SEBUAH PESAN 16
(Tien Kumalasari)
Kamila menatap adiknya lekat-lekat. Nama Damian yang disebutnya membuatnya bertanya-tanya. Ada apa antara Raya dan Damian? Apakah benar dugaannya, bahwa ada hubungan khusus diantara keduanya?
“Raya, mengapa Damian?”
“Apa?” tiba-tiba Raya terkejut sendiri atas apa yang baru saja diucapkannya.
“Apakah semalam kamu bersama Damian?”
“Aku ….”
Raya Benar-benar tak bisa menjawabnya. Ia tak mungkin membohongi kakaknya lagi, jadi ia memutuskan untuk berterus terang.
“Ya.”
“Jadi benar, antara kamu dan Damian … ada … hubungan cinta?”
“Tidak, bukan begitu … tapi ….”
“Raya... kamu sudah dewasa, dan aku adalah kakak kamu. Ada baiknya kalau kamu berterus terang saja sama aku. Apakah Damian, laki=laki yang membuat kamu jatuh cinta?”
“Salahkah orang jatuh cinta?”
“Tidak … tapi … kamu dan Damian ….”
“Karena aku putri bungsu keluarga Rahman Utomo, dan Damian hanyalah seorang tukang kebun?”
“Jadi itu benar?”
“Tak ada yang bisa Raya lakukan, kecuali mengangguk, lemah.”
“Ya Tuhan, Raya … kamu cari perkara,” sesal Kamila.
“Apa Mbak tidak suka, aku mencintai dia?”
“Bukan aku, Jangan bicara tentang aku, tapi bicaralah tentang bapak sama ibu. Entah apa yang terjadi kalau mereka mendengar bahwa putrinya jatuh cinta kepada tukang kebun.”
“Dia tidak mencintai Raya,” bisik Raya lirih.
“Dia bilang begitu? Mungkin dia hanya takut.”
“Dia hanya tahu diri.”
“Tapi dalam hati dia juga cinta sama kamu kan?”
“Entahlah, dia bilang hanya sayang sama aku.”
“Apa bedanya cinta sama sayang?”
“Apa Mbak memarahi aku karena hal itu?”
“Entahlah, aku hanya takut terjadi huru hara akibat cinta tersembungi ini.”
“Tapi Damian akan pergi.”
“Pergi bukan halangan untuk memadu cinta,” kata Kamila yang kemudian keluar dari kamar Raya. Membiarkan Raya resah karena perasaannya sendiri.
***
Kamila mendekati Damian yang sedang mengumpulkan daun kering, yang kemudian dikumpulkannya ke dalam tong sampah.
“Damian ….”
Damian menghentikan pekerjaannya, menoleh heran ke aran Kamila, yang berjalan pelan mendekatinya.
“Ya Non?”
“Apa kamu memasukkan motor Raya ke bengkel?”
Damian tertegun. Apakah Raya mengatakannya kepada Kamila tentang kedatangan Raya ke rumahnya?
“Kamu tidak usah takut. Raya sudah mengatakan semuanya.
Damian mengangguk, khawatir akan mendapat marah.
“Baiklah, nanti siang kamu boleh mengambilnya. Bawa saja uang ini, kalau kurang kamu boleh menelpon aku.”
Damian menerima uang itu dengan berdebar, Apakah Raya mengatakan semuanya tentang diri mereka?
“Kamu mencintai Raya?” tiba-tiba Kamila berterus terang, tanpa merasa ragu untuk menembaknya langsung.
Damian terkejut. Wajahnya langsung memerah, bagai kepiting direbus. Lalu ia menundukkan wajahnya.
“Maaf Non,” katanya sambil merangkapkan tangan.
“Mengapa minta maaf, jatuh cinta itu bukan dosa, selama kita bisa menempatkannya di tempat yang semestinya.”
“Saya tidak berani, dan itu sebabnya saya memilih pergi, berhenti dari pekerjaan saya di sini,” kata Damian berterus terang.
“Baiklah, aku mengerti. Nanti ambillah sepeda motornya.”
