SEBUAH PESAN 13
(Tien Kumalasari)
Damian mendorong tubuh Sari yang melekat erat di tubuhnya, sedikit kesal, tapi khawatir apa yang sebenarnya terjadi.
“Jangan begini, Katakan ada apa?”
“Aku, sejak siang menunggui pak Timan di rumah sakit, Mas,” katanya sambil melepaskan pelukannya, lalu mengusap air matanya yang mengucur deras.
Damian tentu saja sangat terkejut.
“Bapakku, di rumah sakit?”
“Keadaannya parah Mas, sampai aku pulang ini tadi, belum sadar juga.”
“Apa? Mengapa? Apa yang terjadi?”
“Pak Timan jatuh … setelah dompetnya dijambret. Ini … dompetnya aku bawa, diserahkan oleh orang yang berhasil mengejar jambret itu.”
Lalu dengan diselingi tangis Sari menceritakan apa yang terjadi, seperti yang tadi dikatakan oleh orang yang mengantarkan dompet pak Timan. Sari lupa menanyakan nama orangnya. Tapi cerita Sari itu membuat tubuh Damian terasa lemas. Ia bergegas mengambil sepeda motornya.
“Mas, … Mas, Aku ikut, kan Mas tidak tahu pak Timan dirawat di mana?” teriak Sari yang walaupun terpincang-pincang, sangat bersemangat mengikuti Damian.
Damian yang pikirannya sangat kacau, membiarkan saja Sari membonceng di belakangnya, lalu sepeda motor itu melaju.
Sementara itu bu Mijan yang baru pulang dari pasar, terkejut melihat Sari berada dalam boncengan Damian dan pergi tanpa menoleh ke arahnya.
“Sariii! Sariiii! Mau ke mana kamu?”
Tapi yang dipanggil sudah tidak lagi kelihatan bayangannya, karena Damian memacu sepeda motornya secepat angin.
“Bocah tidak tahu diri. Diberi arahan orang tua supaya mencari pasangan yang pantas dan tidak mengecewakan, tetap saja memilih tukang kebun yang nggak jelas penghasilannya. Dasar anak bandel. Dipilihkan suami laki-laki yang baik seperti Darmo, ada saja alasan menolaknya, yang kumal lah, yang keringatnya bau lah. Membuat aku pengin marah saja kalau mengingat kelakuannya. Biar, aku temui saja mas Timan, agar melarang anaknya berdekatan dengan anakku,” kata bu Mijan sambil menuju ke rumah pak Timan. Tapi dia heran melihat rumah pak Timan terkunci.
“Ke mana dia? Tumben-tumbenan mas Timan pergi sore-sore begini. Dan kemana pula tadi Damian membawa anakku?” gumam bu Mijan sambil melangkah kembali pulang ke rumah. Ia mencoba menghubungi ponsel Sari, tapi tidak diangkat.
“Bocah kurangajar. Ditelpon orang tua tidak diangkat.”
Lalu bu Mijan pulang ke rumah dengan menggerutu tak henti-hentinya.
***
Di rumah sakit, Damian tak peduli pada Sari yang mengikutinya dengan berjalan tertatih-tatih. Ia segera mencari ayahnya, yang sudah dibawa ke ruang ICU.
Ia melihat tubuh ayahnya terbaring pucat, dengan alat bantu napas yang terpasang dan cairan infus yang dialurkan ke tubuhnya.
Damian menubruk tubuh ayahnya.
“Bapak, bukalah mata Bapak, lihatlah Damian ada di dekat Bapak. Sadar Pak, Bapak kenapa?”
Air mata Damian bercucuran, Ia yang tak pernah menangis sejak kecil, akhirnya benar-benar meneteskan air mata. Hatinya bagai di remas-remas. Seorang perawat menyerahkan sebuah buku kecil yang semula ada di saku celana ayahnya.
Damian heran, ayahnya membuka rekening di bank. Ia tidak mengerti, mengapa ayahnya melakukannya. Memang sih, dia selalu memberi ayahnya sedikit uang saku di setiap bulannya, dan ayahnya jarang sekali membelanjakan uang itu. Siapa yang menyuruh ayahnya menyimpan uang itu di bank?
