Thursday, October 5, 2023

BERSAMA HUJAN 08

 BERSAMA HUJAN  08

(Tien Kumalasari)

 

Pak Harsono menatap amaknya khawatir, Andin sudah keluar dari kamarnya, tapi masih memijit-mijit pelipisnya.

“Pusing sekali ya?”

“Sedikit kok Pak, nanti Andin mau minum obatnya.”

“Makanlah dulu, baksonya sudah bapak tempatkan di mangkuk. Baunya enak sekali, bapak jadi lapar,” kata pak Harsono untuk menyenangkan hati anaknya, karena sudah bersusah payah beli bakso untuk ayahnya juga.

Andin tersenyum, lalu duduk di depan meja, mengikuti ayahnya yang sudah duduk lebih dulu.

“Ayo makanlah, lalu segera minum obatnya, kemudian beristirahatlah,” kata sang ayah ketika Andin menyendokkan nasi ke piring ayahnya.

“Tadi Andin kan sudah makan bakso sama Aisah.”

“Tapi bukan nasi kan? Yang namanya makan itu, kalau di sini, ya makan nasi. Sesendok dua sendok tak apa, asal kemasukan nasi di perut, setelah itu baru minum obat.”

“Baiklah, Pak.”

Andin mengambil sesendok nasi, diguyurnya dengan kuah bakso. Rasa pusing itu masih ada. Barangkali benar, dia kecapekan. Tadi di kampus sampai sore, sehingga hampir saja dia terlambat masuk kerja. Semuanya dilakukan dengan terburu-buru. Membuatkan minum dan menyiapkan cemilan untuk ayahnya, kemudian memacu sepeda motornya ke tempat kerja.

“Kamu itu kecapekan. Apa masih mau diteruskan?”

“Apanya, Pak?”

“Pekerjaan kamu itu. Apa tidak lebih baik kalau kamu menekuni kuliah kamu saja, setelah selesai baru bekerja.”

“Tidak apa-apa kok Pak. Mungkin hari ini Andin memang agak kelelahan, karena kuliah sampai sore. Tapi itu kan sudah biasa.”

“Kalau memang lelah, ya jangan dipaksakan.”

“Lelah itu kan biasa. Besok hari Minggu, Andin bisa beristirahat, sambil belajar.”

“Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu pasti bisa mengatur waktu kamu. Bapak nggak mau kamu sampai jatuh sakit karena kelelahan.”

“Iya, Andin mengerti. Bapak tidak usah khawatir.”

Pak Harsono mengangguk. Ia benar-benar menikmati makan malamnya, karena Andin pulang terlambat, dan dia harus menahan rasa laparnya sampai anak gadisnya pulang.

“Enak baksonya, Pak?”

“Enak sekali.”

“Besok Andin belikan lagi ya?”

“Tidak. Memangnya kalau sekarang rasanya enak, lalu besoknya harus makan seperti ini lagi? Nggak sama dong.”

“Nggak sama ya? Bosan, Pak?”

“Makan itu tergantung suasana hati. Kalau hati senang, makan juga terasa enak.”

Andin tersenyum, melihat ayahnya makan dengan sangat nikmat.

Sudah lama dia tidak membeli masakan berkuah untuk ayahnya. Barangkali karena itulah maka ayahnya makan dengan lahap. Berbeda dengan dirinya yang hanya bisa memasukkan nasinya dengan berat. Rasa pusing itu mengganggunya, ditambah tadi sudah makan semangkuk bersama Aisah.

“Kamu makan hanya sedikit, padahal enak."

“Andin kan sudah makan tadi, bersama Aisah.”

Pak Harsono mengangguk mengerti.

Mereka selesai makan malam, dan sekali lagi pak Harsono mengingatkan Andin untuk minum obat pusingnya.

Andin sudah selesai membersihkan meja makan dan mencuci semua piring kotor, kemudian bergegas ke kamar, lalu keluar untuk menemui bapaknya, sambil membawa amplop coklat pemberian dokter Faris sebelum dia pulang.

“Pak, ini gaji Andin,” katanya sambil duduk di samping ayahnya.

“Kamu sudah gajian?”

“Iya, sebenarnya baru minggu depan genap sebulan, tapi dokter Faris memberikannya malam ini.”

