BUNGA TAMAN HATIKU 16
(Tien Kumalasari)
Satria merasa tidak senang, karena dia dibicarakan, dan Nijah mengatakan bahwa tak ada apa-apa diantara mereka. Pasti temannya yang bernama Bowo itu menanyakannya. Bukankah tadi siang dia mengajak pulang Nijah dan ada Bowo di dekat mereka? Pastilah tidak ada apa-apa diantara Nijah dan dirinya, soalnya Nijah belum mendengar bagaimana perasaannya.
Satria masih ingin menguping, tapi tiba-tiba terdengar orang menegurnya.
“Satria, apa yang kamu lakukan?” itu suara ibunya, membuat Satria tersipu.
“Ah, ibu. Itu … Satria mau mengambil minum, mendengar suara, sepertinya Nijah mengigau."
“Mengigau? Sepertinya dia belum lama masuk ke kamarnya, ibu minta dipijit sebentar, tadi.”
“Berarti bukan mengigau.”
Lalu Satria meneguk minuman yang gelasnya masih dipegangnya, kemudian berlalu.
Bu Sardono mendekati kamar Nijah.
“Nijah.”
Nijah terkejut. Ia segera mengakhiri pembicaraannya di telpon.
“Ya, Nyonya.”
Nijah menjawab sambil membuka pintunya.
“Nyonya membutuhkan sesuatu?”
“Tidak, kamu sudah tidur?”
“Belum Nyonya, baru mau tidur, tapi kalau Nyonya membutuhkan sesuatu ….”
“Tidak. Ya sudah, tidurlah,” kata bu Sardono kemudian berlalu.
Nijah melongok keluar, apakah ada yang mendengar ketika dia bertelpon? Mengapa nyonya majikannya mengira dia sudah tidur? Apakah suara ketika dirinya bertelpon terdengar? Tapi sang nyonya majikan tidak mengatakan apa-apa. Apa tuan muda mendengarnya? Tadi ada suaranya di luar pintu, hm … pasti dia menguping lagi. Nijah merebahkan tubuhnya di pembaringan dengan kesal. Mengapa ya, tuan muda ganteng itu suka sekali menguping? Padahal dia sudah berusaha bicara pelan. Tapi tidak juga, ketika Bowo menuduhnya dia kerasan karena ada majikan ganteng di rumah ini, Nijah agak berteriak tadi. Ah, entahlah, Nijah tak ingin memikirkannya. Toh dia merasa tidak berbuat salah. Membicarakan tuan muda? Memang dia adalah majikan, yang tak ada hubungan apa-apa sama dia kan? Dan betul juga ketika dia mengatakan bahwa tuan muda itu sudah beristri.
***
Ristia menggeliat lelah, ketika Satria masuk kembali ke kamarnya.
“Mas dari mana sih?”
“Minum.”
“Tadi mau mengatakan, siapa calon madu aku itu.”
“Kamu benar-benar ingin tahu?”
“Iya dong, aku ingin tahu. Bukankah nantinya kita akan hidup serumah?”
“Kalau kamu tidak keberatan, iya. Hidup serumah.”
“Maka dari itu, katakan dong, siapa dia? Jauhkah rumahnya dari sini? Atau ada di kota lain? Apa Mas sering menemuinya?” sederet pertanyaan dilontarkan Ristia, sambil memejamkan matanya. Sebenarnya dia ingin segera tidur, tapi keinginan untuk mengetahui siapa calon madunya, membuatnya bertahan menunggu Satria mengatakannya. Dari tadi Satria selalu bicara nanti … nanti … terus.
“Dia tidak jauh dari sini/”
“Oh ya? Apakah aku mengenalnya?”
“Tentu kamu mengenalnya.”
“Ya ampuun, aku mengenalnya? Siapa sih yang berhasil merebut suami aku itu?” katanya sambil menggeliat. Satria agak heran, tak tampak nada perlawanan dari Ristia, ketika berbicara tentang calon madunya. Calon yang masih menjadi teka teki baginya karena dia belum pernah berbicara dengan Nijah secara pribadi.
“Aku belum yakin dia mau menerima aku. Itu sebabnya aku belum mengatakan apapun sama kamu.”
“Maksudnya, Mas belum mendapat jawaban dari dia, apakah dia mau menjalaninya, atau tidak?”
Satria mengangguk.
“Suamiku begini tampan, siapa yang mampu menolaknya?” katanya sambil mengelus lembut pipi Satria.
Satria benar-benar heran, tak ada rasa sakit yang tampak di wajahnya. Atau Ristia menyembunyikannya dengan sangat rapi sehingga dia tak melihatnya?
