Saturday, August 26, 2023

BUNGA TAMAN HATIKU 17

 BUNGA TAMAN HATIKU  17

(Tien Kumalasari)

 

Nijah gemetar, tuan muda itu masih memegangi pundaknya.

“Tu … tuan, maaf Tuan.”
Satria tersenyum, ia menarik tangan Nijah, tapi Nijah melepaskannya pelan.

“Kenapa minta maaf? Ayo masuk saja."

“Biar saya jalan sendiri,” katanya pelan.

Ia merasa aneh, tuan muda ganteng mengajaknya makan. Nijah sudah beberapa kali makan di rumah makan, tapi itu bersama Bowo. Tak ada rasa kikuk karena Bowo kan temannya. Sedangkan Satria adalah tuan muda majikannya. Mengapa harus mengajaknya makan bersama?

Satria mengambil tempat duduk agak ke samping, lalu meminta Nijah agar duduk di salah satu kursinya, setelah itu Satria duduk di depannya. Nijah merasa sangat sungkan. Seakan-akan ia ingin berpindah ke meja yang lain, tapi rumah makan itu hampir penuh.

“Kamu kenapa?”

“Kenapa saya duduk di sini? Saya kan hanya … pembantu.”

“Memangnya kenapa kalau kamu pembantu? Ayo kita makan, di sini tak ada tuan dan pembantu, kamu adalah teman aku.”

“Teman?” Nijah menatap tuan mudanya, mata mereka bertatapan. Nijah terkejut, ada pijar memercik pada tatapan itu, membuat degup jantungnya serasa terpacu kencang. Apa yang terjadi pada dirinya, Nijah tak mengerti. Ia seperti sedang duduk di atas mega, menatap ke bawah, dan tubuhnya terasa melayang-layang. Ingin tangannya menggapai sesuatu, tapi tak sesuatupun bisa terjangkau oleh tangannya.

“Nijah, kamu ini kenapa? Ayo kita pesan makanan. Kamu mau makan apa?”

“Tu … tuan, saya tidak makan saja, biar saya melayani tuan.”

Satria tertawa agak keras. Beberapa orang disekelilingnya menatap ke arah mereka.

“Tuan ….”

“Nijah, ini bukan di rumah sendiri, di mana kamu bisa melayani aku atau diri kamu sendiri. Ini rumah makan, orang bisa memesan apa saja, lalu pelayan rumah makan akan melayani kita.”

Ya, Nijah sih sudah tahu. Tapi yang di depannya adalah tuan muda majikan. Bagaimana Nijah harus bersikap?

“Ayolah Nijah. Nasi pecel, sama ceplok telur? Atau soto daging dan ….”

”Terserah tuan saja,” kata Nijah lirih. Ia asal menjawab, kalau dia membantah pasti tuan muda ganteng itu menyalahkannya lagi.

“Baiklah, nasi pecel, telur ceplok, rempeyek kacang? Minumnya … haaa … ada es beras kencur, kamu mau?”

“Terserah Tuan.”

Satria tidak menawarkan apapun lagi. Mereka harus sarapan, lalu mengajak Nijah pergi ke suatu tempat.

Nijah memang lapar, tapi dia makan sangat pelan dan benar-benar merasa sungkan. Apalagi tuan muda ganteng itu selalu menatapnya, dan membuatnya berdebar tak karuan.

“Nambah?”

“Tidak … tidak.”

“Baiklah, selesaikan makannya dulu.”

“Tuan … jangan memandangi saya terus …” kata Nijah lirih, sebelum memasukkan sesendok nasinya.

“Memangnya kenapa?”

“Saya … takut.”

Satria tertawa, kali ini tak begitu keras.

“Apa aku seperti hantu?”

“Lebih dari hantu.”

Tapi kali ini Satria tak bisa menahan tawanya lagi. Ia tertawa sangat keras, dan lagi-lagi semua orang menatap ke arahnya.

“Tuan, mereka memandangi kita ….”

“Biarkan saja. Kita kan pasangan serasi.”

“Apa?” Nijah hampir terlonjak karena kaget. Pasangan serasi, antara pembantu dan majikan? Ini terasa aneh.

“Nijah, mulai sekarang kita adalah teman, atau sahabat, atau bahkan lebih dari itu.”

“Apaa?”

