CINTAKU BUKAN EMPEDU
10
(Tien Kumalasari)
Sejoli itu tidak berhenti, pak RT terus memburunya,
sambil berteriak-teriak.
“Aliyah! Aliyah !””
Laki-laki teman wanita yang dipanggil Aliyah itu sudah
memegang pegangan pintu mobil, heran melihat pak RT terengah mengejar.
“Aliyah,” pak RT memang terengah-engah.
“Bapak mau apa?”
“Aliyah, mengapa kamu bawa Aliyah?”
“Siapa yang Bapak maksud?”
“Itu .. Aliyah, mengapa kamu tidak pulang? Semua orang
bingung mencari kamu. Ayo ikutlah aku, kami menunggu, Aliyah.”
Laki-laki itu sudah membuka pintu mobil, si wanita
hampir masuk ke dalamnya, heran mendengar ocehan pak RT.
“Siapa Aliyah? Itu nama kampungan bukan?”
“Ya ampun Yah, setelah bertemu orang kaya, kamu jadi
lupa?”
“Pak, wanita ini istriku, namanya Narita, bukan
Aliyah,” kata si laki-laki.
“Apa? Mengapa Anda mengganti namanya?”
“Mas, ayo pergi, kita akan ketinggalan pesawat,” kata
wanita itu yang langsung masuk ke dalam, dan si laki-laki berjalan berputar,
untuk masuk ke sisi yang lain, dibelakang kemudi.
“Aliyah!!”
“Cepat Mas, aku takut. Dia orang gila. Dan kita tidak
bisa berlama-lama di tempat umum seperti ini.”
Mobil itu berlalu, pak RT melongo dengan air mata
bercucuran. ‘Aliyah’ nya diambil orang.
Dengan lunglai ia berjalan kepinggir, lupa pada rasa
laparnya.
“Cepat sekali dia berubah. Gara-gara ada laki-laki
tampan bermobil bagus,” gumamnya.
“Pak RT,” sebuah sapa mengejutkannya.
“Nak Pinto?”
“Ada apa? Mengapa Bapak menangis?” tanya Pinto heran.
“Aliyah.”
“Mana Aliyah?” Pinto menebarkan pandangannya ke
sekeliling tempat itu, tapi tak ada Aliyah di sana.
“Dia sudah dibawa orang,” kata pak RT lesu.
“Dibawa orang? Mengapa Bapak tidak menghentikannya,
supaya penculik itu ditangkap?”
“Kalau kamu melihatnya, pasti kamu heran. Aliyah
berdandan sangat cantik, seperti artis. Dia menggandeng laki-laki tampan, yang
kemudian mengakui Aliyah sebagai istrinya.”
“Apa?”
Lalu pak RT menceriterakan perihal pertemuannya dengan
‘Aliyah’.
“Ya Tuhan, apa itu benar? Jangan-jangan dia bukan
Aliyah, Bapak salah lihat.”
“Aku ini biar sudah tua, tapi mataku masih awas. Dia
bahkan juga mengganti namanya, bukan lagi Aliyah, Mungkin nama Aliyah
dianggapnya kampungan.”
“Diganti nama apa?”
“Dia menyebutkan sebuah nama, tapi siapa, nggak jelas.
Aku hanya mengawasi Aliyah yang seperti tidak peduli, langsung masuk ke dalam
mobil. Kemudian mereka berlalu. Aku menangis, Nak, sedih sekali. Aliyah sudah
pergi, tak mungkin kembali ke rumahnya lagi. Harta yang berlimpah membuatnya
lupa.”
“Benarkah begitu?”
“Aku dengar mereka akan segera naik pesawat.”
“Berarti ke bandara? Ayo kita kejar ke sana.”
Pak RT menatap Pinto dengan bersemangat.
“Bagus, ayo kita kejar.”
***
Tapi bandara itu jauh dari tempat mereka sekarang ini,
lagi pula sepeda motor Pinto bukan sepeda motor baru yang bisa melesat seperti
terbang. Pak RT berkali-kali memukul punggung Pinto agar Pinto semakin
mempercepat kendaraannya.