“Kamu sudah tidak lagi marah? Ketika aku bilang untuk pertama kalinya, kamu sangat marah.”
Ristia masih mengelus pipi suaminya dan tersenyum manis.
“Ya Mas, awalnya aku sangat marah dan merasa sakit. Tapi aku kemudian menyadari, bahwa kamu punya keinginan tentang seorang anak, dan aku tidak bisa memberikannya. Jadi aku berusaha ikhlas menerimanya. Karena aku yakin, Mas akan tetap mencintai aku, ya kan?”
Satria tersenyum, mengelus kepala istrinya lembut.
“Terima kasih Ristia, atas pengertian kamu. Aku berjanji tak akan mengabaikan kamu.”
“Aku juga akan belajar menjadi istri baik seperti keinginan kamu.”
“Kamu membuat aku bahagia, Ristia.”
“Lalu siapa dong, calon istri kamu itu.”
“Besok saja aku mengatakannya. Kalau aku yakin bahwa dia akan menerima aku.”
“Ya sudah, kalau begitu ayo kita tidur, aku ngantuk dan lelah. Tapi Mas, besok pagi-pagi sekali, aku ada acara senam, boleh ya.”
“Biasanya nggak ngomong.”
“Soalnya besok hari Minggu. Untuk besok saja, selanjutnya aku akan lebih sering ada di rumah.”
“Baiklah.” Satria tak membantah, karena dia punya rencana akan mengajak Nijah jalan, untuk mengutarakan isi hatinya.
***
Pagi hari itu Satria duduk di ruang makan, sendirian. Nijah menyajikan kopi susu dan puding buah yang tampak segar. Pak Sardono dan istrinya sedang mengikuti jalan sehat bersama tetangga sekampungnya. Keluarga Sardono sangat dikenal sebagai tetangga yang baik. Walaupun kaya raya tapi tidak segan bergaul dengan semua kalangan. Itu sebabnya Satria duduk sendirian di ruang makan, sedang istrinya sudah berangkat pagi-pagi sekali.
“Ini apa?” tanya Satria ketika Nijah masih berdiri di dekatnya.
“Itu, puding buah, Tuan. Isinya macam-macam. Ada anggur, strowbery, kiwi, atau apa lagi, kemarin bibik yang membuat.”
“Ambilkan aku di mangkuk kecil saja.”
Nijah mengiriskan puding itu ke dalam sebuah mangkuk kecil
Satria sudah menghirup minumannya, kemudian menikmati pudingnya.
“Enak. Kamu tetap di situ, siapa tahu aku mau nambah.”
Nijah sedikit kesal. Terkadang tuan muda ganteng ini selalu rewel, dan apapun yang diinginkannya, selalu minta diladenin.
“Manja.” kata Nijah dalam hati.
Seperti mendengar suara hati Nijah, Satria tersenyum sambil menghabiskan pudingnya.
“Tambahin.”
Nijah mengambilkannya lagi.
“Aku manja ya?”
Nijah terkejut. Apa tadi dia kelepasan bicara? Padahal tadi ia merasa hanya membatin.
“Iya?” tanya Satria sambil menyendok lagi puding yang baru ditambahkannya.
“Apa, Tuan?”
“Aku manja ya?”
“Ti … tidak.”
Satria tersenyum. Ia senang sekali mengganggu Nijah, sehingga ketika Nijah mau beranjak kembali ke dapur, Satria mencegahnya lagi.
“Jangan pergi, aku belum selesai. Kecuali itu aku mau bicara sama kamu.”
Nijah mundur beberapa langkah ke belakang, lalu duduk di kursi kecil seperti biasanya. Tapi menunggui sarapan dengan duduk di kursi kecil itu tidak biasa, karena hanya menghidangkan minum dan cemilan saja. Hanya saja kali ini Satria tidak mengijinkannya pergi. Walau kesal, tapi Nijah mana berani membantahnya?”
“Nijah.”
Nijah mengangkat wajahnya.
“Kamu sudah mandi?”
“Belum Tuan, nanti setelah membersihkan dapur.”
“Habis ini mandilah. Aku mau mengajak kamu.”
“Apa?”
“Aku mau mengajak kamu keluar. Maksudnya aku ingin kamu ikut bersama aku.”
“Ke mana? Bersama bibik kan?”
“Tidak. Hanya kamu.”
“Kenapa … hanya saya? Bibik … ?”
“Bibik tidak. Dia harus memasak.”
“Saya juga harus membantu memasak.”
“Hei, jangan membantah. Aku ingin kamu mengantarkan aku ke suatu tempat.”