Nijah tiba-tiba merasa pusing karena Satria bicara tidak karuan. Nijah lebih baik diam sekarang, dan membiarkan Satria bicara semaunya.

“Habiskan minumnya, enak, dingin tapi hangat di perut,” kata Satria setelah melihat Nijah selesai makan.

Nijah meneguk minumannya.

Setelah selesai sarapan itu, Satria membawa Nijah dengan mobilnya, entah ke mana. Nijah mengira mereka akan pulang, tapi tidak, membuat Nijah bertanya-tanya.

“Tuan, kita mau ke mana?”

“Nanti kamu akan tahu.”

“Kita harus segera pulang, saatnya saya membantu bibik.”

“Hari ini lupakan bibik. Saya akan membawamu ke tempat yang indah.”

Nijah teringat Bowo, temannya. Dia sering mengajaknya jalan ke mana saja. Tapi itu kan Bowo, temannya. Sedangkan yang mengajaknya pergi sekarang adalah tuan muda majikan. Apa sebenarnya maksud sang tuan ini?

Satria membawa Nijah ke suatu tempat, agak di pinggiran kota, di sebuah taman yang dikelilingi bunga. Beberapa pasangan tampak asyik berjalan-jalan mengitari tanaman bunga yang beraneka warna. Nijah melangkah ragu-ragu. Merasa tak pantas berjalan berdampingan dengan majikan. Tapi Satria menariknya.

Nijah memandangi alam sekeliling yang membuatnya takjub. Hanya bunga aneka warna yang dilihatnya, membuatnya melupakan kegelisahannya karena bepergian dengan tuan majikan.

Beberapa kali Nijah memetik bunga itu dengan wajah berseri. Satria menatapnya sambil tersenyum. Ia seperti melihat kupu-kupu terbang indah diantara bunga, begitu menawan. Satria sengaja menahan langkahnya, agar bisa menatap keindahan itu dengan perasaan yang mendayu-dayu. Ia merasa seperti remaja yang baru jatuh cinta.

Tiba-tiba Nijah terpekik kesakitan, lalu terlihat dia memegangi jarinya yang berdarah. Satria yang berjalan agak jauh di belakangnya segera berlari mendekat. Menatap Nijah dengan khawatir.

“Ada apa?”

Dilihatnya Nijah memijit jari tangannya yang mengeluarkan darah. Satria meraih jari tangan itu dan membungkuk untuk memasukkan jari itu kemulutnya. Tapi sebelum masuk ke mulut, Nijah menariknya.

“Jangan, Tuan. Ini tidak apa-apa, hanya terkena duri,” lalu Nijah memasukkan ke mulutnya sendiri, sampai darahnya berhenti. “

Satria menatapnya tak berkedip.

“Mawar itu indah, tapi berduri. Dia seperti gadis cantik, siapa ingin memilikinya harus hati-hati memetiknya, agar tidak tertusuk duri,” kata Satria pelan.

Nijah tak menjawab. Menatap jarinya yang terluka.

“Kamu suka tempat ini?” lanjut Satria.

“Sangat indah. Saya suka sekali bunga. Kalau saya banyak uang, saya akan memenuhi rumah saya dengan bunga,” kata Nijah sambil tersenyum. Luka jarinya tak lagi terasa. Ia terus memandang ke sekeliling, wajahnya berseri. Ia lupa pada ketakutannya, lupa pada siapa yang mengajaknya, lupa segalanyta karena keindahan yang menyapanya.

“Ayo duduk di bangku itu. Kamu masih tetap bisa memandangi bunga-bunga,” kata Satria sambil meraih tangan Nijah, tapi Nijah menepisnya pelan.

“Biar saya berjalan sendiri.”

Satria sering lupa bahwa Nijah belum menjadi siapa-siapanya, sehingga terkadang dengan ringan meraih tangannya seakan tanpa beban.

Mereka duduk berdampingan diatas batu. Mata Nijah terus menatap ke sekeliling.

Satria senang melihat Nijah tampak begitu gembira. Tapi kemudian Nijah sadar, bahwa dia sedang bersama majikannya.

“Maaf Tuan, saya terlalu gembira."

“Aku senang kamu gembira seperti itu. Jangan sungkan, aku sudah bilang, kita adalah teman, saudara, bahkan lebih dari itu.”

Nijah mengerutkan keningnya. Ia teringat, Satria pernah mengucapkan kalimat itu, saat sarapan tadi. Ia menatap Satria tak mengerti.

