SEBUAH PESAN 61
(Tien Kumalasari)
Mereka yang sedang asyik berbincang, tak begitu perhatian dengan datangnya bu Rahman. Mereka terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara pintu terbanting dan tubuh bu Rahman terkapar di lantai.
Damian melompat bagai kucing, langsung sudah ada di dekat bu Rahman, kemudian menggendongnya, lalu mendudukkannya di sofa.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Kenapa Ibu?”
“Kok bisa jatuh?”
Berbagai pertanyaan beruntun terdengar di telinga bu Rahman, namun dia tak menjawab sepatah pun. Dadanya terasa sesak, dan seperti susah untuk bernapas.
Raya lari masuk ke kamar, mencari minyak gosok. Damian memijit-mijit kakinya.
Bu Rahman masih sadar, tapi tampak terengah-engah.
“Sarti….!” teriak pak Rahman.
Bik Sarti yang sudah datang dari tadi segera mendekat.
“Ambilkan obat nyonya.”
Bik Sarti berlari mengambil obat, karena sehari-harinya memang bik Sarti yang melayani sang nyonya minum obat.
“Bik Sarti segera kembali dengan membawa segelas air putih hangat, dan sebutir obat kecil kekuningan, yang selalu diminum setiap kali bu Rahman merasa sesak napas.
Raya membantu mengangkat kepala ibunya, dan meminumkan obatnya, lalu dia menggosok-gosok dada ibunya pelan.
“Sudah, aku mau ke kamar saja,” katanya pelan.
Damian segera bangkit dan kembali mengangkat tubuh bu Rahman, di bawanya ke dalam kamar. Ia membaringkannya pelan, lalu menata bantalnya supaya kepala ibu mertuanya terbaring agak tinggi.
“Ke dokter ya Bu?” tanya Damian.
Bu Rahman menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Biarkan … aku sendiri …” katanya lemah.
“Sudah agak berkurang ya, sesaknya?”
“Sudah … sudah … pergilah,” bu Rahman memberi isyarat agar semuanya keluar, dengan melambaikan tangannya.
Raya mengajak Damian keluar, tapi pak Rahman masih berdiri di samping istrinya. Lalu ia duduk di tepi pembaringan.
“Ibu mengapa, kok tiba-tiba seperti ini,” kata pak Rahman ketika bu Rahman sudah mulai tenang.
“Apa … yang terjadi?”
“Apanya Bu?”
“Perusahaan Bapak.”
“Oh, Ibu tidak usah memikirkannya. Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
“Bapak bohong sama ibu.”
“Tidak, memang baik-baik saja kok.
“Punya hutang kan?”
Pak Rahman menghela napas. Ia memang tidak mengatakan apa-apa tentang situasi perusahaan saat ini, tapi maksudnya agar istrinya tidak kepikiran. Tapi rupanya sang istri mendengar ketika mereka bicara, bahkan tentang hutang itu.
“Bu, kan Ibu harus mengerti, bahwa dokter melarang ibu terlalu banyak pikiran. Jadi apapun beratnya beban bapak, ibu tidak perlu ikut memikirkannya. Memang benar, ada yang menyelewengkan uang perusahaan, sudah bertahun-tahun, sehingga kita punya hutang delapan ratus juta. Tapi semuanya sudah selesai, Damian bersedia membayarnya.”
Wajah bu Rahman tampak pias. Berita bahwa perusahaan suaminya tertolong oleh Damian, membuat perasaannya jadi tidak karuan. Ada rasa tak enak menyesak dadanya, dan itulah yang menyebabkan napasnya tersengal-sengal.
“Mengapa harus dia,” kata batinnya.
“Bu, ibu harus tenang. Kemungkinan besar perusahaan kita akan tertolong. Damian dan Raya yang akan menanganinya.”
Bu Rahman menatap langit-langit kamar. Bayangan Damian melintas. Damian yang selalu diolok-oloknya, Damian yang serba tak ada baik-baiknya bagi dirinya, Damian yang selalu dianggap salah, baru saja mengangkat tubuhnya saat jatuh. Baru saja mengangkat tubuhnya saat badannya lemah dan tak mampu melangkah sendiri ke dalam kamar.
