Thursday, July 30, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 34

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  34

(Tien Kumalasari)


"Bagaaas..."

Bagas kembali seperti mengingat suara dan logatnya yang manja. Tapi tetap menatap Kristin dengan pandangan tak mengerti.

"Aku Kristin .. kamu melupakan aku?" bisik Kristin sambil terisak..

"Aku tidak kenal kamu.."

"Aku Kristin Bagas.. Kristin..." sekarang Kristin memegang tangan Bagas dan digoyang-goyangkannya..

"Ma'af..." hanya itu, lalu Bagas memejamkan matanya.

Kristin melepaskan pegangannya, lemas seluruh tubuhnya, tapi dia tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dipandanginya wajah tampan dengan beberapa luka diwajahnya, air mata sudah membasahi pipinya.

"Bagaaaas..."

Setiap mendengar panggilan dengan lagu seperti itu, Bagas selalu saja membuka matanya, merasa seperti mengenal suara itu.

"Bagas, aku mencintai kamu.." tak urung kata-kata itu keluar dari bibir tipisnya. Berbisik, perlahan, tapi membuat mata Bagas terbelalak.

"Aaap..paa?" tanyanya lemah.

"Bagas jangan melupakan aku, aku cinta sama kamu," kali ini diucapkannya ditelinga Bagas.  Tapi Bagas hanya menatapnya, dengan pandangan bingung.

Tiba-tiba pak Suryo dan pak Darmono mendekat.

"Bagas," sapa pak Suryo.

"Bapak... ini siapa?"

Pak Darmono tertegun.

"Bagas, ini pak Suryo.. kamu tidak mengenalnya?"

"Tadi Bagas juga tidak ingat saya om," kata Kristin sambil mengusap air matanya.

"Benarkah? Bagas, kamu tidak mengenali pak Suryo, Kristin...?"

Bagas hanya menatap mereka dengan bingung, lalu memejamkan matanya.

"Pusing..." bisiknya pelan.

"Bagaimana ini Dar?"

"Aku tidak tahu mas, kalau sama aku, sama simbok, dia tidak lupa. Kemarin sama Basuki juga ingat, tapi hanya mengucapkan 'ma'af'. Gitu saja. Mungkin dia juga merasa terbebani karena baru bekerja seminggu, lalu dia juga merusakkan mobil baru yang diberikan Basuki.. lalu bisa berkata 'ma'af'."

"Bicaralah dengan dokter."

"Iya, nanti sa'at dia visite aku mau bilang."

"Kamu tenang ya Dar, anakmu sudah ditangani dokter. Pasti dia akan baik-baik saja."

"Terimakasih mas."

Sementara itu Kristin masih duduk dikursi yang ada disebelah ranjang Bagas. Menatapnya  tak berhenti, walau Bagas menutupkan kedua belah matanya.


***

Ketika itu Basuku dan Mery serta bu Sumini datang, tapi pak Darmono ditemani pak Suryo sedang menemui dokter.

"Ada mbak Kristin? Aduuh.. pasti Bagas cepet sembuh karena ditungguin mbak Kristin.

"Tidak mbak, dia lupa sama aku," kata Kristin sedih.

"Lupa bagaimana sih?"

"Dia tidak mengenali aku mbak?"

"Masa? Coba Bas, kemarin kan masih ingat kamu ya? Katanya Bagas tidak mengenali mbak Kristin."

Basuki mendekat, lalu memegang tangan Bagas.

"Bagas.."

"mBoook.. ini siapa?"

"Lho, Gas.. kamu tidak ingat aku? Aku Basuki.. ini isteriku.. Mery.."

Tapi Bagas menatap mereka dengan bingung.

"Kenapa kamu Gas?"

"Dia ingatnya cuma sama simbok dan sama bapak. Kasihan mas.." kata simbok pilu.

"Bagas.. kamu lupa sama Basuki ? Mery ? Kristin?"

Bagas menatap dengan bingung, lalu ia kembali matanya terpejam.

"Dimana om Darmono?"

"Om Darmono sama papa sedang menemui dokter mas," jawab Kristin.

"Oh, baiklah, kita tunggu saja keterangan dari dokter.

***

"Ya pak seseorang yang mengalami gegar otak terkadang bisa kehilangan memorinya. Bapak harus sabar, semoga tak akan lama dia bisa pulih kembali." kata dokter ketika pak Darmono menemuinya.

"Jadi tidak akan selamanya lupa ingatan ? Tapi mengapa dia bisa mengingat saya, dan juga pengasuhya?"

"Itu karena bapak dan pengasuh pak Bagas sudah sangat terpateri dalam ingatannya."

"Akankah itu berlangsung terus?"

"Tidak, ia akan pulih, tapi bapak harus sabar ya."

"Terimakasih dokter."

Ketika itu pak Suryo dan Kristin masih dirumah sakit. Pak Suryo selalu menghibur sahabatnya agar sabar dan kuwat.

"Bukankah dokter sudah mengatakan bahwa hal itu bisa saja terjadi?"

"Iya mas.."

"Nanti akan pulih. Pernah salah seorang anak buahku mengalami hal yang semacam itu, tapi tidak lama. Dokter hanya memberikan obat dan vitamin-vitamin, lalu belum sebulan sudah pulih."

Pak Darmono menghela nafas panjang.

"Tenang Dar, anakmu kuat. Dia akan cepat pulih."

"Aamiin."

Mereka kembali ke kamar Bagas dan mendapati Basuki bersama Mery yang juga kebingungan melihat sikap Bagas.

"Kemarin dia mengenali saya , ya kan om? Hanya bilang 'ma'af mas'.. tapi sekarang dia sama sekali tidak mengenali saya om." kata Basuki.

"Iya Bas, kata dokternya hal itu bisa saja terjadi."

"Berarti parah ?"

"Tidak, dokter akan memberinya obat. Ini aku sudah bawa resepnya."

"Mana biar saya mengambilnya di apotik om."

"Oh iya Bas, Mer.. kalian kan belum kenal, ini pak Suryo, ayahnya Kristin. Mas Suryo, ini Basuki, yang beberapa hari lalu menikah.

"Iya.. kalau saya sudah mengenalnya om." kata Mery sambil menyalami pak Suryo.

"Saya belum kenalan, saya Basuki.." kata Basuki sambil mengulurkan tangannya.

"Iya nak, saya Suryo, bapaknya Kristin. Ma'af kemarin tidak bisa memenuhi undangan."

"Tidak apa-apa pak, mohon do'a restunya saja."

"Iya nak, semoga bahagia dan cepat dapat momongan ya."

"Aamiin, terimakasih pak."

"Saya sudah sejak pagi disini, Kristin.. apa kita balik dulu saja?" katanya kepada Kristin.

Kristin tak menjawab, berat rasanya meninggalkan Bagas.

"Besok kita bisa kemari lagi, siapa tahu besok dia sudah ingat sama kamu."

"Bener ya pa, besok kita kesini lagi ?"

Kristin mendekati Bagas lagi, mengganggam tangannya, dan berbisik ditelinganya.

"Bagaaas,"

Bagas membuka matanya.

"Bagas, segera sembuh ya, aku sangat mencintai kamu Bagas,"  bisik Kristin. Bagas menatapnya tak berkedip. Belum tampak pijar-pijar bahagia mendengar seorang gadis cantik dengan berani mengatakan cintanya.

"Saya punya usul, hanya saran ini, tapi kalau tidak setuju ya tidak apa-apa. Begini, bagaimana kalau Bagas dipindahkan ke rumah sakit di Solo saja?"  kata pak Suryo sambil melangkah keluar dari kamar itu."

"Nah, itu saya setuju om, saya juga berfikir begitu. Supaya dekat rumah, om Darmono juga tidak harus menginap terus dirumah sakit, kita bisa bergantian menemaninya," kata Basuki.

"Harus bicara dulu saja dokternya kan Bas?"

"Iya om, kalau om setuju, biar saya mengurus semuanya. Hari ini akan saya minta Bagas dipindahkan ke rumah sakit di Solo."

"Terserah kamu saja Bas, aku menurut."

Basuki mengurus semuanya, dan siang hari itu juga Bagas dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Solo.

***

"Papa... nanti papa kekantor dulu ya, Kristin belakangan." kata Kristin pada suatu pagi.

"Hm.. begini nih.. kalau direktris jatuh cinta. Semua tugas ditinggalkan," keluh pak Suryo.

"Please papa... "

"Iya.. iya.. papa tahu. Hm.. kalau bukan karena aku juga sudah ingin punya menantu, ogah aku menggantikan tugas kamu."

"Ada apa pa, pagi-pagi kok ribut."

"Ini, anakmu, papa disuruh kekantor dulu, paling-paling dia mau kerumah sakit pagi-pagi."

"Kenapa begitu Kris, sudah dua hari kamu nggak ke kantor. Lagi pula jam bezoek kan jam sepuluh, masa kamu pagi-pagi mau kesana?"

"Kemarin smbok bilang, kalau Bagas ingin nasi liwet, Kristin mau beli nasi liwet dulu ma."

"Beli nasi liwet kan nggak akan sampai jam sepuluh, kamu bisa beli dulu, langsung ke kantor, jam sepuluh kamu baru bisa tinggalin kantor, karena ada papamu yang menggantikan tugas kamu."

"Hm.. pengin cepet-cepet ketemu ma."

"Biarpun kamu pengin, tapi kalau belum jam sepuluh mana boleh masuk?"

"Hm, mama nih mbelain papa ya?"

"Bukan ngebelain,  mama pagi ini mau makan pagi dulu sama papa."

"Tuh kan, ternyata..."

"Kris, mama kamu benar, tapi aku langsung mengiyakan saja, lupa kalau jam bezoek itu jam sepuluh pagi."

"Jadi nanti papa jam sembilan sudah di kantor ya?"

"Siap, ibu direktris."

Kristin meggelendot dibahu papanya dengan manja.

"Hm, begini nih, kalau ada maunya."

"Ya sudah, Kristin mau berangkat sekarang."

***

"Simbok.."

"Ya mas.. cah bagus," kata simbok yang menunggui Bagas sejak semalam. Sekarang mereka bergantian menunggu dirumah sakit karena sudah tiga hari ini Bagas dipindahkan di rumah sakit yang dekat dengan rumah.

"Mana nasi liwet?"

"Oh, ya ampuun.. nunggu bapak dulu ya mas, sebentar lagi bapak pasti datang."

Tapi tiba-tiba Kristin muncul diantara mereka.

"Selamat pagi simbok," sapa Kristin riang.

"Eh.. mbak cantik sudah datang."

"Apa kabar Bagas?"

"Baik. Mengapa kamu setiap hari datang kemari?" tanya Bagas tampak tak senang.

"Bagaaas.."

Bagas selalu mengenal suara itu, tapi belum terbayang siapa yang mengucapkannya. Kristinpun selalu memanggil dengan logat yang sama seperti ketika Bagas masih bekerja dikantornya.

"Aku membawakan nasi liwet buat kamu, nih, aku suapin ya."

"Nggak, simbok saja."

"Mas, mbak cantik ini ingin menyuapi mas Bagas, mbok ya mau, biar dia senang."

"Nggak enak mbok, masa tamu disuruh nyuapin."

"Ini bukan tamu...ini pacarnya mas Bagas," dan Kristin mencubit lengan simbok karena kata-katanya itu.

"Aku punya pacar?"

"Ya dia ini mas, gimana sama pacar sendiri lupa." dan sekali lagi simbok kena cubitan Kristin, untung tidak keras jadi simbok tak perlu menjerit.

"Apa benar aku punya pacar?"

"Mas Bagas itu gimana. Sudah, nurut saja, nanti pacarnya ngambeg, mas Bagas ditinggalin, apa nggak nyesel ?"

Bagas mengangguk pelan. Sangat ragu akan kata-kata simbok, tapi dia tau gadis ini amat cantik. Benarkah pacarnya? Ia tahu gadis itu pernah mengatakan cinta .. tapi dia sama sekali tak bisa mengingat apapun."

Dengan sangat bersemangat Kristin menyuapi Bagas, dan kadang ia juga mengelap bibirnya apabila makanannya belepotan.

"Enak Gas?"

Bagas mengangguk, tapi pandangannya terhadap Kristin biasa saja. Tak tampak senang apalagi bahagia melihat gadis cantik didepannya menyuapinya dengan penuh. perhatian. Justru Kristin yang merasa sangat bahagia karena Bagas bisa menerima kata-kata bohong simbok. Kalau itu benar,.. dia  jadi pacarnya Bagas... aduhai..

Bahkan ketika dia bertanya kepada ayahnya tentang kata-kata simbok itu, dengan tertawa lucu ayahnya tidak menolak.

"Jadi tadi Kristin datang kemari?"

"Bapak, kata simbok, dia itu pacarnya Bagas, benarkah?"

"Hm... kamu lupa ya?"

"Benarkah ?"

"Benar..."

"Kok Bagas lupa ya pak, kok Bagas nggak punya perasaan apa-apa sama dia."

"Kamu amnesia Gas, jadi lupa semuanya."

"Oh..."

"Masih pusing kepalamu?"

"Tidak bapak, bolehkah Bagas pulang saja?"

"Kita tanya dokter dulu, apa kamu boleh pulang atau belum."

Tapi pak Darmono merasa lega, Bagas sudah lancar berbicara, dan tak pernah lagi mengeluh pusing. Bahkan setiap kali makan dia duduk sendiri dilayani simbok.

***

Ternyata setelah dua minggu dirumah sakit, Bagas dinyatakan sembuh, dan boleh pulang kerumah. Dihari kepulangan itu, Basuki, Kristin, ikut menjemput Bagas. Kristin sangat bersemangat, biarpun Bagas masih lupa kepada dirinya.

Simbok sudah menyiapkan semuanya yang harus dibawa pulang.

"Kamu sudah menata kamar Bagas mbok?"

"Sudah, tadi dibantu sama mbak cantik ini, kamarnya diberi bunga segala macam."

"Oh, Kristin kerumah tadi?"

