SEBUAH PESAN 12
(Tien Kumalasari)
Pak Timan menatap wajah anaknya tak berkedip. Seperti mimpi mendengar apa yang dikatakan anaknya. Ingatannya kembali ke arah puluhan tahun lalu, saat si cantik bermata biru bernama Amelia mengatakan cinta pada dirinya. Gelagapan saat itu, karena tak mengira perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Karena mimpi yang selalu dibawanya dan dikiranya hanya bermimpi pada sebuah mimpi, tiba-tiba menjadi kenyataan, tapi yang sangat membuatnya ketakutan. Namun tak disangkanya, tuan Steward ternyata mendukungnya, dan kemudian menikahkan mereka. Sekarang, anak majikan cantik juga mengatakan suka pada Damian? Apakah sebuah nasib akan menurun kepada anak keturunannya?
“Damian bingung Pak, lalu memutuskan untuk keluar saja dari pekerjaan Damian di keluarga tuan Rahman itu.
Tuh kan, bukankah sama seperti yang dirasakannya waktu itu? Pikir pak Timan.
Pak Timan masih terdiam, terus menatap anaknya dengan beribu perasaan menggayutinya.
“Maaf Pak, saya tidak bilang dulu sama Bapak bahwa Damian akan berhenti bekerja. Damian takut terjadi huru hara di rumah keluarga Rahman. Lebih baik Damian pergi dari sana. Bulan depan Damian sudah berhenti,” kata Damian yang khawatir ayahnya akan kecewa.
"Tidak, bukan itu. Bapak tidak kecewa.
“Mengapa Bapak menatap Damian seperti sedang marah?”
“Marah? Tidak Nak. Bapak tidak marah. Bapak sedang berpikir. Yang kamu alami itu sama dengan apa yang bapak pernah mengalaminya.”
“Sama?”
“Bapak belum pernah bercerita tentang ibumu. Barangkali hanya sekilas, tidak begitu jelas mungkin bagi kamu untuk menerimanya. Almarhumah ibumu, adalah keponakan tuan Steward. Itu kamu sudah tahu kan, bapak pernah menceritakannya. Tapi kenapa bapak bisa menikah dengan keponakan juragan, kisahnya mirip yang kamu alami. Memang sih, diam-diam bapak menyukai Amelia, tapi kan takut, Amelia adalah gadis indo, keponakan majikan pula. Tapi tanpa disangka, ternyata bapak tidak bertepuk sebelah tangan.”
Damian mendengarkan dengan seksama, ketika ayahnya menceritakan apa yang terjadi antara ayah dan almarhumah ibunya, dan heran, kenapa kejadiannya mirip dengan yang dialaminya. Tapi bedanya adalah, tuan Steward merestui hubungan itu, sedangkan keluarga Rahman? Damian yakin itu tidak akan terjadi. Bu Rahman kelihatan marah dan tidak suka ketika dia berpamit mau keluar. Bukan karena dia sayang sama Damian, tapi karena keinginannya membuat taman baru dan diserahkan pada Damian, sementara Damian mau keluar, membuat bu Rahman seperti sangat gusar. Itu Damian merasakannya. Baru masalah taman saja seperti marah, apalagi kalau anak gadisnya jatuh cinta sama dirinya.
“Memang sungguh aneh ya Pak. Mirip, tapi tidak sama persis.”
"Keluarga Rahman tidak suka melihat hubungan kalian?”
“Bukan begitu. Damian suka, tapi tidak pernah mengatakannya. Damian harus tahu diri dong Pak. Dan keputusan keluar itu sudah Damian ambil. Tapi lupakan saja masalah non Raya, Damian ingin mengatakan pada Bapak, bahwa Damian sudah mencari pekerjaan baru.”
“Sudah mencari?”
“Tadi Damian meminta tolong pada teman Damian. Katanya ada lowongan di bengkel milik temannya. Besok Damian mau membuat lamarannya.”
“Ya sudah Nak, semoga yang kamu tempuh adalah hal terbaik untuk dirimu.”
“Aamiin.”
“Dan semoga pula, kamu bisa melanjutkan kuliah seperti keinginan kamu.”
