KEMBANG CANTIKKU 40
(Tien Kumalasari)
Ketika mobil Qila keluar, saat itu juga mobil pak
Kartiko memasuki halaman. Tapi Qila tak berhenti, walau tampaknya dia
melihatnya. Ada yang lebih penting yang sudah didapatnya, dan itu membuatnya
terus melaju.
“Itu tadi seperti mobilnya Qila ?” tanya bu Kartiko.
“Sepertinya iya. Apa dia ingin ketemu anaknya ya?”
kata pak Kartiko.
“Menurutku tidak.”
“Bagaimanapun dia kan seorang ibu, ada dong rasa
kangen sama anaknya,” bela pak Kartiko.
“Kalau dia kangen sama anaknya, saat melihat kita
datang, pasti dia berhenti dan menyusul kita kemari. Nyatanya tidak.”
“Mungkin tidak tahu.”
“Tahu lah, hampir berpapasan, masa tidak tahu?” kata
bu Kartiko sambil keluar dari mobil, mengikuti suaminya, karena Nano sudah
memberhentikan mobilnya di depan teras. Tampak Murti membukakan pintu depan,
menyambut majikan suaminya yang baru datang. Ia ingin menggendong Mila, tapi
ternyata anak itu tidur dalam gendongan Tinah, yang langsung membawanya ke
dalam.
“Tadi ada tamu?” tanya bu Kartiko.
“Iya, bu Qila,” jawab Murti.
“Mau apa dia kemari?”
“Entahlah. Hanya bertanya bapak sama ibu apakah ada,
lalu di mana Mila. Saya minta untuk menunggu, tapi tidak mau. Baru saja dia keluar
dari sini.”
“Iya, kami melihatnya. Mau apa dia kemari kalau tidak
ingin bertemu anaknya?” gumam bu Kartiko.
“Barangkali kangen sama bekas mertuanya,” canda pak Kartiko
sambil terus masuk ke dalam.
“Mana mungkin. Nyatanya dia tidak berhenti ketika
melihat kita datang.”
Murti menutup kembali pintunya, lalu ia bergegas ke belakang,
memberitahu simbok bahwa sudah saatnya mereka menata meja untuk makan siang.
“Baiklah, semuanya sudah selesai, piring-piring juga
sudah aku siapkan,” kata simbok.
“Saya bantu menata makanannya Mbok.”
“Baiklah, tinggal ditata saja di meja.”
“Mbok, jadi masak pesenanku ?” tanya bu Kartiko yang melongok ke ruang makan.
“Iya Bu, ini sudah disiapkan mbak Murti,” jawab
simbok.
“Nanti Murti tidak usah kembali ke kamarmu. Panggil
suami kamu, kita makan bersama-sama di sini,” perintah bu Kartiko.
“Saya mau makan di belakang saja sama mas Nano, Bu.”
“Tidak Murti, kita akan makan bersama-sama di sini.
Aku sama bapak mau ganti baju dulu,” kata bu Kartiko sambil kembali masuk ke
dalam kamarnya.
Murti mengangkat bahu.
“Sudah, kalau ibu memerintahkan, Mbak Murti tidak
boleh membantah.”
“Jadi nggak enak, Mbok.”
“Nggak apa-apa, sudah sana, panggil pak Nano,” kata
simbok sambil menyiapkan jus buah ke dalam gelas-gelas, lalu menambahkan piring
di atas meja, karena majikannya meminta agar Nano dan istrinya makan bersama
mereka.
***
“Minggu depan Mas ikut ya,” kata Wuri kepada Budi,
suaminya saat pulang kerja.
“Ke mana?”
“Mas Yudi mau melamar. Dia kan jauh dari keluarganya,
jadi kita yang akan diajaknya.”
“O, iya tentu. Mas Sapto juga mau ikut. Saat ketemu
kemarin dia bilang begitu.”
“Mas Sapto?”
“Iya. Dia bertanya, kapan, tapi aku belum bisa
menjawabnya. Sekarang aku sudah tahu, Minggu depan ya?”