“Baik,” jawab Damian sambil menatap punggung Kamila yang berjalan menjauhinya. Ada rasa khawatir di hati Damian. Kalau Kamila sudah tahu, apakah kedua majikannya juga sudah tahu? Ingin sekali rasanya, bulan segera berakhir sehingga dia bisa langsung kabur di tempat yang membuatnya panas dingin.
***
“Raya belum bangun? Apa dia sakit?” tanya pak Rahman saat makan pagi tanpa kehadiran Raya.
“Agak anget, tapi tidak panas. Nanti Mila suruh dia minum obat setelah sarapan. Bibik juga baru menyiapkan sarapan untuk dibawa ke kamarnya,” kata Mila.
“Kehujanan sampai basah kuyup semalam,” sambung bu Rahman.
“Kemana dia?”
“Ke … rumah temannya,” sahut Mila yang tak ingin mengatakan apapun tentang hubungan Raya dan Damian. Toh Damian akan pergi, sehingga tak akan ada huru hara yang ditimbulkannya.
“Sudah kamu tanya, sepeda motornya di bengkel mana? Nanti suruh sopir mengambilnya,” kata bu Rahman lagi.
“Sudah Mila suruh Damian. Biar nanti dia yang mengambilnya.”
“Dia tahu tempatnya di mana?”
“Raya sudah memberi tahu.”
Kemudian mereka makan sambil berdiam diri.
“Oh ya, apa sudah mendapatkan tukang kebun baru?”
“Aku sudah pesan sama tetangga. Katanya ada.”
“Syukurlah. Kalau bibik semua yang mengerjakan, kasihan dia. Halaman ini kan sangat luas, harus ada yang khusus menanganinya,” kata pak Rahman.
“Abi masih di sini?” tanya pak Rahman kemudian kepada Kamila.
“Masih. Minggu depan dia ke Jakarta lagi.”
“Harus kamu tekan dia supaya menepati janjinya. Setahun itu menurut bapak, sangat lama.”
“Nanti Mila bicara lagi,” jawab Kamila singkat.
Diam-diam Kamila membenarkan apa yang pernah dikatakan Raya. Mendapatkan suami sibuk, akan sering membuatnya kesepian. Tapi dia sangat mencintai Abi. Dia akan melakukan apa saja demi Abi, biarpun terkadang telinganya terasa risih mendengar ayahnya mencela tak henti-hentinya.
***
Sore itu Abi datang ke rumah, Kamila mempersilakannya duduk dengan wajah berseri-seri. Tapi baru saja Abi duduk, ponselnya berdering, dan Abi segera mengangkatnya.
“Ya, ada, di rumah teman. Ada apa? … Oh, masih minggu depan, yang di sini belum selesai urusannya. Apa? Kalau sakit ya bawa ke dokter saja, mana mungkin, aku tidak bisa. Tetap minggu depan. Ya, tentu, dua hari lagi. Jangan konyol, minggu depan ya minggu depan. Sudah.”
Abi menutup ponselnya dengan wajah muram.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, orang kantor.”
“Siapa yang sakit?”
“Orang kantor.”
“Dia minta mas segera datang?”
“Iya, manja amat.”
“Perempuan?”
“Oh … bukan … bukan … laki-laki, sekretaris aku laki-laki.”
“Laki-laki bisa manja ya.”
“Minta ditemani, karena ada tamu yang ingin bekerja sama. Sudah, aku tidak ingin suasana bersama kamu menjadi terganggu.”
Kamila tersenyum manis.
“Apa kita akan pergi keluar?”
“Tidak apa-apa. Tapi udara mendung. Kalau hujan bagaimana?” tanya Abi.
“Bukankah Mas membawa mobil?”
“Oke, baiklah, kamu sudah siap?”
“Aku ganti pakaian dulu sebentar,” kata Mila sambil masuk ke dalam rumah dengan langkah riang.
Setelah Kamila masuk, Abi mengambil ponselnya, menulis sesuatu. Tampaknya dia sedang mengirim pesan singkat, entah kepada siapa. Dia masih menulis ketika Kamila keluar dengan pakaian cantik, yang menambah kecantikan wajahnya, diikuti sang ibu. Abi buru-buru menutup ponselnya, kamudian menyimpannya kembali di saku bajunya,
“Mau pergi ke mana?” tanya bu Rahman ramah.
