SEBUAH JANJI 30
(Tien Kumalasari)
Samadi menyandarkan kepalanya pada daun pintu yang
terkunci, tampak memelas. Simbok dari dapur membawa sebuah cangkir yang
dimaksudkan untuk nyonya majikannya. Tapi ia kemudian melihat kopi tertumpah mambasahi karpet dan sofa.
“Pak, minum saja kopi ini dulu, ibu akan saya buatkan
lagi,” kata simbok yang merasa kasihan melihat tuannya. Ia tahu majikannya
sedang bertengkar. Sejauh ini ia tak pernah melihat sang nyonya marah sampai
mengunci pintu segala.
Samadi tak menjawab. Ia memanggil-manggil nama
istrinya dengan nada suara yang pelan, sambil tangannya menepuk-nepuk daun pintu.
“Sayang, Minar kecintaanku, tolong bukakan pintunya,
aku minta maaf sayang, aku janji tak akan melakukannya lagi. Tolong Minar, buka
pintunya dan biarkan aku bersimpuh di kakimu. Tolong sayang,” katanya
bertubi-tubi.
Tapi Minar bergeming didalam kamar. Di sanalah air
matanya kemudian bercucuran. Ia harus kuat, ia tak akan tersentuh dengan
rayuannya lagi. Ia sudah lelah. Rayuan demi rayuan ternyata hanya
menyenangkannya sesaat, nyatanya dia melakukannya lagi, dan kali ini lebih
parah.
“Sayangku, cintaku … bidadariku … buka dong sayang.”
Tiba-tiba Minar merasa muak. Rayuan busuk itu adalah
palsu. Ia tahu Samadi hanya menginginkan kembali kekuasannya di perusahaan.
Minar tak lagi sudi dibodohi. Ia mengusap air matanya sampai tuntas, kemudian
membuka pintunya. Tak tahu bahwa Samadi bersandar pada pintu itu, ketika ia
membuka pintu, maka Samadi jatuh tersungkur ke depan. Beruntung Minar berdiri
agak ke samping, sehingga tubuh laki-laki penghianat itu tak sampai menimpa
tubuhnya. Samadi tertelungkup dilantai. Tak mengeluh, tapi juga tak hendak
bangkit. Minar tahu, Samadi berharap dia akan membantunya bangun, tapi tidak. Minar
berjalan keluar sambil melompati tubuh Samadi, lalu duduk di sofa. Ia meneguk
kopi hangat yang disajikan simbok.
“Ini, saya buatkan lagi untuk bapak Bu.”
“Siapa yang menyuruh kamu membuatkan lagi? Bawa ke
belakang dan minumlah saja.”
Simbok menatap sang nyonya, mencari kepastian.
“Tunggu apa lagi? Bawa kembali dan minum oleh kamu,”
katanya sedikit menghardik.
Simbok membawa kembali kopinya ke belakang.
“Kamu mau tidur terus disitu? Bangunlah. Kamu masih hidup
kan? Aku beri kamu kesempatan untuk mengambil barang-barang kamu, semuanya.
Jangan ada yang tersisa,” katanya sambil menghabiskan kopi di cangkirnya.
Samadi berkutat bangun. Istrinya benar-benar tak mau
peduli walau melihatnya terjatuh. Ia bangkit sambil mengelus dahinya yang
terantuk lantai, lalu mendekati Minar, dan bersimpuh di hadapannya.
“Minar, aku akan menyembahmu, mohon maafmu,”
rintihnya.
“Aku manusia biasa, bodoh kalau kamu menyembah aku.
Menyembahlah kepada Allah dan mohon ampun padaNya.”
“Minar, sayang.”
“Hentikan kata-kata sayang itu, aku muak mendengarnya. Aku serius, ambil barang-barang kamu, dan jangan lagi menginjakkan kaki kamu di
rumah ini,” katanya dingin.
Samadi masih bersimpuh, meletakkan kepalanya pada
pegangan sofa.
Minar tak peduli. Ia kemudian berdiri, masuk ke dalam
kamar. Ia mengambil sebuah kopor besar yang ada di sana, lalu memasukkan semua
pakaian Samadi ke dalamnya. Lalu dia
menariknya keluar, dan melihat Samadi masih pada posisinya semula. Minar keluar
sambil menarik kopor, lalu melemparkannya ke halaman.
Gubrakk.
Kopor itu penyok, tapi masih terkunci. Samadi mengangkat kepalanya, dan wajahnya benar-benar pucat melihat kopor tergeletak di
halaman.