“Aamiin. Tapi itu nanti dulu Pak, yang terpenting kita bisa melanjutkan hidup kita dengan sangat baik, dan tidak menyusahkan orang lain.”
Pak Timan belum mengatakan tentang uang yang akan diterimanya, karena memang baru sebuah berita dari tuan Steward. Pak Timan akan mengatakannya kalau uang itu benar-benar sudah berada di tangannya.
“Ya sudah, ganti bajumu, ayo kita nikmati bakso cinta ini bersama-sama.”
“Kok bakso cinta sih?”
“Bukankah yang memberikan adalah gadis yang cinta sama kamu?” goda pak Timan.
“Bapak ada-ada saja,” kata Damian sambil tertawa.
Tapi sesungguhnya rasa gelisah itu masih memenuhi hatinya.
“Baiklah, aku tak harus bersedih. Bukankah cinta tidak harus memiliki? Dan bukankah jodoh itu sudah digariskan dari Atas sana?”
***
Bu Rahman masuk ke kamar Raya, di malam harinya. Ada rasa khawatir karena Raya tak keluar lagi dari kamarnya sejak menyerahkan bakso kepada bik Sarni. Dilihatnya Raya berbaring membelakangi pintu, tubuhnya di tutup selimut. Kamila yang tadi menyelimutinya, karena melihat Raya tertidur pulas.
Bu Rahman mendekati anaknya, memegang keningnya, dan merasa lega karena tidak merasakan panas di tubuh Raya.
“Raya ,,,” bisiknya pelan, tapi Raya bergeming. Tampaknya dia benar-benar pulas.
Bu Rahman membetulkan letak selimut Raya, kemudian meninggalkan kamar itu.
“Kenapa dia?” tanya pak Rahman ketika sang istri menghampirinya.
Mungkin hanya kecapekan, lalu masuk angin. Aku pegang, badannya tidak panas kok. Barangkali belajar sampai malam terus, maklum mau ujian. Kecapekan jadinya.”
“Ya sudah, kalau memang sakit beneran, suruh ke dokter saja.”
“Raya itu dari kecil badannya ringkih. Sering jatuh sakit. Bahkan kalau ingin sesuatu lalu tidak diturutin, ia juga sakit.”
“Iya benar, bapak juga ingat. Tahu-tahu badannya panas. Tak tahunya hanya ingin beli boneka besar dan kita belum membelikannya.”
“Tapi untunglah dia pintar, sekolahnya lancar dan nilainya juga selalu bagus.”
“Sudah malam, sebaiknya kita tidur,” kata pak Rahman.
“Aku mau tidur di kamar Raya saja, khawatir ada apa-apa.”
“Katanya nggak apa-apa.”
“Cuma berjaga-jaga saja,” kata bu Rahman sambil menuju ke arah kamar Raya lagi.
***
Damian baru sampai di halaman rumah keluarga Rahman. Setelah meletakkan sepedanya, ia segera mengambil peralatan kebun. Banyak ranting yang harus dipangkas, mengurangi keindahan taman. Ketika ia ingin memulai pekerjaannya, dilihatnya bik Sarni membawa nampan berisi minuman dan sepiring nasi goreng.
“Dam, minumlah dulu, dan sarapan,” kata bi Sarni sambil meletakkan semuanya di meja dekat kolam, di mana dia selalu meletakkannya kalau memberikan minum atau makanan untuk Damian.
“Bik Sarni kok repot, saya kan selalu sudah sarapan.”
“Tidak apa-apa kan, sarapan lagi sepiring nasi goreng? Daripada sisa banyak. Soalnya non Raya tidak mau makan, nyonya membuatkannya bubur.”
Damian terkejut.
“Memangnya kenapa?”
“Sakit, dari semalam tidak mau makan, Padahal semalam keluar sendiri membeli banyak bakso. Tapi non Raya tidak mau makan sama sekali.”
Damian ingin membuka mulutnya dan mengatakan bahwa non Raya juga membawakan bakso ke rumahnya, tapi diurungkannya. Tapi sesungguhnya Damian prihatin. Sakit apakah gerangan, non cantik yang selalu menghiasi hari-harinya dengan canda dan senyuman semanis madu?
“Sakit apa?”