“Hanya jalan-jalan Bu.”
“Hati-hati, udara mendung. Ibu kira sebentar lagi pasti hujan.”
“Baik Bu.” tubuhnya bak peragawati, berharap Abi akan memujinya, tapi ternyata Abi hanya tersenyum menatapnya mesra.
“Apakah aku cantik?” kesal tidak mendengar pujian, Kamila memancingnya.
“Kamu kan selalu cantik,” jawabnya singkat sambil berdiri kemudian mencium tangan calon ibu mertuanya.
Lalu ia mendahului melangkah keluar dari teras, diikuti Kamila dengan perasaan sedikit kesal.
Bu Rahman hanya geleng-geleng kepala, kemudian masuk ke dalam rumah setelah bayangan mobil Abi tak kelihatan lagi.
Ketika melewati kamar Raya, dilihatnya bik Sarti baru keluar dari kamar Raya.`
“Masih belum mau ikut makan di ruang makan ya Bik?”
“Belum Nyonya, tampaknya masih lemes.”
“Apa badannya masih panas?”
“Tidak begitu panas, cuma anget, seperti kemarin. Tapi saya bilang, sebaiknya ke dokter, tampaknya tidak mau.”
“Dia itu susah sekali kalau diajak ke dokter. Tapi kita lihat saja sampai besok, kalau masih belum bisa bangun, meskipun tidak panas, aku akan memaksanya ke dokter.”
“Iya Nyonya, sebaiknya kalau masih sakit juga harus dipaksa.”
“Atau kalau enggak, biar nanti ayahnya memanggil dokter langganan saja.”
“Iya Nyonya, saya kebelakang dulu,” kata bik Sarti sambil beranjak ke belakang.
Bu Rahman masuk ke kamar Raya, mendapati anak bungsunya masih tidur dengan berselimut sampai ke dada.
“Kamu masih sakit?”
“Enggak Bu, hanya sedikit pusing. MBak Mila sudah memberikan obat.”
“Kalau sampai besok kamu belum sembuh juga, kami akan membawamu ke dokter. Atau kalau enggak, ayah kamu akan memanggil dokter langganan ke rumah.”
“Raya kan hanya masuk angin, kenapa harus membawa-bawa dokter?”
“Kamu tuh selalu bandel ya kalau disuruh ke dokter,” omel ibunya sambil memegang kening anaknya.
“Ini memang tidak panas, tapi anget. Dan itu berarti badan kurang sehat. Biar ibu ambil thermometer dulu.”
“Jangan Bum, nggak usah. Nanti setelah tidur juga pasti Raya akan sembuh.”
“Hmh, ya sudah, terserah kamu saja,” kata bu Rahman kesal, sambil meninggalkan kamar Raya.
Raya diam saja. Ia bukan sekedar sakit. Ia sedang merasa tertekan. Ada yang diinginkannya tapi tak yakin dia bisa mencapainya.
***
Damian sudah menemui Agus di bengkel, dan sudah membawa surat lamaran. Tapi kebisaannya tentang mesin masih memerlukan belajar banyak.
“Tidak apa-apa Dam, kita sudah berkawan lama, kamu akan menjadi pembantuku terlebih dulu, supaya bisa lebih banyak belajar. Aku yakin kamu bisa, karena kamu itu kan pintar. Dulu juga kamu sebenarnya ingin jadi insinyur mesin kan?”
“Hanya cita-cita. Boleh dong punya cita-cita. Tapi semuanya masih jauh dari jangkauan. Aku Ingin tekun bekerja terlebih dulu. Biaya kuliah tidak murah. Mana mungkin aku bisa.”
“Tak ada yang tak mungkin, kalau kita berusaha mencapainya. Semoga kamu berhasil. Teruslah menekuni pekerjaan ini, yang kebetulan punya teman aku.”
“Iya, aku siap menekuni pekerjaan aku, semoga tidak mengecewakan.”
“Ngomong-ngomong ketika aku ke rumah kamu itu, ada tamu cewek cantik, pacar kamu ya?”