“Sama ini Mas, uang dua ratus ribu yang tercecer, diserahkan oleh seorang bapak yang mengantarkannya kemari,” kata perawat itu setelah menyerahkan buku tabungan tadi.
Damian hanya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Rupanya semua yang dibawa ayahnya dan tercecer, diserahkan juga kepada pemiliknya. Dompet yang diantarkan ke rumah. Buku tabungan dan uang duaratus ribu yang tercecer. Uang apa lagi yang dua ratus ribu ini? Damian hanya menyimpan uang dan buku itu, dan belum memikirkan yang lainnya, karena perhatiannya masih tertuju pada ayahnya yang kini terbaring tak sadarkan diri.
Ketika kemudian dia menemui dokter yang menanganinya, dokter itu mengatakan bahwa sebenarnya pak Timan sudah lama mengidap penyakit jantung, dan tadi tiba-tiba terkena serangan yang membuatnya koma. Yang membuat Damian semakin sedih adalah, dokter tidak memberikan harapan yang baik atas keadaan ayahnya.
“Kami akan berusaha sekuat tenaga kami, berdoalah untuk ayah Mas.”
Damian kembali menunggui ayahnya dengan perasaan tak menentu.
“Bapak, bangunlah Pak, jangan membuat Damian takut. Damian belum siap untuk Bapak tinggalkan. Damian masih membutuhkan Bapak dalam mengarungi kehidupan ini. Bangun ya Pak. Bangun dan kembalilah sehat.”
Sari yang tadinya menunggu diluar, kemudian ikut masuk, lalu berdiri di samping Damian.
“Mas, waktu aku menunggui pak Timan, dokter bilang bahwa harapan sangat tipis untuk kesembuhannya,” kata Sari diiringi isak.
Hati Damian tercekat. Barangkali terhadap Sari, dokter itu mengatakan keadaan yang sesungguhnya, tapi kepadanya ia tampak masih menyamarkan keterangan tentang kesehatan ayahnya.
Damian memegang erat tangan ayahnya, kemudian diletakkannya di pipinya. Seperti ada kekuatan yang tiba-tiba merasukinya, pak Timan membuka matanya yang tanpa cahaya.
“Bapak …”
Pak Timan menyunggingkan senyum tipis.
“Gapai, cita-citamu,” suara itu lirih, hampir tak terdengar, tapi Damian mendengarnya dengan sangat jelas. Hanya sebuah kalimat dengan senyuman tipis yang tersungging, sebelum kemudian pak Timan benar-benar memejamkan matanya. Dan tangan yang dipegangnya terkulai lemas.
Damian berteriak,
“Bapaaaakkk!”
Tubuh tua itu terdiam membisu. Tak banyak yang dikatakannya sebelum kepergiannya, kecuali tentang tercapainya sebuah cita-cita yang selalu diinginkan Damian dan tentu saja ayahnya.
***
Malam hari itu pak Rahman sedang duduk berdua dengan istrinya. Sepiring sukun goreng yang terhidang, tinggal separonya.
“Kalau sudah dingin, kurang nikmat,” kata bu Rahman.
“Oh iya, tadi di jalan, aku ketemu Timan.”
“Timan, ayahnya Damian?”
“Iya. Tadi aku melihatnya kok lebih kurusan, ya. Aku kira dia sakit.”
“Damian bilang, ayahnya memang sakit-sakitan.”
“Aku tadi juga menanyakan kesehatannya, katanya kadang merasa sehat, kadang merasa lelah atau apa. Pokoknya intinya itu tadi.”
“Mau ke mana dia?”
“Sepertinya sudah dalam perjalanan pulang, dia jalan kaki dan sudah tidak begitu jauh dari rumahnya.”
“Jalan kaki?”
“Iya, aku memberi dia uang yang tadinya sempat ditolaknya, tapi aku memaksa agar dia mau menerimanya.”
“Dia bicara tentang Damian?”
“Ya. Tapi ya nggak begitu jelas. Mungkin Damian memang akan bekerja di tempat lain. Biarkan saja. Barangkali Damian ingin bekerja di tempat yang lebih berkelas, bukan hanya sebagai tukang kebun seperti bapaknya.”
