ADUHAI AH 12
(Tien Kumalasari)
“Mas Danar, mas Danar mendengar aku ngomong kan?”
“Apa? Suaranya nggak jelas,” kata Danarto
berpura-pura.
Desy melotot, karena tahu Danarto bohong.
“Mas, aku sama ibu ada dirumah Mas, apakah pulangnya
masih lama?”
“Ya sih, ini masih ada perlu. Bagaimana?”
“Ya sudah, kami mau jalan-jalan dulu, nanti kembali
lagi ke rumah Mas Danar. Tas ibu aku taruh di teras.”
“Lhoh, kok ditaruh di teras, nanti kalau ada yang
hilang bagaimana?”
“Nggak apa-apa, isinya cuma pakaian beberapa potong.
Cepat pulang ya Mas,” kata Hesti nekat.
Danarto menutup ponselnya dengan wajah keruh.
“Kenapa ?”
“Dia ada di rumah, bersama ibunya.”
“Ya ampun, kalau begitu ayo kita pulang.”
“Kamu, ikut pulang ke rumah aku?”
“Ah …”
“Tadi bilang ayo kita pulang,”
“Ya pulang ke rumah masing-masing, lah.”
“Kirain …”
“Ayuk.”
“Aku mau makan dulu, lapar.”
“Ya ampun, kan ditungguin tamu?”
“Dia bilang nau jalan-jalan dulu, jadi ayo kita makan
dulu. Santai saja, paling juga cuma mampir.”
“Hiih, kasihan kalau mereka menunggu lama.”
“Nggak, kan aku sudah bilang bahwa mereka mau
jalan-jalan dulu.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
Keinginan makan itu sesungguhnya adalah hanya dalih
dari Danarto saja karena ia enggan bertemu dengan Hesti dan ibunya. Sikap yang
tiba-tiba sok akrab kurang disukainya, sementara mereka belum lama bertemu dan
bahkan saat pertama kali ketemu dia juga lupa siapa dia sebenarnya. Hanya
karena kasihan saja dan mengingat bahwa Hesti anaknya bu Sriani sahabat
almarhumah ibunya, maka dia bersedia membantunya. Tapi tidak untuk berakrab-akrab
seperti yang dilakukan Hesti. Entah mengapa Danarto merasa risih.
Dan hal itu dilihat oleh Desy.
“Kamu nggak benar-benar lapar kan Mas?”
“Kok tahu.”
“Tahu lah, makan kayak nggak niat begitu. Kelihatan
kalau nggak bener-bener ingin makan.”
“Sebenarnya ingin sih, tapi ini nggak pedas sama
sekali, jadi kurang nikmat, aku kan sukanya yang pedas-pedas?”
“Alesan. Memang kamu kan belum boleh makan yang
pedas-pedas, nanti ususnya luka lagi, bagaimana?”
“Iya sih.”
“Kenapa sih, kamu kelihatan segan sekali ketemu Hesti?
Dia itu baik lho, sangat perhatian sama kamu.”
“Bukan segan sih, aku tuh sebenarnya biasa saja, tapi
dia kelihatan sok akrab banget sama aku, padahal kenal juga baru saja. Jadinya
aku terkadang ingin sekali menjauhi dia.”
“Orang pengin akrab itu kan nggak salah. Kalau dia
baik, ya tanggapilah dengan baik, gitu lhoh. Kalau kita kesal terhadap
seseorang itu perasaan kita juga jadi nggak enak, iya kan?”
Danarto hanya mengangguk sambil menyendok makanannya
pelan.
“Sekarang cepat habiskan makanan kamu, dan antarkan
aku pulang. Atau aku pulang sendiri saja?”
“Ya jangan, kan tadi aku menjemput kamu? Jadi aku
harus mengantar kamu. Nanti kalau kamu pulang sendiri, lalu pak Haryo sama ibu
kesal sama aku, trus nggak dibolehin aku ngelamar kamu, bagaimana?”
“Memangnya kamu serius, mau ngelamar aku?”
“Ya serius lah, kamu kira aku bercanda? Minggu depan
aku pasti ngelamar. Dan mohon segera dinikahkan.”
“Ah ….”
“Jangan ‘ah’ … sudah jadi bujang lapuk aku ini, gara-gara
nungguin kamu.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Hmmm, senang mendengarnya. Eh, bukan cuma senang,
bahagia bangeeet. Sekarang ayo aku antar pulang, calon isteriku,” kata Danarto
sambil berdiri,
“Enak aja, calon isteri. Kalau bapak sama ibuku nggak
ngebolehin, bagaimana?”
