JANGAN PERGI 10
(Tien Kumalasari)
Radit mengucek matanya berkali-kali, benarkah wanita
yang melangkah ke arahnya adalah Listi? Gadis yang pernah dicintainya?
Kesadarannya belum pulih ketika tiba-tiba wanita itu
merangkulnya erat sekali, membuatnya gelagapan.
“Radit, ini aku. Maafkan aku Radit,” ucapnya dalam
tangis.
Radit mendorong pelan tubuh Listi.
“Tolong jangan begini. Ini tidak pantas.”
“Radit, bukankah aku gadis yang kamu cintai? Aku
selalu merindukan kamu, cintaku sama kamu tak akan luntur Dit.”
“Tidak seharusnya kamu melakukan ini. Kita bukan
siapa-siapa.”
“Ya ampun, kamu masih saja selalu menjunjung tata
susila itu, itu yang membuat aku selalu mencintai kamu Dit. Maaf aku lupa diri
karena begitu bahagia saat melihat kamu lagi.”
“Duduklah,” kata Radit, datar, kemudian mendahului
duduk di kursi teras.
“Kamu masih ganteng seperti dulu,” aku selalu
merindukan kamu.
“Tiga tahun sudah berlalu, kamu pergi tanpa pesan. Apa
kamu pikir perasaan yang dulu ada, masih akan tetap berada di tempatnya?”
“Radit, cinta sejati tak akan mati, bukan?”
“Perlakuan yang tak pantas bisa membunuh cinta itu
sendiri.”
“Radit, aku minta maaf. Aku terpaksa meninggalkan
kamu. Sebenarnya bukan mauku. Seseorang membius aku, dan membawaku ke tempat
jauh. Aku lupa segala-galanya. Baru sekarang aku sadar, bahwa aku masih punya
cinta di sini. Maksudku begini, aku membuka usaha bersama teman, yang membujukku untuk ikut bersamanya. Aku bermaksud memberi kejutan untuk
kamu ketika usaha itu jadi, tapi aku ditipu orang. Uangku ludes, modalku
musnah, aku pontang panting mencarinya, tanpa hasil. Aku lelah, lalu aku
kembali kemari, mencarimu.”
“Tidak Listi, cinta itu sudah pergi,” kata Radit
dingin.
“Radit ? Apa cintamu setipis itu?”
“Tiga tahun berlalu, setebal apapun cinta itu, sudah
terkikis oleh hari dan waktu.”
“Maksudmu, kamu tidak mencintai aku lagi?”
“Maaf Listi.”
“Radit …”
Tiba-tiba Listi turun dari kursinya, bersimpuh
dihadapan Radit dan menangis terisak di depannya.
Radit mengundurkan kursinya ketika Listi akan menubruk
pangkuannya.
“Jangan lakukan itu Listi, berdiri lah.”
“Radit, aku tak akan berdiri sebelum kamu memaafkan
aku.”
“Aku maafkan kamu, berdirilah.”
Listi berdiri sambil mengusap air matanya, tapi tangis
itu susah dibendungnya.
“Aku hanya bisa memaafkan kamu, tapi tidak bisa
mencintai kamu.”
“Radit, kasihanilah aku. Hanya kamu yang aku miliki,
ayah dan ibu aku tak punya lagi.”
Radit mengangkat ponselnya ketika terdengar dering
panggilan dari sana.
“Ya, Ratri,” sapa Radit dengan wajah berbinar.
“Mas jadi pergi bareng-bareng tidak?”
“Apa Dian sudah datang?”
“Baru saja datang. Aku sudah bilang kalau kita akan
jalan bersama-sama.”
“Baiklah, aku berangkat sekarang.”
Radit menutup ponselnya.
“Maaf, aku mau pergi, sudah ditunggu,” kata Radit
sambil berdiri, lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. Dia
sudah berpamit pada ibunya tadi, saat ibunya masih ada di kamar mandi. Lalu Radit
melangkah keluar, membiarkan Listi tetap duduk di tempatnya.
“Maaf, aku sudah ditunggu.”
“Pacar kamu Dit?”
“Ya, begitulah,” katanya kemudian turun dari teras,
menghampiri mobilnya dan berlalu.
Listi merasa lemas. Tapi dia tak ingin pergi begitu
saja. Dengan langkah santai dia masuk ke dalam rumah, langsung ke arah dapur.