"Iya om, makanya kan simbok kesini bareng sama Kristin," sambung Kristin.

"Baguslah kalau begitu, terimakasih ya Kris?"

"Sama-sama, om..Kristin suka melakukannya.

***

Secara fisik memang Bagas sudah tampak sehat. Luka-luka dikepala sudah mengering. Kristin mengiringinya masuk kerumah sambil sesekali terus menatap wajah Bagas.

"Biarpun bekas luka itu masih ada, Bagas tetap saja ganteng," bisik batin Kristin.

"Ini kamarku ?" tanya Bagas.

"Iya mas, ini kamar mas Bagas.. cantik ya, ada bunga-bunga wangi."

"Iya, simbok yang memasang vas bunga itu?"

"Bukan simbok, tapi dia, pacarnya mas Bagas itu."

Kristin mengerling nakal kearah simbok, sedangkan Bagas masih tampak tanpa ekspresi.

Tiba-tiba pak Darmono masuk.

"Kris.. ayah kamu menelpon, kamu tidak mengangkatnya."

"Oh iya, di silent om. Ada apa?"

"Ayahmu bertanya, apakah kamu membawa kunci laci kantor?"

"Oh kunci? Aduh, kelupaan om.. kunci.. aku taruh dimana kunci itu?"

Tiba-tiba Bagas menatap Kristin tak berkedip, kata-kata tentang kunci ketinggalan itu tiba-tiba membuka ingatannya akan sesuatu.

"Kunci ketinggalan? Itu kelakuan dia... itu dia..," gumam Bagas sambil memburu keluar.

Kristin sedang bingung mencari kunci laci yang ditanyakan ayahnya.

"Dimana kunci itu ya?" gumam Kristin sambil membuka-buka tasnya.

"Kristin..." panggil Bagas. Kristin mengangkat wajahnya. Bagas berdiri dihadapannya, memandangnya sambil tersenyum. Itu tak pernah dibayangkannya. Selama sakit Bagas tak pernah memberikan senyuman itu.

"Bagaaas..."

Dan panggilan itu membuat ingatan Bagas semakin terasa nyata. Kristin... dan kunci.. dan panggilan manja yang sering dirindukannya.

"Kristin, kamu selalu teledor," kata Bagas masih dengan senyumnya. Duuh,  alangkah tampan laki-laki dihadapannya dengan senyum itu.

"Bagaaaas, kamu sudah ingat aku?"

"Kamu Kristin, cantik, pintar, teledor."

Kristin menjerit kegirangan. Tanpa malu-malu dipeluknya Bagas. Basuki dan pak Darmono  menatap dengan mata berkaca-kaca. Hanya dengan satu kata, Bagas sudah mengingat semuanya.

"Kristin, apa benar kamu cinta sama aku?" bisik Bagas lirih.

Kristin tertunduk malu. Mengapa Bagas dalam keadaan belum sadar ternyata masih ingat apa yang dia katakan?

"Kris, aku juga cinta kamu.." bisik Bagas dengan suara bergetar.

Tak perduli siapa yang mengatakan isi hatinya terlebih dahulu, nyatanya dua hati saling bertemu. Alangkah indahnya hari ini.

Basuki dan pak Darmono melangkah kedepan, membiarkan sejoli itu mengungkapkan rasa. Simbok terbirit kebelakang. Menutupi isak bahagia,  si perempuan tua ini mengusap air matanya.

Keduanya masih berpelukan, tapi tiba-tiba Kristin mendorong Bagas pelan.

"Bagaaas, awas ada setan lewat," bisik Kristin dan tawa bahagia dibibir keduanya terburai, seperti kembang api berpendar, berpencar membawa kerlip-kerlip indah menghiasi langit

Kutitipkan mimpiku, pada kejora yang melambai dipagi buta, agar ketika mentari bercahaya, mimpi itu berada dipangkuanku.


************** T A M A T *************


Sebuah ilustrasi untuk cerita mendatang "

"Tidak, bayi ini aku yang melahirkan. Ini adalah milikku. Jangan menyentuhnya, apalagi mengambilnya. " seorang perempuan cantik mendekap bayi merah yang belum lama dilahirkan.

Tunggu di cerita "BUAH HATIKU" ya. Salaaam...





























 
























Wednesday, July 29, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 33

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  33

(Tien Kumalasari)


Tapi Kristin kesal karena menelpon Mery tidak juga diangkat. Ia hanya punya nomornya Mery. Menelpon Bagas apa lagi. Tampaknya ponselnya mati atau rusak, entahlah. Kristin kemudian pulang. Hari itu ayahnya tidak kekantor, jadi Kristin harus pulang supaya bisa menemui ayahnya.

Tapi sesampai dirumah ternyata ayahnya tidak ada. Mamanya bingung melihat Kristin juga kelihatan bingung.

"Ada apa Kris? Papa sedang ketemu dengan kawan bisnisnya, harusnya kamu tahu karena pertemuannya ada di kantor. Apa papa tidak menghubungi kamu ?"

"Tidak ma.."

"Mengapa kamu bingung mencari papa sedangkan papa ada dikantor?"

"Kristin baru selesai makan siang diwarung, tadi papa tidak ada dikantor."

"Belum lama papamu pergi."

"Oh..."

"Jangan menelpon papa, karena papa sedang sibuk."

"Aduuh.. "

"Ada apa sih Kris?"

"Bagas sakit ma.."

"Astaga... Bagas sakit dan kamu ribut seperti cacing kepanasan?"

"Bagas kecelakaan di Salatiga ma.."

"Oh..." sekarang  bu Suryo baru  terkejut.

"Kamu mau mengajak papa ke Salatiga? Tidak mungkin Kris, papa lagi bicara penting. Ini so'al kerjasama perusahaan. Papa akan marah nanti sama kamu karena kamu tidak ada di kantor."

"Kristin mau minta maaf nanti, barangkali tadi menelpon Kristin, tapi Kristin lagi sibuk menelpon Bagas dan mbak Mery, dan tidak ada jawaban."

"Lalu kamu mencari papa mau ngapain?"

"Minta nomornya om Darmono."

"Astaga... kalau nomornya Darmono mama juga punya..."

"Mama punya ? Mana ma, Kristin minta.."

"Hm... anak ini.. ada tugas yang lebih penting malah mikirin orang lain.."

"Ma, Bagas kecelakaan ma.. Kristin harus tahu keadaannya.."

"Baiklah, ini... catat saja disitu..."

Kristin mencatat nomor itu lalu menelpon pak Darmono..

"Aduuh, kok nggak diangkat ya ma.."

"Mungkin lagi ngurusin yang sakit. Kapan kejadiannya?"

"Itulah ma, Kristin nggak jelas.. tadi cuma pelayan warungnya mbak Mery yang kasih tahu, tapi dia hanya tahu bahwa Bagas kecelakaan dan mbak Mery ada disana."

"Ditunggu saja dulu Kris, dicoba sebentar lagi. Jangan panik begitu kenapa?"

***

Bagas sedang diperiksa dokter lagi, karena pusingnya nggak hilang-hilang. Pak Darmono berdebar menunggu apa kata dokter.

"Tidak apa-apa.. memang begitu kalau gegar otak.. tapi lumayan sudah nggak lagi muntah-muntah."

"Jadi tidak menghawatirkan ya dok?"

"Tidak.. bapak harus bersabar."

Pak Darmono kembali duduk disamping Bagas, yang terbaring lemah. Disisi lainnya, simbok mengelus-elus kaki Bagas sambil terus menatap momongannya yang lebih sering memejamkan matanya."

"Tadi mau makan timlonya simbok, tapi lalu bilang mual.." kata simbok.

"Iya, dokter memang bilang.. kadang masih mual dan pusing, tapi nanti akan sembuh kok mbok."

"Iya, pak.. simbok juga berharap demikian."

"Kamu lapar nggak mbok?"

"Lapar tapi ya nggak apa-apa pak, prihatin sakitnya mas Bagas.. nggak makan juga nggak apa-apa."

"Jangan begitu mbok, kamu tunggu saja disini, biar aku beli makan keluar."

"Ini pak, tadi.. suaminya bu Mery yang ganteng itu ngasih uang sama simbok, katanya buat beli makan."

"O, ya sudah, kamu bawa saja itu, barangkali kamu kepengin beli makanan nanti. Sekarang aku mau keluar dulu. Tapi kalau kamu mau, itu tadi Basuki membawa roti macam-macam, makan saja mbok, tawarkan Bagas barangkali dia mau."

"Iya pak, nanti saja gampang."

"Ya sudah, aku pergi dulu."

Simbok yang menunggui Bagas disampingnya, berkali-kali mendengar dering telpon, tapi simbok tidak berani mengangkatnya. Ia lebih suka menunggu pak Darmono saja kalau sudah kembali nanti.

"Simbok..." simbok menoleh kearah Bagas, lalu berdiri mendekati.

"Ya, cah bagus."

"Pusing mbok..."

"Simbok pijitin kepalanya ya mas.."

"Pelan-pelan saja.."

"Iya, cuma dielus-elus saja.. Mas Bagas mau roti?"

Tapi Bagas menggeleng lemah.

"Buah ya? Simbok kupasin jeruknya ?"

"Sedikit saja.."

"Iya, simbok kupasin ya.."

Simbok mengambilkan sebutir jeruk, mengupasnya, membuang isinya lalu menyuapkannya kemulut Bagas.

"Seger mas?"

"Hm.."

Sebutir jeruk dihabiskan, simbok merasa lega.

"Besok kalau mas Bagas sudah sembuh, dan pulang, simbok jadi diajak jalan-jalan ya?"

"Hm..mh.."

"Sekarang makan roti ya?"

"Mau timlo...."

"Lho...timlonya sudah habis mas, bapak juga makan tadi,  disini mana ada timlo, besok saja kalau sudah pulang, simbok masakin timlo lagi. "

"Hm mh.."

"Roti ini saja ya, enak .. ini ada coklatnya, ada pisangnya.."

Dering ponsel kembali terdengar.

"Itu apa?"

"Ponselnya bapak, tidak dibawa, dari tadi bunyi terus."

"Angkat mbok.."

"Simbok angkat?

Simbok tergesa mengangkat ponsel pak Darmono.

"Hallo," sapa simbok.

"Om, eh.. bukan om Darmono ? Ini siapa?"

"Ini simbok, simboknya mas Bagas."

"Oh, simbok, dari tadi aku menelpon om Darmono."

"Bapak baru keluar, beli makan. Ini siapa ?"

"Aku Kristin mbok, simbok disini ya? Bagas bagaimana ?"

"O.. Kristin yang cantik itu?"

"Bagas mana mbok, bisa ngomong tidak? Bagaimana keadaannya?"

"Masih pusang-pusing..Kepalanya luka, kasihan mbak.."

"Bisa ngomong mbok ?"

"Maksudnya mbak Kristin mau ngomong?"

"Iya.. iya.."

"Tapi sebentar saja ya, mas Bagas nggak bisa ngomong lama atau panjang-panjang."

"Iya mbok, sebentar saja."

Simbok menyerahkan ponselnya kearah Bagas.

"Ini apa?"

"Ada yang mau bicara sama mas Bagas. Orang cantik."

"Siapa?"

"Diterima dulu, nanti setelah mendengar suaranya kan terus sembuh."kata simbok sambil meletakkan ponsel ditelinga Bagas.

"Bagaaaas..."

"Siapa mbok?"

Tapi Bagas sudah memejamkan matanya.

"Ma'af mbak, tampaknya mas Bagas belum bisa menerima tilpon.. "

"Ya ampun , Bagaas..." keluh Kristin sedih, kemudian menutup pembicaraan itu.

"Kasihan mbak Kristin, suaranya seperti menangis. Tapi ya gimana lagi, mas Bagas seperti enggan bicara begitu," gumam simbok sambil meletakkan kembali ponselnya dimeja.

***

"Ibu tahu tidak, hasil pemeriksaan di lab kemarin, menunjukkan bahwa ibu sudah sehat," kata Mery sepulang dari rumah sakit untuk menunjukkan hasil lab dan USG kepada dokter disore hari itu sepulang dari Salatiga.

"Dokter bilang begitu?"

"Iya bu.. sungguh, Mery sangat bahagia."

"Jadi ibu tidak akan disuruh kemo lagi kan ?"

"Tidak ibu, tidak," kata Mery sambil memeluk ibunya.

"Alhamdulillah Mer, ibu takut sekali kalau harus di kemo."

Mery tertawa, dan mencium pipi ibunya ber-kali-kali.

"Nanti dulu, ibu ingin tahu tentang nak Bagas, bagaimana kok sampai kecelakaan?"

"Dia sudah capek, nekat pulang. Mobilnya menabrak pohon bu."

"Ya ampun, tapi dia tidak apa-apa kan Mer?"

"Gegar otak dan luka-luka di kepala. Tapi dia sadar. Belum bisa bicara banyak sih, cuma kata dokter tidak membahayakan."

"Syukurlah nduk. Kasihan. Ibu ingin menjenguk dia."

"Besok saja bu, tadi kan sudah dari sana, langsung ambil hasil lab terus ketemu dokter.  Basuki belum istirahat. Sekarang ini juga nggak tahu kemana dia. "

"Orang sibuk. Tapi ibu bahagia melihat kamu bahagia. Segera berikan ibu cucu ya?"

"Iya bu, kita harus selalu  memohon kepada Allah Yang Maha Pengasih, supaya Mery segera punya momongan."

"Iya pastinya nduk. Tuh, ada mobil, rupanya suamimu sudah pulang," kata bu Sumini yang kemudian mengikuti Mery bergegas menyambut.

"Dari mana saja Bas, tadi menurunkan aku kok langsung pergi lagi?"

"Dengar Mer, mendengar ibu sembuh, aku jadi  ingat mbah Kliwon."

"Iya, mbah Kliwon berperan besar dalam kesembuhan ibu."

"Aku tadi memesan sebuah sepeda motor, aku kirimkan kerumah mbah Kliwon di Sarangan."

"Sepeda motor Bas? Apa mbah Kliwon bisa mengendarainya?"