Air mata bu Rahman merebak.
“Bu, ibu tidak usah memikirkan apapun. Damian juga melarang aku menjual mobil kita. Dia dan Raya akan menyelesaikan semuanya. Ibu harus senang. Bapak juga sudah merasa lega. Besok pagi semuanya akan mulai dibenahi.”
Menetes air mata dari mata tuanya, mengalir membasahi wajahnya. Pak Rahman mengusapnya lembut.
“Bener ya, jangan memikirkan apa-apa. Sekarang ibu istirahat saja dulu, aku mau melanjutkan pembicaraan dengan Raya dan Damian.”
“Raya suruh bawa mobilnya,” kata bu Rahman lirih.
“Nanti bapak minta agar dia membawanya, barangkali dengan kesibukan baru, Raya membutuhkannya.”
“Harus hati-hati, Raya sedang mengandung,” kata bu Rahman sebelum pak Rahman mencapai pintu. Pak Rahman mengangguk.
“Istirahat dan tidurlah,” katanya lalu menutup pintu.
Begitu pak Rahman muncul, Damian dan Raya langsung menanyakan keadaan ibunya.
“Sudah lebih tenang, bapak minta ibu istirahat dan tidur. Dia tidak pernah tahu keadaan kantor seperti apa, tadi terkejut mendengar perusahaan punya hutang delapan ratus juta,” terang pak Rahman.
“Semoga ibu segera membaik. Kalau memang perlu, ke dokter lagi saja.”
“Dokter sudah memberinya obat, tapi kalau memang masih belum membaik, nanti aku akan membawanya ke dokter.”
“Baiklah Pak, barangkali Raya juga harus segera istirahat, kami mohon pamit dulu. Besok pagi kami akan ke kantor untuk ketemu Bapak dan berbincang lagi.”
“Kamu tidak ke bengkel?”
“Sejak Raya dinyatakan hamil, saya tidak bekerja lagi. Saya tidak bisa membiarkan Raya sendirian sehari penuh. Jadi saya hanya pergi saat kuliah.”
“Baiklah, bapak senang kamu memperhatikan istri kamu. Besok kita bertemu lagi kan?”
“Iya Pak.”
“Oh ya, barangkali Raya perlu membawa mobilnya juga. Kasihan kalau bolak balik membonceng kamu, atau harus naik taksi.”
“Terserah Raya saja. Saya baru belajar nyetir ketika di bengkel, Biar Raya yang memakainya."
“Bawa saja sekarang. Di sini tidak ada yang memakai.”
“Kamu bisa membawanya, Ray? Hati-hati, kamu kan sedang mengandung.”
“Tinggalkan saja motor kamu di sini, kamu yang bawa mobilnya.”
“Besok kan motornya aku pakai kuliah?”
“Besok saja diambil, atau suruh membawa sopir ke rumah.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
***
Esok harinya, Damian dan Raya pergi ke kantor, bertemu dengan pak Rahman, berbincang tentang semua permasalahan. Kecuali itu, dengan dibantu Damian, Raya mempelajari seluk beluk usaha ayahnya dengan seksama.
“Tapi kamu tidak boleh kecapekan Ray, tengah hari kamu harus pulang.”
“Iya, bersama kamu, sekalian pergi ke kampus kan?”
“Ya. Untuk sementara kita sudah mengerti dasar-dasarnya.”
“Benar, nanti kalian pulang saat makan siang saja. Besok kalian harus datang, kita akan rapat dengan seluruh staf, dan menata semuanya dengan sebaik-baiknya.”
“Ya Pak.”
Sekretaris masuk dan mengatakan bahwa ada tamu dari kantor polisi.
“Baiklah, suruh mereka masuk,” kata pak Rahman.
“Sudah ada berita tentang pak Marsono rupanya?” tanya Raya.