Si bibik terkejut melihat Listi.
“Ini non Listi?” tanya bibik sambil meletakkan panci yang
akan dibuatnya untuk merebus sayur.
“Iya Bik, aku Listi.”
“Lama sekali non pergi.”
“Mana Ibu?”
“Masih di kamarnya Non. Tadi baru mandi, entah sudah
selesai atau belum.”
Listi membalikkan tubuhnya. Dis sudah terbiasa
memasuki rumah Radit, bercanda dengan bibik dan bu Listyo, karena hubungannya
dengan Radit memang sudah sangat dekat.
“Ibuuu,” panggilnya sambil mengetuk pintu kamar bu Listyo.
“Siapa?” jawaban dari dalam, karena merasa asing
dengan suara yang memanggilnya.
“Ibu, ini Listi. Saya masuk ya Bu,” kata Listi sambil
masuk begitu saja ke dalam kamar, karena pintunya memang tidak terkunci.”
Bu Listyo terkejut melihat siapa yang memasuki
kamarnya.
“Kamu, Listi?”
“Iya Bu, saya Listi,” kata Listi sambil memeluk bu
Listyo erat, bahkan sambil menitikkan air mata.
“Kamu sudah bertemu Radit?”
“Sudah, tapi dia buru-buru pergi.”
“Oh.”
“Radit sudah berubah Bu.”
“Ayo duduklah di sana,” kata bu Listyo sambil menarik
tangan Listi keluar dari kamar.
Mereka duduk di ruang tengah.
“Kamu ke mana saja?”
Listi mengusap air matanya.
“Saya pergi untuk membuka sebuah usaha bersama teman.”
“Kamu pergi tanpa pesan.”
“Saya ingin membuat kejutan untuk Radit. Saya akan
kembali setelah berhasil. Tapi saya ditipu teman. Uang saya habis, dia kabur
entah kemana. Berbulan-bulan saya mencari, tidak berhasil. Lalu saya kembali
kemari.”
Bu Listyo mengerutkan keningnya. Alasan memberikan
kejutan setelah berhasil itu terasa tidak masuk akal. Sebagai sepasang kekasih
yang siap naik ke pelaminan, apapun yang dilakukan tentu harus sepengetahuan
pasangan. Tapi bu Listyo tidak mengatakan apa-apa. Rasanya tidak perlu
memperdebatkan sebuah alasan yang menurutnya hanya dibuat-buat.
Listi memang tidak berubah dalam hal penampilan. Ia
berpakaian lugas, rapi, tapi cantik. Menurutnya, Listi masih seperti dulu,
pandai berkata-kata, lincah dalam gaya. Mata itu masih tajam seperti dulu,
berbinar seperti sepasang bintang. Tiba-tiba bu Listyo teringat pada seorang
gadis yang dilihatnya di sebuah toko ponsel. Bagaimana wajahnya bisa sangat
mirip? Hanya mata gadis itu begitu teduh dan senyumnya sangat menawan.
“Bu, tolong beri tahu Radit, saya masih mencintainya,”
kata Listi saat melihat bu Listyo diam tak bereaksi.
“Bertahun Radit menunggu, dan tetap menunggu kamu
kembali. Tapi waktu telah menggilas penantian itu. Bukankah semua memang ada
batasnya? Dan ketika batas itu telah dicapai, maka semuanya sudah selesai,”
kata bu Listyo tandas.
“Bu, tolonglah Listi. Listi tidak punya siapa-siapa
lagi di dunia ini.”
“Kamu pasti punya banyak teman, tapi sebuah
pengharapan yang mustahil, jangan coba-coba kamu meraihnya.”
“Apakah itu berarti saya tidak lagi boleh mengharapkan
Radit?”
“Bukankah kamu sudah bertemu Radit? Aku yakin kamu
telah mendengar jawabannya.”
Listi mengusap lagi air matanya.
“Banyak lelaki baik yang bisa menggantikan Radit. Kamu
cantik, tak ada cacat celanya,” kata bu Listyo.
Bibik menghidangkan secangkir teh kehadapan Listi.
Tapi Listi malah berdiri, lalu pergi begitu saja, tanpa menoleh ke arah bu Listyo.
“Ya ampuuun, kok non Listi nggak sopan banget sih,
sama orang tua.”
