SEBUAH PESAN 03
(Tien Kumalasari)
Kamila menatap kekasihnya, yang tampak sangat gelisah.
“Ada apa?”
“Aku harus segera pulang?” kata Abi pelan.
“Pulang? Kamu baru saja datang, bahkan jus sirsak yang aku hidangkan baru kamu minum separonya,” keluh Kamila.
Abi meraih jus yang masih tersisa, menyedotnya sampai habis. Wajahnya belum berubah, tampak sangat gelisah.
“Maaf Mila, aku harus pergi.”
“Mas Abi, ada apa sebenarnya, bolehkah aku tahu?”
“Ada … ada … urusan mendadak. Maaf Mila,” kata Abi sambil berdiri, kemudian menyentuh bahu Kamila.
“Sungguh, kamu mau pergi?”
“Aku harus ke Jakarta.”
“Sekarang?”
“Sekarang. Maaf Mila, maafkan aku,” kata Abi tanpa melepaskan sentuhannya di bahu Kamila.
“Aku bilang ibu dulu, tadi belum sempat keluar untuk menemui kamu, sedangkan bapak ada di kantornya."
Kamila setengah berlari ke belakang, tapi berhenti ketika berpapasan dengan ibunya di depan pintu ruang tamu.
“Ada apa?” tanya bu Rahman.
“Mas Abi mau pamit, tuh Bu.”
Bu Rahman mendekati Abi yang sudah berdiri.
“Ibu bahkan belum sempat ikut menemui, kok sudah mau pergi?”
Abi meraih tangan bu Rahman dan menciumnya.
“Maaf Bu, ada urusan mendadak, sehingga saya harus pergi sekarang.”
“Urusan pekerjaan?”
“Iy … iya Bu. Maaf.”
“Non, selat segar sudah bibik hidangkan,” tiba-tiba bik Sarti sudah melongok dari arah pintu. Tapi kemudian heran melihat tamunya sudah beranjak pergi.
“Non,” bik Sarti berteriak memanggil. Kamila menoleh, lalu menggoyang-goyangkan tangannya, dan mengikuti Abi yang sudah sampai di depan mobilnya. Abi mengangguk dan merasa bersalah ketika melihat mata Kamila basah.
“Maaf, Kamila,” katanya lirih, kemudian segera masuk ke dalam mobilnya. Kamila membalikkan tubuhnya dan bergegas masuk ke dalam rumah, diikuti oleh ibunya. Mereka bahkan tidak melihat ketika mobil Abi keluar dari halaman.
“Kalian bertengkar?” tanya bu Rahman sambil duduk di depan Kamila, yang sudah mengalirkan air mata.
“Baru bertemu, lalu bertengkar?”
Kamila menggelengkan kepalanya. Wajahnya terlihat sedih. Tentu saja. Lama memendam kerinduan, lalu bertemu sesaat, kemudian ditinggalkannya tanpa tahu alasan yang sebenarnya. Banyak yang ingin Kamila katakan. Tentang kesediaannya menunggu sampai Abi siap melamarnya. Tentang apa yang ingin dilakukannya setelah menikah nanti, walau Abi baru sibuk menata bisnis yang akan dibebankan di pundaknya. Abi yang tenang, kadang tampak dingin, tapi memiliki kekuatan yang sangat kuat untuk menjatuhkan hatinya, datang bagai mimpi, kemudian pergi lagi.
“Apa yang terjadi?”
Kamila mengusap air matanya.
“Mila tidak tahu.”
“Karena kamu mendesaknya untuk segera melamar?”
“Dia sudah menjawabnya, bahwa Mila harus bersabar, karena dia sedang mempelajari situasi bisnis yang semula dipegang ayahnya, dan akan diserahkannya padanya.”
Mila mengusap air matanya yang tak berhenti meneteskan air bening, pertanda kesedihannya. Bukan hanya sedih karena tiba-tiba dia pergi, tapi juga sedih melihat Abi tidak begitu tertarik pada apa yang diungkapkannya tentang lamaran itu. Bukankah sudah bertahun mereka berhubungan? Memang sih, Abi tidak pernah mengungkapkan cinta. Abi begitu kaku ketika sedang berdua dengannya, tapi sinar matanya mengatakan, betapa dia sangat mencintai Kamila.
“Lalu itu sebabnya dia buru-buru pergi?” sang ibu terus mendesak, seakan tak rela seorang laki-laki telah membuat air mata anaknya menetes.
“Tidak. Dia tiba-tiba ditelpon seseorang, lalu tiba-tiba juga Abi pamit pergi.”