“Iya. Tadi dia sudah belanja macam-macam untuk buah
tangan bagi calon mertuanya.”
“Aku nanti akan mengabari mas Sapto kalau begitu,
supaya dia bisa pulang minggu depan.”
“Kabari saja. Mas Wahyudi pasti senang diperhatikan
banyak orang. Kabarnya, keluarga pak Kartiko juga mau ikut dalam acara lamaran
itu.”
“Bagus kalau begitu. Tapi dengar-dengar, kalau orang
jawa, menikahkan anak dua kali dalam setahun tuh nggak boleh. Dengar-dengar
lho.”
“Kan besok baru mau melamar. Perkara menikahnya selang
setahun setelah menikahkan kakaknya mbak Murni, bisa saja kan?”
“O iya, besok itu baru mau melamar kok ya.”
“Tadi aku menemani mas Wahyudi belanja macam-macam.”
“Untunglah kamu menemani, kalau enggak ya kasihan juga,
habisnya dia sendirian.”
“Iya Mas. Tapi aku senang, akhirnya mas Wahyudi
menemukan gadis yang dicintainya. Aku pengin lihat seperti apa ya gadis yang mau
dilamar mas Yudi.”
“Kan pernah dikasih tahu fotonya?”
“Beda dong, foto sama orangnya.”
“Pasti beda.”
“Pasti ya?”
“Ya pasti lah, kan orangnya bisa tersenyum, bisa
tertawa, bisa bicara, bisa bercanda. Kalau fotonya mana bisa? Hanya diam saja
kan?”
Wuri tertawa.
“Mas Budi bisa ngelawak juga rupanya.”
“Terkadang orang butuh tertawa kan. Tuh, kamu sudah
tertawa, aku senang melihat kamu tertawa.”
“Iih, memangnya aku nggak pernah tertawa?”
“Iya, sering, dan aku selalu senang melihatnya.”
“Masa sih, aku cantik ya kalau tertawa?”
“Kamu selalu cantik kok.”
“Hm, kalau ini namanya rayuan gombal. Aku tuh nggak cantik
lho.”
“Kata siapa?”
“Mas Wahyudi nggak pernah mau bilang bahwa aku cantik.
Dia terus-terusan meledek aku bahwa aku jelek.”
Budi tertawa.
“Karena kamu juga selalu meledek dia ‘tua’ kan?
“Iya sih.”
“Mas Yudi itu, biarpun umurnya sudah jauh diatas aku,
tapi dia ganteng.”
“Gantengan mas Budi dong.”
“Iya, harus, awas saja kalau kamu bilang bahwa mas
Yudi lebih ganteng dari aku.”
“Apa sih ini? Suami pulang bukannya di suruh
beristirahat malah diajak ngobrol,” tegur bu Mantri dari arah depan.
“Ini lho Bu, tadi ngomongin mas Yudi, yang minggu
depan mau melamar.”
“O, minggu depan ini ya. Pengin ikut sebenarnya, tapi
ada pesanan lumayan banyak, bagaimana ya.”
“Ibu tidak usah ikut, soalnya yang mengantar sudah
lumayan banyak. Apalagi sedang ada pesanan, nanti siapa yang mengerjakan?
Pembantu saja pasti tidak bisa,” kata Budi.
“Iya, benar, Ibu harus mengatur semuanya. Ya sudah,
sekarang istirahat sana, baru pulang kerja pasti capek.
***
“Mau kemana kita?” tanya Kori ketika meminta agar
dirinya berdandan.
“Ikut saja, kita akan bersenang-senang,” kata Qila
yang asyik menyempurnakan dandanannya.
“Mencari pria ganteng kesukaan kamu itu?”
“Iya, tenang saja. Kamu tidak ingin menemukan
pasangan?”
“Aku hanya mau dia.”
“Dia siapa?”
“Bekas suamiku.”