“Dia kan hanya lulusan SMA.”
“Iya sih, tapi siapa tahu dia diterima di sebuah kantor, atau toko, entahlah.”
“Gaji di tempat kita lumayan besar lhoh.”
“Iya sih, tapi terkadang gaji itu bukan yang nomor satu.”
“Aku yakin, pasti ada masalah.”
“Ah, ibu tidak usah terlalu memikirkan itu, biarlah Damian pergi. Kok ibu seperti nggak ikhlas, begitu? Karena pekerjaannya baik ya? Tapi dia butuh sesuatu yang bisa dipergunakan untuk bekal hidupnya. Biarkan saja.”
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang, yang belum dikenalnya.
“Selamat malam,” kata orang itu, seorang anak muda.
“Malam, mencari siapa ya?”
“Benarkah ini rumah pak Rahman?
“Ya. Ada apa ya?”
“Saya tetangganya Damian.”
“Oh ya, kenapa Damian?”
“Hanya ingin memberi tahu, bahwa pak Timan, ayahnya Damian, meninggal dunia, sore tadi.”
“Apa?” pak Rahman dan istri berteriak bersamaan.
“Kenapa? Tadi ketemu aku?” pekik pak Rahman sambil berdiri.
Lalu secara singkat orang itu bercerita tentang asal muasal meninggalnya pak Timan, karena hal itu sudah menjadi pembicaraan diantara para tetangga. Bahkan uang duaratus ribu yang tercecer juga dikatakannya. Tentu saja pak Rahman terkejut setengah mati.
“Ya Tuhan, apakah dua ratus ribu itu uang yang aku berikan tadi? Jadi peristiwa itu terjadi tak lama setelah aku tinggalkan dia? Menyesal aku, kok ya tidak aku antarkan saja dia sampai ke rumahnya,” gumam pak Rahman.
Sampai tetangga pak Timan pulang, pak Rahman masih membicarakan ketemuan dengan pak Timan siang harinya.
“Menyesal aku, sungguh aku menyesal,” keluh pak Rahman berkali-kali.
“Ya sudah Pak, tidak usah terlampau disesali. Barangkali memang itulah jalannya, dan itu sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa,” hibur bu Rahman.
***
Suasana pemakaman diliputi haru karena Damian tak henti-hentinya menitikkan air mata. Keluarga pak Rahman semuanya datang melayat, termasuk Raya yang dengan erat menggenggam tangan Damian sambil matanya berkaca-kaca.
“Damian, tabah dan kuat ya, semoga bapak diwafatkan dalam keadaan husnul khotimah,” bisiknya lirih.
“Terima kasih Non.”
“Kami ikut berduka ya Dam, kami semua kehilangan. Ayahmu sudah menjadi bagian dari keluarga, sejak bertahun-tahun lalu,” kata pak Rahman.
Damian hanya mengangguk-angguk. Terkadang hanya untuk mengucapkan terima kasih saja ia tak mampu. Bibirnya terasa kelu, sehingga yang dilakukannya hanya menyambut uluran tangan dan mengangguk-angguk. Kalaupun ada yang terucap, ucapan itu hanya tampak dari bibirnya yang bergerak-gerak, tak ada suara yang terdengar.
Bisa dimaklumi rasa duka di hati Damian. Bapaknya meninggal begitu tiba-tiba. Malam harinya masih berbincang dan menggodanya dengan ungkapan bakso cinta, dan pagi harinya juga masih bercerita banyak.
Ketika para pelayat sudah bubaran, Damian masih duduk terpekur di tepi gundukan tanah basah bertabur bunga. Lantunan sejuta doa diucapkan dibibirnya, berharap sang bapak mendapatkan sorga di sisi Nya.
Sari dan ibunya juga ikut melayat. Sari yang pulang belakangan, menghampiri Damian yang masih duduk di atas tanah, di depan makam ayahnya.
“Mas, ayo pulang. Hari sudah sore.”
Damian menoleh sejenak ke arah Sari.
“Terima kasih, Sari. Tapi aku masih ingin di sini.”
