KEMBANG CANTIKKU
08
(Tien Kumalasari)
“Wahyudi, bangun … pindah ke kamar gih,” kata Nano
sambil menggoyang-goyangkan tubuh Wahyudi. Wahyudi menggeliat, mulutnya masih
membisikkan sebuah nama.
“Qila … Qila …”
“Heei, apa-apaan kamu?”
“Apa? Ada apa?” Wahyudi membuka matanya lebar-lebar.
“Oh, aku ketiduran, baiklah, ayo masuk ke kamar dulu
ya,” kata Wahyudi sambil bangkit.
“Tunggu, mimpi apa kamu tadi?”
“Aku ? Memangnya kenapa?”
“Kamu mengigau dan menyebut nama Qila. Kalau pak Wisnu
mendengar bisa dihajar kamu.”
“Apa? Dihajar? Memangnya aku salah apa?”
“Kamu menyebut nama Qila, mimpi apa kamu? Ketemuan
sama bu Qila?”
“Eh, ketemuan apa? Itu … aku selalu mimpi tentang
gadis kecil itu.”
“Gadis kecil siapa?”
“Aku kan pernah cerita, gadis kecil yang aku kenal
sebagai Qila. Iya, itu pasti nama gadis kecil itu. Gadis kecil yang selalu
hadir dalam mimpi aku.”
“Ya Tuhan, iya aku ingat. Kamu pernah meceritakan
mimpi itu ya. Baiklah, tapi kamu harus berhati-hati menyebut nama itu, karena
itu nama istrinya pak Wisnu.”
Wahyudi mengangguk lesu, kemudian masuk ke dalam
kamarnya, meninggalkan Nano yang hanye geleng-geleng kepala.
“Kasihan sekali Wahyudi, dia seperti orang yang selalu
bingung. Betapa sedihnya kehilangan ingatan. Sama sekali tak ada yang
diingatnya kecuali hal-hal yang baru saja dialaminya.
Nano pun kemudian masuk ke dalam kamarnya, karena
malam memang telah larut.
Sementara itu Wahyudi yang sudah masuk ke dalam
kamarnya, ternyata tak bisa lagi memejamkan matanya. Mimpinya barusan sangat
mengganggunya. Lagi-lagi Qila, gadis kecil berkucir dua yang semula dilarikan
seorang wanita dengan rambut
riap-riapan, lalu dia berhasil merebut gadis kecil itu dengan tangannya.
“Qila, siapa kamu sebenarnya?”
Wahyudi sudah membaringkan tubuhnya, berusaha
mengibaskan bayangan-bayangan itu, karena kepalanya kemudian terasa sangat
pusing.
***
“Ibu, saya membawa nasi liwet.”
Bu Kartiko yang sudah duduk di kursi makan bersama
suaminya menoleh ke arah datangnya suara.
Aqila meletakkan sebuah bungkusan di meja makan. Mila,
seperti biasa, begitu datang selalu menggelendot di pangkuan Wahyudi. Aqila
menatapnya tersenyum.
“Mila suka banget sama Wahyudi, dia selalu bercerita
tentang dia,” kata Qila sambil tersenyum manis ke arah Wahyudi.
Wahyudi hanya diam, merangkul Mila kemudian
diangkatnya ke atas pangkuannya.
“mBoook,” teriaknya kemudian.
Yang dipanggil simbok adalah pembantu di rumah itu,
segera mendekat ke arah majikannya.
“Ada nasi liwet ini, taruh di piring-piring,
barangkali ada yang mau,” kata Qila.
“Sudah lama aku tidak makan nasi liwet,” seru pak
Kartiko.
“Bapak boleh, tapi sedikit saja ya,” kata bu Kartiko
mengingatkan.
“Sesekali kan tidak apa-apa. Lagi pula ini tidak
begitu pedas kan, Qila?” tanya pak Kartiko kepada menantunya.
“Tidak Pak, tidak begitu pedas kok.”
Simbok sudah meletakkan bungkusan-bungkusan nasi liwet
diatas meja.
“Bapak, Ibu, Qila pergi dulu ya,” kata Qila kemudian.
