KEMBANG CANTIKKU
31
(Tien Kumalasari)
Wahyudi tercekat, tak mengira ada orang bisa memasuki
rumahnya.
“Siapa kamu?” hardiknya.
Bukannya menjawab, manusia bertopeng itu malah
menyerangnya, bahkan dengan sebilah belati yang terhunus sejak awal Wahyudi
melihatnya.
Tapi kali ini Wahyudi sudah menduga bahwa dihadapannya
adalah orang yang bermaksud jahat. Ia juga bukan orang lemah. Dengan sigap ia
menghindar, membuat penyerangnya jatuh tersungkur, lalu belati yang
digenggamnya terlempar.
Wahyudi mempergunakan kesempatan itu untuk memukul
punggung penjahat itu dengan sekuat tenaga. Terdengar teriakan mengaduh.
“Aauuuwwwhh!”
Tapi penjahat itu juga bukan orang lemah. Tangannya
berhasil meraih kaki sebuah kusi di depan kamar itu, kemudian melemparkannya ke
arah Wahyudi.
Gubraaaggg! Praaaang ! Kursi itu mengenai meja kaca
yang ada di tengah ruangan.
Wahyudi terjengkang, dengan luka di pelipisnya. Keduanya berhasil bangkit, tapi sang penjahat
sudah berkurang gerakannya karena pukulan di punggungnya membuat ia kesakitan.
Bisa jadi ada tulang yang patah.
Wahyudi menghantam wajah penjahat itu, sambil menarik
topeng yang menutupi wajahnya. Penjahat itu melengos untuk menyembunyikan
wajahnya, lalu berusaha kabur.
Wahyudi melihat sekilas wajah itu. Apakah dia mengenalnya?
Rasanya wajah yang tidak asing. Seorang laki-laki tegap, entah siapa, Wahyudi
sedang mencoba mengingatnya, sementara laki-laki itu berhasil melompat keluar
dari rumah. Tapi saat itu ada tiga orang peronda malam yang kebetulan sedang
melintas, dan mencurigai laki-laki yang berlari dari halaman rumah Wahyudi.
“Berhenti !!”
Laki-laki itu tak berkutik, karena di hadapannya ada
tiga orang laki-laki menghadang.
“Siapa kamu? Habis mencuri ya?”
“Ti … tidak … saya …saya_”
“Ringkus dia, dan bawa ke kantor polisi,” perintah
salah seorang peronda.
Si laki-laki tersebut berusaha melawan, tapi sekali
lagi tubuhnya terkena tendangan, membuatnya tersungkur sambil mengaduh
kesakitan.
Keributan di malam buta itu membuat beberapa orang
kampung terbangun, kemudian keluar rumah dan berramai-ramai menggiring penjahat
yang sudah diringkus ke kantor polisi.
Salah seorang peronda memasuki rumah Wahyudi, diikuti
oleh beberapa orang.
Dilihatnya perabot rumah berhamburan, dan Wahyudi
terduduk di lantai sambil mengobati keningnya yang berdarah.
“Ini kan Pak Wahyudi?”
“Iya, Pak Wahyudi yang menghilang beberapa bulan yang
lalu.”
“Kapan kembalinya?”
Celoteh beberapa orang yang datang. Salah satunya
membantu Wahyudi mengobati lukanya.
“Apa yang terjadi?”
“Saya tidak tahu, tiba-tiba ada orang masuk dengan
wajah tertutup topeng, sudah membawa belati, untung belati itu tidak sempat
melukai saya karena terlempar sebelum mengenai wajah saya.”
“Pencuri pastinya,” celetuk seseorang.
“Mana belatinya? Itu bisa menjadi barang bukti,” kata
salah seorang lagi.
Mereka menemukan belati yang terlempar, lalu
diambilnya dengan selembar serbet yang kebetulan ada di sana. Dan sebuah topeng
kain yang terlempar ketika Wahyudi menariknya.
“Mas Yudiii …. Ada apa?” sebuah teriakan nyaring terdengar.
Rupanya ketika mendengar ribut-ribut di luar rumah, bu Mantri dan Wuri
terbangun. Tadinya bu Mantri melarang Wuri keluar, tapi mendengar suara
orang-orang dari luar yang mengatakan bahwa ada pencuri memasuki rumah Wahyudi,
maka Wuri segera berlari keluar, menuju ke arah rumah Wahyudi. Ia terkejut
melihat pecahan kaca yang sedang dibersihkan oleh para tetangga, dan Wahyudi
yang sedang diobati pelipisnya.