“Ini sudah pol, Pak. Tidak bisa lebih cepat lagi.”
“Kalau kelamaan kita tak akan bisa bertemu. Tapi
Aliyah mengatakan bahwa mereka harus cepat, agar tidak ketinggalan pesawat.”
“Baiklah. Bapak sabar ya, kalau memang kita
ditakdirkan untuk bertemu Aliyah, pasti kita akan bisa bertemu.”
“Padahal bandara masih jauh.”
“Benar, masih sepuluh an kilo meter dari sini.”
“Aduh, nggak bisa lebih cepat lagi ya?”
“Ini sudah pol Pak. Maklum, sepeda motor saya ini kan sepeda
motor tua.”
Tapi sebenarnya Pinto ragu-ragu. Apa benar yang
dilihat pak RT adalah Aliyah? Bagaimana kalau bukan? Masa Aliyah setega itu,
tidak mau mengenal pak RT. Jangan-jangan pak RT salah orang. Itu pula sebabnya,
Pinto yang penasaran ingin sekali bisa melihat, seperti apa orang yang oleh pak
RT dianggap Aliyah.
Akhirnya mereka memasuki bandara. Hari sudah sore. Setelah
memarkir sepeda motornya, mereka segera bergegas memasuki lobi bandara, di mana
masih banyak orang yang sedang cek in dan menunggu.
Mata pak RT mencari-cari, demikian juga Pinto. Tapi
yang dicari tidak ketemu.
“Mana dia Pak?”
“Barangkali mereka sudah masuk, Nak. Tadi mereka
tergesa-gesa,”
Pinto mendekati loket pendaftaran. Ia menanyakan
apakah ada penumpang bernama Aliyah. Pastilah tidak ada. Lalu Pinto bertanya
kepada pak RT, siapa nama ganti Aliyah? Pak RT kebingungan.
“Entahlah, aku tidak begitu memperhatikan.”
“Waduh, susah kalau begitu,” kata Pinto lalu
menggandeng pak RT pergi.
“Tidak berhasil ya?”
“Harapan saya, tadi bisa melihat orangnya. Kalau benar
Aliyah, saya akan mencoba membujuknya untuk kembali. Tapi ternyata kita tidak
bisa menemukannya di sini.”
“Jadi bagaimana, Nak Pinto.”
“Ya sudah Pak, kita harus bisa menerima keadaan. Kalau
benar dia Aliyah, dan sudah menemukan hidup enak, menjadi istri orang kaya,
kita harus bersyukur. Ya kan Pak?”
Pak RT tidak mengangguk, juga tidak menjawab. Ia
melangkah gontai mengikuti Pinto, yang lalu mengajaknya pulang. Tapi ditengah
perjalanan, pak RT menyentuh bahu Pinto.
“Nak, sebenarnya saya sangat lapar. Bisakah berhenti
sebentar di warung depan situ?”
“Oh, iya Pak, baiklah. Kenapa tidak mengatakannya dari
tadi?”
“Bapak menunggu di warung, sementara saya akan shalat
di masjid terdekat ya?”
“Ya, baiklah, nanti setelah makan aku menyusul,
waktunya masih lama kan?”
“Harus segera Pak, soalnya dari Maghrib ke Isya itu
tidak lama.”
“Ya, ya, aku tahu.”
***
Bu RT mondar mandir dijalanan, karena hari sudah
malam, sang suami tercinta belum juga pulang. Ia sudah bertanya ke seluruh warga
yang sekiranya dikenal baik oleh pak RT, tapi tak seorangpun mengetahuinya.
“Dasar laki-laki menjengkelkan. Selalu saja membuat bingung perempuan. Dari siang belum makan juga. Makanan yang disediakan tidak
disentuh. Apa maunya, dia itu. Sejak Aliyah hilang entah ke mana, tingkahnya
aneh. Makan kalau tidak dipaksa tidak mau. Malam saatnya tidur, hanya mondar
mandir di depan rumah. O, iya, rupanya suamiku benar-benar tergila-gila pada
Aliyah,” gumam bu RT kesal, sambil duduk di depan rumah, diatas sebuah bangku,
di halaman.