“Masih buron, tapi polisi akan terus memburunya.”
Dua orang polisi masuk, Damian dan Raya ikut menemui mereka. Polisi hanya bertanya tentang kronologi, bagaimana Marsono bekerja. Karena itu pak Rahman segera memanggil staf keuangan, yang pastinya sudah mendapat teguran karena begitu ceroboh mengeluarkan uang.
***
Damian lebih dulu mengantarkan Raya pulang, kemudian mengambil sepeda motornya untuk dibawanya ke kampus. Mobil Raya hanya dipergunakan saat ke kantor atau ke Salon, yang itupun Raya diminta untuk mengurangi juga kegiatannya di sana. Damian sangat menjaga istrinya, dan juga bayi yang dikandungnya.
Ketika sampai di rumah mertuanya, Damian memberanikan diri masuk ke rumah, untuk melihat ibu mertuanya. Diterima dengan baik atau acuh tak acuh, Damian tak peduli.
Suasana sepi, barangkali pak Rahman masih berada di kantornya. Pasti banyak yang dibicarakan dengan para staf kantornya, yang tidak bisa diikutinya karena Raya harus segera beristirahat. Damian masih khawatir mengingat Raya baru saja merasa segar setelah selama tiga bulan lebih merasa mual dan muntah-muntah.
Ia melihat bik Sarti sedang menata makan siang, dan sangat terkejut melihat Damian tiba-tiba muncul.
“Ya ampun, tuan mengejutkan saya.”
“Tuan lagi sih Bik,” tegur Damian tak suka, tapi bik Sarti tetap pada pendiriannya, bahwa ia harus memanggil tuan kepada suami nona majikannya.
“Biarkan saja, saya tidak bisa merubahnya lagi. Tuan mencari Nyonya?”
“Apakah ibu sudah kelihatan sehat?”
“Belum sepenuhnya sehat, tapi menolak dibawa ke dokter. Katanya sudah mendingan.“
“Sekarang tidur?”
“Saya akan melihatnya,” kata bik Sarti yang segera masuk ke kamar bu Rahman. Ketika ia masuk itu, dilihatnya bu Rahman hanya berbaring, tapi matanya terbuka.
“Nyonya tidak tidur?”
“Aku justru mau keluar kamar, capek tiduran terus,” katanya sambil bangkit.
“Jangan Nyonya, nanti kalau tuan tahu, saya dimarahi. Tuan sudah berpesan, bahwa saya disuruh menjaga Nyonya.
“Aku lelah.”
“Ada tamu untuk Nyonya, biar masuk ke sini ya.”
“Siapa?”
Bik Sarti membuka pintunya, dan mempersilakan Damian masuk.
Bu Rahman menatapnya sungkan. Ia masih teringat bagaimana dirinya selalu mengata-ngatai Damian dengan ucapan yang tidak enak. Dan sekarang, kenyataannya si menantu yang dia benci itu menjadi penolong perusahaan suaminya yang hampir runtuh. Ia bahkan bersikap baik kepada dirinya, dan menatapnya tanpa ada dendam dan sakit hati pada wajahnya yang bersih dan tampan. Damian tersenyum, lalu mendekat dan meraih tangannya, menciumnya dengan hangat.
“Bagaimana keadaan Ibu?”
“Mengapa kamu kemari?” tanyanya tanpa berani menatap wajah Damian secara langsung, Ia tak punya kata-kata untuk menyambut kedatangannya, atau tak bisa merangkai kata manis ketika melihatnya.
“Saya akan mengambil sepeda motor yang saya tinggalkan, tapi memerlukan menjenguk Ibu terlebih dulu, karena sesungguhnya kami menghawatirkan keadaan Ibu.”
Bu Rahman terperangah. Hatinya terasa bagai ditusuk dengan ribuan jarum, pedih dan berdarah. Ia merasa bahwa kebaikan yang ditunjukkan Damian justru menghunjam perasaannya, menjatuhkan kecongkakannya sehingga hancur berkeping-keping, bahkan lumat menjadi debu.