“Nijah, kamu jangan merasa bahwa aku adalah majikan kamu. Kita akan berteman.”

“Mengapa Tuan?”

Satria menghela napas, menata batinnya. Barangkali sekaranglah saatnya mengatakan pada Nijah, tentang perasaan hatinya.

“Nijah, apa kamu tahu, aku ingin memiliki kamu.”

“Apa?” Nijah tak mengerti.

“Aku menyukai kamu sejak pertama kali melihatmu.”

“Apa?”

“Aku ingin menjadikan kamu istri aku.”

“Apa?” dan kali ini lebih keras. Lalu tubuhnya gemetar, tangannya gemetar, dadanya bergemuruh tak beraturan.

“Aku bersungguh-sungguh.”

“Apa tt.. tuan sadar apa yang tuan katakan?” Nijah memberanikan diri berkata-kata. Ada rasa bercampur aduk di dalam hatinya. Ini berbeda dengan saat Bowo mengatakan padanya bahwa dia menyukai dirinya. Debarnya lebih kencang, lebih mengharu biru dan membuat keringat dingin menjalari telapak tangannya.

“Aku sadar, aku mengerti. Aku memang berniat mengambil kamu sebagai istri. Itulah yang aku maksud bahwa kamu harus menganggap aku sebagai teman, sebagai saudara, sahabat, bahkan lebih dari itu, aku ingin kamu menjadi istriku."

“Bukankah tuan … su .. sudah punya istri?”

“Apakah salah kalau aku punya istri lagi?”

“Yang salah adalah … bahwa Tuan tidak punya perasaan, dengan menyakiti hati istri tuan sendiri.”

“Ristia sudah tahu bahwa aku ingin menikah lagi. Ada alasan utama yang membuat aku ingin melakukannya. Ristia tak akan bisa hamil. Dia mandul.”

Nijah terpana.

“Mengapa saya …” suaranya masih bergetar.

“Hanya kamu yang aku pilih.”

“Saya hanya gadis miskin, Tuan. Saya juga hanya pembantu. Saya tak akan pernah bermimpi untuk menggapai langit, karena tangan saya tak akan sampai.”

“Aku akan membawamu terbang ke langit, agar kamu bisa menggapainya.”

Nijah merasa sedang bermimpi. Anak seorang konglomerat melamarnya? Ketika Bowo mengatakan ingin menjemputnya dan mengajaknya pergi, dia mengesampingkannya. Dia menganggap Bowo terlalu sembrono, karena tidak mengingat siapa dirinya. Sekarng Satria, sang tuan majikan ganteng nyata-nyata ingin mengambilnya sebagai istri?

“Nijah, apakah kamu menolak aku?”

Nijah diam. Tak ada yang ingin diucapkannya. Ini terlalu mengejutkan, terlalu membuatnya tak percaya.

“Nijah.”

“Tuan, mari kita pulang.”

“Kita sedang bicara, Nijah.”

“Saya tidak mungkin bisa mendampingi tuan.”

“Tolong mengertilah. Aku ingin kamu melahirkan anak-anakku, membuat semarak hidupku,” kata Satria lagi-lagi sambil meraih tangan Nijah, dan lagi-lagi pula, Nijah menyingkirkan tangan itu.

“Mari kita pulang.”

Satria merasa kasihan melihat Nijah dengan wajah yang berubah pucat. Ia mengerti, Nijah sangat terkejut. Lalu Satria sadar, barangkali butuh waktu bagi Nijah untuk memikirkannya.

“Baiklah, ayo kita pulang.”

***

Siang hari itu bu Sardono hanya makan berdua dengan sang suami. Bibik melayaninya, menunggui mereka dengan duduk di kursi seperti biasanya Nijah duduk menunggu perintah majikan yang sedang makan.

“Satria ke mana ya, kira-kira,” kata pak Sardono.

“Sudah lewat jam makan siang, barangkali ke tempat jauh.”

“Memangnya Tuan Satria mau pergi ke mana, Nyonya?” tak tahan bertanya-tanya dalam hati, bibik memberanikan diri bertanya.

“Kamu belum tahu ya Bik. Tidak apa-apa aku beri tahu kamu, karena toh akhirnya kamu pasti juga harus menhgetahuinya.”

“Iya, katakan saja, bibik kan juga harus tahu,” sambung pak Sardono.

