SEBUAH PESAN 02
(Tien Kumalasari)
Raya bersiap akan berangkat kuliah, tapi sempat-sempatnya dia melongok ke arah jendela kamarnya, ke arah kebun. Ada yang dicarinya, tapi belum tampak batang hidungnya.
“Jam berapa nih, kenapa dia belum datang juga?”
Raya melirik ke arah jam tangan emasnya, dan melihat bahwa memang belum waktunya Damian datang.
“Baru jam tujuh lewat sedikit,” gumamnya, kemudian keluar dari kamarnya, lalu melangkah ke belakang, melewati dapur, menuju ke arah kebun.
Ia mendekati kolam, dan duduk di sebuah batu besar, yang memang dipergunakan untuk duduk duduk ketika sedang bersantai.
Ia meraih pakan ikan yang tersedia di dekatnya, menaburkannya dan dengan gembira dilihatnya tingkah lucu ikan-ikan itu. Polahnya yang lincah terkadang membuat air muncrat dan membasahi wajahnya.
“Uuuh, nakal,” pekiknya sambil mengusap wajahnya. Tapi dia tetap tak beranjak dari sana, menikmati kecipak air yang dibuat karena ikan-ikan berebut makanan.
Beberapa saat kemudian Raya berdiri, kemudian mengitari taman bunga yang bergoyang lembut terkena sapuan angin segar yang terkadang membuat kulitnya merinding. Udara di musim panas itu saat pagi memang terasa dingin menggigit. Raya memetik bunga-bunga melati, yang kemudian bertumpah ruah ketika terlalu banyak melati yang dipetiknya dan diletakkan di telapak tangan kirinya. Harum yang segar menusuk hidungnya yang kecil mancung, lalu berkali-kali didekatkannya segenggam melati itu lagi-lagi ke hidungnya.
Raya memejamkan matanya, meresapi aroma wangi segar yang menawan, kemudian ia kembali duduk di atas batu. Kedua telapak tangannya disatukan, penuh melati yang baru saja dipetiknya.
Beberapa saat lamanya Raya menikmati segarnya pagi dengan indahnya taman di kebun bunganya, sampai-sampai ia tak sadar, sepasang mata menatapnya tanpa bosan. Mata tajam itu terpana melihat keindahan wajah bak bidadari turun dari langit, yang sedang menimang-nimang genggaman melati sambil memejamkan matanya.
Sepasang mata itu milik Damian, yang sudah beberapa saat lalu memegang sapu bergagang tinggi, dan menyapu daun-daun kering yang bertebaran karena angin.
Karena pesona sang bidadari, membuat Damian tak sadar, sapu yang dipegangnya terlepas, mengenai tong sampah yang terbuat dari seng, menimbulkan suara nyaring, yang mengejutkan sang bidadari.
Mata yang setengah terpejam itu terbuka lebar, menatap ke arah datangnya suara, dan wajah nya berseri ketika melihat siapa yang sedang terbungkuk meraih gagang sapu yang terlepas dari tangannya.
“Damiaaaan!” pekiknya riang.
Damian kembali memegang sapu dan melanjutkan kegiatannya.
“Ternyata kamu sudah datang?” tanyanya sambil berdiri, lalu melati yang semula digenggamnya jatuh berserakan.
“Aduuh … jatuh semua.”
Raya berjongkok lalu memungut melati-melati yang bertebaran. Damian tersenyum. Ia mendekat dan membantu memungut melati-melati itu.
Raya kemudian membawanya masuk ke rumah, menuju ke kamarnya, dan menebarkan melati-melati itu di atas tempat tidurnya.
Damian melanjutkan menyapu, lalu dilihatnya bik Sarti membawa nampan, berisi segelas teh hangat beserta dua potong pisang goreng, yang kemudian diletakkannya di meja yang ada di dekat kolam itu.
“Damian, ini diminum dulu, sama pisang gorengnya di nikmati, masih hangat lhoh,” kata bik Sarti.
“Terima kasih, Bik.”
“Diminum dan dimakan dulu, keburu dingin,” katanya lagi sambil berlalu.
“Bibik, aku juga mau,” tiba-tiba Raya yang sudah keluar lagi berteriak, sambil berjalan ke arah kolam.
“Untuk Non, sudah bibik taruh di ruang tengah.”
“Bawa ke sini saja Bik, aku mau minum di sini,” kata Raya sambil duduk kembali di atas batu, yang dekat dengan meja kecil, di mana bik Sarti meletakkan minum dan cemilan untuk Damian.