“Oh itu … bukan.”
“Sepertinya wajah kamu berbinar ketika dia datang.”
Damian tertawa lirih.
“Kamu bisa saja. Itu putri bungsu dari majikan aku. Masa aku pacaran sama anak majikan sih?”
“Siapa tahu. Cinta itu bisa datang pada siapa saja. Pada bidadari dari Kahyangan juga boleh.”
Damian tertawa, kemudian berpamit dari sahabatnya. Ia siap memulai pekerjaan baru, dan berharap bisa melupakan mimpinya tentang bidadari anak bungsu majikannya.
***
Abi tidak suka jalan-jalan di keramaian, makanya ketika ingin makan, ia selalu memilih sebuah rumah makan yang ada di pinggiran kota.
Hanya jalan berdua, saling menatap, tak ada ucapan romantis, dan itu cukup bagi Kamila. Yang penting dia tahu bahwa Abi mencintainya, dan bersedia menikahinya walau dengan janji satu tahun lagi.
Mereka sudah selesai makan ketika tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
“Aduh, hujan. Mana mobil parkirnya agak jauh,” gerutu Abi.
“Memang sekarang lagi musim hujan. Lagian kita berangkat tadi memang sudah mendung kan?”
“Iya sih.”
“Ya sudah, ditunggu sebentar lagi saja, Atau kita bisa pinjam payung dari pemilik restoran,” kata Kamila yang segera berdiri mendekati parapelayan yang sedang menunggu pesanan pelanggan.
“Boleh pinjam payung?” tanya Kamila.
“Waduh, sebentar ya Mbak, masih dipakai tuh. Nanti kami akan ke sana setelah selesai. Biasanya sih, ada layanan payung di sini.”
Kamila kembali ke mejanya, dimana Abi masih duduk termangu.
“Tunggu sebentar, payungnya masih dipakai.”
“Harusnya ada layanan payung, kalau hujan-hujan begini,” gerutu Abi.
“Sabar sebentar Mas.”
Ketika pelayan membawa payung untuk memayungi keduanya, Abi yang tak sabar sudah berlari ke arah mobil, Kamila terpaksa mengikutinya.
Hujan memang tidak sederas tadi, tapi tetap saja curahan air dari langit masih mampu membasahi tubuh mereka.
Abi duduk dibelakang kemudi, Kamila di sampingnya.
“Aduh, basah nih.”
“Mas Abi sih, tidak mau menunggu payungnya datang. Kedinginan nih aku.”
“Kita mampir di toko baju, beli seperangkat baju yang kering.”
“Bagaimana kalau kita langsung pulang saja? Kenapa harus beli baju sih.”
“Kamu bilang kedinginan, nanti kalau masuk angin bagaimana? Aku juga kedinginan nih.”
Kamila tak bisa menolak ketika Abi menghentikan mobilnya di sebuah toko pakaian.
“Kamu di sini dulu, biar aku membeli semuanya.”
“Bagaimana Mas bisa memilih pakaian untuk aku?”
"Aku pasti bisa lah, nggak suka aku, kalau ada orang, apalagi laki-laki, yang menatap tubuhmu yang basah kuyup seperti itu,” kata Abi yang tetap saja turun sendirian.
Kamila tak bisa membantah. Ia duduk menunggu di mobil, menahan dingin yang menusuk dari baju basah yang dipakainya.
Abi sudah kembali dengan dua buah bungkusan besar, lalu melemparkannya begitu saja ke jok bagian belakang.
“Kita harus ganti pakaian,” kata Abi.
“Di mana?”
“Aku akan mencari hotel terdekat. Kita berada jauh dari rumah, tak mungkin menunggu sampai kita sampai di rumah.”
“Apa? Hotel?”
Kamila terkejut, dan Abi benar-benar menghentikan mobilnya di sebuah hotel.
“Kamu di sini dulu, biar aku memesan kamar,” kata Abi yang langsung turun dari mobil.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah....
DeleteMatur nuwun bu Tien.
Segeng dalu sugeng aso salira, mestinya masih capek.... Setelah 3 hari 2 malam mengikuti acara Jumpa Fans ke 4 di Jakarta.