“Ya ampun Des, kamu kenapa menakut-nakuti aku?”
Desy terkekeh dan mengikuti Danarto berdiri. Ada bunga
bermekaran di hati mereka.
***
Ketika Danarto
memasuki halaman rumahnya, dilihatnya Hesti dan ibunya sudah duduk di teras. Danarto
turun dari mobilnya, dan Hesti langsung menghambur kearahnya, dan menggandeng tangannya.
Danarto terkejut, ia melepaskannya pelan. Ia langsung naik ke teras, dan menyalami
bu Sriani.
“Apa kabar Bu?”
“Baik. Kamu bertambah dewasa, bertambah gagah dan
ganteng, Dan,” puji bu Sriani sambil menatap Danarto.
“Terima kasih Bu.”
“Kami menunggu kamu sejak tadi. Bahkan kami sempat
jalan-jalan karena Hesti bilang kamu belum bisa cepat pulang.”
“Maaf Bu, masih ada urusan dan tidak bisa
ditinggalkan.”
“Ya, aku tahu. Tapi aku juga tidak punya cukup waktu.
Jadi harus segera ketemu kamu.”
“Saya menyesal Ibu harus susah-susah datang kemari
karena saya sakit. Harusnya itu tidak perlu, saya baik-baik saja.”
“Aku datang kemari bukan hanya ingin menjenguk kamu
karena kamu sakit, Danar. Ada perlu yang lain,” kata bu Sriani sambil terus
menatap Danarto.
Hesti menundukkan muka, tampak tersipu malu. Danarto
tak memperhatikannya. Ia menunggu apa yang akan dikatakan bu Sriani.
“Dulu waktu kamu masih kecil, dan Hesti baru lahir,
ibumu mengunjungi aku di Surabaya, Kamu ingat?”
Danarto menggeleng. Ia tidak merasa pernah ikut ibunya
ke Surabaya. Bahkan setapakpun belum pernah ia menginjakkan kakinya di kota itu.
“Ya, kamu pasti lupa. Kamu pasih kecil, kira-kira enam
tahun atau tujuh tahunan umurmu.”
Danarto menggeleng. Umur enam atau tujuh tahunan pasti
sudah bisa mengingat apa yang terjadi. Dan ia tak pernah ingat bahwa ibunya
pernah mengajaknya ke Surabaya. Tapi dia mendiamkannya saja.
“Waktu itu ibumu minta sama aku, agar kelak kalau
Hesti sudah dewasa, harus menjadi jodoh kamu, Danarto.”
Danarto terkejut bukan alang kepalang. Dia dijodohkan
dengan Hesti? O, tidaaaak. Kata batinnya.
“Itu sebabnya aku datang kemari untuk menemui kamu,
agar kamu tahu tentang perjodohan itu,”
Danarto mengangkat wajahnya.
“Saya minta maaf Bu. Tentang perjodohan itu saya sama
sekali tidak tahu.”
“Ya, setelah mengatakan itu, ibumu kan sakit-sakitan.
Mungkin tidak sempat mengatakan hal perjodohan itu.”
“Ibu saya jatuh sakit saat saya sudah hampir menjadi
dokter.”
“Ibumu tergila-gila pada laki-laki bernama Haryo, dan menderita
sampai akhir hayatnya,” kata bu Sriani dengan wajah kesal.
“Kalaupun begitu, masalah perjodohan itu pasti bisa di
sampaikannya, kalau memang ada. Entah nantinya saya setuju, atau tidak.”
“Apa maksudmu Danar? Apa kamu tidak percaya sama aku?”
kata bu Sriani dengan nada suara meninggi.
“Bukan saya tidak percaya Bu, saya hanya ingin
mengatakan bahwa saya tidak pernah mendengar tentang perjodohan itu dari
almarhumah ibu saya.”
“Baiklah, hanya aku yang tahu. Sekarang buat agar
ibumu tenang di alam kuburnya, penuhilah permintaan itu,” kata bu Sriani
tandas.
“Maaf Bu, sungguh saya mohon maaf. Saya tidak bisa.”
Bu Sriani menatap Danarto dengan mata berkilat menahan
marah.
“Mengapa tidak bisa?”
“Saya sudah punya pacar, dan sudah mau menikah Bu.”
