Saturday, August 19, 2023

BUNGA TAMAN HATIKU 11

 BUNGA TAMAN HATIKU  11

(Tien Kumalasari)

 

Nijah sangat terkejut. Bukan karena tabrakan itu, tapi karena suara kasar dan ucapan bengis yang didengarnya. Nijah yang orang kampung dan tak  berpendidikan, sama sekali tidak memiliki ucapan sekasar itu. Nijah begitu santun karena ajaran sang almarhumah ibu,  yang memiliki tata krama atau sopan santun yang sangat tinggi. Sekarang, seorang Ristia, menantu keluarga terhormat, yang pastinya memiliki pendidikan tinggi, begitu ringan mengucapkan kata dan suara kasar seperti itu.

“Minggir! Mengapa malah bengong di depan pintu?”

“Mm … maaf … saya tidak … tidak sengaja.”

Tiba-tiba dari arah depan bu Sardono mendekat.

“Siapa berteriak dengan kata kasar tadi?” katanya menegur.

“Ma, pembantu baru ini berjalan seenaknya dan menabrak Ristia,” kata Ristia tanpa takut.

“Ma … mm ..maaf, Nyonya, saya tidak sengaja,” Nijah gemetaran karena mengira sang nyonya majikan akan lebih memarahinya.

“Ristia, bagaimana mungkin seorang berpendidikan bisa mengucapkan kata sekasar itu?” kata bu Sardono marah.

“Mama, pembantu ini hanya orang kampung, kalau tidak dimarahi dia bisa berbuat seenaknya.”

“Kamu yang bukan orang kampung saja bisa berbuat seenaknya, mengapa mengatai orang seperti itu?”

“Mengapa Mama justru menyalahkan Ristia?”

“Kamu tidak pantas berkata sekasar itu, walau dia hanya seorang pembantu. Dia juga manusia yang punya hati dan rasa.”

“Ristia heran mama membela dia,” kata Ristia yang kemudian melangkah ke ruang makan, mendekati suaminya yang duduk mematung, masih dengan mengutak atik ponselnya.

“Maaas,” suara Ristia manja terdengar oleh bu Sardono, dan tentunya juga Nijah.

Bu Sardono menarik lengan Nijah, diajaknya menuju ke ruang tengah.

“Nyonya, saya minta maaf,” kata Nijah lirih, masih ada rasa khawatir nyonya majikannya akan marah, walaupun tadi terdengar membelanya.

“Sudah, mengapa minta maaf terus menerus? Kamu kan tidak sengaja menabraknya?”

“Mana mungkin saya sengaja, Nyonya.”

“Baiklah. Sepertinya kamu sudah mandi?”

“Sudah Nyonya.”

“Kamu cantik dengan kerudung itu. Baru beberapa hari ini kamu berada di sini, tapi bibik memuji kamu yang bisa dengan baik mengerjakan semua tugas kamu.”

“Bibik mengajari saya, Nyonya.”

“Aku mau menyelonjorkan kaki, bisakah kamu memijit?”

“Saya bisa Nyonya, waktu ibu saya masih ada, saya sering memijitnya.”

“Baiklah.”

Bu Sardono menyelonjorkan kakinya di sofa panjang, kepalanya bertumpu pada ujung sofa beralaskan bantal yang tersedia.

Nijah mendekat, bersimpuh di samping sofa, lalu memijit kaki nyonya majikannya.

“Hm, enak sekali pijitan kamu. Dulu, bibik yang sering memijit, tapi semakin ke sini, aku kasihan pada bibik, dia sudah semakin tua.”

“Biar saya saja, Nyonya.”

“Aku hanya kadang-kadang saja minta pijit, kalau terlalu lelah, misalnya bepergian seharian, atau bahkan harus menginap kalau pergi di suatu tempat yang jauh.”

“Ya, Nyonya.”

“Umurmu berapa?”

