SETANGKAI BUNGAKU
47
(Tien Kumalasari)
Semalaman Pratiwi merenungi apa yang terjadi pada
hari-hari yang dilaluinya belakangan ini. Seperti mimpi rasanya ketika
menyadari bahwa dia adalah calon menantu keluarga Luminto. Apakah ini nyata?
Berkali-kali dicubitnya lengannya, dan terasa sakit. Berarti ini bukan mimpi. Lalu
dia bertanya pada dirinya, benarkah ini tulisan dalam suratan takdirnya? Dari
hidup berkekurangan, jatuh bangun mengais rupiah demi rupian untuk keluarganya,
lalu semuanya akan berakhir? Kemudian Pratiwi menyadari, betapa elok dan
indahnya saat-saat dimana dia menghitung uang, bisa menyisihkannya untuk
sekolah adiknya, dan itu adalah jerih payahnya, tetesan keringatnya. Ini tak
tergantikan.
Lalu dia bayangkan saat dia menadahkan uang dari
penghasilan suami yang kaya raya, tanpa setetes keringat pun yang mengaliri
tubuhnya. Senyum puas karena tak perlu berjerih payah? Tidak. Tak ada yang
lebih manis dari meneteskan keringat kemudian mencecap hasilnya, dan berpuas
diri bisa mencukupi kebutuhan ibu dan adiknya.
Lalu pagi hari itu Pratiwi sudah pergi ke pasar,
kemudian menggelar dagangannya. Gadis cantik sederhana itu kemudian menata
dagangannya, saat pagi masih remang, dan kemudian terkejut ketika setangkai
mawar merah sudah tergeletak diantara tumpukan sayur.
Pratiwi menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu melihat
punggung Ardian menjauh menuju jalan raya. Pratiwi meraih mawar itu, dan
membaca tulisan yang tergantung dengan pita indah di tangkainya.
Setangkai bungaku, untuk gadis yang selalu aku
impikan.
Pratiwi mencium lembut bunga itu, dan seperti
sebelumnya, wangi lembut terasa menusuk hidungnya, meresap kedalam sanubarinya.
“Ya Allah Sesembahanku, inikah cinta?” bisiknya pelan.
“Aduuh, pagi-pagi sudah mendapat kiriman bunga,”
Pratiwi terlonjak. Salah seorang pelanggan telah datang, lalu menggodanya
sambil tersenyum cerah.
“Dari pacar ya? Romantis sekali,” lanjut ibu itu.
“Silakan Bu, masih segar sayur-sayurnya,” kata Pratiwi
sambil meletakkan bunganya di dalam kotak tempat sayur yang sudah kosong,
setelah sayurnya di tata di meja dagangannya.
“Iya. Kebetulan nih, ada sayur kenikir.”
“Iya Bu, kemarin-kemarin nggak ketemu.”
“Kenikir ini sehat, dan konon bisa menyembuhkan
kanker,” kata ibu itu sambil memilih beberapa ikat kenikir.
“Aduuh, ada kenikir. Aku mau dong,” tiba-tiba ada
ibu-ibu lain yang sudah datang.
“Sayuran sedap, baunya wangi segar. Aku juga mau, sama
sambal pecelnya ada Wi?”
“Ada bu, silakan.”
Dan Pratiwi segera tenggelam dalam kesibukannya
melayani pembeli.
***
Ardian memasuki rumah, dan Roy sudah menyambutnya
dengan ucapan mengganggunya.
“Ya ampun, yang mau jadi pengantin, pagi-pagi sudah
ngelayap kemana?”
“Reseh!” kata Ardian yang terus berlalu, menuju ke
arah kamarnya.
“Eh, tunggu dulu. Nih, pagi-pagi ada tukang kirim
bunga, memberikan nota dan kembaliannya nih,” kata Roy sambil mengulurkan
selembar nota dan lembaran uang.
“Apa?”
“Dia bilang, tadi lupa menyerahkannya, karena kamu
buru-buru masuk ke rumah.”
“Oh, iya. Trim’s,” katanya sambil menerima nota dan
uang tersebut.
“Hei, dari mana pagi-pagi buta sudah ada toko mengirim
bunga kemari?”
“Aku pesan sejak semalam,” kata Ardian sambil masuk ke
kamar dan menutup pintunya, sekali gus menguncinya dari dalam, untuk
menghentikan ledekan adiknya yang pasti akan lebih panjang.