“Siapa pacar kamu itu? Apakah dia lebih cantik dari Hesti
?”
“Bukan masalah cantik atau tidak Bu, tapi saya
mencintainya, lebih dari apapun.”
“Danarto. Demi seorang gadis yang belum lama kamu
kenal, maka kamu ingin mengingkari pesan seorang ibu yang sudah meninggal?”
“Saya tidak merasa pernah menerima pesannya.”
“Melalui aku Danar,” kata bu Sriani keras.
“Saya mohon maaf, karena saya tidak bisa menerimanya,”
kata Danarto tegas.
“Mas Danar, kamu kejam,” isak Hesti tiba-tiba.
“Sungguh saya mohon maaf. Saya sudah berjanji kepada
kekasih saya, bahwa akan segera menikahinya.”
“Baiklah, barangkali kamu merasa bahwa perkataanku ini
terlalu tiba-tiba. Pikirkan dulu baik-baik, aku akan menunggu,” kata bu Sriani
sambil berdiri, kemudian menggamit lengan Hesti yang masih duduk dengan
isaknya.
“Berhentilah menangis. Ayo kembali ke tempat kost
kamu, ibu akan segera kembali ke Surabaya.
“Ibu…” Hesti masih terisak.
“Sudah, berhentilah menangis. Danarto pasti akan bisa
mengerti,” kata bu Sriani sambil menggandeng Hesti diajaknya pergi.
Danarto masih terduduk di kursinya. Ia merasa, apa
yang didengarnya terlalu mengada ada. Kemudian ia berdiri dan membuka rumahnya
karena sejak datang tadi dia langsung duduk di teras untuk menemui tamunya.
***
Hesti seperti kehilangan pegangan ketika mendengar penolakan
Danarto. Ia berharap Danarto akan mau mendengarkan apa kata ibunya, tapi
ternyata tidak. Dia bahkan mengatakan bahwa akan segera menikah.
“Oo, tidaaak,” jerit batinnya.
“Aku sudah terlanjur mencintainya, dan berharap bisa
memilikinya, mengapa tiba-tiba dia menolaknya? Dia tidak percaya pada ibu bahwa
kami sudah dijodohkan?”
Dalam pikiran kacau itulah Hesti mengendarai sepeda
motornya ke tempat penjual gorengan yang mengaku pernah menjadi pacar dokter
Danarto.
Penjual gorengan yang tidak diketahui bagaimana
wajahnya karena selalu menggunakan cadar.
“Mau beli gorengan lagi? Apa pacarmu suka makan
gorengan buatanku?” kata penjual itu ketika melihat Hesti datang.
“Tidak. Waktu aku beli dan aku berikan sama dia,
dia bilang bahwa dia tidak suka gorengan.”
Perempuan dibalik cadar itu tertawa.
Hesti sudah berterus terang ketika membeli gorengan yang kemudian dibawanya ke
rumah sakit itu, tentang siapa sebenarnya yang dia maksud. Danarto bekas pacar
penjual gorengan itulah yang diakuinya sebagai pacar.
“Laki-laki itu pembohong. Aku heran kalau kamu
tergila-gila sama dia. Bukankah dia masih setia sama pacar dokternya?”
“Aku sama dia itu sebenarnya sudah dijodohkan.”
“Oh ya? Jadi dong kalau begitu.”
“Tidak, dia mau menikah sama dokter Desy.”
“Dia bilang begitu?”
“Ya, dokter Danarto sendiri yang bilang.”
“Jangan bodoh. Kalau kamu punya keinginan, raih
keinginan itu sampai dapat. Jangan menyerah.”
“Bagaimana caranya? Dia tak kelihatan peduli sama aku.”
“Karena aku pernah dikhianati, maka aku mempunyai
seribu cara agar bisa mendapatkan siapapun yang aku sukai.”
“Kalau memang bisa, mengapa sampeyan tidak merebutnya
ketika dokter Danarto memilih Desy?”
“Tidak, aku sudah cacat. Segala upaya tak akan bisa
berhasil. Mana mau dia sama gadis cacat seperti aku?”
“Cacat?”
“Aku memakai cadar ini bukan karena aku menganut
sebuah keyakinan yang mengharuskan aku memakai cadar.”
“Jadi?”
“Lihat wajahku,” kata penjual gorengan itu sambil
membuka cadarnya. Hesti merasa ngeri melihat carut marut di wajah itu.
“Iih, kenapa itu ?”