“Kalau memang masih merasa tidak enak, lebih baik ke dokter. Saya masih punya waktu untuk mengantarkan Ibu ke rumah sakit.”
Bu Rahman menggeleng keras.
“Ibu masih pucat.”
“Aku sudah tidak apa-apa.”
“Baiklah.”
“Mengapa kamu begitu memperhatikan aku? Tidakkah kamu tahu bahwa aku sangat membenci kamu?” akhirnya bu Rahman mengeluarkan kata-kata yang lebih panjang, tapi masih jauh dari kata ramah.
Damian menarik kursi kecil yang ada di kamar itu, lalu duduk di hadapan ibu mertuanya.
“Saya tidak merasa begitu.”
“Apa maksudmu?”
“Saya tidak merasa bahwa ibu membenci saya.”
“Tapi aku tidak suka sama kamu.”
“Ibu hanya tidak suka pada kemiskinan saya, dan sangat menghawatirkan kehidupan Raya apa bila hidup bersama saya. Menurut saya itu hal yang wajar. Setiap ibu akan melakukan hal yang sama. Saya tidak tersinggung, apa lagi marah.”
Bu Rahman menatap wajah Damian.
“Kamu menjadi sombong karena kamu ternyata punya uang,” kata bu Rahman seperti bergumam.
“Saya tidak pernah menyombongkan apapun. Saya tidak pernah mengatakan kepada siapapun ketika saya bisa meneruskan sekolah saya. Orang lain tahu karena ada orang yang melihat. Saya tidak pernah merasa sombong ketika mengajak Raya naik pesawat, karena saya ingin menyingkat waktu sehubungan dengan masa libur saya yang tidak lama. Dan saya juga tidak memamerkannya kepada siapapun. Ibu tahu, hanya karena kebetulan bertemu. Apa yang saya sombongkan Bu, saya tetap hidup sederhana, mempergunakan motor butut saya saat ke mana-mana, makan seadanya seperti orang-orang pada umumnya.”
Dan itu benar, tak ada yang salah dari ucapannya. Bu Rahman mengakuinya.
“Mengapa kamu baik kepada saya?”
“Karena Ibu adalah mertua saya, yang juga berarti orang tua saya.”
Bu Rahman menghela napas.
“Ternyata kamu punya banyak uang.”
Damian tak suka mendengar pertanyaan itu, tapi tak enak untuk tidak menjawabnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Raya.
“Ya Ray," sapanya menjawab telpon istrinya.
“Kamu di mana?”
“Masih bersama ibu.”
“Bukankah kamu harus ke kampus?”
“Iya, aku segera berangkat.”
Damian menutup ponselnya.
“Bu, ternyata saya harus pamit. Saya harus ke kampus dulu,” katanya sambil berdiri, lalu mengembalikan kursi kecil yang tadi diambilnya, ketempatnya semula.
Ia meraih tangan ibu mertuanya, dan menciumnya.
Ketika Damian hampir sampai ke pintu, bu Rahman memanggilnya.
“Damian.”
Damian berhenti, menoleh ke arah ibu mertuanya.
“Aku minta maaf,” katanya sambil berlinang air mata.
Damian membalikkan tubuhnya, mendekati sang ibu mertua, kemudian meraih tangannya.
“Ibu tidak bersalah apa-apa,” katanya lembut.
***
Pak Rahman pulang ke rumah tak lama kemudian. Ia langsung masuk ke kamar, dan dengan heran mendapati sang istri sedang menangis.
“Ada apa? Ibu merasa sakit? Ke dokter saja ya?”
Bu Rahmen menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mengapa Ibu menangis
“Tadi Damian datang kemari.”
“Benarkah? Oh, iya, dia bilang mau mengambil sepeda motornya.
“Ibu sangat malu.”
“Memangnya kenapa?”
“Ibu jahat sama dia, sementara dia baik kepada Ibu.”
Pak Rahman tersenyum. Terkadang untuk sampai ke sebuah titik, ada proses yang harus kita lalui.