"Aku pernah melihat mbah Kliwon naik sepeda motor kelurahan, sehari sebelum kita menikah.  Ini tadi aku memilih Vespa, supaya mbah Kliwon tidak susah menstarternya susah-susah, karena tinggal menekan  tombol startnya dan bisa duduk lebih enak. Seperti mengendarai mobil lho Mer."

"Oh ya? Bagus sekali Bas. Sepeda motornya langsung dikirim kesana ?"

"Iya, langsung kesana."

"Tapi kalau kamu tidak memberitahu, nanti dia bingung dapat kiriman sepeda motor."

"Aku akan menelponnya, kalau kira-kira sepeda motor itu sudah sampai."

"Wah, syukurlah, ibu juga sedang berfikir untuk memberi sesuatu kepada pak Kliwon," kata bu Sumini menimpali.

"Ya sudah, istirahat saja dulu sekarang, besok jadi menengok Bagas kan?"

"Iya jadi dong, aku haus tahu perkembangannya."

"Baiklah, ibu juga mau ikut katanya."

"Boleh saja."

***

Kristin menangis terisak-isak. Sedih hatinya mendengar Bagas tak mau menerima telponnya.

"Kenapa Kris?" tanya bu Suryo.

"Bagas tidak mau menerima tilpun Kristin ma.."

"Mungkin dia masih merasakan sakit, jadi tidak ingin bicara."

"Dia nggak mau menerimanya, biarpun Kristin sudah memanggil namanya."

Tiba-tiba ponsel Kristin berdering.

"Oh, dari om Darmono," katanya sambil membuka ponselnya.

"Hallo om.."

"Kamu tadi telpon om ya ?"

"Iya om, berkali-kali tidak diangkat, sudah sejak siang tadi."

"Siang tadi ponsel di cas,. ini tadi baru keluar sebentar. Ada apa cantik ?"

"Om, mendengar Bagas kecelakaan, Kristin sangat panik... tadi diterima simbok, diberikan sama Bagas, Bagas tidak mau menerima om," kata Kristin merengek rengek seperti anak kecil mengadu karena ada temannya yang nakal.

"Kristin, Bagas belum banyak bicara, kepalanya masih sering terasa pusing."

"Sebenarnya apa yang terjadi om ? Kenapa sampai kecelakaan."

"Dia itu sebenarnya capek, tapi hari Jum'at kemarin nekat pulang. Sebelum sampai Salatiga dia menabrak pohon."

"Om, tolong dikasih tahu  rumah sakit dan kamarnya ya, Kristin mau kesitu."

"Tapi ini sudah sore Kris, sebaiknya besok pagi saja."

"Baiklah om, saya sangat sedih.. "

"Do'akan Bagas baik-baik saja ya."

"Pasti om, sampaikan salam saya untuk Bagas ya om."

"Baiklah, semoga salam kamu membuatnya lebih cepat sembuh, apalagi kalau kamu datang nanti."

Kristin tersenyum senang, dan masih tersenyum-senyum ketika ia menutup ponselnya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya bu Suryo.

"Ya masih belum sepenuhnya baik, masih sering pusing."

"Mama dengar kamu mau kesana ?"

"Iya ma, tapi tidak sekarang, besok pagi saja."

"Kamu tidak boleh berangkat sendiri. Jalanan kearah sana itu sangat ramai."

"Kalau begitu Kristin mau mengajak papa."


***

Besok paginya, begitu sampai dirumah sakit, Kristin menarik-narik tangan ayahnya agar berjalan lebih cepat. Tak tahan rasanya ingin segera bertemu kekasih hatinya.

"Kristin, pelan-pelan saja kenapa sih?"

"Kristin ingin melihat keadaan Bagas pa."

"Iya, papa tahu, tapi kan nanti juga ketemu, kamu menarik-narik papa, kalau papa jatuh bagaimana?"

"Iya pa, ya sudah, pelan-pelan."

Tiba-tiba Kristin bertemu simbok yang akan keluar, entah mau mencari apa.

"Simbok !!" Kristin berteriak.

"Eh, ya ampuun.. kaget simbok mbak..itu.. disana kamarnya.. pojokan.. dekat taman," kata simbok tanpa ditanya."

"Simbok mau kemana?"

"Mau beli aqua, bapak yang nyuruh," kata simbok yang langsung meninggalkan mereka.

Kristin kembali menarik tangan ayahnya.

"Kris..."

"Itu pa, sudah dekat, pojokan, depan taman kan?"

Begitu masuk keruang inap Bagas, pak Darmono langsung menyambut dengan hangat.

"Terimakasih mas," kata pak Darmono.

"Ini, si crewet memaksa aku supaya mengantar dia kemari."

"Om, mana Bagas?"

"Itu.. disitu," kata Pak Darmono sambil menunjuk kearah ranjang Bagas, dan mengajak pak Suryo duduk dulu di sofa.

"Bagaaas..." begitu dekat Kristin langsung menubruknya.

Bagas membuka matanya. Menatap Kristin tak berkedip. Suara manja itu seperti dikenalnya.

"Bagas, bagaimana keadaan kamu ?"

"Siapa kamu?" pertanyaan itu tiba-tiba terasa seperti petir menyambar. Kristin mundur selangkah, menatap wajah lemah yang memandanginya seperti memandang orang asing.

***

besok lagi ya
























:





Sunday, July 19, 2020

SEPENGGAL KISAH XVIII

SEPENGGAL KISAH  18
(Tien Kumalasari)

Ketika dalam perjalanan pulang itu perasaan hati Asri sudah lebih baik. Mungkin terhibur oleh kesibukannya mempelajari banyak hal yang belum pernah dikenalnya selama ini. Asri juga beruntung pak Prasojo memberinya pekerjaan disa'at ia membutuhkannya. Pasti bukan karena dia pintar karena dia baru saja lulus SMA dan belum berpengalaman bekerja apapun juga . Pak Prajojo hanya kasihan padanya. Atau mungkin Bowo yang meminta pada ayahnya agar dia boleh bekerja pada perusahaannya. Ia juga boleh dijemput dan diantar pulang dalam bekerja. Oleh atasannya pula. Sebenarnya Asri merasa sungkan. Tapi Bowo memaksanya.
 Ah entahlah. Asri baru saja berhasil melepaskan sedikit beban yang memenuhi perasaannya. Tentu hanya sedikit karena beban itu adalah rasa cintanya pada Damar. Biarpun bibirnya mengatakan tidak tapi bukan begitu dengan hatinya.
"Apa kau menyukai pekerjaanmu?"
Pertanyaan Bowo ini mengejutkannya.
"Oh.. ya pak?"gugup Asri menjawabnya.
Bowo tertawa.
"Lagi melamun ya?'
Asri tersipu.
"Bapak bertanya apa?"
"Heii.. mengapa jadi bapak? Panggil saja seperti biasanya... mas Bowo.. lebih enak kan?"
"Tapi.. bapak kan atasan saya?"
"Ya.. kalau dikantor.. ini kan bukan dikantor.. jadi aku adalah temanmu."
Asri tersenyum.
"Apa aku terlalu tua untuk menjadi temanmu?"
Kali ini senyum Asri melebar. Ia merasa Bowo agak sedikit kocak..
"Tidak... oh.. baiklah.."
Asri masih tersenyum. Gurat2 bekas air mata itu tak tampak lagi... sampai kemudian mereka sudah tiba dirumah Asri.
"Besok kalau kaki saya sudah sembuh.. bapak tak usah mengantar saya."
"Bapak lagi...?"
"Mas Bowo tak perlu mengantar dan menjemput saya. Saya bisa naik motor sendiri."
"Baiklah.. kita.lihat saja nanti."
Bowo membantu Asri turun dari mobil dan mengantarnya sampai didepan pintu.
Asri membuka pintunya dan melihat Bowo masih berdiri disana.
"Sudah mas.. terimakasih banyak."
Tapi Bowo tidak segera berlalu. Matanya melihat sesuatu tergeletak dilantai didepan pintu itu. Bowo segera memungutnya. Selembar amplop.
"Ada surat rupanya."
Bowo mengangsurkannya pada Asri yang kemudian menerimanya penuh tanda tanya.

Sampai Bowo pergi Asri baru membuka amplop itu. Selembar surat. Ini tulisan Damar. Berdebar Asri membacanya

ASRI KEKASIHKU, KETIKA KAU BACA SURATKU INI, MUNGKIN KAU SUDAH MELUPAKAN AKU, KARENA ORANG LAIN SUDAH MENGGANTIKAN TEMPATKU. BAIKLAH, AKU AKAN BERDO'A UNTUK KEBAHAGIAANMU.
SELAMAT TINGGAL ASRI, ENTAH KAPAN KITA AKAN BERTEMU LAGI. TAPI SATU HAL YANG KAU HARUS TAU, AKU AKAN TETAP MENCINTAIMU.

DARI YANG PERNAH KAU CINTAI : DAMAR

Gemetar tangan Asri. Berlinang air matanya, mengalir disepanjang pipinya.
"Aku juga masih mencintaimu Damar. Tak ada yang menggantikan tempatmu. Darimana kau berpikiran seperti itu? "
Asri pun tenggelam dalam tangis yang memilukan.

#adalanjutannyalho#

Thursday, July 16, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 21

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  21

(Tien Kumalasari)

 

Basuki mengangkat ponselnya.

"Hallo, ibu Umi?"

"Ya nak, saya."

"Ada apa bu?"

"Ini lho nak, ada orang bertanya tentang anaknya yang pernah ditinggalkan didepan panti. Dulu dia meninggalkan baju dan sepatu sulam berwarna merah. Saya teringat baju bayi dan sepatu yang saya berikan Mery beberapa hari yang lalu. Tapi dia meninggalkan sepatu hanya satu itu, harusnya yang satunya dia bawa, barangkali bisa dijadikan bukti, tapi katanya sepatu itu hilang."

"Maksud bu Umi... dia itu orang tuanya Mery?"

"Saya tidak tahu persis, dia tidak membawa bukti apapun kecuali hanya kata-kata."

"Apakah dia masih disitu sekarang? So'alnya saya ada di Ungaran, baru mau pulang, jadi saya kan lewat Salatuga. Kalau saya bisa ketemu kan enak."

"Nak Basuki bersama Mery?"

"Tidak bu, tapi kalau perlu nanti bisa dipertemukan."

"Baiklah, saya suruh saja wanita itu menunggu ya nak."

"Baik bu, saya segera meluncur kesana."

"Siapa mas, tampaknya serius banget."

"Dari ibu Umi, Kepala Panti Asuhan dimana dulu Mery dibesarkan. Tampaknya ada wanita datang dan diduga itu ibunya Mery."

"Wah, sangat membahagiakan. Sayang mbak Mery nggak ikut."

"Kita akan mampir kesana, dan melihat siapakah dia."

Tapi begitu Basuki bersiap pulang, seorang stafnya memberi tahu bahwa ada tamu dari Jakarta sedang menunggu.

"Sebentar ya Gas, terpaksa tertunda nih kepulangan kita."

"Nggak apa-apa mas, selesaikan dulu urusan mas."

"Tapi kamu harus ikut Gas, siapa tau nanti ada kelanjutannya yang harus kamu tangani."

 

***

 

"Bu, sudah saya sampaikan ke pak Basuki, ibu diminta untuk menunggu." kata ibu Umi kepada wanita yang menemuinya sejam yang lalu.

Ibu itu bertanya tanya dalam hati. Dia ingat penolongnya  kalau tidak salah namanya juga Basuki.

"Basuki.. Basuki.. sepertinya dia, apakah orang yang sama ?"

"Bagaimana bu?"

"Bukan apa-apa, namanya Basuki, seperti nama orang yang pernah menolong saya."

"Banyak orang yang memiliki nama sama."

"Iya benar."

"Bolehkah saya tau, mengapa ibu dulu membuang bayi ibu, lalu sekarang mencarinya?"

Wanita yang memang ibu Sumini itu menundukkan wajahnya, tampak setitik air mata menetes, lalu diusapnya dengan ujung bajunya. Ibu Umi mengambil selembar tissue lalu diberikannya kepada ibu Sumini.

"Entahlah mana yang lebih berdosa, membuang  anak sendiri demi mengharapkan perawatan yang lebih baik bagi anak itu, atau tetap membawanya dalam hidup penuh sengsara," gumamnya seperti kepada dirinya sendiri.

Ketika anak itu lahir, baru seminggu, suami saya meninggal karena sakit paru-paru.

Saya melanjutkan hidup dengan buruh mencuci di tetangga-tetangga, sambil merawat bayi kecil saya. Tapi itu ternyata sangat berat. Saya tidak setiap hari mendapatkan uang, Bahkan pernah dua hari tidak makan karena tak punya uang sepeserpun, akibatnya ASI saya tidak bisa keluar, anak saya rewel ta habis-habisnya. Lalu saya putuskan untuk 'membuang' bayi saya dengan meletakkannya didepan Panti ini."

"Sebenarnya ibu bisa menitipkannya secara baik-baik."

"Kata orang -orang kalau menitipkan anak itu harus membayar."

"Tidak bu, disini untuk anak yatim piatu yang tidak mampu. kami tidak memungut bayaran. Tapi semuanya sudah terjadi, ya sudah tidak usah disesali. Kalau benar anak ibu itu adalah Mery, dia baik-baik saja, bahkan sebentar lagi akan menikah dengan orang yang dulu memungutnya dari sini."

"Oh, semoga benar itu anak saya. Baru mau menikah? Kalau tidak salah umurnya sudah tigapuluh tahunan lebih."

"Saya juga tidak tahu. Pak Basuki memintanya kira-kira duapuluhan tahun lalu, dan baru mau menikahinya sekarang."

"Semoga dia itu benar anak saya."

"Sayang sekali ibu tidak lagi memiliki sebelah sepatu yang ibu bawakan bersama bayi itu."

"Apakah dengan begitu.. ibu, atau bahkan dia tidak mau mengakui saya sebagai ibunya?" kata bu Sumini pilu.