Ketika kemudian sebuah sepeda motor memasuki halaman,
bu RT mengerutkan dahinya. Sang suami datang dengan diboncengkan Pinto.
“Kok bisa sama nak Pinto sih?”
“Selamat malam Bu,” sapa Pinto.
“Lha iya, kok bisa bersama nak Pinto?”
“Tadi jalan-jalan sama pak RT. Sekarang saya pulang
dulu ya Bu.”
“Tidak mampir dulu Nak, ini sudah malam, ayo makan di
sini,” sapa bu RT ramah.
“Kami sudah makan tadi Bu. Permisi,” kata Pinto yang
kemudian mengendarai sepeda motornya pulang.
“O, jadi tadi jalan-jalan sama nak Pinto? Terus
pulangnya makan dulu di warung?”
“Iya, habis aku lapar sekali, dari tadi siang belum
makan.”
”Salah sendiri, mengapa tidak makan dulu, bukankah
semuanya sudah aku sediakan?”
“Sebenarnya tadi aku ketemu Aliyah.”
“Apa? Sudah ketemu? Berarti ini tadi pulangnya sama
Aliyah juga? Dan sekarang dia sudah ada di rumahnya?”
“Tidak Bu, ketemu, tapi dia sudah bersama seorang
laki-laki.”
“Lhoh, berarti laki-laki itu yang menculik.”
Lalu pak RT menceritakan semuanya, sampai mengejarnya
ke bandara, tapi tidak berhasil.
“Bapak itu selalu begitu. Bertindak belum tentu benar,
sudah merasa yakin kalau benar. Aku yakin, karena setiap hari memikirkan
Aliyah, maka ketemu orang yang sedikit mirip, dikira benar-benar Aliyah,” omel
bu RT.
“Kamu itu kalau dikasih tahu selalu menjengkelkan.
Mataku ini masih awas Bu. Tidak mungkin keliru.”
Pak RT ngeloyor masuk ke rumah, jengkel karena sang
istri tidak mempercayainya.
***
Farah sedang menyiapkan makan malam untuk majikannya. Ia hanya menatanya di meja makan, tapi tak berani memintanya makan.
“Suasana lagi kacau, bisa-bisa aku diterkam lalu dicincang
habis,” gumam Farah. Lalu dia ingat, bahwa ‘Non Narita’ juga butuh makan malam
ini.
“Ada apa? Farah?”
Farah terkejut, tiba-tiba Kirman sudah ada di
dekatnya.
“Mas Kirman mau makan? Kalau makan, di dapur sudah aku
siapkan, trus aku mau duduk-duduk saja sambil menonton teve.”
“Tuan Alfi marah-marah ya?”
“Kan sudah tahu, kalau sejak siang tadi dia
marah-marah terus. Gara-gara non Narita itu, pura-pura jadi orang bodoh,
pura-pura menangis, lalu mengaku bahwa namanya bukan Narita. Sepertinya dia
menganggap semua orang itu bodoh apa? Sudah jelas dia non Narita, katanya
namanya Aliyah, orang miskin. Huuh.”
“Tapi aku sebenarnya sedang berpikir. Untuk apa ya,
non Narita belanja ke pasar, pakai menyamar jadi orang miskin?”
“Dia kan sedang menyembunyikan dirinya, tak ingin anak
buah tuan Alfi ataupun siapa yang mengenalnya, kemudian melihatnya, dan dia
dipaksa kembali ke rumah tuan Alfi. Bagaimana menurutmu Mas?”
“Ya, aku sependapat sama kamu, pasar kan tempat umum,
bisa saja dia ketahuan, makanya dia menyamar. Tapi wajahnya kan tidak bisa
ditutupi. Dia tetap saja non Narita. Buktinya tuan Alfi langsung mengenalinya
kan?”
“Kasihan sebenarnya. Tuan Alfi sudah menghajarnya, dan
menyekapnya di dalam kamar. Katanya kalau dia tidak mau mengaku, maka dia akan
terus menyiksanya.”
“Tuan Alfi kalau sedang marah, bisa sangat kejam.”
“Benar. Sekarang makanlah, itu sudah aku siapkan?”
“Kamu tidak makan?”