***
Besok lagi ya
Horeeee
ReplyDeleteAlhamdulillah, ndrekke jeng Nani sang juara 1
DeleteHoreeee.....
DeleteSenenge sing nampa putu ke 5.
Selamat jeng Nani. Semoga sehat selalu ibu dan debaynya, kelak Aksa Fauzil Nuriza jadi anak yang sholeh berbakti kepada kedua orang tua, utinya dan menjadi kebanggaan keluarga. Aamiin ya Mujiibassailiin.
Matur nuwun nggih Bu Tien, anggen panjenengan ngrujit-ujit manah para sutresna cerbung EsPe..... Mugi panjenengan tansah pinaringan kasarasan, kawilujengan sehat lahir batos, lan tetep berkarya...... Aamiiinnnn
Delete๐๐๐๐๐๐๐๐
ReplyDeleteAlhamdulillah eSPe 61
sudah tayang...
Matur nuwun Bu Tien.
Semoga sehat selalu &
smangats berkarya...
๐ฆ Salam Aduhai ๐ฆ
๐๐๐๐๐๐๐๐
Suwun Bu Tien Damian methungul maneh
ReplyDeleteSuwun cak mian salam u/Bu Tien yoooo
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH PESAN~61 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.. Aamiin yra..๐คฒ
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulilah....suwun bunda Tien
ReplyDeleteYeesss tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah... makasih Bunda
ReplyDeleteWaduuuuh bu rachman semaput ????
ReplyDeleteAhiiiirnya bu rahman berani minta maaf ke damian dg penuh rasa malu .... gak kebayang wajahnya bu rahman merah biru pucat ..bu Tien bisaaa aja mengaduk aduk emosi pembaca
DeleteMtrswn
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteDi alinea ini rupanya mboke Raya, dadanya kaya ditusuk sejuta jarum.......
ReplyDelete“Mengapa kamu begitu memperhatikan aku? Tidakkah kamu tahu bahwa aku sangat membenci kamu?” akhirnya bu Rahman mengeluarkan kata-kata yang lebih panjang, tapi masih jauh dari kata ramah.
“Saya tidak merasa begitu.”
“Tapi aku tidak suka sama kamu.”
“Ibu hanya tidak suka pada kemiskinan saya, dan sangat menghawatirkan kehidupan Raya apa bila hidup bersama saya. Menurut saya itu hal yang wajar. Setiap ibu akan melakukan hal yang sama. Saya tidak tersinggung, apa lagi marah.”
Bu Rahman menatap wajah Damian.
(Rasain loe..... memang enak? si SKAK MAD)
Kok kliwatan terus yaa nunggu Damian
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur nuwun, selalu sehat wal'afiat dan bahagia bunda Tien . .
ReplyDeleteTernyata itu kah SEBUAH PESAN, bahwa untuk menuju suatu titik, ada proses yang harus kita lalui...
ReplyDeleteJg merupakan suatu perjuangan untk mencapainya..
Matur nuwun bunda Tien..๐๐
Salam sehat dari kota malang,yg lgi dingin sekali...๐ฅฐ๐ฅฐ
Berapa derajat jeng Mia suhu Malang dini hari dan siang hari? Bandung dini hari antara 16 - 19 derajat, jika siang panas antara 30 - 31 derajat celcius
DeleteKecewa aku.padahal wis tak siapkan rawe looo biar gatelen semua garuk garuk gak berhenti gak sempat nyinyir mulutnya
ReplyDeleteAda orang kok seperti itu ya mulutnya apa dulu waktu hamil nya nyidam kroto yaa
Terima kasih eSPe 61, telah hadir.
ReplyDeleteGugur sudah segala kekhawatiran bu Rahman, walaupun masih menyisakan sedikit pertanyaan dalam hatinya.
"Dapat uang darimana Damian ?"
Oh iya bu Rahman lupa bahwa baru² ini Damian dan Raya baru saja ke Amerika.
