M E L A T I 10
(Tien Kumalasari)
Harjo memberi isyarat kepada Kabul agar menjauh darinya. Kabul mengerti, kemudian pergi ke arah depan, membiarkan tuannya berbincang atau entah apa yang akan dilakukannya bersama Melati.
Melati duduk di atas sofa empuk, yang karena ia meletakkan pantatnya terlampau keras, maka tubuhnya hampir mumbul diatas bantalan empuk itu. Melati menenangkan hatinya yang gundah. Hanya ingin bicara, dan Melati berharap, pembicaraan itu benar-benar akan menghasilkan sesuatu yang baik untuk dirinya dan tentu saja juga ibunya. Mata sangar itu tak tampak, apakah hati tuan Harjo telah melunak? Bukankah uang yang diserahkannya cukup besar? Ia sudah bertanya-tanya saat dikantor, berapa nilai satu lembar uang seratus dolar , dan ada yang mengatakan, sekitar satu juta limaratus, atau bahkan lebih. Kalau begitu, bukankah uang yang diberikannya kepada Harjo sudah senilai limabelas juta rupiah? Jumlah yang sangat besar bagi Melati, dan ia tetap berharap Harjo akan bersikap lebih lunak seperti sikapnya yang manis sekarang ini.
“Kamu tahu berapa nilai uang yang kamu berikan ini tadi? Kata Harjo sambil melambaikan tumpukan uang itu dihadapan Melati.
“Kalau tidak salah, sekitar limabelas juta rupiah,” kata Melati yang tak mau dianggap bodoh, lalu Harjo akan menilai semaunya.
“Hm, bagus. Kamu cukup cerdas, dan tidak terlalu bodoh.”
“Tuan, dengan cicilan pertama sebanyak itu, maukah tuan memberi kami waktu, agar sisanya bisa kami cicil setiap bulan?”
“Ahaaa, banyak ya. Itu kan menurut kamu. Bagi aku, limabelas juta rupiah itu bukan apa-apa. Itu baru seperempat dari banyaknya uang yang harus kamu kembalikan. Lagipula dari mana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam dua hari?”
“Tuan tidak perlu tahu. Tuhanlah yang memberi jalan sehingga saya bisa mendapatkan uang itu.”
“Hahaaa, Tuhan ya? Kalau kamu punya Tuhan yang baik hati, mengapa kamu hanya minta sedikit? Tidak enam puluh juta sekaligus?”
“Tuan jangan mengecilkan nama Tuhan Yang Maha Kuasa, Dia memberi dengan suatu maksud, yang entah apa kita tidak tahu.”
“Aku bertanya, mengapa hanya sedikit uang yang kamu dapatkan dari Tuhan kamu itu?”
“Baiklah, saya tidak ingin berdebat dengan orang yang tidak mengenal Tuhan. Tapi bagi saya itu sudah sangat besar. Sekarang ijinkan saya mencicilnya Tuan, kalau perlu buatlah surat perjanjian, agar Tuan bisa menagih setiap saat, dengan bukti yang jelas.”
“Melati, keinginanku hanya satu, yaitu uang itu harus segera kembali. Aku tidak suka menerima cicilan, apalagi seperti yang kamu katakan kemarin-kemarin, bahwa kamu akan mencicil sebesar dua juta setiap bulan? Capek aku menghitung recehan seperti itu.”
Melati merasa kesal, seperti bawahannya, Harjo juga menganggap uang dua juta adalah uang receh. Keterlaluan.
“Tapi aku masih bisa berbaik hati, asalkan kamu mau bekerja untukku setiap sore sampai pagi.”
Keringat dingin mulai mengaliri sekujur tubuh Melati. Semua yang diperkirakannya salah. Cicilan sebanyak limabelas juta tidak bisa melunakkan hati lintah darat itu.
Bekerja setiap sore sampai pagi? Di rumah seorang laki-laki yang tampaknya mesum dan menjijikkan ini?
“Kamu tidak perlu takut. Di sini kamu bukan satu-satunya pekerja. Ada pembantu perempuan yang tidur di belakang. Dia bersih-bersih rumah dan memasak. Kamu tidak akan sendirian. Kalian bisa berteman.”
“Ada pembantu perempuan di sini?”
“Ya, kamu pikir siapa yang menata rumah dan bersih-bersih setiap hari? Menyirami tanaman, dan menjaga seluruh rumah dengan kebersihan yang aku sukai. Aku tidak suka rumah yang kotor. Tapi aku tidak mengijinkan dia memasuki kamar aku."
“Kalau begitu apa yang harus saya kerjakan? Malam-malam pula?” Melati sangat naif dan gampang mempercayai setiap ucapan. Ia bisa menimbang-nimbang permintaan Harjo, kalau memang itu bisa mengurangi hutang ayahnya, sehingga ibunya akan merasa tenang.