“Hampir dua puluh tahun.”

“Kamu sudah cukup dewasa. Apa kamu sudah punya pacar?”

Nijah tertawa kecil.

“Nyonya ada-ada saja. Saya hanya orang kampung yang bodoh.”

“Tidak, siapa bilang kamu bodoh? Kamu itu pintar, cepat mengerti, baik, dan juga santun. Aku suka kamu bisa membantu di sini.”

“Terima kasih, Nyonya. Tapi Nyonya sangat berlebihan.”

“Tidak. Itu benar. Bibik juga mengatakan itu. Kamu tahu, mengapa aku meminta agar ayahmu membawamu kemari?”

Nijah teringat ucapan ayah tirinya, yang mengatakan kalau dialah yang mencarikan pekerjaan. Ternyata nyonya Sardono yang memintanya.

“Ayahmu terlalu sering meminjam uang dengan alasan harus mencukupi kebutuhan kamu. Sekarang kalau kamu sudah ada di sini, apakah ayahmu masih akan rajin meminjam uang karena kamu sudah tidak menjadi tanggungannya.”

“Saya bekerja sendiri, tidak minta dari bapak.”

“Kamu? Bekerja apa?”

“Membantu tetangga yang membutuhkan bantuan. Bersih-bersih, memasak, belanja, atau apa saja. Dari situ saya mendapatkan uang untuk makan,” akhirnya Nijah mengatakan semuanya, karena toh nyonya majikannya sudah tahu bagaimana perangai ayah tirinya.

“Jadi Biran tidak pernah memberi kamu uang?”

“Tidak, Nyonya.”

“Kebangetan dia itu. Jadi selama ini dia menjadikan kamu sebagai alat untuk mendapatkan uang.”

Nijah diam saja.

“Sekarang dia tidak akan bisa lagi memperalat kamu untuk mendapatkan uang. Terakhir kali, ketika dia mengantarkan kamu, dia bilang kamu punya hutang duaratus ribu di warung.”

“Tidak, Nyonya. Saya tidak pernah berhutang, Kalau saya tidak punya uang untuk makan, saya diam saja dan tidak makan.”

“Nijah, kasihan sekali kamu.”

Nijah tersenyum tipis. Menyedihkan menjadi orang yang selalu dikasihani. Tapi ia percaya, nyonya majikannya adalah seorang yang baik. Ia dengan tulus mengasihani dirinya. Tiba-tiba dia teringat Bowo, teman sekolah SD nya yang baik dan selalu memperhatikan  dia. Dia juga mengasihani dirinya. Pasti nanti malam dia akan menelpon lagi, karena kalau siang, dia takut mengganggu pekerjaannya. Nijah harus bicara pelan dan hati-hati, karena ternyata semalam, tuan mudanya yang aneh itu menguping pembicaraannya.

“Sudah, cukup Jah, kamu boleh ke belakang. Pastinya bibik membutuhkan kamu.”

“Baik, Nyonya.”

Nijah beranjak ke belakang, di ruang makan ia melihat Ristia duduk dengan wajah cemberut, Nijah terus melanjutkan langkahnya.

***

Satria masih asyik memainkan ponselnya, sementara Ristia duduk di dekatnya dengan wajah cemberut.

“Mas, berhenti sebentar kenapa sih. Mas marah, saya menegur pembantu baru itu, tadi?”

Satria mengangkat wajahnya.

“Kamu tadi bukan menegur, tapi memaki.”

“Mas, kenapa tiba-tiba mas menyalahkan aku, bukannya membela aku?”

“Sampai ibu ke belakang menegur kamu, berarti kamu keterlaluan.”

“Maaas. Sejak kapan Mas tidak lagi mau membela aku? Mas tidak perhatian seperti kemarin-kemarin?”

“Diam, Ristia, aku sedang membicarakan hal penting.”

“Soal pekerjaan?”

“Ya.”