“Suami kamu mana?”
“Menunggu di mobil, supaya nggak kelamaan,” kata Qila
sambil berlalu, setelah sebelumnya melirik ke arah Wahyudi, sekilas.
“Bapak mau makan nasi liwetnya?” tanya Wahyudi.
“Ya, sesekali kan nggak apa-apa Bu?” katanya sambil
menatap istrinya.
“Ya, tapi sayurnya sedikit saja, Bapak kan nggak boleh
makan pedas, kalau makan pedas, lambungnya pasti bermasalah.”
“Iya, aku tahu,” kesal pak Kartiko. Bu Kartiko hanya
tersenyum, ia tahu suaminya sangat kesal, karena banyak makanan kesukaannya
yang dilarang, demi kesehatannya.
Wahyudi tak melihatnya, karena asyik berbincang dengan
Mila yang bicara sepotong-sepotong dengan lucunya.
“Mila, ayo ke belakang dulu, main sama Tinah, sama pak
Wahyudi nya nanti ya,” kata bu Kartiko.
Tinah segera mendekat dan membujuk Mila agar mau turun
dari pangkuan Wahyudi.
“Bagaimana, Wahyudi, apa kamu suka tinggal disini?”
tanya bu Kartiko sambil menyendok nasi liwetnya.
“Suka Bu,” jawabnya sambil tersenyum.
“Pak Kartiko rewel bukan?” tanyanya lagi.
“Tidak Bu, sama sekali tidak menyusahkan kok.”
“Kamu kira aku ini anak kecil apa? Rewel … “ omel pak Kartiko .
“Maksudnya minta ini itu, membuat kesal.”
“Tidak Bu, sungguh,” kata Wahyudi sambil mengambilkan
obat untuk pak Kartiko.
“Tuh kan?” kata pak Kartiko senang karena Wahyudi
membelanya.
“Kamu kok nggak makan sekalian Wahyudi, itu nasi
liwetnya banyak lho.”
“Nanti saya di belakang saja Bu, sama Nano.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Kamu sudah mencari keterangan tentang biaya periksa
untuk kamu itu?” tanya pak Kartiko.
“Belum Pak, kapan-kapan saja, kalau sudah punya uang.”
“Kan cuma bertanya-tanya dulu.”
“Penginnya begitu punya langsung periksa saja.”
“Kalau uang kamu kurang?”
“Nanti kita bantu kalau kurang,” kata bu Kartiko.
“Ya sudah, terserah Wahyudi saja, kapan siap, yang
penting segera bisa ditangani.”
“Iya, segeralah berobat,” sambung bu Kartiko.
“Baiklah Bu.”
“Mana obatku?” tanya pak Kartiko.
“Ini Pak, sudah saya siapkan,” kata Wahyudi.
“Kalau obatnya habis, bapak harus kontrol lho.”
“Iya, aku tahu. Nanti sama Wahyudi saja.”
***
“Apakah orang baru bernama Wahyudi itu bisa melayani
bapak?” tanya Wisnu dalam perjalanan ke kantor.
“Sepertinya bapak suka. Yang aku heran, Mila sudah
sangat dekat dengan Wahyudi,” sahut Qila.
“Benarkah?”
“Kata Tinah, begitu datang langsung minta pangku
Wahyudi.”
“Berarti dia bisa momong anak kecil.”
“Berarti dia bisa momong anak kecil, juga bisa momong
orang tua.”
“Syukurlah. Bapak itu kan agak susah. Beberapa orang
yang meladeni selalu saja bapak tidak pernah cocok.”
“Wahyudi itu baik. Aku mengira dia bukan orang
sembarangan.”
“Apa maksudnya?”
“Dia itu orang yang tersesat. Tidak ingat apapun
tentang apa-apa yang pernah dilaluinya. Kasihan. Tampaknya dia orang pintar.”
“Bukan tersesat namanya. Dia amnesia.”
“Iya, aku membuat istilah tersesat, karena dia tidak
bisa kembali ke asal dia datang.”
“Sebenarnya siapa dia?”