“Belum lapar, aku sedang mau membawakan dia makan
malam, sebenarnya. Berkenan tidak ya, tuan Alfi. Tidak disuruh sih. Tadi saja
waktu aku minta mas Kirman memasukkan kasur ke dalam kamar itu, tuan
marah-marah.”
“Kasih makan saja, kelihatannya tuan Alfi sedang ada
di dalam kamar, sedang menerima telpon. Mungkin dari tuan sepuh.”
“Ya sudah, aku bawakan makan dulu ke kamarnya ya.”
Farah mengambil nasi dan lauk pauk, kemudian dibawanya
ke kamar, dimana Aliyah disekap.
Tapi begitu dia membuka pintunya, tiba-tiba Aliyah
menyerobot keluar, menabrak Farah sehingga piring berisi nasi itu berhamburan
ke lantai.
“Eh, Non. Berhenti Non !!”
Farah meletakkan nampan di lantai begitu saja, lalu
mengejar Aliyah yang dengan cepat lari keluar. Tapi dia bingung, di mana pintu
keluar. Bukannya Aliyah lari ke depan, malah ke belakang, dan berbelok ke arah
dapur. Kirman yang sedang makan terkejut.
“Non, mau ke mana?”
“Hentikan dia, mas Kirman!” teriak Farah.
“Tolong, aku harus pergi, biarkan aku pergi. Mana
pintu ke luar?” pintanya memelas.
“Mengapa Non pergi? Ayo kembali saja ke kamar, nanti
tuan Alfi bisa semakin marah.”
“Tapi aku bukan orang yang di maksud, dia salah. Mana
pintu keluar?”
Tapi Kirman bukannya menunjukkan pintu keluar, malah
menarik Aliyah agar berhenti. Farah yang sudah sampai di tempat itu segera
memaksanya kembali ke kamar.
“Tolong lepaskan aku. Biarkan aku pergi, kalian salah
orang,” teriaknya berkali-kali.
“Hati-hati, ada pecahan piring di depan pintu. Non
sih, menabrak saya,” kata Farah yang tak peduli pada permintaan Aliyah, terus
saja menariknya agar masuk ke dalam kamar.”
“Auuggh!” tiba-tiba Aliyah berteriak. Kakinya
menginjak pecahan kaca. Darah berceceran di setiap langkahnya.
“Non sih, kan saya sudah bilang ada pecahan piring,”
kata Farah yang terus menuntun Farah ke dalam, lalu mendudukkannya di kasur.
Aliyah terus merintih, pecahan itu menancap sangat
dalam. Pecahan piring sudah dicabutnya, tapi darahnya tak berhenti mengalir.
“Tunggu, aku ambilkan obat, tahan sebentar ya,” kata
Farah yang kemudian terburu-buru keluar.
Diluar pintu, dilihatnya Kirman sedang membersihkan
kaca dan kotoran bekas makanan.
“Non Narita luka parah. Tolong dulu ya Mas, aku mau
ambil obatnya.”
“Ada apa ini, ribut-ribut?” tiba-tiba Alfian muncul.
“Apa yang kamu lakukan Man? Mana Farah?”
“Piring makan untuk non Narita pecah di sini Tuan.”
“Mengapa kamu yang membersihkan? Farah mana?”
“Sedang mengambil obat, kaki non Narita terluka.”
“Narita bisa menginjak pecahan piring itu? Apa dia
keluar?” hardik Alfian marah.
“Sebenarnya dia mau melarikan diri, saya berhasil
mencegahnya. Ketika lari itu, non menabrak Farah yang sedang membawa piring
berisi makanan.”
“Bodoh, Farah! Siapa suruh dia memberi makan? Bukankah
siang tadi sudah?”
“Ini sudah malam, tuan.”
Alfian tak menjawab. Ia menerobos masuk ke kamar, dan
melihat darah berceceran.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Mengapa Tuan begitu kejam? Aku bukan orang yang Tuan
maksud. Tapi Tuan tidak mau mendengar. Aku ini Aliyah, orang miskin, bukan
Narita. Aku baru tahu bahwa Tuan seorang
laki-laki yang kejam!!” teriak Aliyah dengan berani, sambil tangannya menuding
ke arah Alfian.