“Kamu itu bodoh ya, bukankah aku pernah bilang bahwa pekerjaan kamu adalah melayani aku? Mengapa malam? Karena aku baru pulang malam, bahkan sampai larut. Aku sediakan kamar untuk kamu. Kamar bagus sehingga kamu bisa beristirahat dengan nyaman.”
Melati masih terdiam, menundukkan wajahnya.
“Tapi itu terserah kamu, coba kamu hitung, berapa hari lagi waktu yang aku berikan? Sudah berkurang tiga hari sampai hari ini, bukan?”
“Tapi saya kan sudah mencicilnya limabelas juta, tuan.”
“Mencicil … mencicil … itu tidak ada dalam penawaran aku,” wajah Harjo berubah muram. Ia meletakkan uang yang dibayarkan Melati, di atas meja.
“Bawa kembali uang kamu, jangan kesini sebelum genap lima puluh juta berikut bunganya. Baiklah, aku akan sedikit berbaik hati. Bayar saja enam puluh juta, sampai genap seminggu yang aku berikan waktunya, tetap enam puluh juta, tidak akan bertambah, biarpun seharusnya, waktu yang berjalan tetap harus ada perhitungan bunga.”
“Tuan, benarkah tidak ada sedikitpun belas kasihan tuan kepada kami orang tak punya ini? Kami akan membayarnya, tapi semampu kami.”
“Tidak ada tawar menawar lagi. Waktuku tidak banyak, aku harus segera pergi. Kembali kemari ketika kamu membawa uang, atau kamu sanggup bekerja malam untuk aku,” kata Harjo tandas, lalu berdiri.
“Tuan …. “
“Cepat ambil uang kamu dan pergilah,” wajah sangar itu kembali tampak, seakan menelannya bulat-bulat. Melati meraup kembali uangnya, kemudian memasukkannya ke dalam tas, dan berdiri.
Dengan langkah lunglai Melati keluar dari rumah dan turun ke halaman. Harjo bertepuk tangan dan Kabul mendekat dengan berlari. Melati tak sedikitpun meloleh kepadanya. Ia terus melangkah keluar, dan merasa bahwa ia tak akan bisa mendapatkan jalan untuk terlepas dari jeratan hutang itu.
***
Memasuki rumah dengan lunglai, membuat Karti yang sedang duduk mengerjakan jahitan menatap ke arahnya dengan khawatir.
“Ada apa? Kamu seperti orang sakit begitu?”
“Tidak berhasil Bu,” jawabnya lemah.
“Apanya? Uang itu?”
“Ia tidak mau menerima uang ini.”
“Mungkin kamu harus menukarkannya dulu ke bank.”
“Bukan masalah itu. Dia tetap minta dikembalikan, utuh, sebanyak enam puluh juta, waktunya tinggal empat hari lagi.”
“Mengapa enam puluh juta?”
“Dihitung dengan bunganya. Atau saya harus bekerja di sana, sore hari, baru pulang keesokan harinya.”
“Ya Tuhan. Bagaimana bisa ada orang sejahat itu?”
“Kamu seorang gadis, dia laki-laki, kalau kamu bekerja sampai menginap, lalu apa yang harus kamu kerjakan? Ibu takut Mel, laki-laki sejahat itu bisa melakukan apa saja,” Karti meletakkan jahitannya, lalu duduk di depan Melati yang bersandar di kursi dengan wajah kuyu.
“Bagaimana kalau minta tolong pak Samiaji?”
Melati mengangkat wajahnya.
“Minta tolong pak Samiaji? Mana bisa Melati melakukannya Bu. Kenal juga hanya karena Melati menemukan dompetnya. Masa tiba-tiba minta tolong tentang uang, sementara dia baru saja memberi uang banyak pada Melati.”
“Iya juga sih.”
Tiba-tiba ponsel Melati berdering.
“Oh, ya ampun, aku kan harus ke kantor,” kata Melati sambil mengangkat ponselnya.
“Iya … iya, aku tahu, aku mau berangkat sekarang.”
“Aku kira kamu libur,” gumam ibunya.
“Ada pesanan hari ini. Melati harus menanganinya. Melati berangkat dulu ya.”
“Baiklah, hati-hati di jalan,” pesan sang ibu.
Menatap kepergian anaknya, hati Karti semakin dirundung sedih. Betapa susahnya keluar dari jeratan hutang, sementara sebelumnya ia tak tahu apa-apa.
Karti mengusap air matanya, lalu kembali duduk di depan mesin jahitnya. Ia harus tetap fokus bekerja, walaupun hasilnya tak seberapa. Kecuali membutuhkan uang, ia juga terikat janji pada orang-orang yang menjahitkan bajunya.