“Ya sudah, barangkali dia memang tak bisa meninggalkan apa yang menjadi kewajibannya.”
“Tapi Kamila kan masih kangen Bu,” isak Kamila berterus terang.
Sang ibu tersenyum, lalu mendekati anaknya dan mengelus bahunya lembut.
“Ibu juga pernah muda. Ibu mengerti.”
Kamila mengusap air matanya, lalu dilihatnya bik Sarti terpaku di depan pintu. Sepertinya bik Sarti juga kecewa, selat segar masakannya belum ada yang menyentuhnya, dan yang diharapkan akan melahapnya dengan nikmat, tiba-tiba pergi. Ia tak beranjak dari tempatnya berdiri, ketika melihat nona cantiknya menangis sedih.
“Ayo kita makan selat segar bikinan bibik,” ajak ibunya yang kemudian berdiri sambil menarik tangan Kamila.
Kamila berdiri, mengusap air matanya. Didepan pintu, ditepuknya bahu bik Sarti.
“Maaf ya Bik, yang disediain selat segar tak sempat menyantapnya.”
Bik Sarti mengangguk. Ingin tahu apa yang terjadi, tapi tak berani mengungkapkannya, apalagi ada nyonya sepuh di dekatnya.
“Hm, baunya enak. Raya belum pulang?” tanya bu Rahman sambil duduk di kursi makan. Didepannya racikan selat segar ditata rapi dan sangat menarik.
“Tidak apa-apa, tamunya nggak jadi makan. Semua orang pasti suka. Mila, ayo kita makan saja selatnya.”
Bibik membantu meracik selat di piring Kamila, yang wajahnya masih sendu, walau air mata tak lagi mengucur dari sepasang mata bintangnya.
“Bik, jangan lupa, Damian juga suruh mencicipi selat ini, dan nanti kalau dia pulang, bawakan juga untuk ayahnya,” kata bu Rahman sambil menikmati selat yang sudah disajikan.
“Baik Bu.”
“Enak, segar. Namanya juga selat segar. Mila, habiskan selatnya,” katanya kemudian pada Kamila.
Kamila menyuap selatnya, pelan.
Tiba-tiba bik Sarti berlari ke arah depan.
“Ponsel non Mila bunyi,” katanya sambil berlari, kemudian kembali dan menyerahkan ponsel ke arah Kamila.
“Mas Abi mengirimkan pesan singkat,” gumamnya.
“Apa katanya?”
“Hanya kata ‘maaf’.”
Kamila menghela napas panjang. Tak ada kata romantis, apalagi cinta. Tapi ada emoticon cinta berderet-deret, setelah kata maaf itu.
“Bik, tolong kembalikan vas yang ada bunga mawarnya, ke kamar Raya ya.”
Bik Sarti mengangguk, lalu melakukan yang diperintahkan nona mudanya.
“Sudah merasa agak lega, setelah menerima pesan itu?” tanya sang ibu.
Kamila hanya mengangguk. Wajah kuyu itu sedikit berubah, tapi rasa kecewa belum juga hilang dari hatinya.
***
Suara sepeda motor memasuki halaman, langsung masuk ke halaman samping rumah, dan menghentikannya di pinggir taman.
Damian yang sedang beristirahat di pinggir kolam, menoleh dan menatap nona bidadari yang sedang melangkah ke dekatnya.
“Damian, aku bawakan es krim untuk kamu,” kata Raya sambil mengulurkan sebuah es krim berbentuk contong ke arah Damian, lalu mengambil sebuah lagi untuk dirinya sendiri.
Damian menerimanya dan tersenyum cerah. Agak gemetar ketika jarinya menyentuh jari sang nona tanpa sengaja.
“Segera minum, sebelum mencair,” katanya sambil mengupas bungkus luarnya, kemudian mencecapnya dengan nikmat.
“Enak ya?”
Damian merasa seperti menjadi anak kecil kembali, yang ketika setelah diberi makanan kemudian ditanya, ‘enak ya’?.
Ia tersenyum mengangguk. Terpesona melihat bibir mungil itu mencecap es krimnya, membuat tangannya gemetar. Untunglah dia menggenggam es krimnya dengan kuat, sehingga tak sampai terjatuh.
“Tadi ada tamu ya?”
“Ya. Ada Non. Tapi cuma sebentar.”
“Cuma sebentar? Lalu tamu itu pergi bersama mbak Mila?”
“Tidak. Non MIla ada di rumah sejak tadi.”
“Kok aneh,” kata Raya sambil mencecap-cecap es krimnya, membuat Damian semakin gemas.
Tiba-tiba bibik datang sambil membawa sepiring racikan selat segar.