“Dia kan tidak ingat apapun, jadi tak ada pertanyaan
yang bisa dia jawab. Kasihan. Aku ingin menyarankan dia agar ke dokter syaraf.”
“Barangkali memang sebaiknya begitu.”
“Dia itu baik, ganteng, gagah …” kata Qila yang
membuat wajah Wisnu muram seketika.
“Kamu memuji-muji lelaki lain di hadapan suami kamu?”
“Eh, Mas … kok tiba-tiba Mas seperti cemburu begitu
sih?”
“Kamu tidak pantas mengatakannya di depan aku. Aku ini
suami kamu, apa kamu lupa?” kesal Wisnu.
“Ya ampun Mas, sama pembantu saja kamu cemburu,” kata Qila
santai.
“Kamu juga, sama pembantu saja memuji-muji setinggi
langit.”
“Aku kan mengatakan apa adanya.”
Wisnu tak menjawab. Wajahnya kusut. Isteri cantiknya
membuatnya kesal dengan memuji-muji pria lain di hadapannya.
“Memang dia ganteng, tinggi tegap, hm … bukan seperti
suami aku ini, walau sedikit ganteng, tapi tubuhnya tambun, seperti karung
berjalan,” kata batin Qila sambil mengalihkan pandangan ke arah samping.
Qila memang cantik, dia menikah dengan Wisnu karena
kemauan orang tua. Mereka suka berbesan sama keluarga Kartiko, karena
kekayaannya. Qila yang semula menolak karena wajah Wisnu tidak setampan
pacar-pacarnya saat dia kuliah. Tapi harta adalah pemikat dan pengikat. Rumah
bagus, mobil bagus, semua keinginan terpenuhi, mau apa lagi. Hanya sayang,
sebenarnya Qila tidak mencintai suaminya yang tidak begitu tampan dan tubuhnya
juga tidak proporsional. Pokoknya jauh dari pria idaman baginya.
Bukan sekali itu Qila membuat panas hati Wisnu. Ia
sering ber akrab-akrab dengan karyawan yang dianggapnya menarik. Alasannya,
sebagai istri pimpinan harus baik kepada semua orang. Hahh. Dan Wisnu selalu
kalah dalam berdebat dengan istrinya.
“Nanti aku ada pertemuan dengan pak Purnomo, tapi kamu
nggak usah ikut,” kata Wisnu begitu memasuki halaman kantor.
“Yah, kenapa tidak boleh? Aku kan juga ingin mendengar
hasil pertemuan itu. Ikut ya,” Qila merengek, berharap suaminya mengijinkannya
ikut, karena pak Purnomo seorang pengusaha sukses yang berwajah tampan, walau
sudah setengah tua.
“Pokoknya tidak. Banyak pekerjaan kantor yang harus
kamu selesaikan,” kata Wisnu, tandas.
Qila mengerucutkan bibirnya. Kesal sekali rasanya
mendengar nada suara suaminya yang seakan tak bisa dibantahnya.
Tapi kemudian Qila tersenyum sendiri, ada rencana yang
ingin dilakukannya saat suaminya meeting dengan pak Purnomo nanti.
***
“Nanti meetingnya lama nggak?” tanya Qila ketika
suaminya mau berangkat.”
“Mana aku bisa menentukan lama atau tidaknya, ya
tergantung bagaimana nanti pak Purnomo. Mungkin kami akan makan siang bersama.”
“Lama dong.”
“Memangnya kenapa kalau lama? Kayak anak kecil saja.”
“Bener nih, aku nggak boleh ikut?”
“Nggak boleh. Selesaikan tugas-tugas yang tadi aku
suruh sama kamu.”
“Huh, aku tuh istri tapi seperti pembantu,” gerutu
Qila dengan wajah cemberut.
“Kamu kan ada disini sebagai sekretaris aku?” tegur
Wisnu kesal.
“Istri yang jadi sekretaris harus mendapat perlakuan
istimewa dong. Mengikuti pimpinan saat meeting itu kan juga tugas sekretaris?”
kata Qila ngeyel.
“Sudah ada yang mendampingi aku, pak Salim,” kata
Wisnu sambil berlalu, keluar dari ruangannya, tapi sebelum sampai di pintu,
Qila berteriak.