Roy berdiri mematung di luar kamar kakaknya. Merasa heran,
kakaknya yang selalu ragu dalam mengutarakan cinta, tiba-tiba menjadi se
romantis itu. Bagaimana ya, cara belajar romantis? Kok aku tidak bisa? Pikirnya.
“Roy, kenapa kamu senyum-senyum di situ?” tegur Ratna
yang sedang membawa nampan berisi coklat susu untuk seisi rumah.
“Tidak apa-apa Bu,” jawab Roy sambil mengikuti ibu
Ratna, dan membantu meletakkan cangkir-cangkir di meja ruang tengah, dimana
setiap pagi keluarga selalu bersantai sebelum bersiap untuk menjalankan
aktifitas kesehariannya.
"Bu, apakah dulu bapak juga romantis terhadap Ibu?”
tanya Roy sambil duduk didepan Ratna.
“Apa? Mengaoa kamu bertanya begitu?” tanya Ratna
sambil tersenyum.
“Cuma bertanya saja. Barangkali Roy bisa menirunya,”
kata Roy enteng.
“Kamu ini aneh-aneh saja.”
“Cuma bertanya saja. Barangkali Ibu masih ingat,
bagaimana ketika bapak jatuh cinta sama Ibu.”
“Bapakmu itu sangat romantis.”
“Oh ya?”
“Ketika dia jatuh cinta sama ibu, setiap hari ibu
dikirimin seikat bunga.”
“Wauuuw, pantesan,” seru Roy.
“Pantesan bagaimana?”
“Ardian rupanya meniru sifat bapak.”
“Bapakmu sangat nekat saat mencintai ibumu ini.
Saingannya banyak, tapi dia begitu bersemangat, dan akhirnya menang.”
“Nah, itu seperti Roy. Kalau sifat romantisnya, menurun
pada Ardian,” kata Roy sambil meneguk coklat susu nya.
“Kok tiba-tiba kamu bicara soal sifat bapak?” tanya
Sasmi yang datang kemudian, sambil meletakkan ubi goreng di meja.
“Nah, ini ibu Sasmi, pasti Ibu juga sependapat dengan ibu
Ratna, tentang sifat bapak kan? Maksud Roy, saat bapak jatuh cinta.”
“Kamu nih ada-ada saja.”
“Iya tuh, anakmu, pagi-pagi sudah mengorek rahasia
ayahnya. Nggak tahu, mimpi apa dia semalam.” Kata Ratna.
“Ini lho Bu, kata ibu Ratna, bapak itu dalam bercinta,
sangat berani, dan juga romantis. Sifat nekatnya dalam merebut contanya itu
sama seperti Roy. Tapi Roy tidak bisa romantis seperti bapak. Nah, yang meniru
sifat romantisnya itu Ardian,” terang Roy.
“Hei, ngapain bapak dibawa-bawa?” tanya Luminto yang
sudah rapi, lalu duduk diantara mereka.
“Pagi tadi, Ardian sudah memesan bunga, yang pastinya
segera diantarkan ke rumah Pratiwi,” kata Roy.
“Heiii! Ngapain kamu buka-buka rahasia aku?” teruak
Ardian yang juga segera muncul.
“Benar, Ardian, kamu pagi-pagi sudah mengirim bunga ke
rumah Pratiwi?”
“Ada-ada saja,” sungut Ardian sambil duduk, kemudian
menyeruput minumannya.
“Nggak usah malu, Bapak juga begitu kok, sahut Roy
membela diri.
“Tahu dari mana kamu?” tanya ayahnya.
“Ibu Ratna yang bilang, dan ibu Sasmi juga tidak
membantah kok. Iya kan Bu?” Roy masih mengoceh, sambil menyomot ubi gorengnya.
“Pagi-pagi sudah rame nih. Tapi sedih, kalau kalian
sudah pada menikah, dan meninggalkan rumah ini,” kata Sasmi sendu.
“Orang hidup itu ya begini ini. Punya anak,
membesarkan, mendidik, kalau sudah punya pasangan lalu melepaskan … ini kodrat
kan Bu. Setelah itu, tugas orang tua hanyalah mendoakan bagi kebahagiaan anak,
semoga mulia, dunia akhirat,” kata pak Luminto.
“Aamiin,” sahut semuanya. Tapi mengingat kata
perpisahan, tak urung ada rasa yang berbeda juga. Bahagia, tapi sedikit sendu.
***
Susana menanggapi dengan suka cita, ketika siang itu
Pratiwi mengatakan tentang niat keluarga Luminto, semalam.