“Banyakkah uangnya?”

“Coba Bapak lihat.”

Tapi pak Harsono hanya membukanya sedikit, kemudian menyerahkan kembali amplop itu kepada anaknya.

“Ini kan uang kamu. Bawa saja untuk keperluan kamu sendiri.”

“Ini gaji pertama Andin. Penginnya diberikan ke Bapak. Tolong terimalah Pak. Bapak juga harus menikmati tetesan keringat Andin, dan ini semua tak lepas dari apapun yang Bapak lakukan untuk Andin. Tanpa Bapak, Andin ini bukan apa-apa.”

Pak Harsono tersenyum. Begitu kuat keinginan Andin, dan dia tak ingin mengecewakannya.

“Baiklah, begini saja. Biar adil, bapak ambil separonya, kamu separo. Jadi uang gaji kamu yang pertama ini, bisa kita nikmati berdua. Bagaimana?” kata pak Harsono sambil tersenyum.

Andin pun tersenyum, kalau dia menolak juga, ayahnya pun pasti akan kecewa. Jadi ia mengeluarkan semua isinya, lalu membaginya menjadi dua sama banyak.

“Bukan main anak gadisku ini. Bisa menghasilkan uang disaat bapak belum melepaskannya,” katanya sambil menerima uang itu, lalu dimasukkannya ke dalam dompetnya.

“Terima kasih Andin.”

Andin tersenyum bahagia, kemudian dia memeluk ayahnya sambil berlinang air mata.

“Rasa terima kasih itu harusnya dari Andin, untuk Bapak,” bisiknya lirih.

“Bapak bangga sama kamu. Kamu tak pernah mengecewakan bapakmu ini. Bapak senang, jerih payah bapak selama ini berbuah sangat manis.”

Andin mengusap air matanya. Benarkah dirinya tak akan mengecewakan ayahnya? Ada luka dan duka yang disembunyikannya. Tapi Andin berjanji, selama hidupnya ia tak akan pernah menampakkan luka itu dihadapan ayahnya.

***

Pagi hari itu Andin terbangun dengan perasaan lebih segar. Obat yang semalam diminumnya benar-benar bisa mengurangi rasa pusing yang tiba-tiba mengganggunya.

“Apa kabar, gadis cantik bapak, pagi ini?” sapa pak Harsono yang sudah rapi, dan menikmati teh hangat yang disajikan anaknya.

“Andin sudah merasa baik, Pak. Kok Bapak rapi sekali, bukankah ini hari Minggu?”

“Ada pesanan yang harus segera dikirim, kemarin pekerjaan bapak belum selesai, jadi pagi ini harus lembur.”

“Apa pekerjaan Bapak sangat berat? Angkat-angkat barang, begitu?”

“Tidak, bapak hanya mencatat dan mencocokkan semua barang.”

“Bapak sudah tua, jangan capek-capek juga.”

“Iya, kamu tidak usah khawatir. Bapak akan baik-baik saja.”

“Saya antar saja ya Pak, kan Andin libur?”

“Nggak usah, kan Bapak bisa naik motor sendiri?”

“Untuk mengurangi capek. Kalau diantar kan tidak terlalu capek.”

“Nggak usah. Kamu juga perlu istirahat. Katanya mau belajar juga.”

“Kalau begitu Bapak sarapan dulu, Andin hanya masak nasi goreng.”

“Wah, pasti enak masakan anak bapak."

Keduanya sarapan dengan wajah cerah.

“Enak nggak nasi gorengnya?”

“Sangat enak. Bapak kan selalu bilang, almarhumah ibu kamu itu masakannya sangat enak, jadi tidak aneh kalau kamu juga selalu bisa masak enak.”

“Kok Andin merasa agak keasinan ya? Juga ada pahit-pahitnya, begitu."

“Nggak tuh, pas kok rasanya. Nih, bapak malah nambah lagi. Kalau nggak enak masa pengin nambah.”

“Berarti mulut Andin yang nggak bener. Seperti keasinan dan agak pahit deh.”

“Memang bapak itu suka asin. Kamu tuh seperti ibumu, sedikit-sedikit bilang keasinan, padahal menurut bapak sudah pas.”