“Sebenarnya Satria itu suka sama Nijah,” kata bu Sardono, membuat bibik terkejut. Ia tahu, tuan muda ganteng itu selalu mengganggu Nijah, tapi suka sama Nijah? Tak pernah dibayangkannya.

“Kok kamu melongo sih Bik, itu benar. Dan kalau Nijah mau, dia akan menjadi istri mudanya Satria.”

“Tapi Nyonya, bagaimana dengan … dengan … non Ristia?”

“Satria sudah bicara sama Ristia. Tampaknya Ristia bisa menerima, karena dia kan punya kekurangan, tidak bisa hamil.”

“Iya, Nyonya. Tapi, maafkan saya Nyonya, apakah Nyonya bisa menerimanya? Nijah kan hanya orang biasa, seorang pembantu, tidak berpendidikan tinggi, sedangkan tuan Satria adalah putra Tuan dan Nyonya.”

“Kami tidak mempermasalahkannya Bik, yang penting anakku bahagia, dan yeng lebih penting lagi ialah, dia gadis baik yang bisa mengabdi kepada rumah tangganya. Aku kira Nijah memenuhi semua itu.”

“Oh, Tuan dan Nyonya sungguh mulia,” puji bibik.

“Apakah kamu senang mendengarnya?”

“Nyonya, sungguh saya senang, kalau hal itu bisa terjadi. Tapi apakah semudah itu Nijah mau menerimanya?”

“Itu benar. Kita tunggu saja kabarnya. Satria sedang mengajak Nijah untuk diajaknya bicara.”

“Semoga semuanya baik-baik saja.”

“Iya, itu harapan kita semua.”

***

Sementara itu didalam perjalanan pulang, Nijah tak berbicara apapun. Ia merasa masih seperti bermimpi, mendengar tuan muda ganteng yang terkadang menyebalkan itu tiba-tiba melamarnya. Apakah dunia sudah terbalik, seorang tuan muda melamar pembantunya? Ia ingin segera sampai di rumah lalu menghambur ke pelukan bibik, menuturkan semua mimpi-mimpi itu. Atau berbicara dengan Bowo tentang apa yang dialami seharian ini. Bagaimana ya, sikap Bowo nanti kalau mendengar bahwa tuan Satria melamarnya? Padahal hanya melihat sekilas ketika dirinya mau pulang dari bank saja, Bowo sudah mencurigainya, dan nada bicaranya menunjukkan bahwa dia tak senang. Haruskah dia bercerita pada Bowo malam nanti? Aduuh. Nijah tiba-tiba merasa pusing. Tanpa sengaja dia memijit pelipisnya sendiri.

“Ada apa Jah? Pusing?” Satria yang memperhatikannya sedari tadi merasa khawatir. Oh ya, hari sudah siang dan sudah lewat saatnya makan siang.

“Tidak apa-apa Tuan.”

“Kita mampir makan dulu ya.”

“Kok makan lagi sih Tuan, tadi kan sudah?”

“NIjah, kita tadi tuh makan pagi, karena hari memang masih pagi. Sekarang sudah siang, saatnya makan siang.”

“Kita kan mau pulang, jadi bisa makan di rumah.”

“Rumah masih jauh Jah, nanti kamu pingsan kelaparan.”

Huh, pingsan? Nijah kan sudah biasa kelaparan? Tapi dia tidak menjawab apapun. Ia juga diam saja ketika mobil Satria berhenti di sebuah rumah makan.

“Ayo turun,” kata Satria sambil turun.

Nijah segera mengikutinya turun. Bukan karena kelaparan, tapi pengalaman pagi tadi, ketika turun dan hampir terjatuh sehingga dia ambruk di dekapan tuan muda ganteng itu, membuatnya ketakutan.

Ia juga segera mengikuti Satria tanpa harus ditarik tangannya.

Satria memilih duduk di tempat yang agak jauh dari pengunjung lainnya. Rumah makan sudah agak sepi karena saat makan siang sudah lewat.

“Mau makan apa?”

“Terserah Tuan saja.”

“Baiklah, makan mie saja, mau?”

“Terserah Tuan.”

“Nggak ah, nasi sama ayam goreng saja.”

Nijah mengangguk. Ia tahu, ayam goreng adalah lauk kesukaan tuan mudanya. Satria juga memesan es jeruk untuk mereka.