“MasyaAllah, ini sangat indah, Tiwi. Aku bahagia untuk
kamu.”
“Sebenarnya Tiwi takut,” kata Tiwi pelan.
“Kenapa? Mas Ardian sangat mencintai kamu.”
“Mbak kan tahu, aku ini siapa, orang tuaku, keluargaku,
sebenarnya kan tidak pantas kalau harus berdampingan dengan keluarga Luminto.”
“Mengapa begitu? Mereka sudah menerimanya,
mengakuinya, lalu merengkuh kamu dengan segala keikhlasan mereka, berarti tidak
ada batas diantara perbedaan status sosial itu. Jalani semuanya dengan penuh
rasa syukur. Aku selalu mendukung kamu, dalam susah dan bahagia.”
“Terima kasih Mbak, lalu bagaimana dengan mas Bondan?”
Susana terdiam. Dia bisa menyemangati Pratiwi, tapi
dirinya sendiri masih berada dalam kebimbangan. Rasa takut menghadapi apa yang
akan dilaluinya, masih menghantuinya. Masa silamnya yang kelam, penuh dosa,
membuatnya selalu merasa rendah diri.
“Mas Bondan mencintai Mbak. Dia sudah tahu semuanya
tentang Mbak. Apa yang Mbak ragukan?”
“Bagaimana dengan keluarganya? Bukankah keluarga itu
penting?”
“Iya sih, tapi belum tentu ada penolakan dari mereka.
Tampaknya mereka bersimpati pada Mbak, buktinya, pak Juwono dengan suka rela
mau mendonorkan darahnya untuk Mbak.”
“Sebagai manusia, ya. Mungkin dia bisa melakukannya.
Tapi sebagai calon menantu, akan banyak yang dipertimbangkan.”
“Baiklah, kita tunggu saja. Sekarang, Mbak harus
sembuh terlebih dulu. Nanti setelah sembuh, kita lanjutkan pembicaraan kita
tentang bisnis yang akan Mbak lakukan. Aku tetap bersedia membantu.”
“Pratiwi, kamu sudah akan menjadi wanita kaya, aku
kira kamu tidak perlu berdagang lagi .”
“Mengapa Mbak? Walau aku menikah dengan orang kaya,
aku tidak mau bergantung pada uang mereka. Aku tetap akan berjualan.”
“Benarkah?”
“Itu benar. Kalau mereka malu punya keluarga tukang
sayur, berarti mereka bukan pilihan Pratiwi.”
“Anak baik. Itu sebabnya aku selalu menyayangi kamu
seperti saudara, Tiwi. Karena kamu juga aku bisa mengerti, bagaimana susahnya
hidup, dan bagaimana cara mengentaskan sebuah penderitaan batin.
***
Tapi lama-lama Pratiwi merasa gemas juga. Pagi itu ia
menunggu, dan begitu Ardian meletakkan setangkai mawar, Pratiwi dengan cepat
menyapanya, membuatnya urung melangkah pergi.
“Mas Ardian …” panggilnya lembut.
Ardian membalikkan tubuhnya, menatap kekasih hatinya
dengan pandangan mesra.
“Mengapa selalu terburu-buru?” lanjutnya.
Ardian tersenyum. Pratiwi menatapnya, dan baru
menyadari betapa menarik wajah laki-laki yang akan menjadi suaminya. Begitu
ganteng, dengan tatapan lembutnya, yang membuatnya berdebar sangat keras.
“Ya …?”
“Kenapa sih, selalu terburu-buru pergi?”
“Sesungguhnya … aku takut.”
“Apa? Memangnya aku menakutkan?”
“Takut pemberian aku kamu tolak.”
“Bunga ini?” kata Pratiwi sambil meraih setangkai
mawarnya, lalu menciumnya lembut.
“Kamu suka?”
“Sangat suka, dan lebih suka lagi kalau Mas mau
membantu aku berjualan.”
“Apa?” Ardian sangat terkejut.
“Nggak mau? Apa Mas malu berjualan sayur seperti aku?”
“Tidak, tentu saja tidak. Baiklah, aku akan membantu
kamu.”
“Benar?”
“Apa kamu akan selamanya berjualan sayur?”
“Memangnya kenapa?”
“Walau sudah menjadi istri aku?”
“Kalau Mas mengijinkan, aku akan tetap berjualan.”
“Kalau tidak?”
“Aku harus menurut apa kata suami aku, tapi aku akan
kecewa,” kata Pratiwi bersungguh-sungguh.