"Bukan begitu bu, barangkali supaya lebih tepatnya ada bukti sepatu itu. Tapi ibu jangan berkecil hati, nak Basuki itu orang baik, dia pasti bisa mempertimbangkannya. Ibu tunggu dulu disini ya, saya akan menyelesaikan pekerjaan saya."

"Baiklah ibu, silahkan."

Bu Sumini duduk terpekur dikursi tamu. Bermacam perasaan mengaduk aduk hatinya. Benarkah dia tidak akan dipercaya karena tidak membawa pasangan sepatu itu? Lalu bu Sumini menyesali kejadian kira-kira sebulan lalu, ketika dia jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit oleh seseorang bernama Basuki. Bungkusan itu tertinggal ditempat dia terjatuh, yang entah sekarang ada dimana. Barangkali sudah ditemukan orang karena ada uang sedikit disitu, selebihnya adalah baju-baju kumal beberapa lembar, termasuk kaos bayi kecil yang dibawanya kemana-mana.

"Basuki... Basuki..." digumamkannya nama itu berkali-kali. Benarkah dia Basuki yang sama dengan Basuki yang telah memungut anaknya?

 

***

 

"Tiwi duduk saja, anteng, nggak boleh jalan-jalan ya. Makan disuapi ibu Mery?" tanya Mery sambil mendudukkan Tiwi dikursi.

"Iya.. mam..mam.. sama.. ayam.."

"Anak pintar, sebentar biar diambilkan ya. Sri kamu mau makan apa?"

"Aku timlo lah, kangen masakan warung ini.."

Mery memesan makanan setelah pelayan mendekat.

"Iwi..inum cucu..."

"Susu soklat... mau?"

"Ho oh, cucu cokat.."

"Beres, untuk anakku yang cantik dan pinter ini.. semua siap." kata Mery lalu beranjak kebelakang, membuat sendiri susu soklat untuk Tiwi.

"Ibu.. Iwi holeh ulun?"

"Nggak boleh turun Tiwi, duduk saja yang manis, sambil menunggu ibu Mery, ya?"

"Nggak holeh halan-halan?"

"Nggak boleh, banyak orang lagi makan tuh, nanti Tiwi dimarahi."

"Dimalahi?"

"Iya, tapi kalau Tiwi duduk manis disini, tidak akan dimarahi. Bukankan Tiwi anak pintar?"

Tiwi mengangguk-angguk.

"Ibu Mely lama..."

"Hallo... ibu Mery sudah datang..." kata Mery sambil membawa segelas soklat susu."

"Ini, boleh diminum sekarang."kata Mery sambil mendekatkan gelas kedepan mulut Tiwi.

"Ake cedotan ya?"

"Ya, pake sedotan, nah, ibu pegangin nih, hati-hati, jangan sampai tumpah."

"Enak.. enak..." pekik Tiwi setelah menyedot beberapa tegukan.

"Minumnya sudah dulu ya, Tiwi harus makan dulu baru boleh minum lagi."

"Ama ayam .. ama ayam.."

"Iya, tuh sudah datang nasi ayamnya..."

"mBak Mery pinter, besok kalau punya anak sudah bisa momong tanpa harus belajar lagi," kata Sri sambil tersenyum.

"Iya Sri, Tiwi ini yang mengajari aku. Ya Wi?"

Tiwi mengangguk-angguk tanpa tau apa maksudnya, sambil mengunyah nasi yang disuapkan kemulutnya oleh Mery.

"Ayo Sri, segera dimakan, keburu dingin, kurang enak."

"Hm, harumnya .. pantesan banyak pelanggan ya mbak?"

"Saya syukuri semuanya Sri, ini semua adalah berkah, atas jerih payahku selama ini, dan semuanya tak lepas dari bantuan kamu juga."

"Sudahlah, jangan lagi diulang-ulang menyertakan nama saya dalam keberhasilan itu. Saya kan cuma sedikit membantu memberikan resep, dan tangan mulia mbak Mery yang menghasilkannya."

"Terimakasih atas semuanya ya Sri."

"Ayo mbak, lha mbak Mery nyuapin Tiwi, kapan makannya?"

"Ya, ini sudah sambil menyendok makananku. Yang penting Tiwi kenyang dulu."

Tapi kegiatan menyuapi itu terhenti ketika ponsel Mery berdering.

"Dari Basuki," katanya lalu membuka ponselnya.

"Ya Bas?"

"Mer, sebenarnya ada hal penting yang ingin aku sampaikan, tapi ini mendadak ada tamu dirumah. Aku sama Bagas sudah siap-siap pulang, tiba-tiba tamu datang."

"Ya sudahlah Bas, selesaikan saja urusan kamu, kalau masih ada tamu masa harus ditinggal pulang."

"Bukan begitu, baru saja bu Umi telpon."

"Bu Umi ? Ada apa?"

"Katanya ada seorang wanita yang sedang mencari anaknya. Dia dulu meninggalkan bayinya didepan Panti dan sepatu sulam hanya sebuah bersama bayinya."

"Ya Tuhan, itu ibuku ?"

"Aku belum yakin, ketika bu Umi menanyakan dimana pasangan sepatu itu, dia bilang sudah hilang."

"Aduh, tapi aku ingin ketemu, bagaimana ini, apa saya harus ke Salatiga sekarang?"

"Jangan dulu Mer, akulah yang akan kesana dulu, nanti bagaimana kelanjutannya aku akan mengabari kamu. Sekarang aku selesaikan dulu urusan pekerjaanku ya."

"Baiklah, aku menunggu ya Bas."

Sambil menutup ponselnya, Mery menghela nafas panjang.

"Ada apa mbak ?"

"Ada seorang ibu mencari anaknya yang dulu ditinggalkan di panti. Apakah itu ibuku ya?"

"Ciri-cirinya?"

"Basuki yang akan kesana setelah urusannya selesai. Dia bercerita tentang sepatu songket itu, tapi dia tidak punya pasangannya, katanya hilang."

"Jangan-jangan orang yang mengada-ada."

"Entahlah Sri, aduh.. aku kok jadi berdebar-debar ya."

"Ibu Meliiii... haaaak..." Tiwi berteriak minta suap.

"Oh, ya ampuun.. ibu Mery lupa.. ini sayang."

"Iya mbak, aku juga ikut berdebar nih, mudah-mudahan bener. Tapi mbak harus hati-hati. Masalah pasangan sepatu itu harus benar-benar dibuktikan. Bisa jadi dia pernah mendengar cerita dari ibunya mbak Mery yang benar-benar ibunya, kemudian mempergunakannya untuk mencari keuntungan."

"Iya, makanya aku menunggu Basuki dulu, dia akan menemuinya setelah urusannya selesai."

 

***

 

"mBak Mery... ini anak siapa?"

Mery terkejut, menoleh kebelakang, dilihatnya Kristin sedang makan bersama seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai ayahnya Kristin dan seorang wanita cantik yang mungkin ibunya, entahlah.  Mery kemudian berdiri untuk menghormati langganannya.

"Selamat siang, mbak Kristin, bapak, ibu.." sapanya ramah.

"Siang,"  jawab ketiganya bersamaan.

"Ini mama saya mbak Mery, kalau papa kan sudah tau?"

"Iya, selamat bertemu ibu, senang mendapatkan tamu kehormatan."

"Ma, pemilik warung ini, bukan hanya cantik, tapi juga masakannya sangat enak, bukankah begitu?" kata pak Suryo memuji Mery.

"Iya benar pak, aku cocok masakannya."

"Terimakasih bapak, ibu, mbak Kristin."

"Saya tadi bertanya, itu anak siapa? Bukan anak mbak Mery kan?" tanya Kristin. 

"Oh, bukan, ini anak sahabat saya itu, Sri, anak ini namanya Tiwi. Sini Tiwi, kasih salam sama tante cantik, sama opa, sama oma..." kata Mery sambil mengangkat Tiwi agar mendekat dan menyalami ketiga tamunya.

Tiwi menyalami dan mencium tangan mereka.

"Anaknya menggemaskan, jadi pengin segera punya cucu ya pa," kata bu Suryo.

Pak Suryo mengangguk-angguk.

"Benar ma, tanya tuh Kristin.. kapan mau memberikan cucu untuk papa sama mama ?"

"Papa, carikan dulu suami buat Kristin," kata Kristin manja.

Mery ikut tertawa. Dan tiba-tiba dia teringat Bagas.

"Bagaimana dengan Bagas?"

Kristin terkejut, bagaimana bisa Mery tiba-tiba menyebut nama Bagas.

"Dia itu sangat baik. Semoga mbak Kristin bisa jadian sama dia."

"mBak Mery bisa saja, apa Bagas suka membicarakan saya?" tanya Kristin memancing.

"Suka, sering."

"Tapi dia mau resign dari perusahaan papa."

"Oh iya, dia membantu .. mmm... saudaranya di Ungaran," kata Mery tanpa menyebut nama Basuki.

"Ungaran? Jauhnya.."

"Biar jauh kalau dekat dihati ?" canda Mery,

Kristin cuma tersenyum. Pak Suryo dan bu Suryo pura-pura tidak mendengarkan obrolan itu. Tampaknya Mery tau kalau Kristin suka sama Bagas. Tapi bagaimana dengan Bagas? Kata hati bu Suryo.

***

"Tampaknya pemilik warung itu tahu benar tentang Bagas ya," tanya bu Suryo kepada Kristin dalam perjalanan kembali ke kantor.

 "Bagas itu setiap hari makan disitu ma, Kristin tadinya nggak suka, tapi setelah merasakan sekali, Kristin jadi suka. Kristin suka nasi gorengnya."

"Dari dulu kamu cuma pesan nasi goreng aja, coba tadi makan timlo, enak lho, ya kan ma?"

"Iya, enak, mantap."

"Iya, lain kali Kristin mau makan timlonya."

"Mama nggak heran, mengetahui Kristin tiba-tiba suka makan di warung?" tanya pak Suryo kepada isterinya.

"Iya sih, mama heran, bagaimana bisa berubah sih pa. Biasanya sukanya makan direstoran, sudah harganya mahal, masakannya belum tentu enak."

"Itu karena Bagas ma. Cara Kristin berpakaian kan juga berubah, itu karena Bagas, ya kan Kris?"

"Hm.. iya." jawab Kristin singkat. Setiap kali mengingat Bagas, hatinya bagai teriris dengan sembilu. Perih pedih.

"Berarti besar juga ya pengaruh Bagas pada Kristin ?"

"Tapi kok nggak bisa bersatu ya ma?"

"Menurut mama, Bagas itu juga punya perhatian sama Kristin."

"Mengapa dia pergi?" keluh Kristin.

"Kan kata papa, dia harus membantu saudaranya."

"Sebenarnya bukan saudara beneran. Ayahnya Bagas itu, teman sekolah ayahnya si pemilik perusahaan itu. Karena ayahnya sudah meninggal, si pengusaha itu menganggap Darmono sebagai orang tuanya. Ya mungkin karena mendengar keluhan-keluhan dia tentang beratnya pekerjaan, Darmono jadi mendukung anaknya membantu mereka."

"Bukan karena kesal sama Kristin?"

"Coba saja besok kalau dia masuk kamu tanyakan."

***

Hari sudah agak sore ketika Basuki memasuki halaman Panti Asuhan itu.

Begitu ia dan Bagas memasuki ruang tamu, dilihatnya ibu Umi sudah menunggu.

"Selamat sore ibu," sapa Basuki.

"Selamat sore nak, silahkan duduk."

"Perkenalkan, ini sahabat saya, Bagas, dia akan membantu pekerjaan saya di Ungaran."

"Oh, nak Bagas, selamat bertemu."

"Selamat bertemu ibu, senang berkenalan dengan ibu."

"Terimakasih nak, ayo silahkan duduk, silahkan duduk."

"Ma'af ya bu, ibu terlalu lama menunggu, so'alnya begitu kami mau pulang, mendadak ada tamu, dan berbincang cukup lama."

"Tidak apa-apa, dia masih menunggu kok."

Basuki tampak mencari-cari. Dimana orang yang sedang menunggunya?

"Sebentar nak, tadi ibu suruh istirahat dibelakang, karena tampaknya dia lelah. Cuma saja, ibu juga tidak begitu saja percaya, so'alnya dia bilang sepatu yang dibawakan pada bayinya ketika itu, tapi pasangannya tidak dibawa, katanya hilang."

"Oh, begitu ya bu?"

"Kalau dia bisa menunjukkan pasangannya kan gampang to nak, tapi coba saja nanti nak Basuki berbicara lagi sama dia. Tapi seharusnya Mery ada ya nak?"

"Sayang sekali tadi kebetulan saya sedang mengurus pekerjaan di Ungaran, jadi Mery tidak ikut."

"Sebentar saya panggil dia ya nak?" kata ibu Umi sambil beranjak.

Basuki bedebar menunggu. 

"Mas, hati-hati dan jangan cepat percaya, jaman sekarang banyak orang mengada-ada. Apalagi kalau dia tau bahwa mas Banyak duit," bisik Bagas.

"Iya, aku tau." 

Tak lama kemudian ibu Umi keluar dengan seorang wanita setengah tua. Basuki terkejut karena mengenalnya.

"Bu Sumini ?"

***

besok lagi ya.



















Wednesday, July 15, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 20

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  20

(Tien Kumalasari)

Mery yang baru bangun tidur melangkah ke dapur. Dilihatnya Sri sudah menanak nasi dan memasak sayur. Bahkan sudah membuat teh hangat yang diletakkan dimeja dapur. Bahkan ada jagung rebus yang masih mengepulkan uap. Hm.. pasti enak...

"Sri... Sri..." Mery mencari Sri kedepan sambil memanggil-manggil namanya.

"Aku diteras mbak. "

"Kamu itu, mengapa tidak membangunkan aku?"

"Ya tidak apa-apa mbak, Sri tahu kalau mbak Mery pasti capek.Itu sudah Sri buatkan teh hangat, dan jagung rebus mbak."