“Baru sekarang kelihatan belangnya. Dia memang bukan
wanita yang baik untuk Radit.”
“Benar Bu, ketika masih pacaran saja, sikapnya sangat
baik, kok sekarang jadi begitu?”
“Ketahuan sifat aslinya. Ya sudah, biar teh nya aku
saja yang minum,” kata bu Listyo sambil meraih cangkir berisi teh tersebut.
***
Melihat Dian dan Ratri akan bepergian bersama Radit,
bu Cipto memilih diam saja di rumah. Pasti tidak nyaman bagi anak-anak muda itu
kalau ada orang tua di dekat mereka.
“Lho, ini kan memang untuk menyenangkan Ibu?” protes
Dian ketika bu Cipto tidak jadi ikut bersama mereka.
“Ibu nanti saja, masih ada kali lain kan? Nanti kalian
akan terganggu kalau ada ibu.”
“Tidak Bu, kami senang kok.”
“Sudahlah, tidak apa-apa, ibu di rumah saja. Nanti
kalau ibu ingin jalan, biar sama Ratri. Nggak enak mengganggu anak-anak muda.”
Karena memang tidak mau, akhirnya mereka berangkat
bertiga, dengan menggunakan mobil Dian, sedangkan mobil Radit ditinggal di
halaman rumah Ratri.
Di dalam perjalanan itu Radit tampak lebih banyak
diam. Ia masih teringat ketika tiba-tiba Listi datang ke rumah dan mengatakan
masih mencintainya. Sayangnya cinta Radit telah pudar, dengan berjalannya
waktu, atau lebih jelasnya setelah bertemu Ratri, gadis dengan wajah mirip
dengannya.
“Mas Radit kok tampak tidak bersemangat ya?” tanya
Dian yang duduk didepan bersama Radit.
“Iya sih, mas Radit dari tadi diam saja.”
“Agak ngantuk aku. Semalam tidur kemalaman,” kata
Radit memberi alasan.
“Semalam begadang ya Mas?” imbuh Dian.
“Banyak pekerjaan sih.”
“Kasihan Mas Radit,” kata Ratri.
“Nggak apa-apa, maklum banyak yang harus dipikir dan
dikerjakan.”
“Mau kemana kita nih? Tadinya mau mengantar ibu jalan-jalan,
atau belanja lah, tapi ternyata ibu memilih di rumah saja,” kata Dian.
“Kita belikan sesuatu untuk ibu,” kata Radit.
“Usul bagus, kita ke super market, cari sesuatu untuk
ibu.”
“Tapi aku lapar,” kata Ratri yang ternyata sejak pagi
belum sarapan.
“Haa? Benarkah? Kalau begitu kita mampir cari makan
saja dulu,” kata Radit.
Akhirnya mereka mampir di sebuah rumah makan.
***
Ketika makan itu mereka berbincang tentang banyak hal.
“Kapan mas Dian mengajak istri jalan-jalan seperti
ini? Sebenarnya kalau ada istri mas Dian kan bisa klop, dua pasang,” katanya
sambil melirik ke arah Ratri, yang kemudian tertunduk tersipu, sambil mengurai
apa maksud kata Radit sebenarnya. Tapi Dian kehilangan senyumnya mendengar
pertanyaan itu.
“Sebenarnya, kalau saja bisa begitu.”
“Kenapa tidak bisa?” tanya Radit.
“Kami sedang dalam proses perceraian dan hampir
selesai.”
Radit terkejut, menatap Dian tak percaya.
“Benar, besok akan ada sidang, tapi mungkin saya hanya
akan datang sekali itu saja, selanjutnya akan pulang ke Jakarta, karena
meninggalkan banyak pekerjaan di sana.”
“Kenapa Mas?”
“Tidak ada kecocokan lagi. Kami sangat berbeda
ternyata, dalam hal prinsip.”
“Tidak bisa dibicarakan lagi?”
Dian menggeleng dengan wajah muram.
“Permasalahannya sangat berat.”
“Berat?”
“Tentang anak.”
“O, karena dia tidak bisa punya anak, lalu mas Dian
memilih bercerai?”
“Bukan tidak bisa punya anak, tapi tidak mau punya
anak.”
Ratri hanya mendengarkan, karena dia sudah tahu
masalahnya.
“Ya Tuhan, ada ya wanita seperti itu?”