Melihat kenyataan itu, pastinya Damian bukan jenis manusia kaleng².
Cuma yang diherankan, mengapa selama ini rela bapaknya dan Damian hanya menjadi tukang kebunnya ?
Sejuta pertanyaan memenuhi kepala bu Rahman.
Mengapa selama ini tidak nampak kalau ternyata Damian dari keluarga berharta.
Mengapa ?
Mengapa ?
dan mengapa ?
Akankah Damian akan membeberkan segala apa yang disimpannya sampai detik ini ? Dan siapakah sejatinya dia ?
Akankah bu Rahman menerima kenyataan itu dengan penuh kemasgulan dalam hatinya dan diterimanya dengan penuh rasa syukur ?
Dan sadarkah dia bahwa harta itu sesungguhnya hanya pakaian saja, hari ini bisa dikenakan, lain hari ternyata dilepaskan baik dengan sadar atau dipaksa oleh pihak lain.
Menjawab itu semua, mari kita nantikan episode selanjutnya.
Salam sehat
Salam Aduhai
Salam Merdeka
Teriring do'a semoga mbak Tien dan mas Widayat, senantiasa sehat ....sampai jumpa di Jumpa Fans di Jogya 2024. ....!
Manusang, mas Hadi
DeleteKetemu sesama "BUS KOTA" tidak boleh saling mendahului.... Eh salah..... selama penulis saling mengisi, hehehehe
DeleteAku bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apanya....
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ๐น๐น๐น๐น๐น
Alhamdulilah sudah tayang SP 61
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien cerbungnya
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Hallo mbak Iin, bu Rahman menangis nihh.. gak usah dibuatkan sambal lagi.. kacian deh..
ReplyDeleteKeluarga Rahman sudah kompak, tidak ada masalah lagi.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah bu Tien Terima kasih.
ReplyDeletePenasaran saat bu Rahman kepo darimana Damian punya banyak uang, baru mau bertanya Damian telponnya berdering... Ternyata masih tertunda keingintahuan bu Rahman. Tetap ditunggu kelanjutannya, dalam sehat selalu bu Tien.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMaturnuwun buTien, salam kejora.
ReplyDeleteAlhamdulilah, epsd 61 sampun tayang matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang salam kangen dan salam aduhaai dari Cibubur
ReplyDeleteKenapa harus Damian ....
ReplyDeleteDia yang membuat aku jadi jahat ...
Dia yang membuat aku dihujat di wag PCTK.....
Tapi kamu selalu baik dan tak pernah membenciku ...
Ah Damian ...hatimu terbuat dari apa sih ....
Kapokmu kapan mbok Rahman ...
Semakin kamu benci sama Damian ...
Semakin dadamu sesak dan sakit ....
Rasain luuuuuuuu
Alhamdulilah...
ReplyDeleteBu Rahman sdh menyadari kesalahan dan kekeliruannya..
Kebaikan Damian kpd nya, tutur katanya yg santun, perhatiannya yg besar kpdnya tanpa membalas kejahatannya, mampu meluluhkan hati bu Rahman yg super judes dan membenci Damian..
Penyesalan bu Rahman, semoga menjadi obat mujarab utk penyakit hatinya..
Tks banyak bu Tien sdh menyampaikan pesan moral yg baik terutama utk emak" pembaca yg seumuran dg bu Rahman spt aku he he.. Umumnya utk emak" yg akan atau sdh punya menantu sbg pasangan hidup anak"nya sebaiknya bs lbh menjaga hati bila calonnya tdk setara tingkat sosialnya.
Semua scenario Tuhan ternyata lbh indah pd waktunya..
Horeee .. sambel cowek mba Laksmi ditunggu kirimannya di rumah bu Rahman tuh.. Buat mkn siang aja ktnya.. ๐ฅฐ๐ฅฐ๐ฅฐ
Mb Tien .....
ReplyDeleteLama" uang Damian habis dooooong ....