Nijah duduk diam. Tak berani menatap tuan mudanya.

“Nijah, aku minta kamu memikirkan apa yang tadi aku katakan. Aku bersungguh-sungguh. Bapak sama ibu sudah tahu dan menyetujuinya.”

Nijah terkejut. Tadi dia tidak memikirkan bagaimana perasaan Tuan dan Nyonya besar kalau mendengar keinginan anaknya, karena hatinya sibuk bergemuruh dengan perasaannya sendiri. Sekarang tanpa ditanya, Satria sudah mengatakan bahwa bapak dan ibunya setuju. Pantas saja tadi mereka tampak senyum-senyum saja ketika ia berpamitan. Nijah menghela napas.

Tapi tiba-tiba keduanya terkejut ketika seseorang memekik di dekat mereka.

“Mas Satria? Kamu makan bersama Nijah?”

Satria menoleh, tapi Nijah gemetar ketakutan, Ia mencengkeram bibir meja dengan erat.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

39 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang

    ReplyDelete
  2. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah
    Matur sembah nuwun mbak Tien
    Salam ADUHAI...& sehat selalu

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  5. Makasih, bu Tien idola. Salam aduhaii 💕

    ReplyDelete
  6. 🌹🌹🌼🌼🌼🌸🌸🌸🌹🌹
    Terima kasih Bu Tien, BeTeHa_17 sudah hadir di hari Sabtu malam Minggu. Makin seru cerItanya....... Semoga bu Tien din Jakarta bersama teman-2 SAA yang TEMU KANGEN selalu happy........


    “Teman?” Nijah menatap tuan mudanya, mata mereka bertatapan. Nijah terkejut, ada pijar memercik pada tatapan itu, membuat degup jantungnya serasa terpacu kencang. Apa yang terjadi pada dirinya, Nijah tak mengerti. Ia seperti sedang duduk di atas mega, menatap ke bawah, dan tubuhnya terasa melayang-layang. Ingin tangannya menggapai sesuatu, tapi tak sesuatupun bisa terjangkau oleh tangannya.

    “Nijah, kamu ini kenapa? Ayo kita pesan makanan. Kamu mau makan apa?”

    Detik-2 Satria, memulai aksinya....... Hayon Satria kamu BISA.
    🌹🌹🌼🌼🌼🌸🌸🌸🌹🌹

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun bu Tien, BTH 17 sdh tayang. Gemeeesh.....ga sabar nunggu hr senin. Semangaatt

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah... ..maturnuwun Bunda

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah..
    Tks banyak bunda Tien..
    Yg ditunggu sdh tayang...
    Semoga bunda tdk kecapean dlm rangkaian acara reuni di jkt..
    Tetap jaga kesehatan ya bunda..
    Salam sehat dan semoga berbahagia selalu.. 🙏🙏❤️

    ReplyDelete
  10. Tentu Nijah terkejut mendengar pengakuan Satria dan belum dapat berfikir dengan tenang. Menunggu saran dari bibik,
    menimbang nimbang hubungan dengan Bowo, langkah apa ya yang paling baik..
    Wah... ketemu Ristia di rumah makan ya, pasti lebih mengaduk aduk perasaan.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  11. Waduuuuiuh nijah mau jawab apa bingung, gemeter dan ketakutan dan tak terduga ristia muncul ...
    Jangan pingsan ya Nijah ...
    Mendingan dg bowo dah ...

    ReplyDelete
  12. 🌷🍀🌷🍀🌷🍀🌷🍀
    Alhamdulillah BTH 17
    telah tayang.
    Matur nuwun Bu Tien
    Sehat2 trs nggih Bu
    Salam Aduhai 🦋💐
    🌷🍀🌷🍀🌷🍀🌷🍀

    ReplyDelete
  13. iyaa.. klo yg dtg itu Ristia bgmn ya pak?
    Tambah penasaran aja nih..

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien.. semoga kita semua selalu sehat Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  15. Wah apa ketemu Ristia ya ketika Nijah sama Satria makan siang.???... Salam sehat bu Tien dan keluarga.🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  16. terima kasih Mbu Tien..... kerreeeen sekali.. bukah hnya Nijah yng tak karuan, yg baca juga bikin berdegup tdk karuan,.....
    sehat sllu bersama keluarga tercnta .....