***
Kabul sedang mengantarkan Harjo ke kantornya, sebuah dealer besar yang ada di kota itu. Tapi usaha itu sebenarnya hanyalah kedok belaka. Sesungguhnya Harjo adalah rentenir kelas kakap yang meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik leher. Pelanggannya adalah para penjudi yang kalah perang. Dari merekalah Harjo mendapatkan uang, sehingga bisa menumpuk harta setinggi gunung.
“Mengapa Melati tuan suruh pulang?” dari yang semula diam, akhirnya Kabul buka suara. Ia tahu, sang majikan tampak sedang tidak suka.
“Gadis itu terlalu jual mahal. Menurut dia, dengan memberikan uang limabelas juta sebagai cicilan pertama, dia bisa membujuk aku agar memenuhi keinginannya.”
“Lalu uang itu tuan kembalikan?”
“Tentu saja. Sebenarnya keinginanku kan bukan uang itu.”
“Tapi gadis itu kan?” kata Kabul sambil menyeringai.
“Kamu sudah tahu. Tapi dia gadis yang istimewa. Menurutku dia luar biasa. Aku harus berusaha mendapatkannya.”
“Tuan pasti mendapatkannya. Mana mungkin dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.”
“Tapi dia bisa punya uang limabelas juta dalam dua hari. Dolar lagi. Bagaimana dia mendapatkannya? Bagaimana kalau dia bisa melakukannya lagi?”
“Tuan tidak menanyakan dari mana ia mendapatkan uang itu?”
“Dia tidak mau mengatakannya. Katanya dari Tuhan. Rupanya Tuhan menjatuhkan uang itu dari langit,” katanya sambil tertawa.
“Ya sudah, sebaiknya Tuan bersabar dulu, percayalah, kalau dia tidak menemukan jalan untuk membayar, dia pasti akan datang dan bersedia menjadi pelayan Tuan. Tuan pasti senang kan?”
“Kalau dia mau, akan aku jadikan ratu di rumahku.”
“Hahaaa, ratu, Tuan?”
“Dia sangat cantik. Akan aku beri dia pakaian yang bagus dan mahal, akan aku manjakan dia bagai memanjakan seorang ratu. Bukankah dia pantas menjadi ratu di rumahku?”
“Tuan sudah sering mendapatkan perempuan cantik. Melati itu sangat lugu, seperti gadis kampung yang sama sekali tidak bersinar seperti perempuan-perempuan yang pernah tuan bawa.”
“Kamu bodoh. Dia itu berlian yang belum digosok. Dia akan cemerlang setelahnya, aku yang akan membuatnya. Kamu akan membuktikannya nanti,” kata Harjo dengan penuh keyakinan.
Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.
“Heii, awaasss! Tiba-tiba Harjo berteriak. Terdengar rem berderit di jalanan. Hampir saja Kabul menabrak sebuah kendaraan lain karena tawa yang kelewat keras itu hampir menutup mata garangnya.
***
Hari itu Nurina bertandang ke rumah Nilam. Nilam yang sudah mengambil cuti, memang sedang bersantai di rumah. Ia menerima kedatangan Nurina dengan wajah berseri. Mereka sudah berkencan, dan Nilam sudah menelpon Daniel agar datang ke rumahnya.
“Mana dia, Nilam, katamu dia akan datang kemari sore ini.”
“Sebentar, dia pasti datang. Sabar dong Nurin,” kata Nilam sambil menghidangkan segelas jus tomat di meja tamu.
“Soalnya aku penasaran, masa minta nomor kontak saja kamu nggak mau berikan sih?”
“Bukan aku nggak mau. Mas Daniel itu orangnya disiplin dan sangat keras. Aku harus minta ijin dulu kalau memberikan nomor kontaknya. Nah, nanti kan kalian sudah saling ketemu, jadi bisa memintanya langsung. Ya kan?”
“Baiklah. Kamu tuh, punya kakak begitu ganteng nggak bilang-bilang. Tahu begitu aku nggak usah gonta-ganti pacar.”
“Nggak bagus gonta-ganti pacar. Nanti kamu dikira gadis gampangan.”
“Iya, aku sekarang sadar. Mulai sekarang aku akan menjadi gadis baik, dan setia kepada pilihan aku.”
“Kamu yakin, benar-benar menyukai kakakku? Dia itu duda lhoh.”
“Tidak apa-apa, duda ditinggal mati istri, berarti bukan laki-laki yang suka selingkuh. Bagiku itu tidak masalah.”
Tiba-tiba terdengar sepeda motor memasuki halaman.
Daniel tertegun, melihat mobil diparkir di sana. Itu bukan mobil Wijan, atau mobil Raharjo, mertua Nilam.