“Entahlah Dam, tuan mau memanggil dokter, tapi non Raya menolak. Diajak ke rumah sakit juga tidak mau.”
Damian menghela napas. Dirinya kah yang membuat Raya sakit?
“Ya sudah Dam, makan dan minumlah saja dulu, baru bekerja. Nasi gorengnya masih anget lho, keburu dingin.”
“Sebenarnya sudah kenyang,” gumam Damian.
“Hanya sepiring nasi goreng, tidak banyak. Jangan khawatir perut kamu bisa meletus,” canda bik Sarti.
Damian tersenyum. Ia meneguk minuman hangatnya, lalu meraih nasi gorengnya. Memang masih hangat. Ia menyendok sedikit nasi gorengnya, tapi tanpa sengaja matanya melirik ke arah jendela, dimana dia sering melihat bayangan Raya di sana. Tapi jendela itu masih tertutup rapat. Damian melanjutkan menyuap nasi gorengnya, sambil sesekali melirik ke arah jendela itu. Tapi masih saja jendela itu tertutup rapat. Diam-diam ada rasa rindu menyelinap, yang kemudian dikibaskannya.
***
Pak Timan baru saja selesai membuka rekening di sebuah bank, kemudian segera mengabari tuan Steward tentang nomor rekeningnya, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Pak Timan terkejut, ketika melihat seseorang yang dikenalnya, turun dari mobil itu dan menghampirinya.
“Timan?”
“Tuan Rahman?”
“Aku hampir tidak mengenali kamu. Kamu agak kurus ya Man?”
“Masa sih Tuan, saya malah tidak merasa kalau saya sekarang kurus.”
“Kamu sehat kan Man?”
“Ya, begini ini Tuan, namanya tulang tua. Kadang merasa sehat, kadang kelelahan. Apa kabar Tuan dan keluarga?”
“Kami baik-baik saja. Hanya Raya sejak kemarin agak kurang enak badan.”
“Oh, sakit apa Non Raya?”
“Mungkin kecapekan. Kalau belajar sampai larut. Maklum dia mau ujian.”
“Oh, syukurlah kalau hanya kecapekan.”
“Apa kamu sudah tahu, kalau anakmu akan keluar dari pekerjaannya di rumah aku?”
“Oh, iya Tuan, dia juga sudah mengatakannya. Maaf kalau hal itu membuat Tuan dan Nyonya kecewa.”
“Sebenarnya kecewa juga sih Man, soalnya kami sudah merasa cocok sama pekerjaan dia. Tapi sebagai seorang laki-laki, pastilah Damian ingin mendapatkan yang lebih baik. Ya pekerjaan yang lebih pantas, ya gaji yang lebih memuaskan.”
“Mungkin Tuan, saya malah tidak memikirkan masalah gaji dan sebagainya.”
“Baiklah, tidak apa-apa. Semoga Damian mendapat pekerjaan yang lebih baik. Ini untuk kamu,” kata pak Rahman sambil memberikan sejumlah uang ke dalam genggaman pak Timan.
“Apa ini Tuan. Tidak usah, saya kan_”
“Terima saja, tidak seberapa, karena aku juga tidak membawa uang cash yang banyak.”
“Terima kasih Tuan.”
“Kalau senggang, kamu boleh main ke rumah, meskipun nanti Damian tidak lagi bekerja di rumahku.”
“Baik Tuan.”
Pak Rahman meninggalkan pak Timan yang masih tetap menggenggam uang itu, dan sangat heran karena tiba-tiba bertemu pak Rahman yang memberinya uang. Ia membuka tangannya dan melihat dua lembar uang ratusan yang tadi digenggamkan di tangannya.
“Pak Rahman memang selalu baik,” gumamnya sambil mengambil dompetnya. Maksudnya ingin menyimpan uang itu ke dalamnya. Tapi tiba-tiba seorang pengendara motor meraih dompet di tangannya, lalu kabur. Pak Timan berteriak keras sekali.
“Copeeeettt!!” teriaknya sambil lari mengejar. Tapi karena kakinya yang sudah ringkih, ia jatuh tersungkur. Beberapa orang mengerumuninya, dan seorang laki-laki yang kebetulan membawa sepeda motor, mengejar laki-laki yang dilihatnya telah merebut dompet pak Timan.