“Damian, ayo diminum dulu.”
“Ya Non, sebentar.”
“Sekarang saja, nyapunya nanti setelah minum dan makan cemilan ini,” kata Raya memaksa.
Damian tersenyum, mendekat ke arah meja, duduk di atas batu yang lain, agak jauh dari Raya. Bersamaan dengan itu, bik Sarti datang membawa minuman untuk Raya, juga dua potong pisang goreng.
“Silakan Non.”
“Trima kasih, bibik yang cantik,” kata Raya dengan wajah berseri.
Bik Sarti tersenyum lebar, senangnya di puji cantik oleh majikan. Ia berlalu sambil mencubit pelan lengan Raya.
“Iih, bibik genit deh.”
Damian menyeruput teh hangatnya.
Raya menyeruput coklat susunya.
Sekilas mata mereka bertaut, Damian ketakutan oleh perasaannya, kemudian lengsung berdiri, berusaha membunuh rasa yang nyaris tak terkendali.
Damian menepuk pipinya keras-keras.
“Hei, apa yang kamu lakukan?” pekik Raya.
“Apa?”
“Mengapa kamu memukul pipi kamu sendiri?”
“Ini … ada nyamuk Non.”
“Jangan pergi dulu, pisang gorengnya dimakan dulu,” kata Raya yang sudah mencomot pisang gorengnya, lalu menggigitnya dengan nikmat.
“Saya … nanti saja Non, menyapu dulu,” katanya sambil mengambil lagi sapumya,
Raya melanjutkan mengunyah pisang gorengnya, sambil memandangi lagi ikan-ikan yang berseliweran di kolam.
“Rayaaa! Ngapain kamu di situ?”
Raya menoleh, dilihatnya Kamila melangkah mendekatinya, kemudian mencomot pisang goreng yang ada di depannya.
“Heiii, itu punya Damian!” pekik Raya.
“Masa? Terlanjur aku gigit nih,” kata Kamila enteng.
Raya mengambil sepotong miliknya yang tersisa, diletakkannya di piring kecil yang diberikan bi Sarti untuk Damian.
“Ngapain kamu di sini?”
“Kan aku selalu di sini setiap pagi?”
“Maksudku, kamu bawa juga minuman kamu ke tempat ini.”
“NIkmat, tahu. Minum hangat-hangat sambil ngemil pisang goreng, lalu melihat ikan-ikan berkejaran."
“Hm, sok romantis deh.”
“Aku mau berangkat kuliah dulu,” kata Raya sambil berdiri. Kedatangan kakaknya merusak situasi yang dianggapnya sangat menarik untuk dinikmati. Minum coklat susu panas, mengunyah pisang goreng, dan inginnya Raya adalah ditemani Damian. Tapi tampaknya Damian sungkan berduaan dengan dirinya.
Raya menoleh ke arah Damian sebelum masuk ke rumah, lalu melemparkan sebuah senyuman ketika Damian juga menatapnya.
“Damian, nanti kalau ada lagi mawar mekar, untuk aku ya,” pesan Kamila sebelum mengikuti Raya masuk ke rumah.
“Baik, Non.”
Damian menarik napas panjang. Ia menganggap dirinya sudah gila. Ada perasaan aneh yang merayapi jiwanya, saat menatap atau berdekatan dengan Raya. Damian selalu berusaha mengibaskannya. Ia hanyalah pungguk dan Raya adalah kejora yang tak pernah berhenti berpendar. Ia hanya bisa menatapnya, memimpikannya dari jauh, tapi tak akan pernah mampu meraihnya.
Kemudian dia menyelesaikan pekerjaannya menyapu. Didengarnya suara sepeda motor berlalu, lalu Damian tahu, bahwa Raya sudah berangkat kuliah.
“Anak orang kaya yang selalu memilih naik sepeda motor saat kuliah, daripada diantarkan sopir dengan mobil,” gumamnya pelan.
***
Kamila menuju dapur, mendekati bik Sarti yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.
“Bik, bisakah bibik nanti membuatkan selat segar?”
“Selat segar? Sekarang Non? Bibik lihat dulu bahannya ada enggak. Kalau nggak ada ya harus beli dulu.”
“Untuk siang nanti. Mas Abi mau ke sini, dia suka sekali selat segar.”
“Oh, bukankah tuan Abi ada diluar negri?”
“Kemarin baru datang.”
“Baiklah Non, kalau masih siang nanti, bibik akan siapkan. Masih ada daging di kulkas. Bibik mau beli sayurannya dulu di pasar.”