Ardian tersenyum. Ucapan Pratiwi yang lembut, terasa
seperti sebuah ancaman. Ia tak ingin istri yang dicintainya kecewa. Ia harus bahagia,
dan dia akan menuruti semua kemauannya. Baiklah, berjualan sayuran? Itu tidak
buruk. Ia akan menurutinya dengan caranya. Misalnya, membuatkan lokasi yang
lebih baik, mencarikan pembantu agar pekerjaan sang istri bisa lebih ringan.
“Baiklah, siapa takut?”
“Tiwi, sayur kemangi ada kah?” tiba-tiba seorang ibu
muncul dan siap berbelanja.
“Ada Bu, ini. Mau berapa ikat?”
“Satu saja, sama daun slada. Mentimun? Aku mau
membuat lalapan, dan ikan goreng.”
“Ada semua Bu, silakan memilih,” kata Pratiwi sambil
menyiapkan plastik keresek pembungkus, tapi Ardian meminta keresek itu, dan
membantu si ibu memasukkan belanjaannya ke dalam keresek.
“Ini siapa?”
“Eh, kok Pratiwi dibantu orang ganteng,” kata ibu-ibu
yang lain yang baru datang.
“Saya calon suami Pratiwi Bu,” kata Ardian mantab.
“Oh, calon suami? Ya ampuun, ganteng banget.”
Lalu beberapa ibu yang lain datang, dan bergunjing
tentang calon suami Pratiwi, sehingga lama sekali baru pada memilih sayur yang
ingin mereka beli.
Ardian dengan wajah cerah membantu Pratiwi, bahkan
ikut memilihkan sayur untuk para pelanggan. Pratiwi tersenyum senang. Ia hanya
ingin menguji calon suaminya. Benarkah dia mau memperistri seorang tukang
sayur. Apakah dia merasa jijik karena baunya? Atau nggak suka karena ada
kotoran tanah diantara sayuran yang digelar. Ternyata tidak. Pratiwi mulai
merasa, bahwa suratan takdirnya sudah bicara. Ini adalah kehidupannya yang akan
datang, bahagia ditemani suami yang mencintainya.
***
Susana sudah boleh pulang. Ia tetap meminta agar
Pratiwi mengijinkannya pulang ke rumah. Tentu saja Pratiwi mengijinkannya. Di
rumahnya, Susana hanya sendirian. Sehabis sakit pasti ia masih butuh bantuan. Pratiwi
tak tega membiarkannya.
Ia sudah bersiap meninggalkan rumah sakit, dibantu
Pratiwi, dan sangat terkejut ketika semua biaya selama dia dirawat sudah
terbayar.
“Susana,” tiba-tiba seseorang memanggilnya.
“Mas Bondan? Mengapa Mas melakukannya?”
“Jangan dipikirkan, yang penting kamu segera bisa
pulang dan beristirahat.”
Lalu Susana terkejut, ketika melihat ayah dan ibu
Bondan juga datang bersama Bondan. Susana mendekat. Ia belum mengucapkan terima
kasih setelah mendengar bahwa pak Juwono telah mendonorkan darahnya. Ia menyalami dan mencium tangannya.
“Pak Juwono, saya mengucapkan terima kasih. Karena
Bapak, saya masih hidup sampai sekarang,” katanya tanpa melepaskan tangan pak
Juwono yang ditempelkan di dahinya.
“Aku melakukannya, demi calon menantu aku.”
Susana terkejut, sehingga tanpa sadar melepaskan
tangan pak Juwono. Tapi ia tak mampu berkata apa-apa. Semuanya seperti mimpi.
“Susana, Bondan sudah memilih kamu, berarti kamu gadis
baik dan kami akan merestuinya,” kata bu Juwono.
Susana meraih tangan bu Juwono, menciumnya lembut,
lalu meneteslah air matanya.
“Saya … merasa tidak pantas,” isaknya.
“Kamu harus melupakan masa lalu kamu, dan detik ini
adalah kehidupan baru kamu, mencadi calon menantu aku.”
“Horeee….” Tiba-tiba Ratih berteriak senang. Ia datang
bersama Roy yang menjemput Ratih.
“Hiih, brisikkk!” sergah Bondan. Tapi kali ini wajah
Bondan tampak berseri-seri. Dengan restu kedua orang tuanya, Susana tak tampak
menolak. Ia tahu, perilaku baik akan membasuh semua noda.