“Ada apa Mas? Ketika kamu pergi tak pernah ada pencuri
memasuki rumah ini, mengapa setelah kamu pulang malah ada pencuri?”
“Entahlah, mungkin mau mencuri tapi ketahuan oleh aku,
atau entah mau apa dia, begitu masuk sudah menghunus belati. Mungkin ingin
membunuh aku,” kata Wahyudi yang sudah duduk dengan perasaan lebih tenang
karena beberapa tetangga membantunya.
“Mengapa dia mau membunuh Mas?” kata Wuri cemas.
“Aku tidak tahu. Lihat, ia merusak pintu rumah sehingga dia bisa masuk.”
“Apa sebaiknya kami bawa Mas ke rumah sakit?” tanya
salah seorang tetangga.
“Tidak, terima kasih. Saya tidak apa-apa. Kebetulan
ada obat luka di rumah, dan ini sudah diobati,” kata Wahyudi.
“Ya sudah, aku mau menyusul ke kantor polisi sambil
membawa belati ini. Semuanya tenang, dan mohon kembali ke rumah masing-masing,
keadaan sudah aman,” perintah peronda yang rupanya memang adalah pimpinan
peronda di kampung itu.
***
Pagi hari itu saat Budiono datang bermaksud
mengantarkan Wahyudi ke kantornya, ia terkejut melihat pelipis Wahyudi tertutup
plester, dan melihat meja berantakan tanpa kaca.
“Ada apa lagi?”
“Semalam ada pencuri masuk kemari,” kata Wuri yang
pagi-pagi sekali sudah membawakan teh hangat dan sarapan untuk Wahyudi.
“Pencuri?”
“Entahlah, ada orang masuk dengan merusak kunci rumah.
Tapi tidak apa-apa, semua sudah teratasi. Polisi akan datang pagi ini,” jawab
Wahyudi.
“Sempat mengambil sesuatu?” tanya Budi.
“Tidak, begitu dia masuk, saya keluar dari kamar lalu
dia tiba-tiba menyerang saya dengan belati.”
“Kalau begitu dia bukan pencuri.”
“Aku juga mengira begitu. Ada orang berniat mencelakai
mas Yudi,” sambung Wuri.
“Kenapa ya?”
“Entahlah, aku tidak tahu juga.”
“Apakah kita akan mengantarkan mas Yudi ke kantornya
hari ini?”
“Mungkin nanti, setelah polisi memeriksa tempat ini.
Kalau mas Budi mau ke kantor dulu, silakan saja,” kata Wuri.
“Nggak apa-apa, aku akan ke kantor setelah
mengantarkan mas Yudi nanti. Biar semuanya segera selesai. Siapa tahu nanti di
sana ada yang akan diingat mas Yudi,” kata Budi.
“Terima kasih Mas Budi,” kata Wahyudi.
Tapi diam-diam Wahyudi sedang mengingat-ingat, sekilas
wajah yang dilihatnya semalam, ia seperti mengenalnya.
“Siapa ya?” gumamnya pelan.
“Ada apa Mas?” tanya Budi.
“Orang asing yang memasuki rumah ini, aku melihat
sekilas wajahnya, seperti pernah kenal sama dia.”
“Benarkah? Jangan-jangan tetangga sini yang memang
berniat mencuri.”
“Entahlah, aku sedang berusaha mengingatnya.”
***
“Apa? Ada percobaan pembunuhan atas mas Wahyudi?”
pekik Sapto ketika Budi menelponnya.
“Iya. Nggak tahu bagaimana, tapi begitu masuk dia
sudah menghunus belati. Aku pikir dia bukan hanya sekedar mencuri, tapi ingin
mencelakai.”
“Waduh, ada apa dengan mas Yudi, sampai ada orang
ingin membunuh?”
“Saat ini polisi sedang memeriksa di rumah mas Yudi.”
“Apakah dia luka parah?”
“Pelipisnya terkena lemparan kursi. Ia sempat
menghindar tapi satu kaki kursi menghantam pelipisnya, hanya saja tidak begitu
parah. Sudah diobati dengan obat luka yang ada di rumah.”
“Mengapa tidak dibawa ke dokter?
“Dia tidak mau, katanya tidak apa-apa.”
“Kamu masih di situ? Belum jadi mengantar ke kantornya
mas Yudi?”
“Belum, nanti kalau polisi sudah selesai, baru aku mau
mengantarnya. Aku bermaksud secepatnya mengajak mas Yudi ke tempat-tempat di
mana dia akan bisa mengingat semuanya. Mungkin nanti di kantor, ada yang bisa
diingatnya. Besok aku akan mengajaknya jalan-jalan bersama Wuri. Mungkin ada
tempat yang pernah membuatnya terkesan.”