Tiba-tiba Alfian terkejut. Ia melangkah mendekati ‘Narita’,
menatap tangan yang menuding itu dan menangkapnya.
“Tuan mau apa?? Lepaskaaan!!”
Alfian tidak melepaskannya. Ia terus mengamati tangan
Aliyah. Ada tanda lahir diatas pergelangan tangannya. Apa Narita juga punya? Sebuah
ingatan tiba-tiba melintas.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah CBE_10 sudah tayang.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, tetap berkarya walau ada yang bernada sumbang....
Yes.
DeleteMatur suwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien, sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSdh hadir gasik
Matur nuwun bu
Semoga sehat selalu
Mtrnwn mbak...
ReplyDeleteAkhirnya...yg ditunggu2 tayang. Terima kasih, bu Tien. Sehat selalu ya...😘😘😀🙏
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Slmt mlm bunda..terima ksih CBE 10 nya..smg bunda selalu sehat walafiat..salamseroja dan aduhaai dri skbmi🙏🌹😘❤️
ReplyDelete〰️🍃🌻🦋🌻🍃〰️
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 10 sdh
tayang. Matur nuwun
Bu Tien. Sehat selalu
& tetap smangaats.
Salam Aduhai...
〰️🍃🌻🦋🌻🍃〰️
Tanda lahir Narita, ternyata tidak ada di tangan Aliyah, semoga Alfian tidak menyekapnya lagi. Tetapi bagaimana jika orang tua Alfian memaksakan pernikahan?
ReplyDeleteHM senengnya nebak2 yang akan datang....
Salam sehat selalu Bu Tien
Alhamdulillah. .matur nuwun mbak Tien..sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~10 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah... terima kasih... makin aduuai trs....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien..
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Horeee tayang lebih awal...😍
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
Nah... orang kembar juga punya ciri khas. Mudah mudahan Alfian menyadari itu.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah Maturnuwun Bunda.tetap semangat serta selalu sehat wal afiat.Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah. .matur nuwun bu Tien..sehat wal'afiat selalu.
ReplyDeleteMakin seru nih,,, ayo Alfian dingat lg tanda di narita 🤣🤭
Alhamdulillah tayang gasik
ReplyDeleteAlhamdulilah, matur nuwun ya episode 10 tayang cepet, salam hangat dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteSemoga tanda lahir di tangan Aliyah bs meredakan kemarahan Alfian..
ReplyDeleteMinimal mau mengantar pulang Aliyah ke rumahnya, agar tahu kebenaran kondisi Aliyah yg berbeda dg Narita walaupun wajahnya sept pinang dibelah dua.. hehe pembaca ikut berharap
Tks bunda Tien CBE 10 sdh tayang
Semoga bunda sehat selalu..
🙏🙏🌹🌹
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Tangan nya mulus ya, nggak ada tahi lalat nya.
ReplyDeleteNada suaranya apa juga sama; beda kan.
Emosi nggak bisa buat koreksi, wuah kalau dilepas dituntut balik tambah tekor nich, boncos.
Bingung merasa salah, tapi ditutup tutupi biar keliatan sangar, maknya datang mau ikutan mlonco 'narita' .
Semua masih saja mengira bener, tapi lama kelamaan pemberontakan demi pemberontakan, diajak bicara banyak, jadi baru terlihat ada bedanya.
Kasep wis ajur awaké lagi, nah lho.
Ngrayu biar bisa buat ganti, ich siapa yang mau orang kejam gitu, kaya seeh kaya, tapi gemblung nya itu kalau kumat, mana tahan.
Kan masih berharap sama Pinto, terus pak RT;
Wah kalau itu diluar area, atau sedang di alihkan
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke sepuluh sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah CBE-10 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, semoga Bunda sehat selalu.
Aamiin
Terimakasih bunda Tien, karya cerbung yang menarik dan menghibur kami, selalu ditunggu untuk dinikmati, salam hangat dan sehat selalu untuk bunda Tien sekeluarga
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin seruu.
Salam sehat selalu aduhai