***
Ketika di pelaminan duduk sepasang pengantin, aroma
bahagia menebar di seluruh ruangan. Pratiwi dandan begitu cantik, dengan
pakaian Jawa yang anggun. Ia bagaikan Dewi Ratih yang baru turun dari Kahyangan.
Disampingnya adalah Kamajaya, Dewa pasangan Ratih yang tersenyum bahagia, dan
tak pernah melepaskan pegangan tangannya pada Sang Dewi.
Tiba-tiba datang tamu yang membuat mereka terkejut.
Bondan dan Susana, dengan perut yang mulai membuncit. Ya, karena Bondan menikah
beberapa bulan sebelum Pratiwi dan Ardian ke pelaminan, lalu mereka tinggal di
Jakarta.
“Selamat ya,” bisik Susana sambil mencium sahabatnya.
“Aku sudah hampir punya keponakan nih?” kata Pratiwi
riang.
“Iya, Tiwi. Kamu harus segera menyusul ya?” jawab
Susana.
“Ayo, cepat memberi ucapannya, gantian aku, soalnya
kedua mempelai ingin kita segera pulang. Tahu sendiri kan?” Itu ucapan Roy yang
menggandeng Ratih. Mereka akan menyusul kemudian. Ardian meninju bahu adiknya
pelan, tapi mulutnya menyunggingkan senyuman.
“Cepat menyusul, dan belajar menjadi romantis,” kata
Ardian meledek adiknya.
Semarak malam yang tak akan terlupakan, karena cinta
sudah berlabuh di muara masing-masing. Adakah yang lebih indah dari cinta yang
bersambut?
***
TAMAT DULU YA.
________________
Seorang gadis cantik bersimpuh dihadapan laki-laki
yang dengan kejam menjambak rabutnya.
“Kamu merasa bahwa kamu bisa menghilang dengan membawa
semua hartaku? Biar kamu merubah tatanan rambutmu, Biar kamu pura-pura menjadi pelayan
sekalipun, aku tak akan bisa melupakan kamu. Aku akan membalasnya, dan akan
kembali mengambil milik aku.”
“Tolong, lepaskan aku, aku bukan Narita, aku tidak
mengenalnya.
Dan laki-laki itu menghempaskan tubuh ramping itu
sehingga si gadis terjerembab ke lantai.
Yuk, tungguin, CINTAKU BUKAN EMPEDU.----------------
Mtrnwn
ReplyDeleteAkhirnya.... luar biasa sll... terima kasih Mbu Tien....
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir
ReplyDelete🍒🌿🍒🌿🦋🌿🍒🌿🍒
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 47 telah
tayang.Matur nuwun Bu Tien.
Semoga tetap sehat dan
smangat. Salam ADUHAI...
🍒🌿🍒🌿🦋🌿🍒🌿🍒
matur nuwun eyang
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien
ReplyDeleteMaturnuwun sangets Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga selalu sehat.....aamiin
ReplyDeleteSalam sehat, bu Tien...matur nuwun.🙏😘😘
ReplyDeleteAlhamdulillah....matur nuwun bu tien..
ReplyDeleteMenunggu cerbung selanjutnya...🥰🥰🥰
alhamdulillah, happy end
ReplyDeleteOwalaah...baru nyadar kalau sudah tamat to...ditunggu judul barunya.😀🌹
ReplyDeleteAlhamdulilah akhir yg bahagia...🥰🥰
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien....🙏🙏
Sabar menanti cerita terbaru...
Salam Sehat Selalu..
Shiiiipp.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien sugeng ndalu sugeng rehat..
ReplyDeleteSalam ADUHAI
Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai
Teima ksh bunda Tien!
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~47 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Nah... sudah tamat. Semoga semua pasangan menjadi keluarga yang Sakinah, Mawadah dan Rohmah.
ReplyDeleteSabar menunggu Cintaku Bukan Empedu.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
ALHAMDULILLAH ...MAKASIH BU Tien
ReplyDelete@mang Idih salam kenal, dupi mang Idih dmn di Bandungna?
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ..semoga kita semua sehat Aamiin 🌷🌷🌷🌷🌷
Wilujeng wengi(Selamat malam) semua sdr PCTK tercinta, selamat beristirahat tidur nyenyak!
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Turnuwun Bunda Cerbung yg ADUHAI semoga selalu Sehat wal afiat .Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Siap menunggu *CINTAKU BUKAN EMPEDU*
Lho nggak jadi ke rumah Tiwi, Susana langsung rawat jalan di dampingi Bondan.