“Ya sudah kalau begitu. Beda mulut beda yang dirasa ya?”

“Biasanya kamu nggak pernah mengeluh keasinan. Kenapa pagi ini bilang keasinan?”

“Nggak tahu nih Pak, mulut Andin yang nggak beres, apa ya? Tapi nanti sebentar lagi Andin mau belanja ke pasar. Bapak ingin dimasakin apa?”

“Terserah kamu saja. Apapun yang kamu masak, bapak suka kok.”

“Terima kasih Bapak.”

“Tapi katanya kamu mau belajar. Nggak usah memasak juga nggak apa-apa. Nanti kan bapak pulang agak siang, jadi bisa mampir beli lauk.”

“Nggak apa-apa Pak, masak dulu sebentar.”

“Kalau kamu punya uang berlebih, simpan saja di bank, biar aman.”

“Iya Pak.”

“Jangan lupa sedekah.”

“Iya.”

***

Andin sedang berjalan menuju ruang kelasnya ketika tiba-tiba Aisah menepuk bahunya dari belakang,

“Andin!!”

Andin merengut. Aisah sering sekali membuatnya terkejut.

“Kamu kenapa sih kalau menyapa dengan manis, dengan lembut, bukan menepuk bahu aku sekeras ini?”

Aisah tertawa.

“Kamu kelihatan cantik pagi ini,” puji Aisah.

“Benarkah? Kalau begitu nanti saat istirahat, kita makan gado-gado di warung sebelah, aku lagi pengin gado-gado nih.”

“Oh iya, beberapa hari yang lalu kamu belum jadi traktir aku ya. Baiklah.”

“Sekarang aku ada kelas pagi, aku duluan ya,” kata Aisah sambil bergegas mendahului. Andin hanya tersenyum melihat ulah sahabatnya.

“Andiiin!” teriakan itu membuatnya terkejut. Tanpa melihat orangnya, Andin sudah tahu siapa dia. Tak merasa perlu menjawab teguran, Andin justru melangkah lebih cepat, berbelok arah menuju ke ruangannya sendiri yang terletak agak lebih jauh.

“Andiin! Sombong amat sih.”

“Andin mempercepat langkahnya, tapi langkah si pemilik suara lebih cepat lagi, sehingga hanya beberapa saat kemudian dia sudah ada di depannya, menghalangi langkahnya.

Andin merasa muak. Laki-laki yang sedang berdiri di depannya ini menatapnya dengan senyum manis, tapi membuat Andin merasa jijik.

“Menyingkirlah, aku harus segera masuk.”

“Baiklah, aku tahu. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu sama kamu.”

Andin tak menjawab, ia berjalan menyimpang dari samping Romi, laki-laki yang mengejarnya.

“Hei, sebenarnya kamu itu cantik. Sumpah aku suka sama kamu.”

Mata Andin menyala, bak menyemburkan api.

“Tapi tidak apa-apa. Malam itu sudah cukup bagi aku, dan akan aku kenang seumur hidup aku.”

Andin bergerak kesamping, dan ingin berlari, tapi tangan Romi menghalanginya. Andin yang tak ingin tersentuh oleh tangannya, terpaksa menghentikan langkahnya.

“Apa sih maksudmu? Aku sudah bilang jangan lagi mendekati aku, apalagi menggangguku.”

”Aku hanya ingin bilang, bahwa bulan depan akan menikah.”

”Baik, aku sudah mendengarnya, sekarang menyingkirlah.” hardik Andin tanpa menatap lagi wajahnya.

“Maukah kamu menjadi pendamping pengantin? Aku juga mau Aisah membantu dalam pernikahan itu.”

“Jangan mimpi.”

“Romiiiii.”

Teriakan itu menghentikan Romi yang masih ingin bicara. Ia bahkan menyingkir dari hadapan Andin, sehingga Andin bisa melanjutkan langkahnya, tak peduli siapa yang berteriak memanggil nama Romi.

“Romiii, katanya kamu nggak akan ke kampus pagi ini?”

“Elisa, ngapain kamu kemari?”

“Kamu bilang nggak ke kampus hari ini.”

“Aku sedang mempersiapkan diri untuk membuat skripsi, jangan dulu mengganggu aku. Atau kita tak usah menikah saja,” ancam Romi kesal, karena Elisa selalu mendatanginya di kampus.