“Kalau begitu titip salam buat pak Purnomo ya.”
Wisnu menoleh sebal.
“Tidak menerima titipan,” kata Wisnu sambil menutupkan
pintunya agak keras.
Qila tersenyum sinis. Ia memandangi berkas-berkas yang
ditinggalkan suaminya, untuk di periksa semuanya. Ia membiarkan berkas-berkas
itu terserak di mejanya, kemudian dia berdiri, mengambil tasnya dan kunci mobil
yang ditinggal suaminya, karena suaminya memakai mobil kantor, lalu beranjak
keluar.
Ia tersenyum senang melihat suaminya sudah berangkat.
Dengan langkah ringan dia menuju ke arah mobil
suaminya diparkir, kemudian membawanya keluar dari halaman kantor.
***
Mila sedang bermain di taman bersama Wahyudi,
sementara Tinah pergi ke dapur membantu simbok, karena momongannya lebih suka
ditemani Wahyudi.
Bu Kartiko sedang keluar bersama Nano, dan pak Kartiko
beristirahat di dalam kamarnya.
“Aku mau ayunan …”
teriak Mila yang lelah berlarian di sekeliling taman.
“Ayunan?” tanya Wahyudi, yang tangannya kemudian
ditarik oleh Mila ke arah ayunan.
Wahyudi mendudukkan Mila di ayunan itu, kemudian
mengayunnya pelan. Mila terkekeh senang.
“Pegangan ya,” kata Wahyudi.
“Yang tinggiiii,” teriak Mila.
“Tidak boleh, nanti kalau jatuh bagaimana?”
“Milaa!” sebuah panggilan mengejutkan Mila dan juga
Wahyudi. Ia menoleh ke arah pintu taman, dan melihat Qila melangkah masuk
dengan berlenggang manis.
“Ibuu?”
“Mila nakal ya?” kata Qila sambil mendekat.
“Nggak akal … “
“Benar?”
Mila menggelengkan kepalanya, membuat dua kucir di
kepalanya ikut bergoyang.
“Bagus, ayo turun sekarang. Jangan main terus. Mana
Tinah?”
“Tinah ada di dapur, membantu simbok, Bu,” yang
menjawab adalah Wahyudi, sambil menurunkan Mila dari atas ayunan.
“Enaknya, momongannya dititipkan sama orang lain. Ini
kan tugas dia?” omelnya sambil duduk di bangku dekat kolam.
“Panggil Tinah ya, Mila,” perintah Qila. Dan Mila
dengan patuh kemudian berlari kecil ke arah dapur. Wahyudi mengikutinya dari
belakang.
“Wahyudi.”
Langkah Wahyudi terhenti mendengar panggilan itu. Ia
membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah nyonya muda yang cantik itu.
“Kemarilah,” katanya sambil tangannya melambai.
Wahyudi melangkah mendekat.
“Ya, Bu.”
“Duduklah,” perintahnya sambil menunjuk ke arah bangku
di dekatnya.
Wahyudi duduk dengan ragu.
“Kamu bisa menyetir mobil?”
“Saya … entahlah, saya lupa.”
Qila tersenyum, menampakkan sederet gigi putih yang
berderet rapi. Wahyudi memalingkan wajahnya.
“Ayo kamu antar aku.”
“Kemana?”
“Jalan saja, tidak lama kok.”
“Tapi sebentar lagi saatnya bapak minum obat,” jawab
Wahyudi.
“Cuma sebentar, ayolah,” kata Qila sambil menarik
tangan Wahyudi. Wahyudi melepaskan tangannya dari pegangan jari tangan lentik
itu, dengan halus.
Wahyudi mengikutinya ke arah mobil yang di parkir di
halaman depan.
“Saya mau pamit bapak dulu.”
“Tidak usah. Jam segini bapak lagi tidur. Lagi pula
aku hanya sebentar,” katanya sambil mengulurkan kunci mobil.
“Ini …” kata Wahyudi bingung.
“Coba kamu menyetir. Aku ingin tahu, kamu bisa atau
tidak. Kalau tidak bisa, aku gantikan kamu.”