Ia turun dari sepeda motor dan mendengar tawa renyah dari dalam rumah. Daniel sedikit merasa kesal. Ia ingat suara itu, dan sekarang juga ingat, mobil siapa itu. Dia pernah melihatnya di acara tujuh bulanan kandungan Nilam. Sebenarnya ia enggan masuk ke dalam, tapi sudah kepalang. Nilam juga pasti sudah mendengar suara sepeda motornya, jadi tak mungkin lagi dia kembali.
“Mas Daniel ya?” benar kan? Nilam sudah tahu bahwa dia datang. Rupanya Nilam ingin mempertemukannya dengan Nurina, teman kuliahnya yang diperkenalkan saat tujuh bulanan.
Tanpa menjawab Daniel masuk. Senyuman Nurin merekah.
“Hallo mas Daniel, kami sudah menunggu lhoh,” sapa Nurin tanpa sungkan.
Daniel hanya tersenyum. Ia berjanji akan menjewer kuping Nilam nanti setelah Nurin pulang, karena sudah mempertemukannya dengan gadis genit seperti Nurina.
“Lama banget sih Mas, lagi tidur ya, tadi?” tanya Nilam.
“Nggak, sebenarnya aku mau pergi ke rumah teman, lalu kamu menelpon. Kirain ada yang penting,” kesal Daniel.
“Ini penting lho Mas, aku pengin sekali kenal mas Daniel lebih dekat.”
“Duduklah dulu Mas, itu sudah Nilam siapkan minumnya,” kata Nilam yang mulai merasa bahwa kakaknya sepertinya tidak suka.
“Sebentar saja ya, ada yang penting nih.”
“Sini Mas, duduk dekat aku,” kata Nurina.
Daniel duduk, tapi agak jauh dari mereka.
“Sebenarnya Mas mau pergi ke mana?”
“Ke rumah Melati,” kata Daniel sambil menyeruput jus tomat yang disediakan adiknya.
Entah benar atau tidak, tapi alasan itu hendaknya membuat Nilam mengerti, bahwa ada gadis lain yang akan ditemui.
***
Besok lagi ya.
Suwun mb Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang *MELATI* ke sepuluh
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa Rabbal'alamiin
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Delete🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 10 sdh tayang.
Matur nuwun Bu Tien
yang baik hati.
Semoga Bu Tien tetap
sehat & smangaats.
Salam aduhai...😍🤩
🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Djoko
DeleteHamdallah...cerbung Melati 10 telah tayang.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Semoga Melati baik baik saja di sarang Lintah Darat tsb
Semoga dewa penolong nya segera datang
Daniel...coming soon...he...he...
Sehat selalu nggeh Bunda Tien. Salam Ramadhan penuh Berkah.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulilah Melati 09 sdh tayang... 👍👍 terima kasih bunda Tien Kumalasari, Semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat, bahagia dan dalam lindungan Allah SWT, salam hangat dan aduhai bun...🩷🩷🌹🌹
ReplyDeleteEh maaf Melati 10 maksudnya
DeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Alhamdulillah sudah tayang tepat waktu.
ReplyDeleteMatur nuwun, Budhe.
Sami2 mas Kakek
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 10* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat _Daniel ayo segera tolong Melati👍 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Herry
Sami2 Yangtie
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, barakallah....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Ada Nurin yang menggangu Daniel. Tapi Daniel merasa Nurin bukan tipenya. Jadi tinggalkan saja Nurin dan tolong tuh Melati yang kerepotan untuk bayar hutang peninggalan ayahnya.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah...
ReplyDeleteAyoo Daniel kejar Melati sj ...
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillaah,,,
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien
Salam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Tinggal pergi saja Niel , kl tdk suka😉🤭
Sami2 ibu Ika
DeleteSalam Sehat juga
Alhamdulillah, MELATI 10 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Sami2 ibu Uchu
DeleteSalam sehat kembali
Alhamdulillah.... terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Terimakasih, Melati episode 10, Apakahelati bisa melunasi hutang ayahnya dan bisa terlepas dari ganasnya Harjao .Teruntuk bunda Tien, semoga lancar dalam menjalankan ibadah ramadhan, salam sehat selalu dan aduhai selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariah
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
ReplyDeleteAlhamdulillah Melati 10 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Alhamdulillah MELATI~10 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Sembah nuwun bunda Tien, Melati - 10 sampun hadir, salam sehat selalu ...
ReplyDeleteSami2 pak Ava
DeleteSalam sehat juga
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu. Aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteAduhai deh
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 Mas MIRa
DeleteTerimakasih... Bunda Tien sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Nanik
DeleteAamiin
Alhamdulillah, semoga Bu Tien tetep sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteSalam aduhai hai hai
Sami2 ibu Endah
ReplyDeleteAduhai hai hai