“Mengapa dibicarakan di rumah? Bukankah di rumah adalah waktu untuk istri? Aku juga heran, kalau mas sangat sibuk, tapi sore sudah pulang. Lebih dulu minum-minum di sini, tanpa menunggu aku,” kesal Ristia.

“Ristia, kamu bisa diam tidak? Tunggu sampai aku selesai berbicara dengan stafku.”

“Ini di rumah, kenapa masih bicara soal pekerjaan?”

“Kamu tidak tahu apa-apa tentang pekerjaan. Sore ini mereka masih di kantor.”

“Kalau begitu mengapa mas sudah pulang duluan?”

“Kamu bisa diam tidak sih? Minum kopi kamu dan makan cemilan itu.”

“Cemilan apaan. Aku tidak suka. Cemilan kampungan,” kata Ristia sambil berdiri, kemudian melangkah ke depan, naik ke kamarnya. Ristia bahkan hanya meminum separuh dari segelas minuman yang dihidangkan untuknya.

Satria membiarkannya. Ia kembali asyik dengan ponselnya.

“Nijah!”

Nijah yang sedang mencuci sayuran terkejut, bergegas ke arah ruang makan.

“Ya, Tuan.” Nijah merasa lega, nyonya muda yang galak itu sudah tak ada di sana.

“Tolong buatkan aku kopi ya. Tanpa susu.”

“Baik, Tuan.”

Satria menatap wajah lugu yang sekarang berhijab. Rambut bergelung dan leher jenjang itu tak lagi bisa dipandangnya dengan takjub. Tapi Nijah tetap menarik untuk dipandang, dan Satria ingin sekali berlama-lama di sana.

***

Saat memasak, bibik ingin tahu ada apa sebenarnya tadi tuan muda seperti membicarakan banyak hal bersama Nijah.

“Tidak bicara apa-apa Bik.”

“Kamu tadi lama sekali berdiri di dekat tuan Satria.”

“Saya sedang dihukum, karena semalam membicarakan istrinya ketika bertelpon dengan teman saya,” kata Nijah berbisik.

“Tuan marah?”

“Tidak kelihatan marah sih, tapi sikapnya jadi aneh,” kata Nijah yang tidak bisa menguraikan arti ‘aneh’ yang diucapkannya.

“Non Ristia itu terkadang memang keterlaluan. Sering mengucapkan kata-kata kasar kalau tidak berkenan atas layanan kita. Tapi kamu tidak usah memasukkannya ke dalam hati. Nyonya sendiri tidak begitu suka sama menantunya itu. Pada suatu hari nyonya bilang bahwa ingin mencarikan istri lagi untuk tuan Satria,” kata bibik tak kalah berbisik.

“Apa?” sekarang Nijah berteriak. Bibik membungkam mulutnya sambil menoleh ke arah dalam, takut ada salah satu dari majikan mendengarnya.

“Kok kamu berteriak sih,” tegur bibik.

“Maaf, Bik. Kaget saya."

“Pasti kamu tidak percaya, tapi itu benar,” kata bibik lagi.

“Kasihan ….”

“Kasihan sama siapa? Biarkan saja.” kata bibik sengit.

“Kasihan sama siapa?” tiba-tiba bu Sardono muncul begitu saja di dapur, membuat bibik dan Nijah ketakutan. Bagaimana kalau nyonya majikan mendengarnya?”

“Oh, Nyonya, itu … sisa sayur lodeh mau saya buang,  Nijah bilang kasihan. Kan sudah tidak dimakan, jadi ….”

“Jangan dibuang, nanti malam sajikan lagi, aku masih mau.”

Nijah bernapas lega, demikian bibik, yang tiba-tiba menemukan ide sebuah jawaban yang cemerlang.

“Benarkah Nyonya?”

“Iya Bik, sajikan lagi saja, dan bandeng gorengnya juga, kalau masih ada.”