Pak Timan tak sadarkan diri. Orang-orang yang berkerumun, salah satunya adalah seorang pengendara mobil, mengangkat tubuh pak Timan yang tak bergerak, langsung ke rumah sakit.
***
Sari sedang berada di depan rumahnya, ketika melihat seseorang datang ke rumah pak Timan. Ia juga melihat orang itu mengetuk-ngetuk rumah pak Timan.
Sari yang masih terpincang-pincang, melongok dari sampnking pagar dan berteriak.
“Sepertinya orangnya pergi Pak.”
Laki-laki itu menoleh ke arah Sari.
“Betul ya, ini rumah pak Timan?”
“Iya, benar. Tapi sepertinya orangnya pergi. Tidak ada orang di rumah itu, karena satu-satunya anaknya juga tidak ada di rumah, dia bekerja.”
Laki-laki itu mendekati Sari.
“Ada apa ya Pak?”
“Begini Mbak, tadi, ketika pak Timan berjalan sendirian, tiba-tiba ada orang yang mencopet dompetnya.”
“Ya ampun.”
“Tapi karena pak Timan berusaha mengejar, dia terjatuh lalu pingsan.”
“Oh, lalu di mana dia?”
“Pak Timan sudah dibawa ke rumah sakit. Itu kata orang-orang di sekitar tempat kejadian itu. Saya adalah orang yang berhasil mengejar pencopet itu, dan mengambil kembali dompetnya. Saya datang kemari untuk menyerahkan dompet pak Timan ini kepada keluarganya.”
“Bapak tahu dari mana bahwa rumah pak Timan ada di sini?”
“Di dompet itu kan ada kartu penduduknya, jadi saya bisa menemukan alamatnya. Anaknya bekerja di mana ya?”
“Dia menjadi tukang kebun di keluarga kaya, pulangnya nanti sore.”
“Kalau begitu bisakah saya menitipkan dompet pak Timan ini pada Mbak? Ada uang sedikit di dalamnya, tapi saya tidak mengambil apapun, kecuali tadi membaca alamat di kartu penduduknya.”
“Baiklah Pak, nanti akan saya sampaikan pada anaknya. Di rumah sakit mana ya, pak Timan dirawat?”
“Katanya sih di Rumah Sakit Pusat.”
“Baiklah, terima kasih banyak. Saya akan mencarinya ke rumah sakit.”
“Bisakah Mbak mengabari anaknya?”
“Kalau sekarang tidak bisa Pak, saya tidak tahu nomor kontaknya. Saya mau ke rumah sakit saja.”
“Baiklah kalau begitu.”
Sepeninggal orang itu, Sari segera masuk ke dalam rumah. Kakinya masih sakit, tapi ia ingin sekali pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan pak Timan. Sari berharap, kebaikannya bisa membuka hati Damian agar mau memperhatikannya, dan ia juga berharap bisa lebih mendekatinya, bukan hanya sebagai orang bertetangga.
***
Damian yang baru pulang dari tempat kerja, heran melihat pintu rumahnya terkunci. Ia mencari cari kunci rumah yang biasanya diselipkan di bawah taplak meja, setiap kali salah satu dari mereka bepergian, tapi ternyata kunci itu tak ada. Damian berbalik ke arah jalan, barangkali ayahnya sedang beli sesuatu di dekat-dekat situ. Bukannya menemukan ayahnya, ia malah melihat Sari turun dari taksi, langsung mendekatinya dan memeluknya erat.
“Hei, ada apa ini? Tolong lepaskan.”
“Bapakmu Mas, bapakmu ….” Sari menangis menggerung-gerung.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteπΎππ·πΉπΏπ
DeleteπΊπΈπ΄
Alhamdulillah.....
EsPe_12 sudah tayang....
Matur nuwun bu Tien.
πΎππ·πΉπΏππΊπΈπ΄
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteππΏππΏππΏππΏ
ReplyDeleteAlhamdulillah SP 12
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai πΉπ¦
ππΏππΏππΏππΏ
Jeng Mimiet juara 1 disusul kung Latief Sragentina.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSP nya tambah seru
Semoga bunda sehat selalu π
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien cantiik... semoga selalu sehat, ya Bu...