“Tempat apa?”
“Sudah, jangan membantah dan jangan banyak bertanya. Ini aku sudah selesai. Bawa ke belakang, lalu mandi. Aku juga mau mandi.”
Satria langsung saja masuk ke dalam, lalu naik ke ruang atas. Nijah termangu di tempatnya. Apa maksud tuan muda ganteng itu tadi? Minta agar dia mengantarnya? Ke mana? Kenapa tidak bersama bibik?
“Nijah,” tiba-tiba bibik melongok ke ruang makan, membuat Nijah terkejut.
“Ya Bik.”
“Kamu ngapain bengong di situ?”
Nijah mengambil gelas kosong, dan mangkuk bekas puding, lalu mengembalikan puding buah ke dalam kulkas.
“Ngapain bengong?”
“Itu tadi, tuan Satria.”
“Kenapa? Kamu kena marah?”
“Tidak, dia minta agar aku mengantarkannya pergi.”
“Ke mana?”
“Nggak tahu, katanya aku disuruh ngikut saja.”
“Ya sudah, yang menyuruh majikan, apa kamu mau membantah?”
“Bibik ikut yuk.”
“Kamu ini gimana. Yang diajak siapa, yang menyuruh aku ikut siapa. Ya enggak dong Jah. Kalau tuan menghendaki aku ikut, pasti aku sudah disuruhnya ikut. Lha kamu yang diajak, ya sudah. Barangkali ada hal penting yang ingin tuan muda tunjukkan sama kamu.”
“Hal penting apa?”
“Nggak tahu dong aku. Ya sudah, cuci bersih semuanya, lalu kamu mandi. Jam berapa tuan mau pergi?”
“Katanya sekarang.”
“Kok kamu seperti orang ketakutan begitu?”
“Saya memang takut Bik.”
Bibik tertawa.
“Tuan Satria bukan orang jahat, kenapa takut?”
“Iya sih.”
Ya sudah, selesaikan itu, lalu mandi sana, jangan sampai tuan menunggu kamu.”
Nijah menyelesaikan pekerjaannya mencuci perabotan, kemudian pergi mandi, dengan perasaan tak menentu.
***
Pak Sardono dan istri baru saja memasuki teras, melihat Satria sudah dandan rapi dan wangi. Ia heran karena istrinya sudah pergi sejak pagi sekali.
“Kamu mau menyusul istri kamu?”
“Tidak. Dia senam bersama teman-temannya.”
“Kamu mau ke mana?”
“Jalan sama Nijah.”
Pak Sardono duduk di hadapan Satria, bu Sardono mengikutinya.
“Kamu mau pergi sama Nijah?”
“Kamu sudah bicara sama Nijah, dan Nijah bersedia?”
“Satria baru akan mengatakannya. Itu sebabnya Satria mengajak Nijah pergi, supaya lebih enak Satria bicara.”
“Nijah mau, pergi sama kamu?”
“Mau dong Pak."
“Nijah belum siap?”
“Satria sedang menunggu.”
Bu Sardono beranjak ke belakang. Pintu kamar Nijah masih tertutup. Bu Sardono mengetuknya perlahan.
“Nijah.” bu Sardono memanggil, lalu mendorong pintunya yang memang tidak terkunci.
Rupanya Nijah sudah berdandan. Tak ada polesan di wajahnya kecuali bedak tipis agar wajahnya tak kelihatan pucat. Goresan pensil alis itu tak perlu, karena alis Nijah sudah bagus dan indah. Bibir tipis itu juga tak perlu dipoles lipstik, karena warnanya sudah manis kemerahan. Ia memakai kerudung senada dengan bajunya. Baju pemberian Bowo pastinya, karena ia tak punya baju bagus kecuali yang Bowo berikan sebelum pergi.
“Kamu sudah cantik,” seru bu Sardono,.
“Nyonya, memerlukan apa?”
“Tidak, aku hanya ingin melihat kamu. Satria sudah menunggu.”
“Oh.” Nijah heran, rupanya Nyonya sudah tahu bahwa tuan muda ganteng akan pergi bersamanya.
“Lain kali kamu harus beli alat kecantikan. Bibirmu, pipimu, biarpun sudah bagus, kalau dipoles sedikit, pasti kamu akan terlihat lebih cantik.”
Nijah tersenyum tersipu.
“Saya tidak biasa berdandan, Nyonya. Biarlah begini saja.”
“Nanti aku ajari kamu berdandan.”
Nijah merasa aneh. Dia hanya seorang pembantu, mengapa harus berdandan?
