
    Matur nuwun, bu Tien.
    Sugeng dalu.....

    Selamat Yangtie dan juga kung Latief

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete

  5. Alhamdullilah
    Cerbung *MELATI 17* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  6. Alhamdulillah, MELATI 17 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah.

      Delete
  8. Alhamdulillah matur nuwun bunda Tien, sehat2 sllu

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ..... Terima kasih Bunda

    ReplyDelete
  10. Ternyata lintah daratnya besan pak Samiaji, makin gayeng saja. Apa mungkin Melati ditolong pak Samiaji ya... bisa saja ditarik jadi karyawannya.
    Masih menunggu peran satria berkuda putih.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  11. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
    Matur nuwun pak Latief

    ReplyDelete
  12. Maturnuwun ....kangen dg bu Tien terobati dg munculnya si Melatii..
    Sg istirahat buuuu

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah di hari libur panjang Bunda masih sempat nulis cerbung MELATI akhirnya ada yang menolong.Maturnuwun sanget semoga tetap sehat wal afiat.Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  14. Lama menunggu akhirnya tayang, terima kasih Mbu Tien... semoga sehat sllu bersama keluarga trcnta...

    Semoga Melati sllu diawasi dan ditolong oleh Ramon dan pak Samiaji... sakin penasaran lagi...

    ReplyDelete
  15. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
    Matur nuwun pak Zimi

    ReplyDelete
  16. Ayah Raisa itu Pak Samiaji yg menolong Melati benarkah? Semoga Melati ditolong Pak Samiaji. Terimakasih... Bunda Tien sehat selalu jasmani rohani ekonomi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Nanik

      Delete
  17. 🍒🍑🍒🍑🍒🍑🍒🍑
    Alhamdulillah 🙏🦋
    Ternyata oh ternyataaa..
    MELATI 17 sdh hadir toh..
    Lg camping sm amancu,
    iseng buka blog, eh ada
    cerbung yg di tunggu2.
    Matur nuwun Bu Tienkuuh.
    Doaku smoga Bu Tien
    selalu sehat & bahagia
    bersama kelg tercinta.
    Salam aduhai...😍🤩
    🍒🍑🍒🍑🍒🍑🍒🍑

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Sari, aduhai deh

      Delete
  18. Terimakasih Bu Tien Melati 17 sdh tayang ...🙏🙏

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah Melati 17 sdh tyng. Mtr nwn Bu Tien, sehat sll.
    Smg Melati segera lepas dr jeratan Harjo.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Endah

      Delete
  20. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai.

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun bunda Tien....🙏🙏
    : Kami sekeluarga juga menghaturkan : _Taqabbalallahu Minna waminkum, Taqabbal yaa kariim_*

    *"Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1445 H. Semoga Allah menerima seluruh amalan-amalan kita dan mempertemukan kita dengan Ramadhan tahun depan."*
    🤲🤲🤲🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Padmasari
      Mohon maaf lahir batin juga

      Delete
  22. Small world! Ternyata pak Samiaji besanan dengan pak Harjo, sungguh bagaikan bumi dan langit sifat mereka...makin seru nih...👍😀

    ReplyDelete
  23. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu aduhai.

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah MELATI~17 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  25. Alhamdul8llah Melati 17 hadir, salam sehat bu Tien
    Minal aidin wal faizin taqobbalallohu minna wa minkum

    ReplyDelete
  26. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
    Matur nuwun ibu Umi, mohon maaf lahir batin juga

    ReplyDelete
  27. Matur nuwun Bu Tien. Mohon maaf lahir batin njih Bu, semoga Allah masih mempertemukan kita dengan Bulan Ramadhan dalam keadaan sehat wal'afiat, aamiin yaa rabbal alamiin.

    ReplyDelete

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...