“Mimpi kamu? Kamu sudah dibuang dan dosamu sangat
besar, mana bisa kamu mengharapkannya lagi?”
“Entahlah, aku sangat mencintai dia.”
“Bodoh. Makan tuh cinta. Kamu hanya akan menderita
selamanya.”
Kori diam, memang benar, dia tak mungkin bisa
mendapatkan suaminya kembali. Tapi alangkah sulitnya menghilangkan rasa itu
dari hatinya. Ujung-ujungnya, hanya ada rasa benci dihatinya kepada Retno, yang
dianggapnya telah merebut suaminya.
“Sudah, jangan melamun. Mau ikut tidak?”
“Kalau mau ke klub itu lagi aku nggak ikut, nggak ada
yang menarik.”
“Mana mungkin siang-siang begini aku mengajak kesana.”
“Lalu kita mau kemana?”
“Ikut aku saja. Aku sedang merasa sangat benci pada
seseorang.”
“Mau menghajar orang?”
“Dengan caraku.”
“Beri tahu aku, siapa dia?”
“Aku juga belum pernah melihatnya.”
“Gimana sih kamu ini? Belum pernah melihatnya, tapi
kamu membencinya?”
“Karena dia bisa menarik hati laki-laki yang aku suka,
sedangkan aku tidak.”
“Maksudmu … kamu bicara tentang Wahyudi, si miskin
itu?”
“Tidak apa-apa miskin, dia tuh ganteng bangetttt, aku
tergila-gila sama dia.”
“Memang kamu gila.”
“Sudah, jangan bawel, ayo ikut. Kamu nanti harus
membantu aku.”
“Memukuli orang yang kamu benci itu?”
“Ikut saja apa kataku, kita bicara sambil jalan.”
***
“Murti, kamu jadi pesan makanan yang akan kita bawa
hari ini kan?”
“Sudah Bu, mas Nano sedang mengambilnya. Saya tidak
ingin ibu saya repot karena banyak tamu, jadi saya yang akan membawakan hidangan untuk tamu- tamu semuanya,” jawab Murti.
“Itu bagus. Simbok juga masak rendang hari ini,
sebaiknya kamu bawa sekalian. Kamu juga harus membawa piring dan sendok yang
bisa dipergunakan untuk sekali pakai, jadi tidak usah mencuci piring segala macam, kasihan ibu kamu.”
“Iya Bu."
“Baiklah, kita menunggu Nano yang sedang mengambil
pesanan kan? Aku akan membantu bapak berganti pakaian, sekarang sedang mandi.”
“Iya Bu.”
“Dan Wisnu juga belum datang.”
“Iya Bu, saya juga mau bersiap-siap dulu.”
“Barangkali Nano menjemput Wahyudi sekalian.”
“Saya kira tidak Bu, soalnya mas Wahyudi sudah bulang,
bahwa dia akan nyamperin ke sini bersama dengan kerabatnya.”
“Katanya kerabat Wahyudi itu jauh-jauh semua.”
“Maksudnya yang menganggapnya sebagai kerabat.”
“Oh, syukurlah. Wahyudi orang baik, pasti banyak orang
baik yang ingin membantunya juga.”
“Iya Bu, saya juga bersyukur, mendapatkan adik ipar
sebaik mas Wahyudi.”
“Iya Murti, semoga semuanya berjalan lancar. Aku ke
kamar dulu,” kata bu Kartiko sambil beranjak masuk ke dalam kamarnya.
***
Di rumah kediaman Sapto, tampak Retno juga sudah
bersiap-siap. Ia sudah mendandani Qila, yang sangat merasa senang karena akan
bertemu om Udi, sahabatnya. Mereka akan langsung ke rumah Wahyudi, dan akan
berangkat bareng Budi dan Wuri.
“Nanti ada om Udi?” tanya Qila saat ibunya mengucir
rambutnya.
“Iya, nanti kita ketemu om Udi.”
Qila berjingkrak kegirangan.
“Nanti dulu Qila, nanti melenceng kucir kamu kalau
belum-belum kamu melonjak-lonjak begitu,” tegur Retno.