“Minar, kamu tega.”
“Sudah, tidak usah drama lagi. Itu barang-barang kamu,
tak ada yang tersisa.”
Lalu Minar mendekati mobil, membukanya dan mengambil
kunci mobil yang masih tergantung di sana.
Samadi bangkit, masih berusaha mendekati Minar dan
mengembangkan tangannya untuk memeluk istrinya, tapi Minar menghindar, membuat
Samadi terhuyung ke depan. Beruntung tidak kembali jatuh.
“Apa maksudmu? Jangan menyentuhku dengan tangan
kotormu.”
“Minar.”
“Pergi, dan jangan bawa mobil itu!”
Minar masuk ke dalam rumah, membiarkan Samadi terpaku
di halaman, kemudian Minar mengunci pintunya dari dalam.
Simbok sedang membersihkan karpet dan sofa dari
tumpahan kopi, tapi tak berani menanyakan apapun.
Minar melongok ke arah halaman. Dari kaca pintu depan,
ia melihat Samadi menarik kopornya dengan langkah gontai. Ada terbersit rasa
iba melihatnya, tapi Minar menguatkan hatinya. Ia sungguh tak akan bisa
memaafkan suaminya.
“Mbok, kalau aku pergi, kunci semua pintu dari dalam,
dan jangan biarkan dia memasukinya,” perintahnya kepada simbok.
“Baik,” kata simbok sambil mengangguk. Tetap tak
berani menanyakan apapun.
***
Pagi itu Minar pergi ke kantor. Ia mengumumkan kepada
seluruh karyawan, bahwa sejak hari itu Samadi bukan siapa-siapa. Dia sudah
dipecat, dan tampuk kepemimpinan akan dipegangnya sendiri.
Ia juga bertanya, benarkah Samadi telah membeli rumah
yang katanya akan dipergunakan untuk membuka cabang? Ternyata tak ada yang
tahu. Menurut mereka, Samadi tidak pernah membuka cabang.
“Jadi rumah itu, yang dikatakan cabang? Rumah yang
ditinggali Yanti? Aku benar-benar bodoh,” gumamnya berkali-kali.
Minar menghela napas dengan geram. Samadi telah membohonginya
tentang banyak hal. Ia juga terkejut membaca laporan keuangan yang sebagian besar masuk ke rekening Samadi.
Minar kemudian merasa semakin bodoh, ketika mempercayakan semuanya kepada Samadi,
karena dia sangat mencintainya. Ia menurut saja ketika Samadi melarangnya untuk
ikut campur mengurusi perusahaan. Ternyata dia telah mengobrak-abriknya.
Hari itu juga dia memblokir semua akses yang ada hubungannya
dengan Samadi. Ia mengadakan rapat bersama seluruh staf, dan mengatur kembali
semua tatanan yang dibuat oleh Samadi.
Sampai sore Minar melakukannya. Dia tampak sangat
letih ketika memasuki warung, dan melihat Ari sudah bersiap untuk pulang.
“Minar, kamu tampak kucel,” kata Ari yang kemudian
kembali duduk, dan minta agar Minar duduk di sampingnya.
“Mau aku pesankan jus buah? Mau makan apa? Kamu pasti
belum makan.”
“Terserah kamu saja,” katanya lemah sambil
menyandarkan tubuhnya.
Ari memesan jus jambu ke dapur, dan nasi soto ayam
satu porsi.
“Bagaimana keadaan kamu?”
“Semuanya sudah selesai.”
“Selesai?”
“Tak ada lagi manusia bernama Samadi itu dalam
kehidupan aku. Aku sudah meminta pengacara agar mengurus perceraian aku.”
“Minar, kamu harus kuat ya,” kata Ari sambil mengelus
punggung sahabatnya.
“Tentu saja aku kuat. Aku selesaikan semuanya dalam
sehari. Mengusir pembohong itu, dan menata kembali perusahaan.”
“Baiklah, sekarang minum jus nya dan makanlah, kamu
tampak pucat, dan kucel, seperti orang hilang.”
“Terima kasih telah menjadi sahabat sejatiku, Ari.
Bukan sahabat yang menghianati aku.”
“Mana mungkin aku menghianati kamu? Aku akan tetap
mendukung kamu.”
“Baiklah, aku makan ya, kamu tidak?”
“Aku sudah makan tadi.”
“Kalau kamu ingin pulang, pulanglah, ini sudah sore.”
“Tidak, aku temani kamu sampai selesai makan.”