“Masih ada di kulkas, saya akan menggorengnya lagi.”

“Ya sudah, aku ke dapur ini tadi juga untuk mengatakan itu. Sayurnya enak sekali, tadi aku sampai nambah.”

“Benar, Nyonya. Nijah memang pintar sekali memasak. Tadi tuan Satria juga makan sampai nambah dua kali,” kata bibik yang mendengar saat Satria minta agar Nijah menambahkan lagi nasi ke piringnya.

“Bagus sekali Bik, kamu mendapatkan teman yang sama-sama pintar memasak,” kata bu Sardono sambil berlalu, sementara Nijah mencubit pelan lengan bibik.

“Bibik berlebihan deh.”

Bibik hanya tertawa pelan, kemudian menyiapkan lagi sayur lodeh yang diminta, untuk dipanasinya lagi, nanti.

***

Ristia pura-pura tidur, ketika mendengar suaminya masuk ke kamar. Biasanya, kalau sudah begitu, Satria akan merayunya, membelainya dengan manis, yang membuat hatinya berbunga-bunga, dan merasa bahwa dialah wanita paling beruntung di dunia ini. Dicintai oleh laki-laki ganteng, memiliki harta berlimpah, dan sangat mencintainya.

Tapi lama menunggu, tak ada sesuatupun yang bergerak didekatnya. Ristia membuka sedikit matanya untuk melihat apa yang dilakukan suaminya. Dan Ristia sangat kesal ketika melihat suaminya masih sibuk memainkan ponselnya.

Ristia tak tahan lagi. Ia bangkit, kemudian turun dan mendekati sang suami, langsung memeluknya erat. Satria gelagapan.

“Ristia, aku masih belum selesai.”

“Selesaikan nanti, setelah kita juga menghabiskan rasa kangen kita. Aku tuh kangen, tahu nggak sih, seharian tidak ketemu kamu,” katanya sambil tangannya merayapi wajah sang suami.

Satria mengibaskannya pelan.

“Ristia, ini pekerjaan penting.”

Barangkali memang Satria sedang benar-benar sibuk, atau memang ingin menghindari sang istri, sehingga ia agak kesal menerima ulah sang istri, yang biasanya selalu membuatnya luluh.

“Aku tidak peduli,” kata Ristia tak mau berhenti.

Dan bagaimanapun akhirnya Satria menyerah. Ia meletakkan ponselnya dan meladeni istrinya.

***

Malam itu Bowo menelpon Nijah seperti biasanya. Sudah hampir sebulan Nijah berada di keluarga Sardono, dan Nijah merasa nyaman karena semua bersikap sangat baik padanya, kecuali Ristia, yang bibik minta agar dia mengacuhkannya.

“Kamu benar-benar sudah kerasan?”

“Aku mulai terbiasa dengan keluarga ini,” kata Nijah yang bicara sangat pelan, atas pengalaman ada yang menguping, beberapa hari yang lalu.

“Syukurlah, kamu harus bertahan, apapun yang terjadi, sambil menunggu aku menyelesaikan kuliah aku. Paling lama satu setengah tahun aku akan selesai, doakan ya.”

“Iya, Bowo, aku pasti selalu berdoa untuk kamu.”

“Setelah itu aku segera mencari pekerjaan, lalu menjemput kamu.”

“Kamu selalu memikirkan itu.”

“Karena kamu adalah mimpiku. Kamu adalah bunga yang ada di dalam taman hatiku.”

Nijah tertawa lirih, tapi tak bisa menahan debar jantungnya. Bowo selalu saja masih berharap untuk bisa segera menjemputnya, tapi Nijah yang tahu diri tak pernah memimpikannya. Nijah hanya menganggapnya seperti sebuah gurauan ringan, dan tak ingin terbius oleh angan-angan yang baginya hanyalah sebuah mimpi yang tak mungkin bisa terlaksana, karena Nijah tahu, siapa dirinya.