“Ke pasar sama siapa? Ayuk aku antar bik.”
“Nggak usah Non, ke pasar di dekat situ saja. Kalau sama Non Mila pasti ke supermarket. Di pasar sayurannya lebih segar.”
“Ya sudah, terserah bibik saja. Sekarang bibik membuat sarapan apa?”
“Tadi, ibu minta sambel goreng ati, ini sudah siap. Non Raya tidak mau menunggu sarapan, keburu telat, katanya.”
“Mari, aku bantu menatanya di meja, bik.”
“Terima kasih Non. Bibik mau menggoreng kerupuk dulu.”
***
“Raya sudah berangkat?” tanya pak Rahman kepada istrinya.
"Sudah. Dari tadi main-main di taman, saatnya sarapan dia langsung berangkat. Tadi mau pamit Bapak, tapi Bapak lagi mandi,” jawab bu Rahman.
“Sudah sarapan tadi, pisang goreng, lalu mencomot roti bakar di dapur,” sambung Kamila.
“Anak itu, selalu naik sepeda motor, nggak mau naik mobil, padahal mobil ada tiga di rumah ini.”
“Katanya, kalau naik mobil nggak bisa buru-buru. Jalanan sering macet,” kata Kamila lagi.
“Iya juga sih, tapi kalau mau nggak terlambat, berangkat lebih pagi, kenapa?”
“Maunya begitu.” jawab bu Rahman.
“Bapak nanti ke kantor?” tanya Kamila.
“Iya, agak siangan. Kenapa? Mau bareng?”
“Tidak. Nanti mas Abi mau datang kemari.”
“O, sudah selesai kuliahnya di luar negri?”
“Sudah, Terus mau ngelanjutin usaha ayahnya di Jakarta.”
“Jam berapa dia mau datang?”
“Katanya agak siangan, begitu.”
“Bapak harus ke kantor. Nggak apa-apa, kan ada ibumu?”
“Paling-paling juga nanti ngajakin Kamila pergi, di sini cuma sebentar,” kata bu Rahman.
“Dia pengin dibuatin selat segar. Mila sudah pesan sama bibik.’
“O, pantesan tadi bibik bilang mau belanja pagi-pagi, karena ada pesanan non Mila.”
“Iya Bu, tapi dia sudah masak beefsteaknya, lalu tinggal beli kentang dan sayurnya. Tadinya mau Mila antar, tapi bibik bilang mau belanja di pasar dekat rumah saja.”
“Barangkali karena kita masih punya bahan-bahan dapur yang cukup. Kalau hanya sayuran saja bisa beli di pasar dekat rumah.”
“Terus, hubungan kamu mau dikemanain? Bapak nggak suka lho, pacar-pacaran begitu. Sudah lama kalian saling kenal, dan dia juga sudah selesai kuliah.”
“Nanti Mila bilang. Dia juga mengatakan ingin segera melamar.”
“Bagus, segera. Berpacaran terlalu lama, sangat tidak baik dan menjadi percakapan orang.”
“Benar Pak, punya anak gadis itu tidak gampang menjaganya. Mungkin kita sudah mendidiknya dengan baik, tapi diluar sana kan dia bergaul dengan banyak orang dan beberapa kalangan dengan bermacam sifat serta perilaku. Pergaulan itu penting, dan bisa mempengaruhi keimanan kita. Kalau bergaul dengan orang baik, jadilah orang baik, tapi bagaimana kalau sebaliknya? Orang tua itu, setelah anak menjadi dewasa, tidak bisa selalu mengamati dan melihat, bagaimana anak-anak kita di luar sana.” kata bu Rahman panjang lebar.
“Iya Bu, Mila tahu kok, bagaimana seorang gadis harus menjaga diri.”
“Kalau begitu, nanti bilang sama Abi, segera melamar dan bapak sama ibumu akan mempersiapkan semuanya. Dia serius kan? Tidak main-main?”
“Iya Pak, pastinya. Nanti Mila akan bilang sama dia.”
***
Tapi ketika sudah bertemu Abi, dan Kamila mengatakan apa yang diinginkan orang tuanya, rupanya Abi tidak bisa menjawab dengan pasti.
“Jangan sekarang. Masih banyak yang harus aku lakukan. Orang tuaku berharap agar aku bisa menguasai jalannya bisnis yang sudah dirintis sejak lama.”
“Apakah itu masih lama?”
“Aku belum bisa memastikannya. Kenapa harus buru-buru? KIta belum terlalu tua.”