“Berkali-kali hamil, dia menggugurkannya.”
Radit terbelalak.
“Kesabaran saya sudah habis. Bercerai adalah
satu-satunya jalan, padahal saya sangat mencintai dia.”
Radit menatapnya prihatin. Ia pernah merasakannya,
walau kasusnya berbeda. Harus berpisah walau sangat mencintai. Tapi bagi Radit,
cinta itu sudah pupus. Ada cinta lain yang dia harapkan.
“Carilah istri yang bisa menjadi ibu bagi anak-anak
kamu, Dian,” kata Ratri.
“Doakan ya. Aku sangat menginginkan punya anak, karena
anak adalah karunia yang sangat indah. Ketika harapan merekah, tiba-tiba dia
membunuhnya,” wajah Dian semakin muram.
“Ya sudah, kamu harus berusaha tegar Dian. Barangkali
memang inilah jalan hidup kamu, siapa tahu ada hikmah dibaliknya,” hibur Ratri.
Radit mengangguk setuju.
“Memang sulit menghilangkan rasa cinta, tapi ketika
waktu menggilasnya, maka cinta itu akan hilang dengan sendirinya.”
“Tampaknya Mas Radit pernah mengalami nih?”
Radit tersenyum tipis.
“Sejatinya … ya.”
“Oh ya?”
“Tapi semuanya sudah lewat, aku tak mau memikirkannya.”
“Kenapa putus?”
“Dia sudah pergi, dan aku kemudian juga melupakannya.
Dia bukan siapa-siapa lagi.”
“Dia selingkuh?” Ratri sangat ingin tahu rupanya.
“Entahlah. Dia pergi begitu saja, bertahun tanpa
berita.”
“Jangan-jangan dia sudah tak ada, eh maaf, mungkin
menikah dengan orang lain.”
“Entahlah, aku tidak mau tahu.”
“Sampai sekarang tetap tidak tahu kabar beritanya?”
“Dia sudah kembali, tapi aku tidak mau tahu. Sudah,
jangan membicarakannya lagi.”
“Terkadang susah mengerti tentang perempuan,” keluh
Dian.
“Laki-laki dituntut untuk mengerti? Rasanya tidak
harus begitu. Kalau saling mencintai, harus saling mengerti juga kan?” kata
Radit.
“Itu benar. Sekarang ayo kita nikmati makan siang
kita,” kata Ratri yang ingin mengalihkan suasana sendu diantara dua lelaki di hadapannya.
“Iya benar, nanti kita lupa harus membelikan sesuatu
untuk ibu,” kata Radit.
Saat makan itu, tiba-tiba ponsel Radit berdering.
Radit heran, ibunya menelpon.
“Ya, ibu, ada apa?” sapa Radit.
“Ini saya mas Radit, bibik.”
“Ada apa Bik?”
“Ibu tiba-tiba mengeluh sesak napas Mas, bibik
khawatir sekali. Apa mas Radit bisa pulang sekarang?”
“Ya, tentu. Baiklah, aku segera pulang.”
Radit memasukkan ponselnya ke dalam saku, kemudian
berdiri.
“Aku harus pulang.”
“Ada apa?” tanya Dian dan Ratri bersama-sama.
“Ibuku sakit, maaf ya.”
“Bawa saja mobil saya,” kata Dian.
“Tidak, saya naik taksi saja.”
“Kelamaan, biar saya yang naik taksi,” kata Dian
memaksa, sambil mengulurkan kunci mobilnya.
“Baiklah, terima kasih.”
Radit bergegas pergi, diiringi rasa prihatin Dian dan
Ratri.
“Apa ibu mas Radit sudah tua?”
“Entahlah, aku belum pernah melihatnya.”
“Apa kamu pacaran sama dia?” tanya Dian tiba-tiba.
Ratri membulatkan matanya.
“Pacaran?” Ratri tersenyum malu. Ada sih harapan untuk
itu, tapi Ratri tak berani berharap. Dia harus tahu diri, dan merasa tak
pantas.
Tiba-tiba Dian melihat seseorang memasuki rumah makan,
dan membuatnya terkejut. Ia berdiri seketika.
“Ratri, aku mau ke toilet,” katanya sambil pergi
dengan cepat.
Ratri bengong, dan merasa ada sesuatu yang tidak
wajar.