Wahyudi menerima kunci mobil itu, lalu Qila
menyuruhnya duduk di belakang kemudi.
“Coba jalankan,” perintah Qila.
Wahyudi memasukkan kunci mobil dan menstarternya. Qila
tersenyum senang, Wahyudi mengerti, dan pasti akan bisa menyetir. Dan itu
benar, Wahyudi bisa menjalankan mobilnya dengan baik.
“Bagus Wahyudi, kamu bisa menyetir dengan baik.”
“Kita kemana?”
“Temani aku makan,” kata Qila tandas.
Wahyudi terkejut bukan alang kepalang.
***
Besok lagi ya.
Terima kasih Mbak Tien ... salam kangen pokoknya.
ReplyDeleteAlhamdulillah KC~08 sudah hadir.. maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteyes
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete👍👍👍
ReplyDeleteNomor wahid.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Alhamdulillah sdh tayang, Manusang bu Tien
ReplyDeleteSelamat jeng Ika
ReplyDeleteAlhamdulillah KaCe_08 sdh tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien.
Pemesanan buku CADM dibuka lagi kloter 2. Akan dikirim mulai tgl 2 Juli 2022
1. Ermi Suhasti 1🌸
2. Bu Tien 2
3. Sri Lestari 🌸
4.
5.
Jumlah buku = 25
Dipesan = 4
Masih ada = 21
Transfer ke
BNI 0249117018 a.n Sri Setiawati
Alamat kirim dan bukti trf dijapri ke Iyeng Santoso
08179226969
Alhamdulillah
ReplyDeleteSudah hadir,
Matur nuwun
Sehat2 nggih bu
Asyiiik.
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 08 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah KC 08 sdh tayang. Matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu. Aamiin...Salamu'alaikum
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan Aduhai..
Bam's Bantul
Alhamdulillah sudah tayang KC 08
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin
alhamdulillah
ReplyDeleteLho tambah derita mu ya Yud, ada pemaksaan kehendak, kasihan dikiranya pura-pura sakit nanti, nyatanya anak muda modis, sekretaris lagi yang butuh penampilan juga, malah nyamperin kerumah nyulik Wahyudi; rupanya Qila masih suka karaoke tuh nyatanya nyamperin Wahyudi diajak nembang campursari, aduh berabe nich habis itu ngigau panggil-panggil Qila, wah bakalan ada praduga tak bersalah nich, bakal ada tampang bêsêngut; malah tampil jadi kaya ikan gabus, awak mblêndus lambéné lincip.
ReplyDeleteMbuh karêpé piyé kuwi, cèn wajarlah hawa adem pêrlu api unggun, bèn padang.
Diajaknya siang-siang kok makai api unggun; maksudnya tuh gelap gelapan nyamperin ngajak keluar rumah biar lihat warna warni cuci mata, asal lega, ketahuan mertua tuh, bisa malah ketemu direktur.
Ngindari perawan Sunthi malah ketemu mak Mila, agresip penguasa lagi.
Marno lagi, bisa bikin ruwet tuh, kan sering ngigau manggil Qila, eh ketahuan jelas sekali kelihatan makan siang di luar lagi, sama yang diimpikan, apa nggak asyik tuh.
Terimakasih Bu Tien,
Kembang cantikku yang ke delapan sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku,
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta.
🙏
Aduh, bisa petaka buat Wahyudi...
ReplyDeleteTerimakasih mbak Tien...
Terimakasih bu Tien semoga bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun,bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteIhh dasar Aqila mau nyari pil ya udah enak suami kayak.gak perlu ganteng donk,jgn mau Wahyudi nih nyari2 kesempatan..Trima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteAqila kamu anaknya siapa,,,
Salam sehat wal'afiat semua ya bu 🤗🥰
Kita tunggu bersama kelanjutan KEMBANG CANTIKKU dg sabar ya
ReplyDeleteHadeh ...nggak benar ini Qila. Jangan sampai Wahyudi yg kena masalah. Kasihan.
ReplyDeleteMakasih mba Tien