"Aduh, jagung rebus.. itu yang bawa mbah Kliwon kemarin ya?"

"Iya, tapi pisangnya belum masak benar. Mungkin dua hari lagi."

"Mana, aku yang bersih-bersih," kata Mery.

"Sudah, sudah selesai, ini tingal membuang sampah kedepan, sebelum tukang sampah datang.:"

"Biar aku yang buang saja."

"mBak Mery tuh..."

"Biar saja, nanti setelah membuang sampah ini aku akan minum teh hangat dan menghabiskan jagung rebusnya," kata Mery sambil turun kebawah, lalu membuang sampah ke keranjang yang tersedia diluar pagar.

Sri tersenyum melihat\ Mery tampak bahagia. Kemudian ia mencuci tangan dan duduk menunggu dimeja dapur.

"Hm, simbahku memang hebat. Jagungnya masih muda dan manis."

"Enak ya Sri," kata Mery yang kemudian menyusul duduk dimeja."

"Manis jagungnya mbak."

"Seperti yang ngerebus ya?" canda Mery.

"Seperti yang makan.."

"Kemarin Lastri juga dibawain kan?"

"Sudah, jagung, pisang saya bawakan. Cuma pisangnya baru suluh, belum matang benar."

"Kalau sudah tua pasti cepat matangnya."

"Iya benar."

"Oh ya Sri, aku ingin cerita nih. Kemarin itu kan Basuki mengantarkan aku ke Panti, sebelum kami menginap di Ungaran."

'Oh ya? Masih ingatkah mereka sama mbak?"

"Masih, mereka senang kami datang. Lalu ketika aku bertanya tentang siapa orang tuaku, mereka tidak tau. Ketika ditemukan, pekerja Panti hanya menemukan baju yang menempel dan kaos kaki yang cuma sebelah. Sebentar aku tunjukkan" kata Mery yang kemudian beranjak kekamarnya. Namun ketika kembali, ia tampak panik..

"Aduh.. dimana dia? "Lalu Mery mengeluarkan sebuah baju dan celama bayi dari bungkusan itu...

"Kok nggak ada > Mana ya, aduh.. jatuh dimana ?"

"Apanya mbak? mBak Mery cari apa?"

"Ini lho Sri, Bu Umi, ketua Panti itu memberikan ini. Katanya ketika menemukan aku, dia hanya menemukan ini dan sebuah sepatu kaos berwarna merah. Tapi kok sepatunya nggak ada ya? Gimana nih," kata Mery tampak bingung.

"Sepatu songket berwarna merah? "

"Ya Sri, terjatuh dimana ya..itu salah satu bukti kalau aku ingin mencari orang tuaku," kata Mery sambil berlinangan air mata.

"Tunggu, aduh ma'af aku tidak tau..aku tadi menemukannya tapi sudah aku buang ke tempat sampah."

"Apa ?" 

Mery segera berlari keluar dengan panik. Sri mengikuti...

"Ada apa?" tiba-tiba Timan keluar dari kamar sambil mengendong Tiwi.

"Sepatu... tunggu mas.." jawab Sri sambil lari kedepan, mengikuti Mery.

"Aduh... sudah diambil tukang sampah !!" Mery kemudian berlari menyusuri jalan, memburu tukang sampah yang pasti sudah berkeliling kampung.

"Aduh, salahku..." Sri menepuk jidatnya dengan penuh penyesalan.

"Apa Sri?" tanya Timan yang mengikuti kedepan..

"Itu... tukang sampah... tukang sampah..." dan Sri pun setengah berlari mengikuti Mery yang sudah tak kelihatan.

Timan kebingungan, karena tak tau apa yang terjadi.

Mery berlari kesana kemari, sampai dimana bapak tukang sampah membawa gerobagnya?

Sri yang mengikuti berteriak dari belakang.

"Belok kiri mbak !!"

Mery segera berbelok kekiri. Seorang ibu yang melintas heran melihat dua wanita berlarian.

"Ada apa bu?" tanyanya.

"Mencari tukang sampah. Sampai dimana ya?"

"Tukang sampah?"

"Iya, ada barang saya ikut terbuang tadi."

"Oh, sudah sampai diujung sana, tampaknya truk pengangkut sampah sudah menunggu."

"Oh, ya Tuhan.. tolonglah hamba...," keluh Mery. Keringat mulai bercucuran diwajahnya, bahkan disekujur tubuhnya. Ia berlari menuju ujung jalan.

Sri tak kalah panik, ia terus mengikuti Mery. Sesal menghantui dirinya. 

"Aduuh, mengapa aku membuangnya? Tak tau kalau itu barang berharga," gumamnya  berkali-kali.

"Bodoh.. bodoh..bodoh.." berkali kali Sri memarahi dirinya.

Sebuah truk pengangkut sampah siap diujung jalan itu. Mery melihatnya..

"Semoga tukang sampah kampung belum melemparkannya keatas," gumamnya sambil berlari.

"Paaak... tunggu paaaak..."

Mery terengah didepan tukang sampah -pembawa gerobag dorong itu. Ia menatap Mery dengan heran.

"Pak.. tolong,, sampah.. sampah.. dari.. kampung saya.. belum dibuang kan?" tanyanya terengah.

Sri pun sudah sampai disitu.

"Bagaimana ?" Sri juga terengah-engah.

"Sampah... ini.. baru mau dinaikkan ke truk itu.." kata tukang sampah.

"Oh, jangan dulu, tunggu.."

"Ada berlian ikut terbuang?" tanya tukang sampah setengah bergurau.

"Aduh, lebih dari berlian pak... mana.. saya akan melihat.."

Mery mendekati gerobag, bau busuk segera menyeruak. Sri yang sudah mendekat terpaksa membantu, karena merasa bersalah.

Tukang sampah yang merasa kasihan segera mendekat.

"Begini bu, biar saya yang membongkarnya perlahan, ibu memperhatikan saja. Barangnya apa sih bu?"

"Kaos kaki pak."

"Kaos kaki?" tukang sampah terbelalak heran. Hanya sebuah kaos kaki sampai dibela-belain mengejar tukang sampah dan ingin mengorek isinya?.

"Iya pak, kaos kaki kecil, songket, warna merah."

"Kaos kaki bayi?"

"Iya pak, tapi itu sangat berharga, mana aku pinjam pengoreknya," kata Mery.

"Coba biar saya bu, saya tadi ya seperti melihat, tapi nggak tau kalau itu barang berharga, sebentar ya bu, agak dibawah pastinya," kata tukang sampah sambil mengungkit sampah agar bisa melihat bagian bawahnya."

Bau busuk semakin menyengat. Mery dan Sri  mengernyitkan hidungnya, tapi mata mereka menatap kearah sampah-sampah itu.

Tapi sampai kebawah tak ada kaos kaki yang dicari. Mery putus asa, merebak air matanya. 

"Ma'af ya mbak, Sri sungguh tidak tahu," Sri pun setengah menangis menatap Mery.

"Sepertinya kok tidak ada ya bu. Sekarang saya tuang saja sampah ini, barangkali bisa lebih jelas."

Tukang sampah menumpahkan sampahnya sedikit demi sedikit sambil mengawasi apakah ada kaos kaki kecil berwarna merah. Tapi sampai bersih gerobag itu, kaos itu tak juga ditemukannya.

"Gimana bu, sudah jelas tidak ada disini."

Mery melangkah gontai kembali kerumah, Sri memeluknya  sambil berkali-kali mengatakan ma'af. Sungguh Sri menyesali apa yang telah dilakukannya. Harusnya dia bertanya dulu, ini punya siapa, tapi Sri kan tidak mengira bahwa itu berharga. Yang difikirkannya cuma sepatu boneka Tiwi, sementara Sri tidak pernah melihat ada sepatu seperti itu.

 

***

 

Timan masih berdiri dipagar rumah. Tiwi merosot turun dan berlarian kesana kemari. Berkali-kali Timan melongok kearah perginya Sri dan Mery dengan beribu pertanyaan memenuhi benaknya.

"Ada apa mereka itu, tampak panik dan seperti mengejar sesuatu."

Tiba-tiba Tiwi berteriak.

"Apaaak.. ada atu.. atu..."

"Apa Tiwi?"

"Ada atuuu..." lalu Tiwi memungut sesuatu, sebuah sepatu songket berwarna merah.

 "Aduuh Tiwiii... lepaskan, itu kotor... hiiih.. lepaskaan."

"Atuu.. apaak.."

Timan merebut sepatu songket itu dan membuangnya sembarangan, lalu menggendong Tiwi masuk untuk mencuci tangannya.

"Angan Iwi napa...?"

"Tangan Tiwi kotor karena tadi memegang sepatu kotor. Sudah, sekarang bermain saja disini. Jangan-jangan sepatu itu tercecer dari gerobag sampah." gumam Timan sambil mencuci tangan Tiwi dengan sabun.

"Nah, sekarang tangan Tiwi bersih, wangi."

"Angiii.." Tiwi menirukan sambil mencium tangannya, lalu berlarian ketempat kotak mainannya.

Timan kembali kedepan, menunggu Sri dan Mery yang tak diketahuinya apa yang terjadi pada mereka.

Ketika keduanya kembali, Timan melihat wajah-wajah sedih melingkupi mereka. Bahkan ada bekas air mata dipelupuk mata mereka.

"Ada apa? Aku bingung melihat kalian seperti ini."

"Ini semua salahku mas, ini salahku.." tangis Sri meledak mendengar pertanyaan suaminya.

 Timan memeluknya.

"Nggak apa-apa Sri, itu bukan salah kamu, memang aku yang ceroboh, tidak menyimpan dengan baik." kata Mery.

"Ini apa sih? Aku bingung benar, katakan ada apa?"

Lalu dengan terbata Mery menceritakan, tentang asal usulnya yang tidak jelas, karena hanya ada satu setel baju bayi dan sebuah sepatu songket berwarna merah yang ada bersama dirinya ketika ditemukan didepan panti.

"Iya mas, tadi aku bersih-bersih, menemukan sepatu songket, hanya sebuah, saya pikir barang tak berguna, aku membuangnya kesampah, kami mengejar tukang sampah itu, tapi sepatu itu tidak kami ketemukan. Ini salahku.. ini salahku."

TIman terbelalak. Sepatu songket warna merah? Hanya sebiji? Apa itu bukan sepatu yang tadi diambil Tiwi lalu membuatnya memarahi Tiwi?

Timan melepaskan pelukannya dan berlari kejalan. Ia mencari kecana kemari. Tadi ia membuang sepatu itu sembarangan.

Mery dan Sri juga bingung melihat sikap Timan. Tapi dia ikut turun dan mengikuti langkah Timan. Timan masih mencari-cari, dimana tadi dia membuangnya. Aduh, jangan-jangan masuk kedalam selokan itu. Timan berjongkok ditepi selokan, Ya ampun, airnya mengalir, jangan-jangan terbawa aliran selokan ini. Timan melangkah menyusuri sepanjang aliran selokan itu.

"Ada apa mas?" tanya Mery dan Sri bersamaan.

"Sepatu.. songket.. merah.. hanya sebiji..., " gumam Timan sambil terus mengawasi aliran selokan itu.

"Mas !"

"Tadi Tiwi menemukan sepatu songket merah."

"Haaa... Tiwi?"

"Aku membuangnya karena mengira itu barang kotor yang jatuh dari gerobag sampah."

"Ya Tuhan...." Mery memekik, lalu ikut mencari disekitar selokan itu. Demikian juga Sri.

Tiba-tiba Sri memekik.

"Ituuuuu..."

Timan dan Sri melihat kearah yang ditunjukkan Sri. Sebuah benda kemerahan tampak tersangkut sesuatu ditepi selokan. 

"Iyaaa... ituuu..." teriak Mery lega.

Timan mengambil sebatang kayu panjang, dikaitnya benda itu.

"Terimakasih Tuhan..." bisik Sri dengan wajah berseri.

"Awas, ini kotor, biar aku cuci dulu.." kata Timan. Ia tetap membawa kayu panjang yang diujungnya tersangkut sepatu yang menghebohkan itu.

"Biar aku saja yang mencuci mas," kata Sri sambil meminta kayu itu.

"Biar aku saja.." teriak Mery.

"Sudah, jangan berebut. Biar aku saja. Lihat tuh. Tiwi lari-lari keluar.

Sri terkejut melihat Tiwi sudah keluar dari pagar.

"Ya ampuun, ini anak siapa, kasihan nduk, bingung ya, dirumah nggak ada orang?" kata Mery sambil menggendong Tiwi lalu bersama mereka masuk kerumah.

***

Kristin dikantor sendirian. Hari itu Bagas ijin lagi untuk tidak masuk. Alasannya hanya ada suatu keperluan. Kristin menghela nafas panjang. Tampaknya dia memang harus melepaskan kepergian Bagas. Sangat memalukan kalau dia menghalangi. Nanti Bagas bisa jadi besar kepala. Namun diakuinya, bahwa dia sangat sedih , dan pasti akan merasa kesepian.

"Mengapa kamu tidak bisa mengerti aku Gas?" bisiknya pilu.

Kemudian dia sama sekali tak mampu mengerjakan apapun hari itu. Ia hanya membuka buka file, lalu selebihnya hanya duduk berpangku tangan.

Kristin terkejut ketika tiba-tiba ayah dan ibunya  muncul.

"Papa... mama...," katanya sambil berdiri lalu menciumi mereka satu persatu.

"Kamu ngapain, dikantor cuma berpangku tangan?"

Ketiganya lalu duduk disofa. Kristin duduk disamping ibunya,.. menyandarkan kepalanya dibahu sang ibu.

Bu Suryo mengelus kepala anaknya.

"Begini ya pak, kalau orang lagi jatuh cinta? Apa dulu papa juga begini?"

"Ya enggak, papa dulu begitu bilang cinta, kamu langsung oke.. ya hepi-hepi saja.."

"Hiih.. papa.. masa begitu.. nggak pake proses.. papa ngikutin kemana aku pergi.. lalu dengan memelas mengatakan cinta.. hiih.. aku bilang oke karena kasihan sama papa."