Elisa merengut.

“Aku sebenarnya punya rencana untuk memilih baju untuk pernikahan kita, tapi saat aku datang ke rumah kamu, kata mama, kamu ke kampus.”

“Nanti saja sepulang dari kampus, aku ada kelas nih, kamu pulanglah.”

“Tunggu. Gadis yang tadi ada di sini itu siapa?”

“Kenapa nanya?”

“Jangan mengira aku cemburu, aku hanya merasa seperti pernah melihatnya.”

“Iya lah, kan kamu sering datang kemari.”

“Bukan hanya disini, apa dia bekerja di sebuah tempat praktek dokter?”

“Nggak tahu aku, itu bukan urusan aku. Sekarang pulanglah, nanti sore saja kita pergi mencari baju,” kata Romi sambil meninggalkan Elisa yang berdiri dengan  termangu.

“Baiklah, nggak apa-apa kamu membuat aku kesal, toh kamu akan menjadi suami aku sebentar lagi, dan bayi di dalam perutku ini akan memiliki seorang ayah,” gumamnya, kemudian membalikkan badannya meninggalkan area kampus.

***

Saat makan, Andin dan Aisah makan siang bersama di kantin, Andin melihat wajah Aisah sangat gelap seperti menahan marah. Ia makan begitu cepat, bahkan sepertinya hampir tidak mengunyahnya.

“Hei, ada apa denganmu?”

Aisah meletakkan sendok dan garpunya, lalu meneguk sisa minumannya.

“Apa kamu pernah tahu ada orang yang sangat tidak berperasaan dan sangat tidak tahu malu?”

Andin menatap sahabatnya yang sudah mengusap bibirnya dengan tissue.

“Kamu makan sangat cepat.”

“Bahkan aku ingin memakan mangkuk ini beserta sendok dan garpunya."

Andin terkekeh.

"Ada apa?”

“Kamu tahu nggak, tadi Romi mendekati aku, dan minta agar aku mengajak kamu menjadi pendamping pengantin saat dia menikah nanti.”

Andin hampir tersedak. Ia meneguk minumannya, dan meletakkan makanannya agak menjauh, karena ia tiba-tiba kehabisan selera.”

“Tadi pagi dia juga bicara begitu sama aku.”

“Tuh, nggak berperasaan kan? Ia lupa pada apa yang pernah dilakukannya, dan begitu dungu untuk tidak bisa mengerti bagaimana perasaan seorang perempuan.”

“Ya sudah, tidak usah dihiraukan saja, anggap angin lalu. Aku benci membicarakan soal dia. Kamu tahu Ais, rasanya aku ingin pindah ke kampus lain saja agar tidak pernah melihat wajahnya. Tapi kan banyak yang harus aku pertimbangkan, terutama biaya.”

“Iya, kalau soal itu kamu benar, sebentar lagi dia juga sudah hengkang dari kampus ini. Sama seperti aku, dia juga sudah mulai membuat skripsi dan setelah itu kamu tak usah melihatnya lagi.”

“Ya, jadi sekarang kamu juga harus bisa mengendapkan perasaan kamu. Tak usah dijawab, apalagi dihiraukan.”

“Tapi dia itu tetangga aku Ndin, rumah kami bersebelahan. Pasti ibunya akan bicara juga kalau Romi mengusulkannya. Jadi aku harus mencari alasan agar hari itu tak ada di rumah.”

“Ya, itu lebih baik. Kita jalan-jalan saja, entah ke mana, pokoknya bersenang-senang.”

Aisah meneguk lagi minumnya sampai habis, lalu menarik Andin agar berdiri, karena ia melihat Romi memasuki ruangan. Mereka menuju kasir untuk membayarnya, kemudian keluar dari pintu yang lain.

***

Sudah sore ketika Aisah sampai di depan rumahnya, karena sebelum pulang ia harus mencari beberapa buku di perpustakaan.

Ketika ia hampir memasuki halaman, dilihatnya seorang wanita berdiri di depan pagar rumahnya.

***

Besok lagi ya.