Minar mengangguk dan tersenyum. Dalam keadaan hati
terpuruk, masih ada sahabat yang sedang setia membesarkan hatinya.
***
Samadi turun dari taksi, dengan uang yang masih
tersisa, lalu memasuki rumah, di mana Yanti tinggal di sana. Ia menyeret
kopornya memasuki rumah, dan melihat Yanti sedang berbicara di ponselnya.
“Iya, kalau bisa naikkan sedikit dong, itu kan rumah
bagus. Bagaimana? Tidak bisa. Tunggu, baiklah, aku minta waktu, akan bicara
dulu dengan suami aku. Baik, nanti aku kabari.”
Yanti menutup ponselnya, dan melihat Samadi meletakkan
kopor besar, lalu duduk di sofa dengan lesu.
“Kopor siapa itu? Kok penyok begitu?” tanya Yanti heran.
Samadi tak menjawab, dia membuka kulkas dan mengambil
sebuah minuman dalam botol, lalu menenggaknya habis.
“Dari mana? Kok dari kemarin sore, sampai sampai sore lagi
baru datang?”
“Adakah makanan? Aku belum makan dari kemarin,”
katanya lesu.
“Aku tadi beli nasi goreng, masih tersisa, aku
ambilkan ya.”
Samadi memejamkan matanya, rasa lelah menggayuti
wajahnya. Dari pagi sampai siang, dia duduk di depan sebuah toko, lalu sore
hari baru beranjak pulang ke rumah Yanti.
“Ada apa kamu ini? Berhasil merayu istri kamu?
Tampaknya tidak. Kelihatan wajahmu kucel kayak baju yang seminggu tidak dicuci,”
kata Yanti sambil menyerahkan piring berisi nasi goreng yang sudah dingin.
Samadi menerimanya, lalu memakannya pelan.
"Masih kurang? Aku pesan makanan lagi ya? Kamu mau apa?
Tapi kamu yang bayar ya?” kata Yanti sambil mengambil dompet Samadi, dan terbelalak
melihat uang duaratus ribu di dalam dompet itu.
“Uangmu tinggal segini?”
“Ceritanya panjang, biar aku makan dulu,” kata Samadi
sambil melanjutkan makannya.
“Istri kamu tidak mau memaafkan kamu?”
“Dia sangat marah, dan akan menceraikan aku.”
“Itu bagus. Aku juga tidak mau diduakan,” kata Yanti
yang sama sekali tidak mengerti arti kegelisahan Samadi.
“Kita baru nikah siri. Aku mau kita nikah beneran.”
Samadi menghabiskan nasi gorengnya.
“Kamu tadi telpon sama siapa?”
“Orang yang mau membeli rumah aku. Rumah yang
diberikan suami aku setelah kami bercerai.”
“Laku berapa?” tanya Samadi penuh harap.
“Baru ditawar limaratus limapuluh juta. Aku minta
enamratus juta.”
“Berikan saja. “
“Berikan?”
“Kita akan memulai usaha baru dengan uang itu. Tidak
usah bergantung pada perusahaan Minar.”
“Usaha apa?”
“Apa saja. Uang itu bisa kita jadikan modal usaha.
Kita akan kembali kaya.”
“Apa kamu sekarang miskin?”
Samadi menghempaskan napas kesal. Yanti ternyata tidak
begitu pintar dalam hal apapun. Dia sudah mendengar bahwa perusahaan yang
tadinya dipegang olehnya, adalah milik Minar, dan sekarang kembali menjadi
milik Minar. Tapi Yanti belum bisa menangkapnya.
“Yanti,” Samadi berusaha bicara pelan-pelan.
Yanti menatap suami siri nya.
“Sekarang ini, aku tidak lagi menjadi pengusaha,
karena Minar sudah mengambilnya.”
“Kamu terlalu lemah, harusnya kamu pertahankan.”
“Perusahaan itu memang miliknya, Yanti, aku tak bisa
apa-apa selain pasrah.”
Yanti melongo.
“Tapi kita bisa menjadi pengusaha, dengan uang kamu
itu. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Lalu kita akan menjadi kaya kan? Eh, mana mobil kamu?”
kata Yanti yang tiba-tiba baru sadar bahwa Samadi tidak membawa mobil ketika
datang.
“Sudah diminta oleh dia.”
“Ya ampun, aku tidak mengira, Minar sangat
keterlaluan,” gumamnya.
“Jadi kamu setuju kan, kalau kita akan membuka usaha
baru lagi?”
“Terserah kamu saja.”