Tabungan Damian msh cukup mbak Laksmi.. Don't worry
DeleteApalagi mertuanya mau angkat Damian jd CEO di perusahaannya .. ๐๐๐
Ayo mbak kita bisikin bu Tien.. hi..hihii..
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete๐๐
Alhamdulillah, terimakasih bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteluar biasa... terima kasih...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
sehat wal'afiat selalu ๐ค๐ฅฐ
Aduhaaii sekali ,,, takluk sdh bu Rahman dg Damian ,yg begitu sabar n ikhlas men jalani hidup ,,
Tinggal nunggu bgm kelanjutan perusahaan & kuliah Damian
Salam Aduhaaii bu Tinku ๐ฅฐ
Alhamdullilah..terima ksih bunda..slm Seroja dan aduhai unk bundaqu๐๐๐น❣️
ReplyDeleteSepertinya besok episode pamungkas deh buat cerbung EsPe..
ReplyDeleteSemoga di dunia nyata banyak orang yang punya karakter seperti Damian...
Tapi sepertinya malah lebih banyak yg karakter nya kayak Bu Rahman.. hehehe
Sehat selalu Bu Tien, salam aduhai dari Bandung Turangga.
Masak sih jeng Komariah besuk 'cuthel'?
DeleteBelum lah, masih beberapa episode lagi.
Turangganya dimana jeng, aku di Antapani.
Gabung yuk ke WAG PCTK, hubungi jeng Nani 0821 1667 7789 atau Kakek Habi 0851 0177 6038. Ditunggu
Eh ada kakek Habi, deket dong ke Antapani mah, saya di jalan Capricorn 37 .. InsyaAllah nanti saya ikut gabung di WAG PCTK. Terima kasih undangannya kakek Habi. ๐๐๐๐
Deletealhamdulillah
ReplyDeleteTrima kasih Ibu Tien episode yg ke 61 sdh diudara.
ReplyDeleteCinta membuat indah segalanya. Berbahagialah Ibu Rahman yg Masih dpt merasakan cinta. Damian yg hidupnya dipenuhi dg cinta, dia rela membagikan cinta nya until semua orang.
Alangkah lebih indah di dunia kalau lebih banyak orang dpt Damian.
Salam hangat dari jauh dan Sampai ketemu lagi besok malam.
Setuju mba Rossie..
DeleteDamian .. Emg top markotop ya.. ๐๐
Aku sependapat dengan jeng Hermina Sukabumi....
DeleteDamian memang oye, ganteng, santun, romantis, kaya lagi....
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien SP 61 tayang awal
Alhamdulillah SP-61 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Maturnuwun SP 61 sudah tayang, sehat selalu bu Tien.๐
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMksh bunda Tien yg telah mengaduk aduk hati pembaca
Ternyata gak tega juga sama mbok Rahman yg tadinya begitu bencinya sama menantu yg begitu lembut dan santun
Tak ada sedikitpun baiknya menurut mbok Rahman
Dengan piawainya jari–jemari menyentuh laptopnya sehingga para pembaca jadi gemas, kesal, pada ber andai2 meramal bagaimana mbok Rahman pada akhirnya apakah menjadi sadar atau tetap pada pendiriannya yang selalu dengki sama Damian
Ber kali2 udah kena batunya, rupanya baru sekarang semoga sadar beneran
Untung pak Rahman adalah suami yg sabar dan sangat bijaksana terhadap siapapun
Wow tetap ADUHAI
Sehat selalu doaku bunda, tetap penasaran untuk kelanjutannya
Sambel udah gak nguleg lagi pak Latief
Monggo kalau mau dahar yang pedes lalap aja njih
Hehehe
Sambelnya kirim ke Bandung jeng Iin, ini ada lalapan daun tespong, leunca, terong, bonteng, randamidang, romen, slada bokor, tomat, dll
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteTrims Bu Tien semoga Ibu dan keluarga bahagia selalu
ReplyDeleteLuar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Salam hangat dan selalu sehat... Mtsw
ReplyDeleteHamdallah Sebuah Pesan ke 61 telah tayang. Matur Nuwun nggih Bu Tien. Semoga Ibu beserta Keluarga selalu Sehat wal Afiat dan Bahagia Selalu
ReplyDeleteAamiin 3 X YRA
Salut untuk Damian...pelan tapi pasti akhirnya bisa melunakkan sikap Ibu Mertua nya. Akhirnya Penyakit jiwa yang bersemayam di tubuh Bu Rahman seperti dengki, keras hati dan arogan... bisa di kalahkan oleh sikap rendah hati, lembut hati, bijaksana dan penuh kesabaran. Bu Rahman sdh menyadari akan keliru dan salah nya.