“Bukan masalah tua. Orang tuaku, terutama Bapak, tidak suka kalau kita berpacaran terlalu lama. Nanti dikira kamu tidak serius.”
“Aah, memangnya kenapa? Aku kan selalu menjaga kamu dengan baik, dan tidak melakukan hal yang tercela? Masa kamu tidak mengenal aku?”
“Aku tahu, tapi sebagai orang tua kan punya keinginan yang berbeda. Intinya adalah, tidak suka kalau kita terlalu lama berpacaran.”
“Kalau begitu tunggulah sampai aku bisa menyelesaikan tugas dari orang tua yang nantinya juga untuk kita.”
Kamila agak kecewa mendengar jawaban Abi. Semuanya masih serba menggantung, dan tidak menentu.
“Kamila, kalau kamu mencintai aku, kamu harus bersabar. Ya?”
Abiyasa bukan seorang laki-laki yang romantis, tapi wajah tampannya selalu menarik untuk dipandang. Kamila jatuh cinta sejak Abiyasa menjadi kakak kelasnya di SMA. Mereka berpisah karena Abi harus melanjutkan kuliah di jurusan lain, lalu melanjutkannya di luar negri. Tapi mereka masih selalu berhubungan. Sejak masih sekolah, Abi selalu menjadi idola teman-teman wanitanya, tapi hanya Kamila yang berhasil merebut hatinya. Sebenarnya Kamila sering kesal, karena Abi tidak pernah menunjukkan kasih sayang dan kemesraan seperti layaknya orang berpacaran. Dia terlalu serius dalam bercakap-cakap, dan kemanjaan yang selalu ditunjukkan oleh Kamila selalu diterimanya dengan sikap biasa. Tapi justru sifat itu yang membuat Kamila jatuh cinta. Ia menilai, seorang dengan sifat seperti Abi pastilah memiliki kesetiaan yang tinggi.
“Mila, apa kamu marah?”
“Tidak, aku harus menjawab apa kalau nanti bapak menanyakan hubungan kita.”
“Katakan saja bahwa aku masih memiliki tugas dari orang tua aku, yang harus aku lakukan.”
“Bagaimana kalau pertanyaannya adalah ‘kapan’?”
“Kamu harus bersabar.”
Jawaban itu tidak memuaskan Kamila. Itu bukan jawaban yang diharapkan. Harus ada kepastian. Tapi Kamila segan untuk mendesaknya. Ia tak ingin kelihatan seperti terlalu mengejar-ngejar.
“Nanti makan selat segar seperti kesukaanmu ya Mas, bibik sudah memasak untuk kamu.”
Abi belum sempat menjawab, ketika ponselnya berdering.
“Ya, aku sudah di rumah. Apa? Jangan bercanda. Serius? Itu bukan kemauan aku. Baiklah, aku segera ke sana.”
Kamila melihat Abi menutup pembicaraan itu, dan wajahnya menjadi keruh.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
DeleteMtnuwun mbk Tien,Smg sehat selalu
No.2 ...alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh terbit..🙏🙏
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang.
ReplyDelete💕⚘💕⚘💕⚘💕⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah SP 02
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai 🌹🦋
💕⚘💕⚘💕⚘💕⚘
Matursuwun mb Tien 🙏
ReplyDeleteSlamat malam bunda Tien..terimaksih🙏SP2 nya..slm sehat sll dan aduhaai unk bunda sayang🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulilah...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSugeng ndalu, sehat selalu kagem bunda Tien..
Mtrnwn mbak...
ReplyDeleteAlhamdulillah,, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Wah Abi sepertinya tdk serious nih ads apa nya ya...🤭
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteSebuah pesan sudah datang
Matur nuwun bu
Soga sehat selalu dan tetap semangat
Matur nuwun bu
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Dan tetap semangat
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH PESAN~02 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat ..🙏
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
Terimakasih Bu Tien... Sehat selalu ya...
ReplyDeleteAlhamdulillah... matur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteNampaknya Damian berjodoh dengan Raya nih...ditunggu "plintiran" ibu Tien yg piawai dengan lika liku kisahnya...terima kasih, bu...sehat selalu.🙏😘😘
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih mbak T'ien. Salam sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah SP-02 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, semoga Bunda sehat selalu
Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ... jadi pengen masak Selat jg 🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda
ReplyDeleteApa ada yang tidak beres ya, si Abi itu. Sepertinya benar firasat orang tua, Mila harus lebih berhati-hati.
ReplyDeleteYang tidak terpikir malah Raya, sebab 'serumah' tetapi jauh dari penalaran.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Aduhai