“Bagus Bud, nanti ajak juga dia ke mari, ada taman
tempat dia sama Qila dulu sering berjalan-jalan.”
“Baik Mas, akan segera aku lakukan.”
“Setelah itu kamu boleh merencanakan pernikahan kamu,
bukankah Wuri sudah merasa lega karena mas Yudi sudah kembali?”
“Iya Mas, aku juga sudah lama menunggu,” kata Budi
sambil tersenyum senang.”
“Hari ini aku akan kembali ke Jakarta karena sedang
ada proyek yang harus aku tangani. Ajak saja mas Yudi ke rumah kapan dia mau.”
“Baiklah Mas, ini sepertinya pemeriksaan sudah
selesai, aku mau mengajaknya ke kantornya.”
“Apa dia ingat di mana kantor dia?”
“Tampaknya tidak. Aku yang akan membawanya ke sana,
nanti bersama Wuri juga.”
“Baiklah. Semoga berhasil.”
“Terima kasih Mas.”
***
“Bagaimana keadaannya?” tanya Retno yang mendengarkan
saat suaminya ditelpon Budi.
“Tidak apa-apa, hanya luka di pelipis terkena kaki
kursi, ketika penjahat melemparnya dengan kursi.”
“Ya Tuhan, sebenarnya ada apa?”
“Entahlah, polisi sudah menanganinya.”
“Belum juga dia sembuh total, sudah terluka lagi.”
“Semoga keadaannya segera membaik, dan permasalahan
juga segera terselesaikan.”
“Mas jadi kembali ke Jakarta siang ini?”
“Iya, kemarin aku kan hanya meninggalkannya sebentar,
demi melihat keadaan mas Yudi. Pekerjaanku belum selesai. Tapi dua hari lagi
aku pasti pulang.”
“Kalau begitu aku ke dokternya menunggu Mas pulang
saja ya?”
“Tidak apa-apa, asalkan tidak ada masalah dengan
kandungan kamu.”
“Aku tidak apa-apa, setelah setiap minggu
kontrol dan ternyata bayinya sehat dan aku juga baik-baik saja.”
“Syukurlah. Tapi kamu harus berhati-hati. Oh ya, aku
berharap nanti mas Yudi juga diajak datang kemari, mungkin dia perlu melihat
taman di mana dulu dia suka bermain bersama Qila. Bukankah dia sangat dekat
dengan Qila?”
“Iya Mas, setelah menyelamatkan Qila, mas Yudi begitu
memperhatikan Qila, dan Qila juga kelihatan sayang sama mas Yudi.”
“Iya, benar. Sekarang aku harus bersiap. Sebentar lagi
sopir kantor akan menjemput kemari untuk mengantarkan aku ke bandara.
***
Pagi hari itu pak Kartiko sedang berlatih berjalan,
ditemani Nano. Barangkali karena sangat bersemangat, nyatanya pak Kartiko sudah
bisa melangkah perlahan dengan kruk yang disiapkan istrinya beberapa bulan
lalu, dan pak Kartiko enggan memakainya.
“Sebenarnya aku bisa ya No?”
“Iya Pak, saya senang, karena Bapak tampak sangat
bersemangat.”
“Aku menyesal tidak melakukannya sejak dulu, sehingga
aku merepotkan semua orang. Aku sebenarnya memang sedikit pemalas,” gerutu pak
Kartiko sambil mencoba duduk kembali di kursi roda setelah berputar-putar di
taman dengan tongkatnya.
“Bukan begitu, barangkali untuk sembuh, memang harus
ada proses. Mungkin Bapak menjadi bersemangat, ketika merasa tidak ingin
menyusahkan orang lain.”
“Itu benar, terlebih setelah aku harus kehilangan
Wahyudi. Tadinya aku selalu bertumpu sama dia.”
“Iya Pak, semoga Wahyudi akan segera pulih.”
“Kamu sudah mengantarkan Wahyudi sampai rumahnya.
Bagaimana keadaan rumahnya?”
“Rumahnya kecil, tapi bagus dan asri. Ada tetangganya
yang bernama Wuri, yang selalu merawat rumah itu.”
“Aku pernah mendengar nama itu. Apakah itu calon
istrinya?”
“Sepertinya bukan. Wahyudi mengatakan bahwa mereka
bersahabat sampai merasa seperti kakak adik saja.”
“Bagaimana dengan pekerjaannya? Kalau dia punya
jabatan, aku jadi merasa tidak enak telah memperlakukannya seperti pembantu.”