“Kamu sepertinya tak begitu peduli apa yang aku katakan, Nijah. Apa kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku?” Bowo merasakannya.

“Bowo, aku menyayangi kamu. Kamu laki-laki terbaik bagiku, yang memiliki tempat tersendiri di hatiku.”

“Aku ingin kamu menjadi istriku."

“Biarlah waktu yang berbicara, Bowo. Pikirkan dulu kuliah kamu, akan aku doakan kamu supaya berhasil seperti keinginanmu.”

Bowo selalu merasa puas dengan jawaban Nijah. Bukan sebuah janji, tapi bahwa Nijah menempatkannya di dalam tempat tersendiri dihatinya, membuatnya bahagia.

***

Hari itu, saat Satria sedang duduk sendirian di teras sambil menunggu istrinya pulang, Pak Sardono mendekatinya, lalu duduk di depannya.

“Udara sangat panas, rupanya musim hujan sudah berlalu,” kata bu Sardono yang mengikuti di belakang suaminya, lalu duduk di dekatnya.

“Benar, musim hujan sudah lewat,” jawab Pak Sardono,

“Kamu menunggu istri kamu?” lanjut pak Sardono.

“Sambil menunggu, ingin udara segar saja,” jawab Satria.

“Kamu masih ingat apa yang bapak katakan kira-kira sebulan lalu?”

Satria menatap ayahnya. Ia tak mengerti apa yang dimaksudkan oleh sang ayah. Barangkali dia sudah melupakannnya.

“Kami tetap ingin agar kamu mencari istri lagi.”

Satria terkejut. Perintah itu masih berlanjut.

“Kamu harus punya keturunan, karena kamu satu-satunya putra keluarga Sardono.”

Kali ini Satria tak membantah, dan tak tampak gusar. Entah dari mana asalnya perasaan itu.

“Kalau kamu susah menemukannya, akan ibu bantu mencarikannya.”

Keadaan menjadi hening. Bibir Satria bergerak-gerak, ingin mengucapkan sestuatu yang ragu-ragu untuk dikatakannya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

39 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. ...dan Satria makin mendekati Nijah, .. makin menjauhi Ristia.
      Namun ada Bowo yang sangat menaruh harapan kpd Nijah.
      Bagaimana ini?
      Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

      Delete
  2. “Non Ristia itu terkadang memang keterlaluan. Sering mengucapkan kata-kata kasar kalau tidak berkenan atas layanan kita. Tapi kamu tidak usah memasukkannya ke dalam hati. Nyonya sendiri tidak begitu suka sama menantunya itu. Pada suatu hari nyonya bilang bahwa ingin mencarikan istri lagi untuk tuan Satria,” kata bibik tak kalah berbisik.

    Alhamdulillah sudah tayang.
    Terimaksih bu Tien, selamat malam, sehat terus dan terus sehat nggih...... terus berkarya... Salam ADUHAI>

    Akung Latief playune tetap buanter..... sisa-sisa lari maraton ya kung ????

    ReplyDelete
    Replies
    1. He he he...lari dari pekerjaan, sudah pensiun. Malah kena osteoarthritis. Cuma kebetulan pakai 'sepatu balap'.

      Delete
  3. Terima kasih bu tien bunga taman hatiku eps 11 sdh tayang, Nijaaah yg kuat dan yg sabar ya ... semakin cembokur Istri satria.

    Smg bu tien sekeluarga sll sehat salam hangat dan aduhai untuk bunda tien .

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bunda Tien, sehat selalu buat Bunda Tien sekeluarga...

    ReplyDelete
  5. 🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓
    Alhamdulillah BTH 11
    telah tayang.
    Matur nuwun Bu Tien
    Sehat2 trs nggih Bu
    Salam Aduhai 🦋💐
    🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓

    ReplyDelete
  6. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien butaha 12

    ReplyDelete
  9. Alhmdllh... terima kasih Mbu Tien... sehat sllu bersama keluarga trcnta..