ReplyDeleteWis dikukup sisan waé, takut Susana ngilang ya ndan.
Kalau pergi bingung mencarinya, itu masuk rumah orang langsung balik nama gimana nyarinya.
Malah cepat sembuh nya kalau sehari hari di dekat sang kekasih.
Ardian sudah jadikan Pratiwi sebagai pasangan hidupnya, sempat juga jadi iklan penyemangat ibu ibu belanja di warung kecil nya.
Hmm di plonco dulu sebelum resmi jadi suami Pratiwi.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku sudah tamat, berbalut kebahagiaan di hati mereka berdua.
Wow cintaku bukan empedu; bakalan lebih dalam lagi nich.
Urusan jeroan masalahnya.
🙏
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMaturnuwun Ibu Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDeleteTerimakasih.. Bu Tien judul yang baru kok bombastis banget
ReplyDeleteMatur nuwun,bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rakhmat & barokahnya buat bu tien seklg, nikmat sehat & bahagia bersama kelg tercinta ..... aamiin yra
Mau ending koq hampir jam 10 malam baru ditampilkan. Yowis nerimo wae karo sing nggawe lakon.... Boyok nganti pegel le ngenteni....😄
ReplyDeleteYang nulis boyoknya lebih pegel lagi, Abah. Heheee
DeleteTerima kasih bu Tien....sudah tamat.
ReplyDeleteSalam sehat selalu bu Tien
TAMAT.... semua hepi matur nuwun bunda Tien, menunggu episode baru
ReplyDeleteTrims Bu Tien....sehat se lalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Sehat wal'afiat semua ya🤗🥰
TAMAT , senangnya mereka bahagia
Seperti nya lebih seru nih
CINTAKU BUKAN EMPEDU
ditunggu 🙏🙏🙏
Maaf Bunda baru bisa komen sekarang, terima kasih
ReplyDeleteEnding nya selalu dipaksakan. Padahal ceritanya banyak yang bagus untuk diikuti
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dn bahagia
ReplyDeleteselalu bunda Tien.
Menunggu, CINTAKU BUKAN EMPEDU . .
terima ksih bunda SB sdh tamat..ditunggu cerbung baru berikutntlya..bunda yg sht terus y .slm seroja dan aduhai 🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteDi Tanggulangin ada tukang pijet boyok Bu Tien.....
ReplyDeleteDikirim ke Solo ya tukang pijet nya....
Pakai gojek...😁😁😁😁😁😁
Alhamduillah.....matur nuwun buTien
ReplyDeletesalam sehat n salam aduhai
Terimakasih Bunda Tien, salam sehat bahagia selalu....
ReplyDeleteSugeng dalu mbakyu. Nueun sewu badhe nyuwun priksa, kapan "Cintaku Bukan Empedu" badhe kawiwitan? Nuwun
ReplyDeleteSalam taklim katur mas Tom
Lagi menunggu Cintaku bukan empedu
ReplyDelete"Yaumul Milad" unk Bundaqu TIEN KUMALASARI..
ReplyDelete🥀🥀🥀🥀🥀🥀
🌹*Barakallahu fii umrik* - Semoga diberikan Sisa Usia yang barokah dan bermanfaat ..
🌹 *Barakallahu fii badani* - Semoga selalu mendapatkan kesehatan yg prima..
🌹*Barakallahu fii rizky* - Semoga selalu dicukupkan rezeki yang halal..
🌹 *Barakallahu fii dunya wal akherat* - Semoga dilimpahi kebahagiaan bersama keluarga tercinta ..Keselamatan..Lindungan..oleh Allah SWT di dunia dan akhirat ..
Aamiin ..Aamiin..Aamiin Yaa Robbal aalamiin..🤲🤝🥰🎂🎁🎊🎈🥳🎉😍
Selamat ulang tahun bunda Tien Kumalasari moga sehat sll, panjang umur, dimudahkan semua urusannya dan bahagia bersama keluarga tercinta. Aamiin
ReplyDeleteSelamat ulang tahun bu Tien Kumala....
ReplyDeleteSemoga sehat selalu......
Diparingi sisa umur yang Barokah.....
Dimudahkan segala urusannya........
Semakin dicintai dan dirindukan semua karya karyanya...
Senantiasa dalam lindungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala....
Aamiin....
Sehat slalu buk, menginspirasi utk penulis abal2 seperti kmi buk 😊 semangat menulis, slalu menunggu karya ibu tien 😊🥰
ReplyDelete