“Nanti kalau kebetulan belanja, aku belikan kamu alat kecantikan,” kata Bu Sardono yang mendahului keluar kamar. Nijah mengikutinya, lalu menutup pintu kamarnya. Ia menjenguk ke dapur untuk berpamit sama bibik.
“Bik, pergi dulu ya.”
“Ya, Jah. Wah, kamu cantik sekali.
“Cepat Jah, Satria sudah menunggu di depan,” kata bu Sardono lagi, membuat Nijah segera bergegas ke depan. Memang benar, dilihatnya Satria duduk di teras bersama tuan Sardono.
“Sudah siap?” tanya Satria sambil menatap Nijah tak berkedip.
“Sudah, Tuan, kata Nijah sambil menundukkan kepalanya.
“Bapak, Satria pergi dulu ya,” kata Satria berpamit pada ayahnya dan juga ibunya, yang sudah duduk pula di teras.
“Tuan, Nyonya, saya permisi dulu,” kata Nijah sambil merendahkan tubuhnya untuk menghormati majikannya.
“Ya, hati-hati ya Jah,” kata bu Sardono, sedangkan pak Sardono hanya mengangguk sambil tersenyum.
Mereka mengawasi kepergian keduanya, sampai mobilnya menghilang dibalik pagar.
Bu Sardono menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tanpa dipolespun Nijah sudah cantik. Pantas Satria suka.”
***
“Sebenarnya Tuan mau ke mana?”
“Ikut saja. Kok kamu kelihatan takut sih?”
“Tidak biasanya Tuan mengajak saya pergi.”
“Aku hanya ingin, agar kamu mengantarkan aku. Nanti aku akan membicarakan sesuatu.”
“Kalau mau bicara, kenapa tidak di rumah saja?”
“Beda, bicara di rumah sama di tempat lain.”
“Tempat lain itu dimana?”
“Tapi tadi aku belum sarapan. Kamu juga belum kan?” Satria tak menjawab pertanyaan Nijah, justru bicara tentang sarapan.
“Tidak apa-apa, habisnya kenapa Tuan berangkat pagi, belum saatnya sarapan. Bibik tadi juga baru menyiapkan, sendirian pula, biasanya kan saya membantu,” keluh Nijah.
“Dulu sebelum ada kamu, bibik juga melakukan semuanya sendirian.”
“Kan sudah terbiasa bersama saya.”
“Sudahlah, jangan memikirkan bibik. Pikirkan aku saja.”
“Mengapa saya harus memikirkan Tuan?”
“Aku lapar, jadi kita ke rumah makan dulu, sarapan.”
“Tuan ada-ada saja. Di rumah ada sarapan kenapa makan di luaran?”
Satria tak menjawab, dia menghentikan mobilnya di sebuah rumah makan yang memang buka di pagi hari.
“Ayo turun,” perintah Satria.
“Saya menunggu di sini saja.”
“Hei, apaan sih kamu, masa aku sarapan di sana, kamu menunggu di sini?”
Satria turun, lalu membuka pintu di sampingnya, lalu menarik Nijah turun. Nijah yang tidak siap, terhuyung-huyung, nyaris jatuh kalau Satria tidak segera menahan tubuhnya.
Nijah berdebar debar, ia merasa sangat dekat dengan tuannya, dan bahkan bisa mendengar degup jantungnya. Susah payah dia mengatur keseimbangan tubuhnya, lalu mendorong pelan tubuh Satria.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDelete𝘚𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘬𝘶𝘯𝘨 𝘓𝘢𝘵𝘪𝘦𝘧 𝘸𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢 𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘨𝘢𝘸𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘭𝘰𝘨𝘴𝘱𝘰𝘵 𝘣𝘶 𝘛𝘪𝘦𝘯
DeleteDuduk manis sebentar, trus arisan RT dan bentukan panitia Punya Kerja. Terimakasih mas Kakek atensinya.
DeleteYess
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Trmksh
ReplyDeleteMaturnuwun.baca BTH deg deg an.hebat Bunda bikin pinisirin
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien sugeng ndalu
ReplyDeleteAlhamdulilah cerbung bunga taman hatiku eps 16 sdh tayang, terima kasih bu Tien, Masyaa Allah bu Tien masih sempet menayangkan BTH.. smg bu tien sll sehat selamat berkumpul dg teman teman seperjuangan. salam hangat dan aduhai untuk bunda Tien .
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteWah sido diajak jalan² Nijah...Sugeng sehat bu Tien🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah... selalu gasik.