    ReplyDelete
  17. Wow Nijah hati2 yah
    Ristia bentar lg udah mulai beraksi
    Ini lg pura2 baik deh ma Nijah
    Tp sptnya juga akan bnyk yg melindungi terutama bpk/ibu Sardono beliau adalah org yg sangat baik bijaksana dan berhati mulia
    Utk saat ini lepaskan Bowo dulu yg di hadapi baru Satria

    Penisirin bingitzs deh
    Mksh bunda Tien,ttp setia nunggu kelanjutannya meskipun terganjal Minggu
    Yg pntg ttp ADUHAI

    ReplyDelete
  18. Lagi seru2nya niih episode, sabar menunggu hari Senin.... lamaaaa. Sugeng ndalu bu.Tien, sehat2 selalu njih

    ReplyDelete
  19. Alhamdulilah, meskipun lagi di Jkt tetep eksis dgn cerbung BTH epsd 17 telah muncul, matur nuwun inggih mbakyu Tien Kumalasari sayang, wuah menunggu lanjutannya yg deg deg an nih alangkah terkejutnya Ristia bersaing dgn Nijah..Salam aduhaai dari Tanggamus, Lmpng

    ReplyDelete
  20. Nah lho padahal
    Ristia bersama temennya, namanya juga pengalaman jadi pintar pintarnya menyembunyikan temannya.
    Mulai nich ada sisik mêlik hati ngreruntik, rupanya ini calon madunya, ternyata pembantu sendiri.
    Apa nggak njomplang, art yang juga madunya.
    Rendah seleranya.
    Nanti biarlah beralasan ngajak keluar berdua saja, emang pakai perpeloncoan ya.
    Proyeknya harus berhasil, pura pura lembut dihadapan Satria; sadis kalau berdua.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Bunga taman hatiku yang ke tujuh belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  21. Kasihan Nijah, nggak tahu apa yg hrs diperbuat. Marilah kita tunggu episode selanjutnya.

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun bu Tien, BTH eps 17 sudah tayang. Hiburan / bacaan di malam minggu dan ceritanya makin bikin penasaran...

    ReplyDelete
  23. Bahaya nih.,
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  24. Hamdallah BTH 17 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Sehat wal Afiat dan selalu Semangat dalam berkarya. Aamiin. Inyonge mhn maaf nggeh Bu. Bu Tien Rawuh ke Jakarta, Inyonge tdk bisa sowan menemani, krn msh ada kesibukan.

    Nijah berdebar hatinya, berjalan berdua dengan Satria.

    Sekarang Nijah pusing 7 keliling :

    - mendengar pengakuan Satria yng suka padanya, krn dirinya hanya pembantu.
    - Terus bagaimana nnt klu Bowo tahu bahwa Satria suka padanya
    - Terus bagaimana nnt menghadapi Ristia, Isteri sah nya Satria. Ristia yng pura2 baik, tapi sbnarnya punya niat jahat pada Nijah.

    Gimana hayo solution nya. Nijah perlu di bantu nih..😁😁

    Penasaran kan.
    Kita tungguin Jawab nya di hari Senin. 😁😁

    Salam Hangat dan Aduhai dari Jatinegara - Jkt

    ReplyDelete
  25. Ristia datang...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  26. Ungkapan indah dari ibu Tien Kumalasari :

    *“Teman?” Nijah menatap tuan mudanya, mata mereka bertatapan.*

    *Nijah terkejut, ada pijar memercik pada tatapan itu, membuat degup jantungnya serasa terpacu kencang.*

    *Apa yang terjadi pada dirinya, Nijah tak mengerti.*

    *Ia seperti sedang duduk di atas mega, menatap ke bawah, dan tubuhnya terasa melayang-layang.*

    *Ingin tangannya menggapai sesuatu, tapi tak sesuatupun bisa terjangkau oleh tangannya.*

    ***

    Luar biasa, melukiskannya sangat detail......apakah peristiwa serupa tapi tak sama pernah hinggap dihati pembaca ........

    Betapa indahnya.....tak terlupakan sepanjang masa.

    Penisirin .....??
    Kita tunggu lanjutannya ....

    Salam sehat
    Salam Aduhai ....

    ReplyDelete
  27. Maturnuwun Bu Tien ceritanya... Semoga sehat selalu

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 25

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  25 (Tien Kumalasari)   Bu Wita terbelalak. Wanda yang masih  mendengar ucapan dokter itupun berteriak. “Bohon...