Pak Suryo terbahak. Tak urung Kristin kemudian mengangkat kepalanya dan ikut tertawa. Rupanya kedua orang tuanya juga punya kisah sendiri dalam bercinta.

"Kristin, kamu nggak boleh sedih. Kalau memang Bagas itu jodoh kamu, pada suatu hari pasti dia akan datang menemuimu. Kalau tidak datang ya cari yang lain, masa laki-laki cuma Bagas doang."

"Iya mama..."

"Jangan cuma iya. Semangat. Kaya papa itu lho, hidupnya penuh semangat, tidak gampang putus asa. Ya kan pa?"

"Hm..."

"Sekarang ayo ikut mama sama papa saja,  sudah lama tidak makan siang bertiga kan?"

"Papa katanya mau nemenin aku dikantor."

"Iya, besok aku ke kantor. Tapi aku cuma nemenin lho, kamu yang harus bekerja."

"Iya pa."

"Ayuk kita berangkat sekarang."

 

***

 

"Lega aku sekarang, sepatu itu sudah ketemu," kata Mery setelah menemukan kembali sepatunya.

"Masih agak basah lho mbak, diangin-anginkan dulu, " kata Sri.

"Iya, aku angin-anginkan dikamar saja, nanti kalau diluar takut diterbangkan angin."

"Aku tadi sudah ketakutan setengah mati. Kalau sampai nggak ketemu, aku akan menyesalinya seumur hidup aku," kata Sri.

"Sudah, jangan menyesali apapun, semuanya sudah berlalu. ini sudah kehendak Yang Maha Kuasa, bahwa aku bisa menemukan sebuah tanda sa'at aku ditemukan. Semoga ini adalah jalan bisa bertemunya aku dengan orang tuaku."

"Aamiin, aku akan ikut mendo'akan mbak."

"Ya sudah, ini sudah siang. Aku mau ke warung dulu ya. Gara-gara sepetu itu mas Timan barangkat kepasarnya juga sudah siang."

"Tidak apa-apa mbak, tidak harus datang pagi-pagi setiap hari."

"Ayo kamu ikut saja."

"Ikut?" 

"Sekali-sekali juga Sri, kan kamu sudah selesai memasak. Sebelum mas Timan pulang kita sudah sampai rumah kok."

"Kelihatannya menarik nih, biar Tiwi senang kita ajak jalan-jalan."

"Nah, tuh kamu tau. Nanti aku ajak kamu ke penjual gorengan, mau?"

"Penjual gorengan ?"

"Yang aku cerita itu, dia ditolong Basuki lalu dibawa ke rumah sakit, trus ada uang sisa pembayaran rumah sakit yang oleh Basuki diberikan sama dia, lalu dia, eh.. namanya bu Sumini... nah, oleh bu Sumini uang itu dijadikan modal jual gorengan?"

"Iya, beberapa hari yang lalu mbak sudah cerita. Lalu kita mau kesana?"

"Aku pengin makan gatot gorengnya. Gurih, enak."

"Wah, seperti orang ngidam saja mbak Mery nih."

"Nggak tau kenapa, tiba-tiba ingin sekali makan gorengannya. Sebentar ya, kita bisa lewat kok, setelah itu baru kita ke warung."

"Nggak apa-apa, ayolah, aku ganti baju dulu."

"Aku yang mendandani Tiwi ya, biar cepat."


***


Tapi sesampai ditempat dimana bu Sumini jualan, Mery tak menemukan siapapun. 

"Waduh, nggak jualan lagi? Tiga hari yang lalu juga nggak jualan."

"Nggak jualan lagi mbak, katanya keluar kota," tiba-tiba penjual dawet yang mangkal didekat situ berteriak.

"Oh, keluar kota ya?"

"Iya, katanya mau ketemu anaknya, gitu. Besok barangkali dia mau jualan, berangkatnya belum lama."

"Ya sudah bu, terimakasih."

"Tidak mencicipi dawetnya lagi bu?" penjual dawet itu masih berteriak. 

Mery mengundurkan mobilnya karena kasihan pada penjual dawet itu.

"Dua gelas saja ya bu."

"Baiklah."

"Kok jadi beli dawet mbak."

"Nggak apa-apa, kasihan, dia selalu menawarkan. Tapi enak kok dawetnya. Cobain ya, isinya bukan cuma dawet, ada tape ketan, nangka, pokoknya nanti rasakan saja, sebentar aku turun mengambil dawetnya.

***


Hari itu Basuki sudah selesai memperkenalkan Bagas kepada stafnya. Bagas akan bertugas mulai bulan depan.

"Nanti kamu boleh tinggal dirumah ini Gas."

"Besar amat rumahnya, masa aku sendirian disini?"

"Ada Karso yang tidur dibelakang, Dia bertugas bersih-bersih rumah dan kebun. Lalu kalau kamu makan, bisa beli atau langganan catering."

"Gampang mas, kalau so'al makan. Nggak terbayang aku tinggal dirumah ini sendirian."

"Besok kalau kamu sudah punya isteri, bisa kamu bawa kesini kan?"

Bagas tersenyum. Diam-diam wajah Kristin melintas, lalu terngiang ditelinganya setiap kali Kristin memanggilnya dengan manja.. Bagaaaas..

Tapi kemudian bayangan itu dikibaskannya. Mungkinkah ia bisa dekat dengan Kristin? Hatinya susah ditebak. 

"Heiii.. kok tiba-tiba ngelamun? Ingat pacar ya?"

"Enggak mas, semoga bapak mau aku ajak tinggal disini."

"Haa, ide bagus tuh. Pastilah om Darmono mau, coba aja kamu bilang sama bapak Gas."

Tiba-tiba ponsel Basuki berdering. Basuki heran, ibu Umi dari Panti menelponnya.


***


besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saturday, July 11, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 16

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 16

(Tien Kumalasari)

Kali ini Basuki sampai melangkah mundur beberapa tindak, kepalanya mendongak keatas menghindari mulut-mulut kemerahan yang berusaha menciumnya.

"Uuh, lepaskan, apa-apaan ini?"

"Basuki.. sayangku.."

"Apa kalian sudah gila ??" kata Basuki sambil mendorong keduanya hingga hampir terjengkang.

"Ya ampuun, kok sekarang kamu kasar begitu sama perempuan Bas?"

"Kalian ini benar-benar tak tau malu !!"

"Bas, kamu sadar apa yang kamu katakan?"

"Pergi !!!"

Mery menatap keduanya yang bersandar pada sebuah bangku. Kalau tidak pasti mereka terjengkang karena dorongan Basuki. Mery ingat yang satu adalah yang kemarin datang ke warung ketika dia mau pulang. Satunya lagi.. Mery mengenalnya, dia Susan, salah seorang kekasih Basuki. Aha, sekarang Mery teringat, perempuan yang satu itu pernah juga dibawa Basuki. Ia yang mengantarkannya, lalu Basuki turun menghampiri dia, dan Mery berlalu. Pantas wanita itu tak mengenalnya karena waktu itu dirinya ada didalam mobil. Tapi Mery sempat memandangnya sekilas.

Dulu, Mery tak perduli pada setiap perempuan yang bersama Basuki, toh Basuki selalu menganggap dirinya adalah yang nomor satu. Tapi sekarang, darah Mery benar-benar mendidih melihat kelakuan keduanya.

"Basuki..., kamu lupa sama aku?"  perempuan yang bernama Susan merengek."

"Kamu bukankah yang mengaku bernama Evy dan datang kerumah di Ungaran kemarin? Kamu belum mendengar apa yang aku katakan bahwa aku sudah mau menikah. Dia ini calon isteriku," katanya sambil merangkul pundak Mery dan didekatkannya pada tubuhnya, sedangkan sebelah tangannya menuding kearah hidung Evy.

Susan terbelalak sedangkan Evy langsung menatap Mery dengan penuh kebencian.

"Mery ini? Kamu benar-benar akan menikahi dia? " tanya Susan dengan mata melotot.

"Enyah kalian dari hadapanku ! Tak tau malu !!"

Kedua wanita itu saling pandang, seakan tak percaya akan apa yang dialaminya. Basuki tak pernah menolak wanita. Sekarang, dia mengusirnya.

"Enyah kalian!! Pergi dari hadapanku !!" Kata Basuki, tandas, dengan mata menyala penuh kemarahan.

Evy yang pernah mendatangi rumah Basuki di Ungaran menarik tangan  temannya keluar dari warung, sementara banyak orang menatapnya dengan kesal.

Basuki mempererat rangkulannya, Mery tak menjawab apapun. Ia masih memeluk Tiwi yang melihat kejadian itu dengan bingung.

Basuki yang melihat banyak orang menatap kearahnya, kemudian menghadap kearah mereka sambil merangkapkan kedua tangannya.

"Ma'af bapak-bapak, ibu-ibu.. kejadian tadi diluar perkiraan saya. Mohon ma'af sekali lagi karena telah mengganggu ketenangan bapak-bapak dan ibu-ibu disini.

Sebagian dari mereka mengangguk-angguk dan melanjutkan acara makannya, sementara beberapa lagi nyeletuk menampakkan rasa tak senangnya  karena ulah kedua wanita tadi.

"Tampaknya memang bukan wanita baik-baik.." kata seseorang.

"Iya, kelakuannya sungguh tidak sopan.. tertawa lepas seperti dirumah sendiri saja." sambung yang lainnya.

"Untunglah sudah pergi."

Basuki kemudian menatap Mery.

"Ma'af Mery, kamu kan sudah tau mereka itu seperti apa."

"Iya aku tahu."

"Ayo, kamu mengajak mampir kemari karena ada pesan untuk Mini bukan? Sini biar Tiwi sama aku," kata Basuki yang kemudian meraih Tiwi dari gendongan Mery, kemudian mengajaknya kembali ke mobil.

Mery mendekati Mini yang sedang sibuk dibelakang.

"Bu, itu wanita yang kemarin datang kemari kan?"

"Iya, satunya lagi , aku mengenalnya."

"Itu kemarin sikapnya juga sungguh menjengkelkan. Bilang masakannya kurang mantaplah.. keasinan lah.. tapi semangkok dihabiskannya tanpa sisa."

"Iya Min, biarkan saja, lain kali kalau dia datang kemari ketika aku tidak ada, jangan dihiraukan. Kalau dia membuat gaduh, laporkan saja kepada polisi."

"Iya bu."

"Ini Min, harusnya kan aku tidak kemari, tapi kunci laci terbawa oleh aku, barangkali kamu butuh menyimpan uang disana."

"Iya bu, terimakasih."

"Aku pergi dulu ya Min, sampai besok."

"Hati-hati dijalan bu."

 

***

 

"Ternyata masa lalu kamu masih mengikuti kamu ya Bas." kata Mery ketika mobilnya sudah meninggalkan warung.

"Biarkan saja, namanya juga masa lalu..Apa kamu tidak percaya sama aku ?"

"Bukan, tapi kalau hal itu terus menerus membayangi kehidupan kamu, apa tidak mengganggu ?"

"Biarkan saja mereka mengganggu, yang penting kan kita tidak tergoyahkan."

"Benarkah ?"

 "Hm... nggak percaya lagi nih."

Mery terdiam, tapi sungguh ia tahu bahwa Basuki telah berubah. Ia mencoba mempercayainya.

"Kemana nih, tuh Tiwi malah tertidur."

"Iya Bas, ayuk ke mal yang ada banyak mainan, Tiwi pasti suka."

"Baiklah.."

Mereka berdua memang hanya ingin bersenang-senang. Pergi ke tempat mainan, beli es krim, semua itu untuk menyenangkan Tiwi yang begitu ketemu langsung dekat dengan Basuki. Maklum, ketika datang Basuki membawa beberapa kotak coklat dan mainan untuk Tiwi.

"Senang ya, seandainya Tiwi itu anak kita..." celetuk Mery ketika menunggui Tiwi bermain mobil-mobilan.

"Pengin ya? Sebentar lagi kita buat sendiri," kata Basuki sambil tersenyum nakal. Mery gemas dan mencubitnya keras.

"Aauuw.. sakit, tahu." kata Basuki sambil merengut.

"Emangnya roti ?"

"Mirip bikin roti..." lalu keduanya tertawa lucu.

"Harus pas adonannya, supaya jadinya bagus kayak Tiwi.." kata Basuki lagi.

"Iih.. apaan sih."

"Jadi pengin nikah buru-buru," kata Basuki sambil merangkul pundak Mery.

"Terserah kamu saja."

"Nanti aku akan bicara sama mas Timan supaya membantu memikirkannya. Barangkali kita juga perlu pak lurah ya, dan pak Darmin... dan bapaknya.. eh.. mertuanya pak Darmin siapa ya?"

"mBah Kliwon.."

"Iya, aku ingin mendekati mereka, sebagai permintaan ma'af atas semua kesalahanku dimasa lalu."

Mery tersenyum. Senang Basuki  punya keinginan untuk minta ma'af kepada orang-orang yang pernah dilukai."

"Ibu Meliiii... nanti obilnya dibawa .. ,ulang ya.." teriak Tiwi tiba-tiba.

"Haaah? Dibawa pulang? Ya nggak boleh.. itu punya orang.."

"Aku mau bawa ulang;.. " Tiwi merengek sambil menghentak-hentakkan kakinya.

"Oh, anak ibu Mery yang cantik... sini.. sini.. ayo kita cari mobil yang seperti itu ditoko ya.. kalau itu tidak boleh dibawa pulang."

"Iwi mau.. Iwi mauuu.."

Basuki tersenyum, lalu menggendong Tiwi.

"Ayuk kita cari disana... pasti ada yang lebih bagus. Aduuh.. anak perempuan mengapa suka mobil sih?"

"Obil bagus.. obil bagus..."

"Oke, latihan direwelin anak ya Bas, jadi besok-besok kalau anak kita rewel kita sudah merasa biasa." kata Mery sambil mengikuti langkah Basuki, mencari counter mainan anak yang ada mobil-mobilannya.

"Mana obil.. mana obil.. " rengek Tiwi..