“Ini ulah dokter Desy.”
“Apa?”
“Dia kalah cantik, lalu mencakar-cakar wajahku,
sehingga luka parah seperti ini.”
“Ya ampun, kejam sekali. Tidak dilaporkan ke polisi?”
“Tidak. Aku terima semua perlakuannya dengan ikhlas.”
“Wah, mbak baik sekali. Sebenarnya nama Mbak siapa?”
“Endah.”
“Mbak Endah. Namanya bagus, namaku Hesti. Kita
berteman ya?”
“Kamu mau, berteman dengan orang miskin seperti aku?”
“Nggak apa-apa, kita senasib.”
“Jangan. Raih cintamu, jangan putus asa.”
“Sepertinya tak mungkin.”
“Kalau kamu tidak bisa mendapatkan dia, gadis bernama
Desy itu juga jangan sampai bisa memilikinya.”
“Bagaimana caranya?”
“Sebentar, ada orang beli, nanti aku akan beri tahu
apa yang sebaiknya kamu lakukan.”
***
“Mas Danarto akan segera melamar aku,” kata Desy malam
itu kepada adiknya.
“Syukurlah, aku senang mendengarnya. Kapan?”
“Entahlah, yang pasti secepatnya.”
“Bagaimana tiba-tiba Mbak Desy bisa menerima dia?”
“Aku pikir-pikir kok salah kalau aku bercermin pada
kehidupan orang tua kita. Barangkali tidak semua orang itu sama.”
“Memang benar.”
“Dan dia berjanji akan setia mendampingi aku. Ya
sudahlah, mengapa harus takut menghadapi sesuatu yang belum tentu terjadi?”
“Itu aku setuju. Cepatlah menikah dan punya anak.
Supaya aku segera punya mainan.”
“Enak saja, anak orang dibuat mainan,” sungut Desy.
Tutut tertawa.
“Soalnya bayi itu pasti lucu.”
“Doakan ya.”
“Ya pasti lah aku doakan. Aku sedih lho ketika Mbak sama mas Danarto tidak segera menikah.”
“Ya, akhirnya aku bisa menerimanya.”
“Semoga lancar ya Mbak, dan selalu bahagia.”
“Aamiin, sekarang tidurlah, aku juga pengin tidur.”
***
“Daniiis!” Desy
berteriak ketika melihat dokter Danis tak menyapanya biarpun sudah melihatnya.
Danis berhenti.
“Mas Danar akan segera melamar aku,” kata Desy
gembira.
“Senang mendengarnya. Sudah lama aku berharap untuk
kalian,” kata Danis sambil terus melangkah.
“Kenapa kamu? Wajahmu kusut begitu?”
“Lagi kacau aku nih.”
“Kacau kenapa?”
“Nanti saja setelah jam kerja aku cerita.”
“Nggak, sekarang saja. Aku nggak suka ya, cerita
ditunda-tunda.”
“Isteriku minggat.”
“Apa? Kamu bilang pulang karena orang tuanya sakit?”
“Ternyata dia bohong. Dia pergi sama pacar lamanya.”
“Astaga. Itu benar?”
“Benar lah, semalam dia datang, dan bilang minta
cerai, setelah itu pergi bersama anakku.”
“Ya ampun, sabar ya Dan.”
Desy belum selesai bicara dengan Danis karena sudah
sampai di tempat prakteknya, dan tiba-tiba ponselnya berdering.
“Maaf ya Danis, nanti kita bicara lagi.”
Danis mengangguk, dan berlalu.
“Hallo, ini siapa ya, aku nggak kenal sama nomor anda.”
“Tunggu, mohon jangan ditutup dulu. Ada informasi
penting untuk kamu Mbak.”
“Informasi apa?”
“Bahwa dokter Danarto sudah ditunangkan dengan Hesti sejak
mereka masih kanak-kanak, dan kamu harus tahu itu.”
***
Besok lagi ya.
ReplyDeleteUcapan terima kasih dari kami a.n Pengurus WAG PCTK, kepada para donatur anggota WAG PCTK & sahabat² BLOGGER yang telah ikut mewujudkan berbagi kebahagiaan berupa *THR kepada Ibu Tien Kumalasari*
Semoga Allah SWT mengganti dengan rezeki yang lebih banyak dan berkah.
Semoga donasi yang Anda berikan bermanfaat bagi bu Tien & keluarga. Aamiin ya Robbal'aalamiin.