“Ini sudah sore, mendung begitu tebal. Sebentar lagi pasti hujan,” kata Sari yang menyentuh pundaknya sambil berdiri, karena sebelah kakinya masih belum bisa ditekuk.
“Ya, kamu saja pulanglah.”
“Ayo pulang sama-sama, ibuku nyarter mobil tadi.”
“Pulanglah, aku masih ingin di sini.”
“Sariiii! Ngapain kamu?”
Teriakan itu membuat Sari menoleh. Di kejauhan dilihatnya sang ibu menatapnya dengan kesal.
“Mobilnya kelamaan menunggu, tahu!”
“Pulanglah,” kata Damian lagi.
“Baiklah, kamu cepat pulang ya Mas, keburu hujan.”
***
Nyatanya hujan turun tak lama setelah Sari pergi, tapi Damian masih bergeming di tempatnya. Ia tetap saja duduk dan melanjutkan membaca doa. Air hujan yang jatuh berpacu dengan deras air matanya.
Hari semakin gelap, dan Damian tetap tak bergerak. Seseorang kemudian datang, membawa senter dan payung. Ia mendekati Damian.
“Nak, yang pergi biarlah pergi, karena memang Allah lebih menyaynginya. Doa yang Nak sampaikan akan sampai diatas langit, dan Allah pasti mendengarnya. Biarkan ayah kamu tenang, jangan menghalangi langkahnya dengan tetesan air mata kamu.”
Damian terkejut. Ia menoleh ke arah laki-laki tua yang kini berdiri di sampingnya, dan mempergunakan separuh payungnya untuk melindungi dirinya, yang sudah terlanjur basah kuyup.
Kalimat tentang air matanya yang akan menghalangi langkah ayahnya, membuatnya sadar, bahwa apapun yang terjadi, harus diterimanya dengan penuh ikhlas dan kesabaran.
"Berdirilah, hujan semakin deras,” kata pak tua yang ternyata adalah penjaga makam. Rumahnya tak jauh dari area pemakaman itu. Ia menuntun Damian sampai ke rumahnya, lalu mempersilakan duduk di kursinya yang terbuat dari kayu tua. Sebuah penerangan berkelip di ruangan itu. Pak Tua masuk ke dalam dan memberikan handuk pada Damian.
“Terima kasih,” kata Damian yang tak urung kemudian merasa badannya menggigil.
Pak Tua juga memberikan segelas teh panas.
“Minumlah.”
Damian meminumnya.
“Maukah berganti pakaian dengan pakaian bapak?”
“Tidak, terima kasih. Saya mau pulang saja.”
“Tapi hujan masih deras.”
Damian menghabiskan minumannya, lalu berdiri.
“Saya mau pulang saja.”
“Kalau begitu pakailah payung ini. Bukankah rumah kamu jauh?”
“Nanti saya akan memanggil taksi.”
“Panggil saja sekarang, jadi badan kamu tidak semakin basah.”
Akhirnya Damian menurut. Dengan pakaian basah kuyup dia pulang setelah memanggil taksi.
***
Malam itu di rumah keluarga Rahman masih memperbincangkan meninggalnya pak Timan yang tiba-tiba, dan pak Rahman tak berhenti menyesali saat kemarin tidak mengantarkan pak Timan pulang sampai ke rumah.
Raya sudah masuk ke kamarnya. Duka yang dirasakan Damian, seakan menjadi dukanya juga. Terbayang wajah tampan yang sembab karena duka, dan hatinya ikut menangis. Ingin rasanya ia selalu berada di dekatnya, dan menghiburnya.
“Raya, biar ibu tidur di sini lagi ya. Kamu kan belum sehat benar.”
“Sebenarnya tidak apa-apa, tapi terserah Ibu saja.”
Sudah tiga malam ini bu Rahman menemani Raya tidur di kamarnya. Ia masih sangat khawatir, biasanya kalau sakit, badan Raya kemudian menjadi panas. Apalagi sore harinya Raya memaksakan diri untuk melayat ke pemakaman ayah Damian.
Malam sudah larut, Raya sudah tampak terlelap, dan bu Rahman sudah mulai mengantuk. Tapi baru saja matanya terpejam, didengarnya sebuah suara aneh dari bibir Raya.