"Sebentar sayang.. disana.. jauuh.."

"Auhh..ya?"

"Ya... jauuh.. tapi sebentar lagi sampai." Tiwi berlari-lari mendahului, tapi karena khawatir jatuh, Basuki memburunya dan menggendongnya."

Basuki tampak senang, dan semestinyalah dia sesungguhnya sudah pantas memiliki anak.

"Nanti segera dibicarakan. Aku sudah tak punya orang tua dan jauh dari saudara. Aku juga akan minta om Darmono mewakili keluargaku."

"Siapa om Darmono?"

"Ayahnya Bagas."

"Oh.."

"Dia itu sahabat almarhum bapak, senang aku bisa ketemu beberapa waktu yang lalu."

Ketika sampai dicounter mainan, ternyata Tiwi minta mobil dimana dia bisa naik kedalamnya. Tidak mau mobil-mobilan kecil.

"Itu obilnya.. itu.. bawa ulang.. ya." Tiwi berjingkrak dalam gendongan Basuki.

Mery geleng-geleng kepala, tapi Basuki segera minta agar mobil itu dibungkus.

***

 

"Timan pulang agak siang atas permintaan Sri. Suaminya harus sudah ada dirumah sa'at Mery dan Basuki sampai disana.

"Tapi ini sudah sore, mengapa mereka belum pulang juga?" tanya Timan sambil menunggu tamunya diteras, sementara Sri sudah menyiapkan minuman dan makanan kecil dimeja.

"Barangkali Tiwi belum ingin pulang."

"Benarkah mereka akan segera menikah?"

"Iya mas, mbak Mery bilang begitu. Ia minta agar mas Timan membantunya mempersiapkan segala sesuatunya."

"Iya pastilah kita akan ikut memikirkannya, bukankah mbak Mery sudah seperti keluarga kita sendiri?"

"Iya mas, apalagi dia itu tak punya siapa-siapa, kasihan."

"Tak bisakah dia mencari siapa orang tuanya?"

"Entahlah. Harusnya mereka datang ke panti asuhan itu dan menanyakannya."

"Bisakah? Mungkin saja bisa, kalau dia mendapatkannya dari seseorang yang jelas. Kecuali kalau dia ditemukan disuatu tempat tanpa diketahui siapa orang tuanya."

"Wah, semoga ada keterangan tentang orang tuanya ya. Tapi kalau memang ya, mengapa mbak Mery tidak menanyakannya sejak dulu, dan malah mendiamkannya?"

"Yah, itulah.. Mengapa mbak Mery juga tetap tidak tahu siapa orang tuanya."

"Berarti tidak jelas ya mas."

"Semoga ada titik terang."

Tiba-tiba mobil Basuki memasuki halaman. Sri beranjak mau masuk kerumah, tapi Timan memegangnya.

"Mengapa Sri? Kamu tampak ketakutan?"

"Tidak, bukan begitu, aku mau .."

"Disini saja, kamu jangan memikirkan hal-hal yang telah lama berlalu, kita sudah membuka lembaran baru yang semoga bersih dari noda."

"Apaaaak... Iwi unya obiiill!! teriak Tiwi begitu turun dari mobil dan berlari kecil menuju kearah ayahnya.

Timan menyambutnya lalu mengendongnya.

"Tiwi tadi ikut siapa?"

"Ibu Meli... sama om Uki..."

"Nakal tidak?"

Tiwi menggeleng, lalu merosot turun dari gendongan ayahnya.

"Ada obiil.. ada obiil..."

Basuki turun, lalu mengambil bungkusan di bagasi.

"Itu obilnya.. itu... ukaa... bu Meli.. ukaa.."

"Apa ini ? Tiwi nakal rupanya?"

"mBak Mery, Tiwi nakal bukan? Minta apa dia?" tanya Sri.

"Bukan aku, Basuki yang membelikan."

Basuki menyalami Timan dan Sri.

"Selamat bertemu kembali mas Timan, Sri."

Sri hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia mendekati Tiwi yang berjingkrak menunggu bungkusan mobil dibuka oleh Mery.

"Senang bertemu kembali. Dan senang mendengar kabar tentang mas Basuki dan mbak Mery.

"Mohon do'a dan bantuannya mas Timan."

"Pasti mas. Nanti kita bicarakan."

Basuki menghampiri Mery dan membantu membuka bungkusan itu.

Timan dan Sri terkejut Tiwi mendapat mainan mobil-mobilan.

"Ya ampun mas, ini pasti mahal."

"Tidak, jangan difikirkan, lihat.. Tiwi sangat senang bukan?"

Tiwi kegirangan, ia langsung minta naik kedalam mobil sementara Mery mendorongnya.

"Silahkan masuk.. Sri sudah menyiapkan minum tuh," kata Timan ramah.

Walau pada awalnya merasa kikuk, Sri mulai terbiasa berbicara bersama mereka, karena Basuki juga bersikap sangat lugas, seperti tak terjadi apa-apa.

Mereka berbicara tentang rencana menikah Mery dan Basuki yang akan diselenggarakan secepatnya.

***

  "Bagas.."

"Ya bapak."

"Hari Minggu nih. Nggak ingin jalan jalan?"

"Kalau bapak ingin, mari saya antarkan."

"Kok malah bapak?"

"Kan bapak nyang ingin?"

"Bapak itu tidak usah menunggu hari Minggu kalau mau jalan-jalan. Bisa Senin.. bisa Selasa... bisa Kamis.. Lha kamu itu .. selain hari Mingu kan sibuk bekerja."

"Karena sibuk bekerja, hari Minggu mestinya dipakai untuk istirahat. Ya kan pak?"

"Iya juga, tapi kan kamu sudah tidur seharian. Lihat, malam sangat cerah, ada bulan, ada bintang bertaburan.. apa kamu nggak ingin jalan-jalan?"

"Tidak bapak, dirumah saja, menatap rembulan dan bintang- bintang, barangkali yang Bagas cari ada diantara mereka."

Pak Darmono tertawa.

"Jadi kamu sedang mencari sesuatu ?"

"Ya, barangkali ada.."

"Siapa tahu Kristin menari diantara bintang-bintang itu."

"Kok Kristin sih bapak?"

"Eh, bukan ya, apa benar kamu tidak tertarik sama dia?"

"Rupanya bapak sudah terpengaruh pada kata-kata pak Suryo."

"Lho.. kok pak Suryo?"

"Karena pak Suryo ingin menjodohkan Bagas dengan Kristin, lalu bapak ikut-ikutan menginginkannya."

"Tidak, bapak sebenarnya heran. Mengapa kamu tidak tertarik pada gadis secantik Kristin?"

"Tidak selalu yang cantik itu menarik kan pak?"

"Mungkin ya, tapi daripada kamu memikirkan yang lebih tua dari kamu, bukankah lebih baik memikirkan yang ada didepan mata?"

"Bapak memaksa Bagas ?"

"Oh, tidak, bapak tidak memaksa. Hanya meyakinkan saja, apa benar kamu tidak tertarik? Kalau tidak ya sudah, terserah kamu saja."

Bagas terdiam. Tertarikkan dia pada Kristin? Dia hanya kesal. Dulu kesal kepada rengekan dan manjanya yang setiap waktu menggelitik telinganya. Dan sekarang kesal karena sikapnya yang dingin dan seakan mengacuhkannya. 

"Ternyata dia sombong.""

"Benarkah dia sombong?"

"Setidaknya terhadap Bagas, ah.. sudahlah pak.. "

"Sepertinya ada tamu," seru pak Darmono tibaa-tiba.

Sebuah mobil memasuki halaman.

Pak Darmono dan Bagas berdiri menyambut.

"Selamat malam om," sapa tamu itu.

"Basuki ya?"

Bagas ingin kabur dari situ, tapi Basuki terlanjur melihatnya.

"Iya om, Bagas, apa kabar?"

Basuki mencium tangan pak Darmono dan menyalami Bagas dengan hangat.

"Silahkan masuk kedalam, disini lama-lama dingin," kata pak Darmono sambil membawa tamunya masuk

Bagas tak ikut duduk, ia langsung berjalan kebelakang.

"Bagas, disini saja.." tegur pak Darmono.

"Mau menyuruh simbok membuat minuman ," kata Bagas.

"Simbok kan sudah tau kalau ada tamu, dan tanpa disuruh pasti dia sudah menyiapkan minum untuk tamu kita."

Bagas terpaksa ikut duduk bersama mereka.

"Apa kabar Bas, agak lama ya kita tidak ketemu setelah kamu mengantarkan aku pulang itu?"

"Iya om, tapi sekarang saya sangat perlu bertemu om. "

"Ada yang penting rupanya?"

"Iya om, sangat penting." 

"Wouw.. apa kamu mau menikah?" pak Darmono hanya menerka.

Basuki tersipu, tapi ia segera memberanikan diri untuk mengutarakan maksudnya.

"Om, seperti om ketahui, saya kan sebatang kara, tidak punya siapa-siapa lagi. Maka dari itu, saya minta om juga memikirkan saya, membantu saya, menjadi wakil keluarga saya."

"Oh, bagus Bas, pastilah, ayah kamu itu sudah seperti saudara bagi om ini. Baiklah, kamu minta agar om melamar seorang gadis untuk kamu?"

Bagas diam, kepalanya menunduk. Ia tak ingin mendengarnya, tapi ayahnya pasti tak akan mengijinkannya pergi dari situ.

"Saya sudah melamar dia om. Dia itu juga sebatangkara seperti saya, malah orang tuanya saja dia tidak tau siapa."

"Kok aneh, lalu kamu mengenalnya dimana ?"

"Saya mengenalnya duapuluhan tahun yang lalu, disebuah panti asuhan. Ketika itu juga fihak panti asuhan tidak bisa memberikan keterangan tentang siapa orang tuanya."

"Duapuluh tahun yang lalu?"

"Ya om.. umur kami sekarang tidak muda lagi. Tapi Tuhan mempertemukan kami lagi dan rupanya kamu berjodoh,"

"Mengapa baru sekarang kamu ingin menikahi dia?"

"Ceritanya panjang om. Kami lama terpisah, dan baru ketemu lagi belum ada sebulan ini."

Pak Darmono mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Pada suatu hari nanti saya ingin bercerita banyak tentang perjalanan hidup saya om."

"Baiklah, siapa sebenarnya gadis itu, dan dimana dia sekarang?" 

"Dia mendirikan usaha warung dan berhasil. Warung Timlo Mery, barangkali om pernah mendengarnya karena warung itu cukup terkenal.

Pak Darmono terkejut. Tentu saja dia pernah mendengarnya. Bahkan Bagas mencintai gadis pemilik warung itu juga. Ia menatap kearah Bagas yang menundukkan wajahnya.

"Haa, Bagas juga sudah mengenalnya om. Kan itu warung langganan Bagas, iya kan Gas?"

Bagas mengangkat kepalanya dan mencoba tersenyum.

"Iya mas."

"Nanti Bagas akan aku minta agar menjadi pendampingku. Mau kan Gas?"

"Tentu mas.." jawab Bagas sekenanya, masih dengan tersenyum.

"Baiklah Bas, yang jelas aku bersedia membantu."

"Terimakasih banyak om."

"Nanti setelah aku menikah, aku akan bicara banyak tentang bisnis yang sedang aku jalankan. Sesungguhnya aku butuh bantuanmu." kata Basuki sambil menatap Bagas.

"Lho, simbok ini apa tertidur? Ternyata tidak tahu kalau ada tamu."

Bagas berdiri, mempergunakan kesempatan itu untuk kabur dari hadapan mereka.

"Tidak apa-apa om, biarkan saja. Besok om ada acara?"

"Tidak, om itu kan pengangguran, acaranya ya cuma bengong dirumah."

"Saya akan mengajak om jalan-jalan, nanti saya akan cerita banyak tentang hidup saya dimasa lalu."

 

***

"mBoook.... teriak Bagas begitu sampai dibelakang.

"Eh, ya ampun.. ada apa mas, mau makan malam sekarang?"

"Makan malam bagaimana sih mbok, kan tadi kami sudah makan?"

"Oh, ya ampuun.. simbok ketiduran.. jadi seperti ngelindur."

"Ada tamu tuh, buatkan minuman."

"Baik mas, minumnya apa?"

"Terserah simbok, kalau ada racun ya kasih saja dia racun." kata Bagas sekenanya.

Simbok membelalakkan matanya.

***

besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Thursday, July 9, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 14

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 14

(Tien Kumalasari)

 

"Eh.. tunggu.. tunggu...aduh..." susah payah Basuki melepaskan pelukan itu, sambil mendorong-dorong tubuh perempuan yang entah siapa dia lupa.

"Bas... sungguh aku sangat merindukan kamu.." rintih perempuan yang masih saja menggelendot ditubuh Basuki.

"Tolong... lepaskan aku.. duduklah disitu," kata Basuki sedikit keras.

Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu duduk dikursi yang ditunjuk Basuki, tapi matanya masih menatap Basuki, dengan tatapan penuh pesona.

"Bas.. kamu benar-benar lupa sama aku?"Basuki benar-benar lupa. Dulu banyak wanita yang dekat sama dirinya. Berganti-ganti seperti mengenakan baju. Wanita didepannya cantik dan memikat, bisa jadi pernah menjadi kekasihnya. Basuki benar-benar lupa.

"Bas, aku Evy. Lihat arloji tangan ini. Ini kamu yang membelikan Bas, aku sayang selamanya dan tak pernah lepas dari pergelangan tanganku."

Arloji? Basuki juga pernah membelikan arloji kepada beberapa wanita. Bukan hanya arloji, baju, sepatu, kalung juga pernah, semuanya bukan barang murah.. mana mungkin dia ingat siapa saja  yang  penah dia beri barang-barang itu. 

"Kamu benar-benar lupa Bas?"