Tiba-tiba seorang wanita cantik mendekati mejanya.
“Bolehkah saya duduk di sini?”
Ratri terkejut. Ia seperti melihat dirinya di depan
cermin.
***
besok lagi ya.
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~10 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Matur nuwun bunda Tien 🙏
DeleteYg ditunggu sdh hadir
Semoga Listi sadar dan kembali pada Dian.
Radit tetep sama Ratri saja ya bunda 🤭
Lhoooo..... Haraaah
DeleteMtrnwn
ReplyDeleteHoree
ReplyDelete🌾🌾🌹🌹☘️☘️♣️♣️❤️❤️
DeleteAlhamdulillah JePe_10 sdh tayang....
Suwun bu Tien
Salam SEROJA
dan .....
Tetap ADUHAI
Terima kasih, ibu Tien cantiiik....
DeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ..
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien salam sehat selalu..🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulilah...
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah sugeng ndalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah, hatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah .... terima kasih bu tien
ReplyDeleteSemoga bu tien sehat2 n senantiasa dalam lindungan Allah SWT
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 10 yg di tunggu2 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu 🙏🦋🌸
ReplyDeletealhamdulilah
ReplyDeleteLoo aku ketinggalan Matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Mtnw bund, sehat selalu ya. ...
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteWeh tambah seru ....trims Bu tien
ReplyDeleteWah seru nih akirnya Ratri ketemu dng Listi apakah mereka gadis kembar yg terpisahkan sewaktu kecil?
ReplyDeleteHanya mbak Tien yg tahu untuk selanjut nya.😀
Salam aduhai buat mbak Tien dari Tegal.
Klo mirip kemungkinan kembar ya mbak Neni?
DeleteKita tunggu bsk lg kebenarannya..
Tks bunda Tien..
Semoga sehat selalu..
Yang datang pasti listi, aduhai.. kenapa dian tiba" ke WC.. MENGHINDAR
ReplyDeleteHadeeh Listi ayo saingan lg ma Bu Dewi
ReplyDeleteListi bohongnya dah klhtn tuh kok knp gak blg kl udah nikah
Wow mksh bunda Tien sehat selalu doaku ADUHAI
Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien..
ReplyDeleteSemoga sehat selalu..
Sugeng dalu mbak Tien sayang.... Semoga senantiasa sehat njiih
ReplyDeleteSalam sayang dr Surabaya
Aduhai...aah...ah
Hore, Ratri dan listi kembaran. Barangkali.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien. Semoga mbak Tien sehat selalu. Amin.
Kok malah Listi menemui Ratri... ada apa ya.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Ndak setuju ach klo listi balikan sama radit
ReplyDeleteataupun sama Dian...😏
Hiii..matur nuwun bunda Tien..🙏
Semoga Ratri yg baik hati menerima persahabatan dgn Listy. Banyak hal baik yg bisa merubah karakter Listy yg akhirnya bisa baikan dgn Dian dan Ratri lanjut dgn Radit. Ngarep com.
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem.
Alhamdulillah yg ditunggu sdh hadir mksh Bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteAahhhh.... Makin geregetan ceritanya.
ReplyDeleteBu Tien paling bisa mengaduk emosi yang baca, mantapss deh.
Sehat selalu Bu Tien, salam dari Bandung.
🙏😘
Karena ceritanya enak, tak terasa satu episode terasa singkat sekali...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien cerbung Jangan Pergi Eps 10 sudah hadir.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat selalu
Suwun
ReplyDeleteMakin asyik nih bu.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu. Aamiin 🤲
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun bu Tien,
ReplyDeleteMantab ,,ketemu juga listi n Ratri,,seru nih ,,,apakah Dian mau berterus terang
sehat wal'afia selalu ya bu 🤗🥰
Mbk Tien,smg selalu sehat nggih
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 10 sdh hadir
ReplyDeleteJangan2 Listi saudara kembarnya Ratri
semakin seru dan bikin penasaran lanjutan ceritanya
Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selslu.
Aamiin
Iya ya bunda..
DeleteJd ga sabar deh nunggu lanjutannya..
Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.....
ReplyDeleteSeruu nih,..
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Listy seperti Ratri eee Dian ke toilet u ngehindar eee apa Radit ketemu juga ..trim Bu Tien
ReplyDelete