“Damian ,… Damian …”
Bu Rahman mengangkat kepalanya, menatap wajah Raya, dan bibirnya yang bergerak gerak memanggil nama Damian berkali-kali.
***
Besok lagi ya.
πΎππ·πΉπΏπ
ReplyDeleteπΊπΈπ΄
Alhamdulillah.....
EsPe_13 sudah tayang....
Matur nuwun bu Tien.
Salam sehat... jaga kesehatan 2 hari lagi berangkat ke Jakarta.
Tetap ADUHAI.
Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun.
Ikut berduka cita atas wafatnya Bpk. Timan, orang tua Damian.
Semoga ditempatkan yang layak disisi Nya.
Aamiin......
πΎππ·πΉπΏππΊπΈπ΄
Maturnuwun mbak.Tien. Makin seruuuuu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah eSPe 13
sudah tayang...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai πΉπ¦
ππππππππ
Alhamdullilah SPnya sdh tayang bunda..smg bunda sehat sll..slmt mlm dan slmt istrhatπππΉ❤️
ReplyDeleteYeeeeeees...
ReplyDeleteWaduh, pak Timan diwafatkan to, bu Tien? Semoga Damian terhubung kembali dengan kel.pihak ibunya ya...dan terangkat derajatnya, sehingga kelak tercapai cita2nya kuliah & menikahi Raya. Wkwk...angan2 penggemar nih...terima kasih, ibu sayang. Salam sehat.ππππππ
ReplyDeleteSaya kok ga ingat pernah baca kalau Damian punya sepeda motor ya? Sepertinya yang sering disebut itu sepeda biasa.
DeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulilah...
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..
Pa timan meninggal bagaimana dengan orang belanda steward? Akh terserah bunda aja yang pintar mengusik pembaca, makasih hunda
ReplyDeleteApakah tidak terlalu cepat pak Timan diwafatkan.... Maafkan saya yg sok usil ππ salam sehat Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeletematurnuwun bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH PESAN~13 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..π€²
ReplyDeleteTerima kasih bu tien sp 13 sdh tayang ...salam sehat . ..hangat dan aduhai ...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu T'ien
Semoga sehat selalu
Aamiin....
Sugeng ndalu matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSdh sangat mengharu biru... trma kasih Mbu Tien... sehat sll bersama keluarga tercinta...
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien...
Sugeng Dalu, salam sehat selalu...
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTerlanjur malam tidak ikut melayat, semoga pak Timan tenteram disisiNya.
ReplyDeleteCuma Damian tiba tiba saja naik motor.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI semoga selalu sehat, aamiin.
Hadir lebih awal...salam sehat penuh semangat
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu. Aduhai
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien cantik
Semoga sehat selalu....π€²π€²
Sebuah pesan gapai lah cita cita mu.
ReplyDeleteYa pak mohon restunya; disana ada ibu yang menemani putri nya tidur berusaha ingin tahu mengapa sikapnya berbeda tidak seperti biasanya, apa penyebabnya.
Rupanya ada aura senada saling rindu; panggil namaku sebelum tidur, agar ku hadir dalam mimpimu.
Ibu itupun mengamati putrinya, pasti ikut merasakan betapa sedihnya Damian sampai terbawa mimpi, terucap igauannya, ibunya pun mengamati perubahan mimik wajahnya terlihat berharap; seolah ingin dekat Damian.
Satu tanda masuk catatan Bu Rahman, ada hubungan nya kah dengan rencana resight Damian bulan depan.
Bu Rahman harus tanya kakaknya, dan bik Sarti; kira kira adakah sesuatu dengan igauan Raya kali itu.
Emak emak detektip
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang ke tiga belas sudah tayang
Sehat sehat selalu ya Bu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Alhamdulillah SP-13 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Aduh...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Yes mbk
ReplyDeleteTrm ksh bu Tien. Smg selalu sehat..
ReplyDeleteBagaimana nasib Damian? Tunggu apa kata Bu Tien.Terimakasih ...Bu Tien ditunggu eps berikutnya
ReplyDelete