 

 

35 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Bersama Hujan tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah BERSAMA HUJAN~08 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..๐Ÿคฒ

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, terimakasih bunda, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Maturnuwun Bunda Tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah Be Ha episode 08 sdh tayang Terima kasih bu Tien , smg bu tien selalu sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT, jangan capek capek ya bun .. salam hangat dan aduhai bundaku sayang

    Semoga andin tidak hamil...kasihan banget nasibmu andin... romi dasar buaya gak berperasaan

    ReplyDelete

  6. Alhamdullilah
    Bersama Hujan 08 telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  7. Waduh Elisa kok di obral gmn sih,,bingung ta sekarang,,,,,siapa hayo bapaknya,,,,,ohh aku tahu bapaknya itu namanya Bram,,,,,Brame rame

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah...suwun bunda Tien..smg sehat sll

    ReplyDelete
  9. Dasar Romi si playboy, tidak punya malu. Tapi kalau 'hasil kerja' dengan Andin jadi ya tetap repot. Apalagi kalau ketahuan Elisa mengandung bukan anaknya.
    Andin juga pusing sepulang kerja, hanya kelelahan saja barangkali.
    Salam sukses mbak Tien, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah ...
    Syukron nggih Mbak Tien ..semoga kita semua selalu sehat Aamiin.
    ๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah Bersama Hujan 08 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dsn bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  13. Yes tayang makasih bunda, semoga bunda sehat selama ya

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah..
    Matursuwun bunda Tien BeHa 08 tayang gasik๐Ÿ˜

    ReplyDelete
  15. Alhamdulilah..
    Tks banyak bunda Tien..
    Yg ditunggu sdh tayang...
    Kasian Andin..
    Salam Aduhai.. Semoga bunda semakin sehat..

    ReplyDelete
  16. Terima kasih bu Tien ... Bersama hujan ke 8 sdh tayang dan sdh dibaca ... Smg Bu Tien n kelrg sehat wal'afiat .

    ReplyDelete
  17. Jangan sampai hamil Andin, sy mohon bunda Tien kasihan๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ karena sudah kehilangan ibu dan kehormatannya jangan ditambah lagi penderitaannya, maaf .. kalau sy ngaco.. terserah bunda Tien saja. Terimakasih salam sehat dan bahagia selalu bersama keluarga tercinta.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya yg baca BH jadi H2C juga nih.. khawatir Andin hamil juga.. aduhaiii

      Delete
  18. Alhamdulillah, semiga Bu Tien semangat dan sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien ---- semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  20. Matur nuwun bunda Tien...๐Ÿ™๐Ÿ™
    Sehat selalu kagem bunda..๐Ÿคฒ

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat

    �Semoga dg Bersama Hujan 08, tempatku di Bintara Bekasi hujan beneran ya, agar tanaman2 tdk mati n kering serta menambah cadangan air tanah ,Aamiin

    Salam aduhaai bu Tien ๐Ÿค—๐Ÿฅฐ

    ReplyDelete
  22. Hamdallah.. Bersama Hujan 08 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Semangat, tetap Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala.
    Aamiin

    Kasihan Andin, Romi msh bisa leluasa mempermainkan nya. Emang nya di kampus tsb tdk banyak Mahasiswa yng kuliah kah. Apa tdk ada Security kampus yng menjaga keamanan dan ketertiban di kampus. Setidak nya klu banyak orang yang melihat dan klu Andin dlm suasa yang tdk nyaman, maka bisa minta bantuan... minta tolong.

    Salam hangat nan mesra dari Jakarta

    ReplyDelete
  23. Mtr nwn Bu Tien. BH 8 sdh tyng. Sehat selalu.
    Smg Andin tdk hamil...jd deg2an.

    ReplyDelete
  24. Elisa menunggu Andin?...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  25. Terima kasih, ibu Tien...terus semangat berkarya. Semoga makin dipulihkan kesehatannya.๐Ÿ™๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜€

    ReplyDelete
  26. Hatur nuhun bunda Tien..sht sll dan seterusnya y..slm Seroja dan tetap semangat๐Ÿ™๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐ŸŒน๐Ÿ’ช๐Ÿ’ช

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 17

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  17 (Tien Kumalasari)   Wanda mengerucutkan bibirnya. Walau pelan, tapi suara Guntur berupa hardikan, sangat m...