Alhamdulillah SP 16 udah tayang
ReplyDeleteMksh bunda Tien sehat selalu doaku
Matur suwun
ReplyDeleteπΉππΉππΉππΉπ
ReplyDeleteAlhamdulillah eSPe 16
sudah tayang...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
π¦ Salam Aduhai π¦
πΉππΉππΉππΉπ
Alhamdulillah.. Dr td Ngintip akhirnya nongol juga... Mkaasih Ibu... Sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang
ReplyDeleteTrmksh
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien cantiik... sudah sampe Solo lagi, yaa.. sukses acara JF4 nya, yaa
ReplyDeletealhamdulillah maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah lanjutannya sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun..π
Salam sehat penuh semangat dari Rewwin...πΏ
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu...
Walah... mau ganti pakaian saja di hotel, bahaya ni...
ReplyDeleteDamian sudah pindah kerja, tapi hatinya pasti belum pindah.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah sp 16 sdh tayang ..terima kasih bun ....wah kok abi sikapnya mencurigakan ya... semoga saja aman ... met malam bu tien, salam hangat ..aduhai dan salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang SP 16.. trimakasih bu Tien
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien yg sll nyempatkan nyerat lanjutan cerbung nya.. sg dalu, sg istirahat bu
ReplyDeleteAlhamdulillah stlh bbrpa hari tdk tayang.. kangen dng Damian
ReplyDeleteAlhamdulillah....matur nuwun ibu
ReplyDeleteKena lho Mil, disamber buaya; itu orang pura pura prefek, tapi amburadul.
ReplyDeleteMaen sosor pada hal udah keduluan sekretaris nya; di samber.
Mr Rudet itu urusanΓ© bundet, pura pura sayang bikin melayang, lha mau nyrimpet gitu alasan takut sakit, udah mulai pengenalan hunian untuk bernyaman nyaman, jangan jangan ngaku ngaku kΓ₯yΓ₯, waduh, harapan tinggal harapan, orang tua dirumah harap harap cemas.
Nah lho ketahuan ganti pakaian bau toko lagi.
Ortu kan selalu waspada bener nggak ini orang, bawa anak orang; hari hampir malam mau hujan lagi.
Alasan hujan; pulang pagi.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang ke enam belas sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Alhamdulillah Maturnuwun Bunda .selamat malam & istirahat sesudah JF 4 Jakarta.
ReplyDeleteAlhamdulillaah yg d intip" dah tayang makasih bunda salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH PESAN~16 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..π€²
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...maaf tidak sempat berjumpa di Jkt. Semoga ibu sehat2 saja ya...ππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteWah jangan² yg telpon ini si WIL nich?
ReplyDeletedan Waduh bahaya klo ke Hotel...
alamak..π€±
Apa bisa seperti Damian dan Raya tdk terjadi sesuatu?
Kita tunggu episode berikutnya..
Matur nuwun bunda Tien..ππ
kita tunggu
Suwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien..
Semoga Lelah Panjenengan jadi Lillah AamiinπΉπΉπΉπΉπΉ
Hadehhh
ReplyDeleteDeg2 plassss
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat barakah, aamiin...
ReplyDeleteTerima kasih Sebuah Pesan 16 sudah tayang, Terima kasih bunda Tien, selamat beristirahat
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, salam sehat selalu.
ReplyDeleteMohon maaf, saya tdk bisa menemui mbak T'ien, waktu mbak datang jakarta.
Sayang sekali. Lain kali yaa
DeleteOrang kaya kalau mengganti baju saja pesan kamar hotel. Kalau kita cukup dalam mobil saja ya....
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Alhamdulillah ...Salam sehat selalu utk bu Tien & keluarga.
ReplyDeleteAlhamdulillah akhirnya yang ditunggu hadir. Terimakasih Mbak Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
Yang baru
ReplyDeleteTerima ksih SP nya bunda .slm sehat sll dan tetap aduhai unk bundaπππΉ
ReplyDeleteTerimakasih...mbak Tien.Apa yg akan terjadi dg Kamila....ya harus sabar menunggu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu