Thursday, October 27, 2022

JANGAN PERGI 10

 

JANGAN PERGI  10

(Tien Kumalasari)

 

Radit mengucek matanya berkali-kali, benarkah wanita yang melangkah ke arahnya adalah Listi? Gadis yang pernah dicintainya?

Kesadarannya belum pulih ketika tiba-tiba wanita itu merangkulnya erat sekali, membuatnya gelagapan.

“Radit, ini aku. Maafkan aku Radit,” ucapnya dalam tangis.

Radit mendorong pelan tubuh Listi.

“Tolong jangan begini. Ini tidak pantas.”

“Radit, bukankah aku gadis yang kamu cintai? Aku selalu merindukan kamu, cintaku sama kamu tak akan luntur Dit.”

“Tidak seharusnya kamu melakukan ini. Kita bukan siapa-siapa.”

“Ya ampun, kamu masih saja selalu menjunjung tata susila itu, itu yang membuat aku selalu mencintai kamu Dit. Maaf aku lupa diri karena begitu bahagia saat melihat kamu lagi.”

“Duduklah,” kata Radit, datar, kemudian mendahului duduk di kursi teras.

“Kamu masih ganteng seperti dulu,” aku selalu merindukan kamu.

“Tiga tahun sudah berlalu, kamu pergi tanpa pesan. Apa kamu pikir perasaan yang dulu ada, masih akan tetap berada di tempatnya?”

“Radit, cinta sejati tak akan mati, bukan?”

“Perlakuan yang tak pantas bisa membunuh cinta itu sendiri.”

“Radit, aku minta maaf. Aku terpaksa meninggalkan kamu. Sebenarnya bukan mauku. Seseorang membius aku, dan membawaku ke tempat jauh. Aku lupa segala-galanya. Baru sekarang aku sadar, bahwa aku masih punya cinta di sini. Maksudku begini, aku membuka usaha bersama teman, yang membujukku untuk ikut bersamanya. Aku  bermaksud memberi kejutan untuk kamu ketika usaha itu jadi, tapi aku ditipu orang. Uangku ludes, modalku musnah, aku pontang panting mencarinya, tanpa hasil. Aku lelah, lalu aku kembali kemari, mencarimu.”

“Tidak Listi, cinta itu sudah pergi,” kata Radit dingin.

“Radit ? Apa cintamu setipis itu?”

“Tiga tahun berlalu, setebal apapun cinta itu, sudah terkikis oleh hari dan waktu.”

“Maksudmu, kamu tidak mencintai aku lagi?”

“Maaf Listi.”

“Radit …”

Tiba-tiba Listi turun dari kursinya, bersimpuh dihadapan Radit dan menangis terisak di depannya.

Radit mengundurkan kursinya ketika Listi akan menubruk pangkuannya.

“Jangan lakukan itu Listi, berdiri lah.”

“Radit, aku tak akan berdiri sebelum kamu memaafkan aku.”

“Aku maafkan kamu, berdirilah.”

Listi berdiri sambil mengusap air matanya, tapi tangis itu susah dibendungnya.

“Aku hanya bisa memaafkan kamu, tapi tidak bisa mencintai kamu.”

“Radit, kasihanilah aku. Hanya kamu yang aku miliki, ayah dan ibu aku tak punya lagi.”

Radit mengangkat ponselnya ketika terdengar dering panggilan dari sana.

“Ya, Ratri,” sapa Radit dengan wajah berbinar.

“Mas jadi pergi bareng-bareng tidak?”

“Apa Dian sudah datang?”

“Baru saja datang. Aku sudah bilang kalau kita akan jalan bersama-sama.”

“Baiklah, aku berangkat sekarang.”

Radit menutup ponselnya.

“Maaf, aku mau pergi, sudah ditunggu,” kata Radit sambil berdiri, lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. Dia sudah berpamit pada ibunya tadi, saat ibunya masih ada di kamar mandi. Lalu Radit melangkah keluar, membiarkan Listi tetap duduk di tempatnya.

“Maaf, aku sudah ditunggu.”

“Pacar kamu Dit?”

“Ya, begitulah,” katanya kemudian turun dari teras, menghampiri mobilnya dan berlalu.

Listi merasa lemas. Tapi dia tak ingin pergi begitu saja. Dengan langkah santai dia masuk ke dalam rumah, langsung ke arah dapur. Si bibik terkejut melihat Listi.

“Ini non Listi?” tanya bibik sambil meletakkan panci yang akan dibuatnya untuk merebus sayur.

“Iya Bik, aku Listi.”

“Lama sekali non pergi.”

“Mana Ibu?”

“Masih di kamarnya Non. Tadi baru mandi, entah sudah selesai atau belum.”

Listi membalikkan tubuhnya. Dis sudah terbiasa memasuki rumah Radit, bercanda dengan bibik dan bu Listyo, karena hubungannya dengan Radit memang sudah sangat dekat.

“Ibuuu,” panggilnya sambil mengetuk pintu kamar bu Listyo.

“Siapa?” jawaban dari dalam, karena merasa asing dengan suara yang memanggilnya.

“Ibu, ini Listi. Saya masuk ya Bu,” kata Listi sambil masuk begitu saja ke dalam kamar, karena pintunya memang tidak terkunci.”

Bu Listyo terkejut melihat siapa yang memasuki kamarnya.

“Kamu, Listi?”

“Iya Bu, saya Listi,” kata Listi sambil memeluk bu Listyo erat, bahkan sambil menitikkan air mata.

“Kamu sudah bertemu Radit?”

“Sudah, tapi dia buru-buru pergi.”

“Oh.”

“Radit sudah berubah Bu.”

“Ayo duduklah di sana,” kata bu Listyo sambil menarik tangan Listi keluar dari kamar.

Mereka duduk di ruang tengah.

“Kamu ke mana saja?”

Listi mengusap air matanya.

“Saya pergi untuk membuka sebuah usaha bersama teman.”

“Kamu pergi tanpa pesan.”

“Saya ingin membuat kejutan untuk Radit. Saya akan kembali setelah berhasil. Tapi saya ditipu teman. Uang saya habis, dia kabur entah kemana. Berbulan-bulan saya mencari, tidak berhasil. Lalu saya kembali kemari.”

Bu Listyo mengerutkan keningnya. Alasan memberikan kejutan setelah berhasil itu terasa tidak masuk akal. Sebagai sepasang kekasih yang siap naik ke pelaminan, apapun yang dilakukan tentu harus sepengetahuan pasangan. Tapi bu Listyo tidak mengatakan apa-apa. Rasanya tidak perlu memperdebatkan sebuah alasan yang menurutnya hanya dibuat-buat.

Listi memang tidak berubah dalam hal penampilan. Ia berpakaian lugas, rapi, tapi cantik. Menurutnya, Listi masih seperti dulu, pandai berkata-kata, lincah dalam gaya. Mata itu masih tajam seperti dulu, berbinar seperti sepasang bintang. Tiba-tiba bu Listyo teringat pada seorang gadis yang dilihatnya di sebuah toko ponsel. Bagaimana wajahnya bisa sangat mirip? Hanya mata gadis itu begitu teduh dan senyumnya sangat menawan.

“Bu, tolong beri tahu Radit, saya masih mencintainya,” kata Listi saat melihat bu Listyo diam tak bereaksi.

“Bertahun Radit menunggu, dan tetap menunggu kamu kembali. Tapi waktu telah menggilas penantian itu. Bukankah semua memang ada batasnya? Dan ketika batas itu telah dicapai, maka semuanya sudah selesai,” kata bu Listyo tandas.

“Bu, tolonglah Listi. Listi tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.”

“Kamu pasti punya banyak teman, tapi sebuah pengharapan yang mustahil, jangan coba-coba kamu meraihnya.”

“Apakah itu berarti saya tidak lagi boleh mengharapkan Radit?”

“Bukankah kamu sudah bertemu Radit? Aku yakin kamu telah mendengar jawabannya.”

Listi mengusap lagi air matanya.

“Banyak lelaki baik yang bisa menggantikan Radit. Kamu cantik, tak ada cacat celanya,” kata bu Listyo.

Bibik menghidangkan secangkir teh kehadapan Listi. Tapi Listi malah berdiri, lalu pergi begitu saja, tanpa menoleh ke arah bu Listyo.

“Ya ampuuun, kok non Listi nggak sopan banget sih, sama orang tua.”

“Baru sekarang kelihatan belangnya. Dia memang bukan wanita yang baik untuk Radit.”

“Benar Bu, ketika masih pacaran saja, sikapnya sangat baik, kok sekarang jadi begitu?”

“Ketahuan sifat aslinya. Ya sudah, biar teh nya aku saja yang minum,” kata bu Listyo sambil meraih cangkir berisi teh tersebut.

***

Melihat Dian dan Ratri akan bepergian bersama Radit, bu Cipto memilih diam saja di rumah. Pasti tidak nyaman bagi anak-anak muda itu kalau ada orang tua di dekat mereka.

“Lho, ini kan memang untuk menyenangkan Ibu?” protes Dian ketika bu Cipto tidak jadi ikut bersama mereka.

“Ibu nanti saja, masih ada kali lain kan? Nanti kalian akan terganggu kalau ada ibu.”

“Tidak Bu, kami senang kok.”

“Sudahlah, tidak apa-apa, ibu di rumah saja. Nanti kalau ibu ingin jalan, biar sama Ratri. Nggak enak mengganggu anak-anak muda.”

Karena memang tidak mau, akhirnya mereka berangkat bertiga, dengan menggunakan mobil Dian, sedangkan mobil Radit ditinggal di halaman rumah Ratri.

Di dalam perjalanan itu Radit tampak lebih banyak diam. Ia masih teringat ketika tiba-tiba Listi datang ke rumah dan mengatakan masih mencintainya. Sayangnya cinta Radit telah pudar, dengan berjalannya waktu, atau lebih jelasnya setelah bertemu Ratri, gadis dengan wajah mirip dengannya.

“Mas Radit kok tampak tidak bersemangat ya?” tanya Dian yang duduk didepan bersama Radit.

“Iya sih, mas Radit dari tadi diam saja.”

“Agak ngantuk aku. Semalam tidur kemalaman,” kata Radit memberi alasan.

“Semalam begadang ya Mas?” imbuh Dian.

“Banyak pekerjaan sih.”

“Kasihan Mas Radit,” kata Ratri.

“Nggak apa-apa, maklum banyak yang harus dipikir dan dikerjakan.”

“Mau kemana kita nih? Tadinya mau mengantar ibu jalan-jalan, atau belanja lah, tapi ternyata ibu memilih di rumah saja,” kata Dian.

“Kita belikan sesuatu untuk ibu,” kata Radit.

“Usul bagus, kita ke super market, cari sesuatu untuk ibu.”

“Tapi aku lapar,” kata Ratri yang ternyata sejak pagi belum sarapan.

“Haa? Benarkah? Kalau begitu kita mampir cari makan saja dulu,” kata Radit.

Akhirnya mereka mampir di sebuah rumah makan.

***

Ketika makan itu mereka berbincang tentang banyak hal.

“Kapan mas Dian mengajak istri jalan-jalan seperti ini? Sebenarnya kalau ada istri mas Dian kan bisa klop, dua pasang,” katanya sambil melirik ke arah Ratri, yang kemudian tertunduk tersipu, sambil mengurai apa maksud kata Radit sebenarnya. Tapi Dian kehilangan senyumnya mendengar pertanyaan itu.

“Sebenarnya, kalau saja bisa begitu.”

“Kenapa tidak bisa?” tanya Radit.

“Kami sedang dalam proses perceraian dan hampir selesai.”

Radit terkejut, menatap Dian tak percaya.

“Benar, besok akan ada sidang, tapi mungkin saya hanya akan datang sekali itu saja, selanjutnya akan pulang ke Jakarta, karena meninggalkan banyak pekerjaan di sana.”

“Kenapa Mas?”

“Tidak ada kecocokan lagi. Kami sangat berbeda ternyata, dalam hal prinsip.”

“Tidak bisa dibicarakan lagi?”

Dian menggeleng dengan wajah muram.

“Permasalahannya sangat berat.”

“Berat?”

“Tentang anak.”

“O, karena dia tidak bisa punya anak, lalu mas Dian memilih bercerai?”

“Bukan tidak bisa punya anak, tapi tidak mau punya anak.”

Ratri hanya mendengarkan, karena dia sudah tahu masalahnya.

“Ya Tuhan, ada ya wanita seperti itu?”

“Berkali-kali hamil, dia menggugurkannya.”

Radit terbelalak.

“Kesabaran saya sudah habis. Bercerai adalah satu-satunya jalan, padahal saya sangat mencintai dia.”

Radit menatapnya prihatin. Ia pernah merasakannya, walau kasusnya berbeda. Harus berpisah walau sangat mencintai. Tapi bagi Radit, cinta itu sudah pupus. Ada cinta lain yang dia harapkan.

“Carilah istri yang bisa menjadi ibu bagi anak-anak kamu, Dian,” kata Ratri.

“Doakan ya. Aku sangat menginginkan punya anak, karena anak adalah karunia yang sangat indah. Ketika harapan merekah, tiba-tiba dia membunuhnya,” wajah Dian semakin muram.

“Ya sudah, kamu harus berusaha tegar Dian. Barangkali memang inilah jalan hidup kamu, siapa tahu ada hikmah dibaliknya,” hibur Ratri.

Radit mengangguk setuju.

“Memang sulit menghilangkan rasa cinta, tapi ketika waktu menggilasnya, maka cinta itu akan hilang dengan sendirinya.”

“Tampaknya Mas Radit pernah mengalami nih?”

Radit tersenyum tipis.

“Sejatinya … ya.”

“Oh ya?”

“Tapi semuanya sudah lewat, aku tak mau memikirkannya.”

“Kenapa putus?”

“Dia sudah pergi, dan aku kemudian juga melupakannya. Dia bukan siapa-siapa lagi.”

“Dia selingkuh?” Ratri sangat ingin tahu rupanya.

“Entahlah. Dia pergi begitu saja, bertahun tanpa berita.”

“Jangan-jangan dia sudah tak ada, eh maaf, mungkin menikah dengan orang lain.”

“Entahlah, aku tidak mau tahu.”

“Sampai sekarang tetap tidak tahu kabar beritanya?”

“Dia sudah kembali, tapi aku tidak mau tahu. Sudah, jangan membicarakannya lagi.”

“Terkadang susah mengerti tentang perempuan,” keluh Dian.

“Laki-laki dituntut untuk mengerti? Rasanya tidak harus begitu. Kalau saling mencintai, harus saling mengerti juga kan?” kata Radit.

“Itu benar. Sekarang ayo kita nikmati makan siang kita,” kata Ratri yang ingin mengalihkan suasana sendu diantara dua lelaki di hadapannya.

“Iya benar, nanti kita lupa harus membelikan sesuatu untuk ibu,” kata Radit.

Saat makan itu, tiba-tiba ponsel Radit berdering. Radit heran, ibunya menelpon.

“Ya, ibu, ada apa?” sapa Radit.

“Ini saya mas Radit, bibik.”

“Ada apa Bik?”

“Ibu tiba-tiba mengeluh sesak napas Mas, bibik khawatir sekali. Apa mas Radit bisa pulang sekarang?”

“Ya, tentu. Baiklah, aku segera pulang.”

Radit memasukkan ponselnya ke dalam saku, kemudian berdiri.

“Aku harus pulang.”

“Ada apa?” tanya Dian dan Ratri bersama-sama.

“Ibuku sakit, maaf ya.”

“Bawa saja mobil saya,” kata Dian.

“Tidak, saya naik taksi saja.”

“Kelamaan, biar saya yang naik taksi,” kata Dian memaksa, sambil mengulurkan kunci mobilnya.

“Baiklah, terima kasih.”

Radit bergegas pergi, diiringi rasa prihatin Dian dan Ratri.

“Apa ibu mas Radit sudah tua?”

“Entahlah, aku belum pernah melihatnya.”

“Apa kamu pacaran sama dia?” tanya Dian tiba-tiba.

Ratri membulatkan matanya.

“Pacaran?” Ratri tersenyum malu. Ada sih harapan untuk itu, tapi Ratri tak berani berharap. Dia harus tahu diri, dan merasa tak pantas.

Tiba-tiba Dian melihat seseorang memasuki rumah makan, dan membuatnya terkejut. Ia berdiri seketika.

“Ratri, aku mau ke toilet,” katanya sambil pergi dengan cepat.

Ratri bengong, dan merasa ada sesuatu yang tidak wajar.

Tiba-tiba seorang wanita cantik mendekati mejanya.

“Bolehkah saya duduk di sini?”

Ratri terkejut. Ia seperti melihat dirinya di depan cermin.

***

besok lagi ya.

48 comments:


  1. Alhamdulillah JANGAN PERGI~10 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun bunda Tien 🙏
      Yg ditunggu sdh hadir
      Semoga Listi sadar dan kembali pada Dian.
      Radit tetep sama Ratri saja ya bunda 🤭

      Delete
  2. Replies
    1. 🌾🌾🌹🌹☘️☘️♣️♣️❤️❤️

      Alhamdulillah JePe_10 sdh tayang....
      Suwun bu Tien
      Salam SEROJA
      dan .....
      Tetap ADUHAI

      Delete
    2. Terima kasih, ibu Tien cantiiik....

      Delete
  3. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat ..

    ReplyDelete
  4. Matur suwun bu Tien salam sehat selalu..🙏🙏

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah sugeng ndalu bu Tien

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah .... terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dalam lindungan Allah SWT

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah JP 10 yg di tunggu2 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu 🙏🦋🌸

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.. Mtnw bund, sehat selalu ya. ...

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi tayang.

    ReplyDelete
  11. Weh tambah seru ....trims Bu tien

    ReplyDelete
  12. Wah seru nih akirnya Ratri ketemu dng Listi apakah mereka gadis kembar yg terpisahkan sewaktu kecil?
    Hanya mbak Tien yg tahu untuk selanjut nya.😀
    Salam aduhai buat mbak Tien dari Tegal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Klo mirip kemungkinan kembar ya mbak Neni?
      Kita tunggu bsk lg kebenarannya..
      Tks bunda Tien..
      Semoga sehat selalu..

      Delete
  13. Yang datang pasti listi, aduhai.. kenapa dian tiba" ke WC.. MENGHINDAR

    ReplyDelete
  14. Hadeeh Listi ayo saingan lg ma Bu Dewi

    Listi bohongnya dah klhtn tuh kok knp gak blg kl udah nikah

    Wow mksh bunda Tien sehat selalu doaku ADUHAI

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien..
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  16. Sugeng dalu mbak Tien sayang.... Semoga senantiasa sehat njiih
    Salam sayang dr Surabaya
    Aduhai...aah...ah

    ReplyDelete
  17. Hore, Ratri dan listi kembaran. Barangkali.
    Terima kasih mbak Tien. Semoga mbak Tien sehat selalu. Amin.

    ReplyDelete
  18. Kok malah Listi menemui Ratri... ada apa ya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  19. Ndak setuju ach klo listi balikan sama radit
    ataupun sama Dian...😏
    Hiii..matur nuwun bunda Tien..🙏

    ReplyDelete
  20. Semoga Ratri yg baik hati menerima persahabatan dgn Listy. Banyak hal baik yg bisa merubah karakter Listy yg akhirnya bisa baikan dgn Dian dan Ratri lanjut dgn Radit. Ngarep com.

    Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem.

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah yg ditunggu sdh hadir mksh Bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete
  22. Aahhhh.... Makin geregetan ceritanya.
    Bu Tien paling bisa mengaduk emosi yang baca, mantapss deh.

    Sehat selalu Bu Tien, salam dari Bandung.
    🙏😘

    ReplyDelete
  23. Karena ceritanya enak, tak terasa satu episode terasa singkat sekali...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien cerbung Jangan Pergi Eps 10 sudah hadir.
    Salam sehat dan salam hangat selalu

    ReplyDelete
  25. Makin asyik nih bu.
    Terimakasih bu Tien semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu. Aamiin 🤲

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, sehat selalu

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah, maturnuwun bu Tien,
    Mantab ,,ketemu juga listi n Ratri,,seru nih ,,,apakah Dian mau berterus terang

    sehat wal'afia selalu ya bu 🤗🥰

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah JP 10 sdh hadir
    Jangan2 Listi saudara kembarnya Ratri
    semakin seru dan bikin penasaran lanjutan ceritanya
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selslu.
    Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ya bunda..
      Jd ga sabar deh nunggu lanjutannya..

      Delete
  29. Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.....

    ReplyDelete
  30. Listy seperti Ratri eee Dian ke toilet u ngehindar eee apa Radit ketemu juga ..trim Bu Tien

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 09

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  09 (Tien Kumalasari)   Gemetar tangan Satria yang memegang ponsel, ketika suara merdu itu terdengar. Untuk...