“Dia manager sebuah perusahaan, yang pusatnya ada di
Jakarta. Tapi saya yakin Wahyudi tak akan mempermasalahkan saat dia berada di
sini, karena keluarga ini tidak menganggapnya sebagai pembantu.”
“Kalau ketemu aku harus meminta maaf.”
“Wahyudi itu baik, saya yakin dia tak akan merasa di
rendahkan di rumah ini.”
“Iya aku tahu.”
“Kita kembali ke rumah ya Pak?”
“Iya, ayo ke rumah, tadi ibu sepertinya mau mengajak
kamu belanja.”
“Iya, baiklah Pak.”
Tapi begitu sampai di ruang tengah, tiba-tiba
dilihatnya Qila masuk lalu menubruknya sambil menangis.
“Bapaaak, tolong Qila …”
“Ada apa ini? Nano, tolong panggil ibu, ada apa dia
ini?”
Nano mengangguk, tapi baru saja beranjak, bu Kartiko
sudah keluar dari kamar. Ia menetap gusar ketika melihat Qila menangis di
pangkuan suaminya.
“Ada apa ini?”
“Tolong Qila Bu, tolong Qila …” tangisnya tanpa
mengangkat kepalanya dari pangkuan pak Kartiko.
“Jangan begini, berdirilah. Apa kalau kamu sudah
menangis di pangkuanku lalu aku pasti akan sanggup menolong kamu?”
“Menolong bagaimana maksudnya?” tanya bu Kartiko.
Qila jatuh terduduk karena pak Kartiko mendorongnya.
“Katakan pada mas Wisnu, agar jangan menceraikan Qila,”
isaknya sambil menatap ibu mertuanya dengan pandangan memelas, wajahnya basah
oleh air mata.
“Bagaimana kami bisa menghalangi keinginan Wisnu? Dia
bukan anak kecil lagi. Dia bisa memilih mana yang terbaik bagi dirinya.”
“Dia melakukan itu, karena kesalahan kamu sendiri,”
kata pak Kartiko.
“Qila menyesal Pak, tolonglah.”
“Maaf Qila, kami tidak bisa menolong kamu.”
“Karmila …! Tiba-tiba Qila berteriak ketika melihat
Mila digendong Tinah.
Mila menoleh, tapi kemudian meronta ketika Tinah
mengajaknya mendekat.
“Nggak mauuu … nggak mauuuu… nggak mau ibuuu…” katanya
sambil meronta.
“Mila, ibu kangen Mila …”
“Nggak mauuuu…”
Dan mau tak mau Tinah membawanya ke belakang.
“Kamu lihat, anakmu sendiri tidak mau sama kamu. Apa
yang bisa kami lakukan?”
Qila merasa putus asa.
“Qila akan ke kantor mas Wisnu saja,” katanya sambil
berdiri, lalu beranjak pergi.
“Bu, kabari Wisnu bahwa Qila mau ke sana,” kata pak
Kartiko.
***
Siang hari itu Budi mengantarkan Wahyudi ke kantornya.
Ia melangkah pelan memasuki kantor, dan beberapa karyawan mendekat memberinya
salam. Wahyudi tersenyum ramah menyambut mereka.
“Senang melihat pak Wahyudi kembali,” kata mereka
sambil menyalami satu persatu.
Lalu salah seorang staf bernama pak Barjo, membawanya
memasuki ruangan kerjanya.
“Pak Yudi, ini adalah ruangan pak Yudi,” katanya.
Mereka sudah tahu bahwa Wahyudi hilang ingatan, karena sejak ditemukan, Wuri
sudah mengabari ke kantornya, bahwa Wahyudi sudah ditemukan dengan keadaan seperti itu.
Wahyudi menatap sekeliling ruangan, di meja kerjanya,
ada foto Qila kecil dalam gendongannya. Rupanya Wahyudi memang sangat
menyayangi Qila.
Wahyudi mengangkat foto itu dan menatapnya lama.
Lalu pak Barjo mengajaknya mengelilingi area kantor,
memasuki setiap ruang. Tapi ketika sampai di pos satpam, Wahyudi seperti
mengingat sesuatu.
“Hari ini pak Harso tidak masuk karena sakit,” kata
pak Barjo.
Harso adalah nama satpam di perusahaan tempat dia
bekerja.
“Dia … benar, aku ingat, dia orangnya,” serunya yang
membuat heran orang-orang yang ada di dekatnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Yeayy Bu Nani
DeleteYess juara lagi..