“Kalau sudah siap, kita berangkat sekarang,” kata
Sapto dari arah depan, setelah menyiapkan mobilnya.
“Iya Mas, tunggu sebentar, ini Qila baru disisir rambutnya.”
“Qila jangan nakal nanti ya,” pesan Sapto sambil
menowel pipi anaknya.
“Qila nggak nakal kok. Qila senang mau ketemu om Udi.”
“Iya, kita mau ketemu om Udi nanti.”
“Nah, sudah, sekarang Qila tunggu di depan sama bapak
ya,” kata Retno sambil beranjak ke dalam untuk mengambil sesuatu.
“Jangan lupa hadiah untuk calon istri mas Yudi.”
“Iya, ini mau aku ambil.”
***
Di rumah bu Lasminah, Murni sedang menyiapkan minum
untuk tamu-tamunya yang akan datang. Murti sudah mengatakan berapa banyak yang akan
datang, tapi melarang adiknya untuk memasak atau menyiapkan makanan untuk
menjamunya.
“Tidak enak juga ya, masa kita mendapatkan tamu, tapi
dilarang menyiapkan hidangan.”
“Mbak Murti yang akan membawa dari sana Bu, supaya Ibu
tidak repot menjamu tamu. Nanti tamunya banyak lho.”
“Banyak itu berapa, coba kamu lihat kursi-kursi yang
ibu tata tadi, jangan-jangan kurang.”
“Nanti Murni mau pinjam beberapa kursi dari pak RT.
Pasti kurang kalau hanya kursi milik kita sendiri.”
“Ya sudah, minta tolong sama pak Man yang suka jaga
malam di pos ronda itu, supaya mengusungnya nanti.”
“Iya Bu, sudah Murni pikirkan. Murni selesaikan dulu
bikin tehnya ini, nanti Murni yang akan mengatur tempat duduk untuk tamu-tamu
kita.”
“Baiklah kalau begitu, ibu mau mandi dulu saja,” kata
bu Lasminah yang kemudian beranjak ke
kamar mandi.
Murni sudah meminjam beberapa kursi dari pak RT dan
meminta tolong pak Man untuk mengusungnya ke rumah. Lega rasanya melihat
semuanya sudah siap. Murni berganti pakaian yang lebih pantas, kemudian duduk kelelahan
di sebuah kursi sambil menunggu ibunya. Bagaimanapun hatinya berdebar-debar,
saat menyadari bahwa kedatangan tamu-tamu itu nanti adalah untuk melamar
dirinya.
“Ya ampun, baru mau dilamar saja aku sudah gemetaran
seperti ini,” gumamnya sambil meremas-remas tangannya.
Tiba-tiba didengarnya langkah-langkah kaki mendekat.
Murni berdiri lalu beranjak ke depan. Ibunya yang sudah berdandan rapi
mengikutinya dari belakang. Di depan teras, mereka melihat dua orang wanita
cantik sedang berdiri. Murni melongok ke arah luar, barangkali Wahyudi dan
rombongannya ada di belakang, dan dua orang kerabatnya mendahului. Tapi dia
tidak melihat siapa-siapa.
Dua orang itu adalah Qila dan Kori, yang dengan
bertanya-tanya akhirnya menemukan di mana Murni tinggal.
“Selamat siang,” sapa Qila ketika melihat Murni dan
ibunya menyambutnya.
“Selamat siang. Mana yang lainnya?” tanya bu Lasminah
yang tentunya juga mengira bahwa dua orang itu adalah kerabat Wahyudi.
“Kami hanya datang berdua.”
Bu Lasminah dan Murni tertegun.
“Berdua?” tanyanya hampir bersamaan.
“Ini rumahnya Murni kan?” tanya Qila tanpa basa basi.
“Saya Murni, dan ini ibu saya,” jawab Murni mulai tak
senang, karena sikap kedua tamunya seperti tak menghormati ibunya, sebagai
orang yang lebih tua.