“Jadi hubungi pembeli rumah kamu, bilang kamu setuju
atas tawaran dia.”
Yanti mengangguk pasrah, tak mengerti apa yang akan
dilakukan suami siri nya. Yang penting dia senang akan menjadi pengusaha
bersama Samadi.
***
Sekar mengantarkan Barno ke bandara, saat
keberangkatannya ke Batam.
Tiba-tiba Sekar sadar, bahwa kepergian Barno membuat
seperti ada yang hilang dari hatinya. Air matanya berlinang ketika Barno
menyalaminya.
“Barno, hati-hati ya.”
“Doakan saya ya Non,” kata Barno
yang merasa teriris melihat air mata non cantiknya.
“Tentu akan aku doakan,” kata Sekar sambil mengusap
air matanya.
“Jangan sedih, jangan mengiringi kepergian saya dengan
tangis, supaya saya bisa melangkah dengan mantap,” kata Barno.
“Barno, aku menangis karena bahagia, akhirnya kamu
segera bisa mendapatkan pekerjaan. Bibik akan bangga sama kamu.”
“Saya akan sering pulang.”
“Pulanglah sesering kamu bisa.”
“Non harus hati-hati ya, saya ada di tempat jauh,
tidak bisa menjaga Non seperti kalau saya ada di dekat Non.”
“Tenanglah Barno, aku akan bisa menjaga diriku.”
“Jaga baik-baik bapak, jangan sampai sakit lagi. Buat
agar bapak selalu gembira.”
“Iya Barno, akan aku lakukan bersama bibik.”
“Baiklah Non, saya pergi,” kata Barno yang sekali lagi
menyalami tangan Sekar, lalu membalikkan tubuhnya dan menjauh.
Sekar menahan jatuhnya kembali air matanya, lalu
berteriak tanpa peduli orang-orang di sekitarnya. Bukankah semua orang tahu
bahwa perpisahan adalah sesuatu yang menyedihkan?
“Barno … aku akan merindukanmu,” teriak Sekar.
Barno tersentak. Ucapan non cantiknya membuat dadanya
gemuruh. Non cantik akan merindukannya? Barno membalikkan tubuhnya, dan
setengah berlari mendekati Sekar.
“Non, aku juga akan merindukan Non,” bisiknya, lalu
kembali membalikkan tubuhnya dan berlalu, setelah saling tatap dengan perasaan tak menentu.
Sekar mengusap lagi air matanya. Baru disadarinya, ada
keterikatan diantara keduanya. Keterikatan rasa yang tak pernah terucap,
berhamburan keluar setelah perpisahan itu tiba.
Sekar berlalu sambil terus mengusap air matanya.
“Barno … aku akan merindukanmu,” bisikan itu terlontar
lagi dari bibirnya.
Ia memanggil taksi, kemudian berdiri menunggu di lobi.
Tiba-tiba seseorang berteriak memanggilnya.
“Sekar !!”
Sekar menoleh, dan melihat Suseno berjalan
mendekatinya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah mksh bunda eSJe 30 udah tayang
ReplyDeleteMakin seru deh
Yanti...oh Yanti....
Seruuuu.....mbk Juara 1
DeleteMatur nuwun bu Tien, Sebuah Janji eps 30 sdh hadir.
DeleteSehat terus dan terus sehat nggih bun. Tetap ADUHAI
Matur nuwun Mbak Tien sayang... Doaku smoga selalu sehat ya Mbak. Salam Aduhai selalu.
DeleteYess
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ 30 sdh hdr...Matur nuwun Bunda Tien...🙏🦋🌹
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillaah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI 30 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~30 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteJuara maneh mbak Iin...
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat
Alhamdulillah SJ 30 tayang penasaran baca dulu ,matur Suwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah akhirnya hadir juga....
ReplyDeleteSJ 30....
Matur nuwun Bu Tien....
Moga sehat selalu dan dimudahkan rezeki nya.....
Aamiin.....
Alhamdulillah... Sehat selalu bund....
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman
Matur nuwun bu Tuen yang aduhaiii❤❤
ReplyDeleteWaah tampaknya Suseno akan menjadi batu sandungan cinta sekar dan barno...
ReplyDeletePenasaran saja ini bunda Tien..
Salam sehat dari mBantul
Alhamdulillah terimakasih bu Tien
ReplyDeleteYanti terlanjur menjual rumahnya, bagaimana kalau rumah yang ditempati di ambil Minar...
ReplyDeleteBarno harusnya bilang " I love you Sekar..."