DeleteAlhamdulilah...sdh hadir..suwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH PESAN~12 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..π€²
ReplyDeleteAlhamdulillah .... sdh hadir .... maturnuwun Bu Tien ... ... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah.... sehat2 sllu bunda Tien, salam hangat dri Bintaro
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Alhamdulillah SP 12 udah tayang
ReplyDeleteMksh bunda Tien sehat selalu doaku
Terima kasih...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdullilah..mksih bundaqu sp nya .slmt mlm dan slmt istrhat..lam seroja dan lamdusel unk bunda dri skbmiππ₯°πΉπ
ReplyDeleteTerima kasih bu tien SP 12. . sudah tayang...wah sari cari kesempatan ...smg pak timan sehat saja.....salam sehat bu tien
ReplyDeletealhamdulillah. matirnuwun bunda
ReplyDeleteKasian pak Timan, mudah mudahan sakitnya tidak parah. Tapi siapa tahu...
ReplyDeleteDamian akan kuliah atas biaya warisan yang mungkin sangat banyak. Tentunya nanti akan membuat dia jadi orang sukses dan ' tidak memalukan' bersanding dengan non Raya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Sugeng ndalu bu Tien matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien
Semoga sehat dan bahagia selalu..
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah SP -12 sdh hadir
ReplyDeletesemakin seru ceritanya..
Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.....sudah bisa lanjut baca yg no. 12. Matur nuwun....
ReplyDeleteSalam sehat penuh semangat dari RewwinπΏ
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillaah dah tayang
ReplyDeleteMakasih bunda salam sehat selalu
Sari ambil kesempatan dalam kesempitan.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu semangat. Aduhai
Alhamdulillah, Sebuah Pesan Eps. 12 sudah tayang. Matur nuwun sanget mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat selalu.
Kali ini Damian sport jantung, mulai pagi masuk kerja merasakan kaya jadi terdakwa penyebab sakitnya Raya.
ReplyDeleteIh géèr nya.
Damian nggak biasa kerja sambil nyanyi ya, kalau terbiasa bersenandung kan bisa sedikit menghibur, nggak lah percuma.
Maunya nggak boleh pergi menjauh dari nya, kan akhirnya pergi juga mending bermalas malas sambil demo, nggak mau makan, seakan dunia sudah tidak bersahabat.
Mutung kesarung; angannya bakalan menguap lenyap.
Sampai rumah Sari memeluk sekalian action drama seolah sedih banget dan laporan kalau pak Timan parkir dirumah sakit, nggak tahu apakah dompetnya pak Timan diserahin sekalian apa tidak.
Sari masih berharap bisa jadian sama Damian, terus sang mantu idaman mak nya; ya biarin mo darmo mo darmo, yang suka kan emak.
Jadi ketahuan kan pergi ke bank mbuka rekening biar tuan setuwed bisa ngirim sejumlah uang; warisan dari emaknya buat Damian.
Pantesan babe Timan nawarin kuliah sama Damian anaknya.
Nasib mu man Timan mau bikin kejutan malah terkejut sendiri melihat tegur sapa dari tuan Rahman dan menggegamkan uang ditangan pak Timan ternyata bengongnya berlanjut sampai tersadar disamber copet.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang ke dua belas sudah tayang
Sehat sehat selalu ya Bu Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Alhamdulillah... matur nuwun, salam sehat bu Tien.
ReplyDeleteWah, alasan Damian berhenti kerja krn kuatir kesehatan bapaknya kok jadi kejadian sungguh ya...kasihan, semoga pak Timan cepat sembuh, bisa menceritakan tentang kiriman uang pak Steward untuknya...dan itu si Sari kok malah mencari "kesempatan dalam kesempitan" to...enak aja tiba2 main peluk pria idamannya...wkwk...π Bu Tien bisa aja mereka adegan...terima kasih, ibu. Sehat selalu.πππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun. Sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteSari mendapat kesempatan di dalam kesempitan...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien....
Alhamdulillah, mayur nuwun b Tien ,salam sehat wal'afiat π€π₯°
ReplyDeleteMakini seru nih .... Sari bisa deh acktingmu,,,, π€£π€£ ,nunggu kelanjutanya aja yah ,