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, Terimakasih bu Tien, semoga selalu sehat wal afiat

    ReplyDelete
  11. Woww..... Disuruh nikah lagi. Ada jalan menuju roma nih buat dapetin Nijah.
    Wkwkwk...

    Terimakasih episode 11 nya Bu Tien, semoga sehat selalu...

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Terima kasih bu tien atas tayangan bth 11
    Semoga bu tien sehat2 & senantiasa dlm lindungan Allah SWT

    ReplyDelete
  13. Yah
    Satria gimana seeh, tinggal bilang saja kok cuma umak umik nggak bersuara.
    Biar plong gitu bapaknya, sudah kepingin momong cucu.
    Lha pas sudah deket Ristia malah sampai mengigau panggil panggil Nijah, hayo gimana tuh.
    Kemropok tå, kemaren sudah bersuara sedikit kesel; itu memaki bukan menegur, tuh kan ada béda kan.
    Eh ini sampai mimpiin istri yang lembut melayani, selembut bumbu yang di blender.
    Tapi soré itu kenapa Ristia nggak pulang pulang, mudah mudahan nggak terjadi apa apa, cuma terlambat aja.
    Bingung walinya Nijah ya, kan punya kerabat dari ibunya.
    Kalau Biran paling minta tebusan; kaya pegadaian aja.
    Kalau biasanya gitu; duwit mlulu yang jadi itungan.
    Terus habis itu kepasar bagian belakang, studio klithikan berlama-lama.
    Kasihan Bowo, janjinya nggak dianggap serius sama Nijah, habis gimana; berharap banget nanti kalau nggak jadi malah tambah gendheng, gimana, mending santai aja.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Bunga taman hatiku yang ke sebelas sudah tayang
    Sehat sehat selalu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰

    Satria ,,, oh Satria bucin ni ye 🤣🤭

    ReplyDelete
  15. Terima kasih bu Tien .. Bunga Taman Hatiku 11 sdh hadir ... makin seru ... smg bu Tien & kelrg sll happy dan sehat ... Salam Aduhai .

    ReplyDelete
  16. Hamdallah BTH 11 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien semoga Ibu beserta Keluarga di Sala tetap Sehat wal Afiat dan bahagia selalu, Aamiin

    Satria mulai sadar dari pengaruh Isteri nya.

    Bowo sangat mengharapkan Nijah jadi Isteri nya.

    Nijah msh menjadi Bunga yang mewangi di rumah Pak Sardono.

    Satria di tagih Janji oleh Pak Sardono.

    Bikin penasaran nih...😁😁

    Salam Hangat dan Aduhai dari Jakarta. Salam Merdeka!!!

    ReplyDelete
  17. Akankah Nijah menikah
    dengan Satriya? Terima kasih Bu Tien

    ReplyDelete
  18. Satria gimana dulu kamu kok salah pilih. Sekarang harus memberi keputusan yg akan berdampak besar untuk mada depannya. Ibu Tien trima kasih untuk salamnya yg hangat dan aduhai. Selamat malam dan sampai jumpa Senin malam.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Semoga sehat bahagia selalu

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah BTH-11 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  21. Makasih mba Tien.
    Semakin asiik ceritanya

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat selalu....

    ReplyDelete
  23. Selamat pagii bunda..terima ksih..salam sehat selalu unk bunda🙏😘🌹

    ReplyDelete
  24. Wah, Ristia kalah karakter dengan Nijah yang hanya anak kampung nih...nampaknya pembaca akan dibikin gemas dengan tokoh ini ya...terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏😀

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete

SUJUDKU

SUJUDKU (Tien Kumalasari) Menunggu bedug bertalu,  saat kidung dari sorga berkumandang merdu,  kubasuh luka dan noda,  agar sujud dan sembah...