Tapi ada Seno yang siap mengisi hati Sekar, bingung nih...
Salam ADUHAI mbak Tien, semoga selalu sehat. Aamiin.
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSamadi dpt peluang nih ,,mau bergaya dg uangnya Yanti yg rada - rada bagaimana gitu
Salam sehat wal'afiat ya bu Tien 🤗🥰
Alhamdulillah SJ30 sudah hadir, sedihnya Sekar pisah dengan Barno. Akankah Suseno berhasil mendekati Sekar? Hanya Bu Tien yg tahu...,..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteWouw...Akhirnya Samadi dadi kere lagi...Apakah akan bangkit lagi berbisnis bersama Yanti...???
ReplyDeleteSalam sehat utk bu Tien..🙏🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ...
Semoga selalu dalam Berkah dan Ridjo Alloh Subhanahu Wa Ta'ala ... Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeletePuji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip shg SJ30 hadir bagi kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteCinta Yanti pd Samadi sebenarnya hanya krn meteri. Bisa langgengkah?
Rumah Yanti sdh terjual, rumah Samadi disita perusahaan...
Rumah tangga itu memang tidak sempurna, rumah tangga itu tempat pengampunan, pertobatan yg terus dan terus...
Barno dan Sekar...
Luka hati krn cinta, dialami banyak orang. Ujian hidupmu semoga menambah dewasamu...
Matur nuwun ibu Tien yg super pandai mengaduk hati pembaca...
Tks bu Yustin...
DeleteKomennya begitu menginspirasi..
Sering" ya bu Yustin..
Sy bc komen ibu sambil mengingat kita sdh ketemu di JF 3 Malang 26-27 Agustus yg lalu..
Semoga sehat", bahagia selalu dan kita bs ktemu & ngobrol lg ya bu..
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien eSJe 30 nya
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Wah tidak terasa kok air mata saya menetes ikutan Sekar nangis berpisah dng Barno,ikut terharu.😭 Lha kok tahu2 ada Seno semoga Sekar tidak tertarik dengan Seno ya mbak Tien Ha ha ha hanya mbak Tien yg tahu yg bisa menghanyutkan perasaan pembaca tks mbak Tien Salam aduhai dari Tegal.
ReplyDeleteCeritanya tetap seru...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Mksh mb Tien SJ 30 sdh hadir. Slm seroja utk mb Tien dan para pctk. Akankah Samadi mampu membahagiakan Yanti? Ataukah keduanya terpuruk pd cinta yg memabokkan smp lupa bikin sakit hati istri sahnya.🙏
ReplyDeleteTerima kasih bu tien cerbungnya
ReplyDeleteSiapa ya pilihan Sekar ?
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Ayoo tebaak..
Deletekita liat dlu mb Sul, bgmn sifat dan karakter Seno..
Tambah seruu ..
klo sdh jodoh tak kan lari dikejar
Bu Tien sgt piawai mengaduk emosi pembacanya.. Aduhaaiii..
Bênêr bênêr melibas Samad dengan segala kekuasaannya di perusahaan.
ReplyDeleteWarisan dari ortu,
Minar anak tunggal lagi.
Ternyata selama ini banyak dana keluaran tidak jelas peruntukannya.
Bahkan sering dana besar masuk rekeningnya.
Perpisahan ini sangat sadar bakal ada yang hilang, entah apa itu, tapi harus dijalani Barno.
Seno tertegun ternyata Sekar melepas kepergian seorang Barno dengan air mata, berusaha menghapus air mata yang tersisa, hampir lupa memohon diperkenankan kuliah sambil bekerja; apakah Seno mengijinkan.
Nggak kebayang waktu Sekar diajak kerumah Seno; maunya pamer ini pilihan ku, yakin pak Ridwan setuju aja, lha biyungnya ini yang ngomongnya kaya masak osèng-osèng; sêngak nya minta ampun.
Mosok seeh ..
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ketiga puluh sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Trims Bu Tien sehat s lalu
ReplyDeleteMatur nuwun,bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah...
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien.. Sekar sdh tayang
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu
Salam Aduhai..
Terimakasih bunda Tien.. yg selalu menyapa..
ReplyDeleteAlhamdulilah sj sdh tayang salam sehat smg bu tien sll dlm lindunganNya dan bahagia
ReplyDeleteAlhamdulillah...yaa terima kasih ya Allah
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteterima ksih bunda sj 30 nya..slm sht sll dan aduhai dri skbmi🙏🥰
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.....
ReplyDeleteMenanti sebuah janji 31.....