Penyerahan sdh dilaksanakan tadi suang di rumah bu Tien Kumalasari. Saya tidak bisa upload foto² acara tadi siang di blogspot, hanya bunda Tien yang bisa.
Horee
DeleteWaow....
DeleteKakek juara lagi...
Alhamdulillah penyerahan berjalan lancar
DeleteADUHAI TERIMA KASIH SAYA UCAPKAN KEPADA SAUDARA2 SAYA BAIK YANG BLOGER MAUPUN WAG PCTK, ATAS KASIH SAYANG YANG BERLIMPAH RUAH DAN MENGALIR TAK HENTI2NYA.SEMOGA aALLAH SELALU MELIMPAHKAN KATUNIA DAN BERKAH KEPADA ANDA SEMUA. RASA SYUKUR SAYA TAK PERNAH BERHE NTI TERUCAP, BAHWA DALAM USIA SAYA YANG SUDAH SENJA, MASIH MENDAPAT PERHATIAN DAN LIMPAHAN KASIH SAYANG YANG TIADA TARANYA.
DeleteSEKALI LAGI TERIMA KASIH, DAN ADUHAI.
Terima kasih Mbak Tien.
ReplyDeleteSalam ADUHAI dari Yogya ...
NuwubuTien
ReplyDeleteAlhamdullilah sdh tayang AA 12..terima ksih bunda Tien..slm sht selalu dan aduhai dri sukabumi🙏🥰
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang ..... trimakasih bu Tien...semoga selalu sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah, terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 12 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien.....salam sehat selalu....😊🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 12 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah AA 12 sudah tayang , matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien, selam sehat dan Aduhai Ah
ReplyDeleteBam's Bantul
Alhmdllh terima kasih
ReplyDelete𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐝𝐡 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠...𝐦𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐨𝐠𝐚 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚....𝐀𝐚𝐦𝐢𝐢𝐧 𝐘𝐑𝐀 🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulilah......yg ditunggu dah hadir..suwun bunda Tien ...smg sehat sll...aamiin....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih mbak Tien
Sehat selalu utk klga...
Trims Bu Tien AA udah hadir
ReplyDeleteAduh nih nekat Si Endah bohong nya gak ketulungan ..wah teror ..jgn lupa Desy Danar itu pria baik..bu Tien makasih ya
ReplyDelete..Mohon Maaf lahir batin ...semoga Idul Fitri selalu bawa berkah ..Aamiin
Alhamdulillah....🙏
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteKalau logika sudah tidak jalan, fitnah bertindak. Kalau perlu pakai dukun juga bisa.
Wah...wah runyam berhadapan dengan para pengeyel.
Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 12 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Minal Aidin Wal Faidzin, mohon maaf lahir & batin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H
Alhamdulillah ...
ReplyDeleteADUHAI AH sampun tayang matur nuwun Ibu Tien salam sehat dan bahagia sll...
Matur nuwun, bu Tien. Salam ADUHAI
ReplyDeleteADUHAI TERIMA KASIH SAYA UCAPKAN KEPADA SAUDARA2 SAYA BAIK YANG DARI BLOGER MAUPUN WAG PCTK, ATAS KASIH SAYANG YANG BERLIMPAH RUAH DAN MENGALIR TAK HENTI2NYA.SEMOGA ALLAH SELALU MELIMPAHKAN KARUNIA DAN BERKAH KEPADA ANDA SEMUA. RASA SYUKUR SAYA TAK PERNAH BERHENTI TERUCAP, BAHWA DALAM USIA SAYA YANG SUDAH SENJA, MASIH MENDAPAT PERHATIAN DAN LIMPAHAN KASIH SAYANG YANG TIADA TARANYA.
ReplyDeleteSEKALI LAGI TERIMA KASIH, DAN ADUHAI.
Aamiin yaa Mujibassailin
DeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteEndah ya, mau bikin kacau lagi.
ReplyDeleteMoga aja Danar dan Desi bahagia bersama
Makasih mba Tien.
Salam hangat dan selalu aduhai. Ah
Terimakasih bu Tien 🙏
ReplyDeleteEndah mulai beraksi...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Aduhai baru 3hari tidak nongol cerbung mbak Tien serasa sudah 1bulan nih,tiap malam longok2 kok tidak nongol2 terus cerbung AA nya,Semoga mbak Tien tidak lupa.
ReplyDeleteSalam kangen Aduhai dari Tegal buat mbak Tien