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTrimakasih Bu Tien... Salam sehat
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah BUNGA TAMAN HATIKU~16 sudah hadir, terima kasih bu Tien, semoga bu Tien tetap sehat dan tetap berkarya.
Aamiin yra..🤲
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteWah... yang kutunggu jawaban Nijah je, malah belum ditanya sudah 'besok lagi ya '...
ReplyDeleteMungkin Nijah belum dapat langsung menjawab, pasti ingat Bowo yang baik hati.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Selamat utk sang juara..
DeletePak latief jaga gawang teruss..👍👍
He he he... hadiahnya yang memberi cayangku...
DeleteMksh bunda Tien
ReplyDeleteKlrg Sardono mang bnr2 org yg berhati mulia
Tak membedakan kasta meskipun anaknya pilih Nijah
Sptnya yg gak terima justru Ristia tuh
Cuma Nijah yg mlh jd bingung
Trus siapakah yg nongol td
Yuuk kita tunggu kelanjutannya
Ttp penasaran deh, tp sabar deh menanti
Yg pntg ttp ADUHAI
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Yg ditunggu sdh tayang...
Semoga bunda sehat wal'afiat dan bahagia selalu..
Alhamdulillah... terima kash Mbu Tien.... Ikut berdebar nih seperti debarnya Nijah....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
🌹🌹🌼🌼🌼🌸🌸🌸🌹🌹
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, BeTeHa_16 sudah hadir di hari Jum'at malam Sabtu. Makin seru cerItanya.......
“Ya Mas, awalnya aku sangat marah dan merasa sakit. Tapi aku kemudian menyadari, bahwa kamu punya keinginan tentang seorang anak, dan aku tidak bisa memberikannya. Jadi aku berusaha ikhlas menerimanya. Karena aku yakin, Mas akan tetap mencintai aku, ya kan?”
Satria tersenyum, mengelus kepala istrinya lembut.
Ngrayu nich ye .....? Hati-2 Satria ada niat terselubung dari istrimu yang pura-pura mendukung niatmu......
🌹🌹🌼🌼🌼🌸🌸🌸🌹🌹
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteNijaah...kamu hrs tetap baik dan pinter yaa..
ReplyDeletejaga diri dan terus selalu berdo'a utk kebaikan hidupmu kelak..
Paling Ristia ke tempat Andri, belum ada kabar.
ReplyDeleteWaduh malah ketemu mereka berdua di rumah makan pagi soré.
Lho itu mobil Satria kok sarapan sama Nijah.
Batal lagi dèh, mau sedikit serius jadi dua rius.
Susah ya, polosan.
Satu meja de forum
Kan tahunya Ristia sudah berubah dan nggak ada aneh aneh, itulah keluguan, padahal mau di terkam; nanti gantian ikutan aku ya jah.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga taman hatiku yang ke enam belas sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete🌸🌿🌸🌿🌸🌿🌸🌿
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 16
telah tayang.
Matur nuwun Bu Tien
Sehat2 trs nggih Bu
Salam Aduhai 🦋💐
🌸🌿🌸🌿🌸🌿🌸🌿
Asyik terasa muda lagi....terima kasih mbak Tien Kumalasari semoga sehat² dlm berkarya
ReplyDeleteAsyiikkk....suit suit....mulai deh...Nijah ada rasa ke Satria.😀
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH-16 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat dari Yogya Bu.....
ReplyDeleteHamdallah BTH 16 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien. Semoga Ibu beserta Keluarga di Sala tetap Sehat wal Afiat dan bahagia selalu, Aamiin
ReplyDeleteKata Nijah....
Berdebar hatiku..kala ku berdua an dengan nya...😁😁
Salam Hangat dan Aduhai dari Jakarta
Terima kasih Bunda ..BTH nya
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteNijah, jangan mau yaa .. tunggu Bowo saja ... Hehehee trims, Mbak Tien salam Aduhai
ReplyDeleteMau ndak ya Nijah....mau ndak mau..??😅😅
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
Alhamdulillah...BTH 16 dah tayang...terima kasih Bu Tien smoga sehat2 selalu...
ReplyDeleteWaah gawat nih satriya, Nijah di uji kesetiaannya pada Bowo.
ReplyDeleteMakasih bu Tien, salam.sehat dari mBantul
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteTerima kasih... Bu Tien... sehat selalu ya?
ReplyDeletePenasaran baca crita ini, membuat hati gemes. Belajar juga mengenai ulah manusia yg ber macam2. Trima kasih Ibu Tien untuk semuanya itu.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan bahagia selalu
Makasih mba Tien.
ReplyDeletePenasaran...
Salam sehat selalu aduhai