“Kok Non Raya sudah ada di sini?”
“Itu apa Bik?”
“Selat segar, untuk Damian,” kata bibik sambil mengulurkan piring itu ke arah Damian. Damian buru-buru menerimanya, setelah menghabiskan es krimnya.
“Aku juga mau.”
“Ada di meja makan. Jangan suruh bibik membawa ke sini Non, nyonya sedang makan bersama non Mila di sana.”
“Tadi mas Abi ke sini kan?”
“Hanya sebentar, lalu pergi lagi, dan tidak sempat makan selat segar yang sudah disediakan.”
“Kenapa hanya sebentar? Kan lama tidak pulang?”
“Bibik tidak tahu, tadi non Mila juga sempat menangis.”
“Menangis?”
Raya mengunyah selongsong es krim yang masih tersisa, kemudian beranjak masuk ke dalam rumah.
“Segera makanlah Dam, nanti juga aku bawakan untuk mas Timan,” kata bibik kepada Damian.
“Jangan selalu repot Bik.”
“Bukan aku yang repot. Nyonya yang menyuruh,” kata bibik sambil berlalu.
Damian meraih piring selatnya sambil dalam hati berterima kasih pada bik Sarti karena telah membuat Raya pergi dari hadapannya. Kalau tidak, Damian tak akan berhenti berdebar kencang saat berdekatan dengan sang nona.
***
Raya melangkah ringan ke ruang makan, setelah membersihkan diri dan berganti baju. Dilihatnya ibunya sedang berbincang dengan kakaknya, yang wajahnya masih terlihat sembab.
“Bagianku mana?” kata Raya sambil duduk di kursi, seakan tak memperhatikan wajah kakaknya yang masih tampak pucat.
“Bapak belum pulang ya?”
“Belum, bapak bilang tidak bisa pulang siang karena banyak urusan.”
“Hm, punya bapak yang terlalu sibuk itu nggak enak. Jarang di rumah, kurang memperhatikan istri dan anak,” celetuknya seenaknya, sambil menyantap selatnya.
Kamila tertegun. Abi seorang pebisnis yang pasti sangat sibuk. Baru pacaran saja dia sudah merasa dikesampingkan. Besok kalau sudah menjadi istri bagaimana? Jarang pulang, membiarkan istri kesepian?
“Besok-besok, aku kalau mencari suami, yang tidak usah terlalu sibuk lah. Berangkat pagi, sebelum petang sudah di rumah. Itu lumrah. Kalau sampai pulang malam, trus terkadang juga ke luar kota sampai berhari-hari. Mana tahan aku? Kangen dong,” kata Raya seenaknya.
“Makan jangan sambil mengoceh. Bicara pelan-pelan,” cela sang ibu.
Bagaimanapun kata-kata Raya juga seperti menyindir dirinya. Suami kerja, dari pagi sampai malam, terkadang juga keluar kota, dan menginap pula.
“Raya hanya mengutarakan keinginan Raya saja.”
“Kalau memang harus dijalani, bagaimana lagi? Tugas suami itu kan mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau tidak bekerja keras, mana bisa kamu punya baju bagus, sekolah di perguruan tinggi ternama, naik mobil ke mana-mana,” kata ibunya.
“Tapi terkadang berlebihan. Ya kan?”
“Apa maksudmu berlebihan?”
“Harusnya kalau semuanya sudah cukup, ya sudah. Tidak harus mengejar harta dan terus mengejar demi kekayaan yang berlimpah.”
“Kamu tidak tahu apa-apa. Jangan asal bicara. Besok-besok kalau suami kamu penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk makan dan beberapa lembar pakaian, baru kamu menyesal.”
“Nggak ah. Raya tidak ingin yang muluk-muluk kok.”
Bu Rahman diam. Mana mungkin dia mengharapkan anaknya hidup pas-pasan? Ia hanya menganggap Raya hanya berceloteh. Bisa bicara karena belum mengalami hidup kekurangan atau pas-pasan.
Kamila diam sejak kedatangan Raya, pura-pura menikmati selat segar, padahal yang lain sudah selesai menyantapnya.
“Mbak Mila kok diam saja sih? Tadi nambah berapa kali tuh, selat segarnya, sampai-sampai yang lain sudah selesai, Mbak Mila masih saja makan,” celoteh Raya pura-pura tidak melihat suasana hati kakaknya.
Kamila hanya menatap adiknya, tapi tak mengucapkan apapun.
***
Tapi ketika malam hari itu ia memasuki kamar kakaknya, tak tahan dia menanyakannya.
“Apa yang terjadi?”
“Apanya?”