DeleteSemoga sehat selalu
Terima kasih, ibu Tien... Salam kangen dan salam sehat selalu, ya...
DeleteBunda nani juara ... kakek habi kemana aja kok ketinggalan
DeleteNuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillahi.....
ReplyDeleteKaCe eps 31 sdh tayang.
Matur nuwun bunda.
Sehat terus dan terus sehat, ya bun…
Salam seger waras & tetap ADUHAI.
matur nuwun bun ....
ReplyDeleteMakasih bunda tayangannya
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYang ditunggu tunggu telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Mugi mugi tansah sehat
Sugeng dalu Bu Tien, matur nuwun sanget Kembang Cintaku 31 sampun tayang, amugio ibu tansah pinaringan sehat lan tetep semangat, salam aduhai saking Pasuruan
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 31 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillah.... Terima kasih.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien... apakah orang bertopeng itu yang pernah merampok Wahyudi? Belum ada Khabar juga tentang bapaknya Retno. Semoga orang-orang baik selalu dalam kebaikan
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteTrimakasih Kembang Cantikku 31 sdh tayang
ReplyDeleteMojok dulu ah...
Yeee.... Sembuh mas Yudi nya..
ReplyDelete💃💃💃💃
APa mungkin Harso yg pernah melukai Wahyudi dan merampok uangnya ? Ketika tahun bahwa Wahyudi masih hidup dan sehat maka dia bermaksud utk membunuhnya ?
ReplyDeleteSepertinya Harso yg melakukan kejahatan dirumah Wahyudi... Mari kita tunggu kelanjutannya besok.
ReplyDeleteSalam sehat buat Bu Tien..🙏🙏
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~31 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah KC 31 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdullilah kc 31 sdh tayang..terima ksih bunda..slmt mlm dan slmt beristirahat ..slm seroja dri skbmi🙏🥰💖
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung.
ReplyDeleteMungkin jabatan Yudi yang akan direbut secara curang.
Mula mula seolah terjadi perampokan, lalu diulangi seperti pencurian.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteJadi pak Harso yang merampok Wahyudi sampai hilang ingatan?...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, Matur nuwun buTien
ReplyDeleteWahyudi sdh mulai ingat ya,,,
Salam sehat wal'afiat untuk semua Ya bu Tien 🤭🥰
Matur nuwun,bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteSatpam itu yang nyatroni rumah Wahyudi, segitu beraninya wuah ada yang bayarin ini, jangan jangan si Qila yang kalut, memberi janji sejumlah nilai buat balas jasa menghancurkan masa depan nya, jadi depan depanan, massané mbuh nangendi, salahé; nggak sediain sego kucing.
ReplyDeleteLho nggak to; yang tau Wahyudi bawa dhuwit banyak itu ya orang dalam, dari situ mulai; ada ketakutan karena ingatan Wahyudi mulai pulih pelan-pelan, justru ketakutan Harso membuka sendiri kejulikan nya.
Menjadikan Wahyudi ingat dia diperdaya begal jalanan merampas uang dan motor nya.
Ngarang
Kena radiasi ya.
Terimakasih Bu Tien,
Kembang cantikku yang ke tiga puluh satu sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Mungkinkah Harso yg mencelakai Wahyudi?
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu aduhai
Terimakasih bunda Tien.. Kembang cantiku sdh tayang..
ReplyDeleteSemoga Wahyudi bs mengingat siapa pak satpam yg itu?
Apkh yg dlu mencelakai Wahyudi dan dibuang ke sungai? ..
Jd tambah penasaran..
Sabaar bsk lg..
Salam kangen bunda..
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..
Aamiin.. YRA..
Trims Bu Tien sudah menghibur....semoga Wahyudi cepat ingatannya putih seperti sedia kala
ReplyDeletePuji Tuhan ibu Tien tetap sehat semangat dan produktip sehingga KC 31 hadir bagi kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteMulai terkuak orang2 jahat di sekitar Wahyudi, antara lain satpam kantornya.
Semoga Wahyudi cepat pulih kesehatannya.
Semoga Qila sungguh2 menyesal, bertobat, sadar kelemahannya.
Semoga Wisnu dan orang tuanya tergerak hatinya, berbelas kasih kpd Qila yg bertobat.
Semakin penasaran lanjutnya...
Matur nuwun, Berkah Dalem.
Lo kok satpam kantor apa ada kaitannya ma rampok di jalan dan wahyudi masuk jurang..Retno n Qila juga Sapto senang bisa ketemu dan Budi juga Wuri dah cepat nikah ..makasih Bu Tien
ReplyDelete