Kemungkinan cerbung ini akan segera berakhir dan tentu nya hanya Bu Tien lah yng tahu kapan segera akan di akhiri๐๐
Salam Merdeka dan Aduhai dari Jakarta...๐ช๐ช๐ช๐ฎ๐ฉ๐ฎ๐ฉ๐ฎ๐ฉ๐น๐น
Pikir Damian; biarin aja mau kethus ngomong sama aku, siapa tahu bagian sifat keras hati dan ngomong kethus itu ada juga di istrinya Raya, etung etung belajar nyrateni biar nggak kaget, namanya turunan ya tinggal copy-paste cara mengatasi nya, yang penting hati tidak keruh, apalagi nyimpen kebencian, biar pikiran tetap positip, hati tetap bening menghadapi semua tanpa beban.
ReplyDeleteSelanjutnya terserah anda, andanรฉ sapa.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang ke enam puluh satu sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Damian suami dan menantu idaman banget Terimakasih Bu Tien Semoga sehat selalu
ReplyDeleteAduhai senangnya SP 61 yang mengharukan, dan membuat hati lega. Pingin liat bu Rahman tersenyum bahagia saat bersama cucu Raya. Terimakasih Mbak Tien. Semoga selalu sehat, salam dari Purwokerto.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTetap sehat njih Bu Tien, matur nuwuuuun.....
ReplyDeleteAyo para blogger ibunda Tien Kumalasari, yang ingin jumpa dengan beliau serta merasakan kehangatan dan keceriaan dengan grup para pembaca dan pecinta cerbung Idola kita ibu Tien Kumalasari dari segenap penjuru nusantara dan manca negara.
ReplyDeletePersiapkan untuk hadir di acara Jumpa Fans ke 5 - Jogyakarta 2024.
Masih terasa cerianya JF - 4 Jakarta 2023.
Bagi yang berminat, silahkan menghubungi Kakek Habi atau ibu Nani Siba.
Alhamdulillah. Salam sehat dan bahagia selalu Bu Tien dan keluarga
ReplyDeleteTerkadang untuk sampai ke sebuah titik, ada proses yang harus kita lalui.
ReplyDeleteBetul ibu.
Terima kasih bu Tien, banyak pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini.
Nampaknya judul ini yang paling seru ya...betapa piawainya bu Tien mengaduk2 hati dan pikiran pembaca, nampaknya hampir selesai nih, kan tokoh antagonisnya (bu Rahman) sudah hampir berubah baik...deg2an endingnya gimana ya? Posisi Damian makin moncer, ikut senang rasanya...semoga tidak ada aral melintang lagi. Terima kasih, ibu Tien sayang...salam sehat selalu.๐๐๐
ReplyDeleteHamdallah Sebuah Pesan ke 61 telah tayang. Mature Nuwun nggih Bu Tien. Semoga Ibu beserta Keluarga selalu Sehat wal Afiat dan Bahagia Selalu
ReplyDeleteAamiin 3 X YRA
Salam Merdeka dan Aduhai dari Jakarta..๐ช๐ช๐ช๐ฎ๐ฉ๐ฎ๐ฉ๐ฎ๐ฉ๐ฎ๐ฉ⛳๐๐๐น
Selalu untuk sampai ke sebuah titik, ada proses yang harus kita lalui... (kt hati pak Rahman kemarin)
ReplyDeleteBesok lagi yaaa..