“Aku tahu, tadi mas Abi datang.”
“Ya, di sini semua orang juga tahu.”
“Kalian berantem?” itu pertanyaan yang sama seperti yang ibunya tanyakan tadi.
“Tidak.”
“Aku tahu, tadi Mbak Mila menangis. Oh ya, terima kasih bunga mawarku sudah kembali ke tempatnya semula.”
“Tahu begini, aku nggak perlu menghias kamar tamu dengan bunga segar,” keluh Kamila.
“Memangnya kenapa? Lama nggak jumpa, masa berantem?”
“Aku sudah bilang tidak.”
“Lalu kenapa?”
“Dia pulang terburu-buru. Tiba-tiba saja pamit pulang setelah ada telpon dari seseorang.”
“Cewek?”
“Apa?” tiba-tiba Kamila terkejut. Telpon dari cewek itu tak pernah dibayangkannya. Jangan-jangan iya. Lalu Kamila berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana kalau iya? Mereka berpisah cukup lama. Wajah Abi sangat tampan dan menawan. Walau dia dingin dan tidak romantis, tapi pasti banyak gadis tergila-gila dan berusaha menggodanya. Bukan harus Abi yang memulainya, tapi tahankah seorang laki-laki kalau si wanita terus mengejar dan merayunya? Rasa sepi dan jauh dari kekasih, bisa saja menggugurkan iman seteguh apapun. Tiba-tiba pula Kamila merasa cemas.
“Benar ya, dari cewek? Mas Abi selingkuh?”
“Mana aku tahu?” Kamila menjawab kesal.
“Oh, pasti dia tidak mengaku, ya kan? Dia bilang urusan bisnis, urusan pekerjaan, mendesak untuk ditangani, dan terpaksa meninggalkan kekasih hati?” kata Raya seenaknya, tak sadar bahwa kata-katanya membuat hati kakakya perih. Bagaimana kalau iya?
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulilah EsPe_03 sudah tayang.....
DeleteMatur nuwun bu Tien salam sehat selalu.
Selamat jeng Mimiet Cimahi, disusul:
1. Jeng Sari Usman Jkt 19.06;
2. Jeng Hermina Sukabumi, 19.08;
3. Jeng Sri Margani, 19.08;
4. Jeng Indrastuti Jaktim. 19.08;
5. Jeng Susi Herawati Bekasi, 19.08;
6. Jeng Isti Klaten, 19.09;
7. Kung Latief Sragen, 19.14, dll
🍃⚘🍃⚘🍃⚘🍃⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah SP 03
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai 🌹🦋
🍃⚘🍃⚘🍃⚘🍃⚘
Yesss
ReplyDeleteTerimakasih banyak bunda..
DeleteSemoga sehat selalu..
Tambah penasaran nunggu bsk lg..
Bgmn kabar Damian selanjutnya yaa..
Tks bu tien....salam sehat
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah sp3 dah tayang, makasih bunda Tien sehat selalu doaku.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Sebuah Pesan telah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH PESAN~03 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat ..🙏
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bundaa
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien...salam sehat.🙏😘😘😀
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Semoga sehat selalu
Dan tetap semangat
Terima kasih bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien...
Salam sehat selalu...
Alhamdulillah...terimakasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSudah mulai ada masalah, bagaimana kalau Raya benar??
ReplyDeleteDamian makin grogi dekat dengan nona Bidadari, jangan jangan membuat dia tidak kerasan.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terima kasih bunda Tien SP 03 nya.slm sht sll dan tetap aduhai🙏😘🌹
ReplyDeleteMatur suwun bunda🙏slm sehat selalu dan aduhai..🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhmdllh terima kasih Mbu Tien...
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSugeng dalu, Sehat selalu kagem bunda Tien..
Alhamdulillah, Sebuah Pesan Eps. 03 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien Kumalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatir nuwun mbakyu Tienkumalasari dear..
ReplyDeleteSampun tayang eps 3 nya, salam kangen n aduhaai dari Cibubur
Ada apa ya dg Abi...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu, aduhai
Apa yg terjadi dg Abi? Terimakasih Bu Tien
ReplyDeleteDialog yang luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun & salam sehat wal'afiat bu Tien 🤗🥰
ReplyDeleteCeritanya baru di mulai. ,,,,jd sabar ya Karmila , Raya n Damian 🤣🤭
Selamat sore bunda Tien, sehat selalu dan dpt terus berkarya, amin!
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 n selalu dalam lindungan Allah SWT ..... Aamiin yra
Hanupis bu Tien.....salam seroja
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien..salam Aduhai
ReplyDelete