“O, ini ya? Cantik, lumayan,” kata Qila, tapi dengan
senyuman mengejek.
Bu Lasminah dan Murni heran.
“Siapa sebenarnya sampeyan ini?” tanya bu Lasminah kesal.
“O, ibu belum tahu siapa dia ini? Dia ini kan
tunangannya mas Wahyudi,” sambung Kori.
Bu Lasminah dan Murni terkejut. Wahyudi mau datang
melamar, tapi tiba-tiba ada wanita cantik mengaku sebagai tunangan Wahyudi.
Wajah Murni pucat pasi. Kakinya gemetar.
Dan itu tak luput dari pandangan Qila yang semakin melebarkan senyumnya.
“Benar, aku ini tunangannya mas Wahyudi. Apa dia
bohong sama kamu, dan mengatakan bahwa akan mengambil kamu sebagai istri? Ingat
Murni, Wahyudi itu milikku,” kata Qila yang kemudian menarik tangan Kori, pergi
membalikkan tubuhnya, keluar dari halaman.
Tentu Qila tidak tahu, bahwa di hari itulah Wahyudi
akan datang melamar. Ia baru sadar ketika melihat beberapa mobil berhenti tak jauh
dari pintu halaman rumah yang baru saja disatroninya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah KC~40 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteKalah cepet karo pa Djodhi jeng Nani
DeleteJam mah sama 21.02
Terima kasih Bu Tien, KC 40 sdh terbit....salam sehat selalu...🙏🙏
ReplyDeleteHoreee KACE episode ke 40 malam ini sudah tayang 🇮🇩🇮🇩🇮🇩
ReplyDeleteMatur nuwun bunda.
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI
Alhamdulillah..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Semoga sehat selalu..
Terima kasih....
ReplyDeleteAsyik sudah tayang
ReplyDeleteTks kc nya...bu tien salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteCeritanya selalu manarik...
ReplyDeleteMbak Tien piawai menjaga konflik cerita...
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayamg KC episode 40
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien cerbungnya Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat walafiat bersama keluarga tercinta aamiin
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung.
ReplyDeleteBuat gara gara, itu pekerjaan Kori dan Qila si-gila. Sebentar lagi terkuak kebenarannya.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Bakalan rame nih...
ReplyDeleteTrima kasih Bu Tien 😘😘😘
Alhamdulillah
ReplyDeleteSudah datang
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu
Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien.🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 40 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteHadeh ...... Heboh lagi nih .....
ReplyDeleteMakin asyik saja ....
Terimakasih bu Tien
Smg ke-2 nya tertangkap basah yg sdh buat kacau hidup Murni d Wahyudi. Ada Sapto d Wisnu yg siap jd saksi kejahatan keduanya Kori d Qila🤗
ReplyDeletePuji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga KC 40 hadir bagi kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteSemoga ada yg melihat mobil Qila yg barusan menyatroni dan mendatangi rumah Murni sehingga kalau suasana jadi gempar ada yg tahu sebabnya.
Semoga segala kendala segera teratasi dan Yudi Murni menjadi padangan yg bahagia.
Alhamdulillah KC 40 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dsn bahagia selalu.
Aamiin
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat.
Aduhai
Terimakasih
ReplyDeleteTerima ksih bunda..slmt weekend bersm keluarga..slm sht sll 🙏😍
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien.....Salam sehat selalu
ReplyDeleteMalam Bun sehat selalu dan tetap semangat
ReplyDeleteAssalamualaikum. Bu Tien..
ReplyDeleteMaaf KC 41 blm hadirkah..?
Menunggu bunda Tien upload KC 41 😍
ReplyDeleteYang 41 belum tayang....
ReplyDeleteDasar 2 wanita jahat untung aja ketemu ma Sapto dll Wisnu ..ajibune jahat ..fitnah lagi
ReplyDeleteHatur nuhun bunda kc nya..slm sht sll🙏🥰
ReplyDelete