"Baiklah, aku memang lupa, tapi itu tak penting, ada keperluan apa kamu datang kemari?" tanya Basuki dingin, Sekarang betapapun cantiknya perempuan dihadapannya, dia tak akan tergiur. Betapa dia menampakkan ke seksiannya, mengelayut mempelkan tubuhnya dengan maksud merayunya, itu bukan apa-apa bagi Baguki. Segumpal mega cintanya telah terbang dipangkuan Mery, yang mendekapnya erat dan pasti tak akan melepaskannya.

"Bas, sikapmu dingin sekali. Kamu lupa ketika mengajak aku waktu itu?"

"Katakan saja apa maksudmu Evy.?

"Bas, aku sudah menikah..."

"Ou.. itu bagus, mengapa datang kemari?"

 "Suamiku tidak mencintai aku. Dia menceraikan aku dalam keadaan aku hamil."

"Dimana anakmu?"

"Aku menggugurkannya."

"Apa ?"

Basuki terperanjat. Matanya menampakkan sinar marah. Dulu.. barangkali dia tak akan bereaksi apapun mendengar ada wanita mengugurkan kandungannya. Bahkan dia juga pernah menyuruh salah seorang wanita menggugurkan benih yang pernah diteteskannya. Tapi sekarang Evy berhadapan dengan Basuki yang berbeda. 

"Apa boleh buat, mana mungkin aku memelihara anak sedang bapaknya kabur?"

"Itu pembunuhan !!

"Bas... tapi apa salahnya?"

"Salah sekali. Salah sekali. Tapi sudahlah itu bukan urusanku. Lalu mengapa kamu datang kemari? Aku lelah sekali dan harus segera beristirahat."

"Aah, bagus sekali Bas, dulu kamu suka kalau aku memijit-mijit kakimu, aku akan melakukannya sekarang Bas," kata Evy bersemangat.

"Tidak.. tidak, kalau tak ada yang ingin kamu katakan lagi, ma'af aku akan istirahat dan mohon tinggalkan tempat ini."

Evy menatap Basuki tak percaya.

"Bas..?"

"Aku bersungguh-sungguh. Jangan mengganggu aku lagi, karena aku hampir menikah."

"Apa? Kamu menikah ? Sama siapa Bas? Aku bersedia menikah denganmu, aku mencintai kamu Bas."

Aduuh, Basuki mengeluh dalam hati. 

"Kamu tidak perlu tau dengan siapa aku menikah. Yang jelas dia wanita baik-baik dan aku mencintai dia."

Basuki berdiri..

"Bas, kamu tega Bas.. aku datang kemari untuk melayani kamu."

Basuki melangkah kepintu, masuk kedalam dan menguncinya.

Tapi itu tidak membuat mulut Evy terkunci.

"Basuki sungguh keterlaluan. Dia bukan saja melupakan aku, tapi juga berusaha menyakiti hatiku. Aku akan mencari tau siapa yang akan menjadi isterinya. Huhh !! Benarkah atau hanya karena ingin menolak aku. Tapi menolak? Pernahkah Basuki menolak perempuan yang datang padanya? Dia itu rakus sama perempuan. Semua dilalapnya habis. Basuki sungguh perkasa, sangat susah melupakan dia."

 

*** 

 

"Mas Bagas, ditunggu bapak diruang makan. Kok tidur lagi sih mas?" tanya simbok sambil memegang kaki Bagas  pelan, takut mengejutkannya.

"Hmmh..." Bagas membuka matanya.

"Habis sholat kok tidur lagi, kirain langsung keruang makan."

"Ngantuk... aku pengin tidur dan tidak usah bangun-bangun lagi.."

"Gimana to mas Bagas itu.. kalau orang masih hidup itu ya tidur lalu bangun. Kalau tidur tidak bangun-bangun namanya sudah mati."

"Biarkan aku mati mbok.."

"Eee..eee.. ngomong yang enggak-enggak saja.. Nggak boleh bicara seperti itu. Orang sakit saja diobati biar sembuh kok yang sehat minta mati. Dosa tahu!" Kata simbok sambil menepuk kaki Bagas sekeras-kerasnya.

"Auw... simbok tuh, sakit.."

"Biarin ! Simbok nggak suka mas Bagas bicara seperti itu."

"mBok...dia mau menikah sama orang lain."

"Memangnya kenapa kalau dia menikah? Biar saja, mas Bagas seperti tidak bisa mencari gadis lain yang lebih cantik dari dia. Memangnya sakit cinta itu harus dibiarkan sehingga menyiksa hati, menyiksa raga. Begitu? Jadi laki-laki jangan lemah. Ayo bangun, nanti simbok carikan gadis yang paling cantik didunia. Atau bidadari dari surga," kata simbok sambil menerik tangan Bagas, memaksanya bangun.

"Malu-maluin saja. Cuma karena perempuan kok sampai pengin mati segala," omel simbok.

Bagas duduk, pura-pura mewek...

"Huuuhuuu.... simbok nakal..."

"Tak jiwit tenan lho mas, sudah.. kelamaan, tuh ditungguin bapak." 

Simbok keluar sambil  bersungut-sungut. Bagas tersenyum. Simbok sering memarahi dia, tapi marahnya selalu lucu, wajahnya yang setengah keriput selalu menunjukkan kasih sayang yang sangat besar terhadap dirinya.

Bagas kekamar mandi, mencuci mukanya lalu pergi keruang makan. Dilihatnya ayahnya sudah menunggu.

"Hm, akhirnya keluar juga kamu," gumam ayahnya.

"Ngantuk, bapak..."

"Apa nggak lapar ?"

"Lapar..."

"Kamu nggak apa-apa kan?"

"Tidak apa-apa, bapak.."

"Sakit cintanya sudah sembuh ?" kata pak Darmono sambil menyendokkan nasi kepiringnya.

"Ah, bapak..." Bagas mencomot goreng tempe yang masih hangat.

"Anak muda, apalagi seorang laki-laki, harus tegar menghadapi apapun. Tidak loyo, lalu kamu tenggelam dalam kesedihan, lalu sakit..."

"Iya, bapak."

"Mery tidak membalas cinta kamu kan?"

"Dia mau menikah.."

"Naaa... sudahlah, kamu sudah sampai pada titik dimana kamu harus menghentikan keinginan kamu. "

"Ya bapak."

"Bagaimana dengan Kristin ?"

"Ah, tidak.. "

"Kamu tidak suka ?"

"Tidak cinta.. dia manja dan selalu menyukai barang-barang mewah., Itu bukan gadis impian Bagas."

"Itu kan karena dia anak orang kaya."

"Maka dari itu pak, lupakan saja."

"Jadi bener-bener ditolak nih?"

"Belum bisa mikir bapak, mikir tempe goreng ini saja, masih anget jadinya enak," kata Bagas seenaknya sambil mencomot lagi tempe gorengnya. 

Pak Darmono tersenyum, tapi melihat wajah Bagas yang tak lagi pucat, membuatnya tersenyum lega. Barangkali ia sudah bisa sedikit melupakan sakit hatinya.

***

Pagi itu ketika Bagas baru saja duduk didepan meja kerjanya, dilihatnya Kristin masuk. Tumit kaki kirinya masih terbalut tensocrepe. Ia berjalan setengah menyeret kaki kirinya. Bagas menatapnya dan menyapa ramah.

"Sudah baikan mbak?"

"Sudah bisa berjalan sendiri tanpa penopang."

"Syukurlah."

Lalu Kristin membuka laci kerjanya dan mengeluarkan laptop dari almarinya. 

Tiba-tiba Bagas merasa aneh. Tak ada panggilan merengek seperti biasanya. Tak ada protes tentang apapun juga tentangnya. Ia langsung menghidupkan laptop dan menatapnya tanpa menoleh sedikitpun kearahnya.

Bagas sungguh merasa penasaran. Ini tak seperti biasanya. 

"mBak.."

Kristin mengangkat kepalanya.

"Ya?"

Ya ampun, ini formal sekali. Kristin menatap kearahnya, menunggu apa yang ingin dikatakan Bagas. Tapi Bagas sendiri bingung akan mengatakan apa. 

"Ya?" Kristin mengulang pertanyaannya.

"Mm... apakah.. mbak Kristin marah sama aku?" 

"Marah? Mengapa aku harus marah?"

"Oh, ya sudahlah.. barangkali mbak Kristin menganggap aku bersalah sehingga menyebabkan mbak Kristin jatuh."

"Tidak, aku tidak marah. Itu salah aku sendiri."

Bagas hanya mengangguk. Kemudian mereka tenggelam dalam tugas mereka masing-masing. Tapi Bagas merasa aneh. Ini sikap yang berbeda. Apakah karena jatuh lalu Kristin berubah jadi pendiam? Masa karena jatuh jadi berubah? Memangnya terantuk kepalanya lalu sedikit merubah perilakunya? Ah, entahlah, nyatanya sampai sa'at istirahat tiba Kristin tak mengatakan apa-apa, kecuali menyerahkan sebuah map agar diteliti olehnya. Itupun kata-katanya sangat formal.

"Bagas, tolong diperiksa lagi," kemudian Kristin berlalu dan kembali kemejanya.

Sikap itu membuat suasana jadi aneh. Biasanya Kristin sangat cerewet, dan cenderung suka mengganggunya, lalu meneriakinya dengan manja... Bagaaaas... Ah, gila, mengapa Bagas tiba-tiba menginginkan suara itu lagi? Kemana suara centhil manja itu perginya?

Dan tiba-tiba Bagas menjadi tidak konsentrasi dengan pekerjaannya. Sebentar-sebentar ia menoleh kearah keja Kristin, tapi gadis itu tampak asyik dengan pekerjaannya. Bagas menghela nafas kesal. Dan tiba-tiba juga persoalan Mery terlupakan sama sekali. Ia lebih suka merenungi suasana ruang kantornya yang senyap tanpa celoteh manja dari si centil cantik pintar ceroboh itu. Aduhai... apa yang terjadi?

Lalu Bagas tiba-tiba menjatuhkan map yang ada dimejanya.

"Uups.." pekik Bagas sambil berdiri lalu mengambil map plastik yang meluncur kedekat meja Kristin. Sambil membungkuk diliriknya Kristin, tapi gadis itu hanya memandangnya sekilas.

"Kok bisa jatuh," katanya. Lalu ia kembali menatap kearah laptop dihadapannya. Bagas ingin berteriak, panggil namakuuuuu... Lalu dia duduk dengan perasaan konyol.

Bagas tidak tahu, sebenarnya Kristin tersenyum dalam hati. Hari itu adalah hari pertama baginya untuk menuruti anjuran ibunya. 

"Ada batasan dimana seorang wanita harus duduk pada kodratnya. Ia layak menunggu bukan mendahului menyatakan cinta. Ada sih beberapa yang melakukannya, tapi menurut mama, itu kurang pantas. Seringkali seorang laki-laki cenderung lebih suka kabur menghadapi gadis yang berani seperti itu."

 "Aku tak ingin dia tau bahwa aku mengejarnya, aku harus bersikap acuh dan tidak akan menampakkan perasaan suka aku kepadanya," kata batin Kristin. Susah payah dia menahan mulutnya agar tak merengek dihadapan pria tampan bawahannya itu.

Ketika sa'at istirahat makan siang tiba, Kristin berdiri lalu menatap Bagas. Bagas tersenyum, pasti Kristin akan mengajaknya makan, dengan rengekan yang kali itu didambakannya. Tapi tidak.

"Bagas, aku mau keluar dulu. Perutku lapar," katanya sambil melangkah keluar.

Bagas melongo, menatap punggung dan langkah kaki yang tersaruk itu, sampai hilang dibalik pintu.

Bagas ingin berteriak. Lalu dengan bodohnya dia memburu keluar, memanggilnya.

"mBak Kristin, tidak ingin aku temani?"

Kristin menoleh sejenak, lalu melempar senyum kearah Bagas.

"Tidak.. aku sendiri saja."

"Mmm.. maksudku.. bisa berjalan sendiri ?" katanya sambil berjalan mengiringinya.

"Tidak apa-apa. Aku bisa.." kata Kristin terus melangkah, sementara Bagas terpaku ditempatnya.

***

 

Mery tergopoh menyambut begitu melihat Kristin datang dengan tersaruk-saruk. Dia tau gadis cantik ini atasannya Bagas.

"Silahkan, ini mbak Kristin kan?"

"Iya mbak," jawab Kristin sambil tersenyum. Ia duduk disebuah bangku.

"Kok sendiri mbak? Bagas mana ?"

"Oh, saya tidak bersama Bagas. Nggak tau dia mau makan dimana."

"Biasanya sih disini, tapi entahlah. Mau pesan apa?" tanya Mery sambil melambai kearah pelayan.

"Saya nasi goreng, pakai udang, minumnya es kopyor ya," katanya kepada pelayan.

Pelayan mengangguk dan berlalu. Beberapa kali pelayan itu melayani Kristin, dan pesanannya selalu itu. Nasi goreng pakai udang, minumnya es kopyor.

"Mbak Kristin kok jalannya seperti kesakitan? Itu kakinya kenapa diperban?"

"Oh, jatuh beberapa hari yang lalu, terkilir, lalu bengkak."

"Oh, pantesan kok jalannya sedikit diseret."

"Ini sudah lumayan kok mbak, dua hari saya tidak masuk kerja."

"Oh. Mengapa tidak bersama Bagas supaya bisa membantu mbak Kristin berjalan?"

"Tidak mbak, pengin makan sendiri saja. Saya suka nasi gorengnya."

"Terimakasih, silahkan ya mbak, saya kebelakang dulu," kata Mery sambil berdiri.

"Iya mbak."

Sesungguhnya Kristin berharap ketemu Bagas disitu, dan menunjukkan kepada Bagas bahwa dia juga suka makan diwarung yang sederhana. Bukankah Bagas suka yang sederhana? Tapi yang ditunggu belum juga tampak batang hidungnya.

"Makan dimana dia? Tumben-tumbenan tidak kemari? Bukankah dia bilang setiap hari makan disini?"

Rupanya Kristin sedang ingin  menjadi merpati,  Dan ungkapan jinak-jinak merpati memang tepat disandangnya. Ahaa.. tapi rupanya merpati cantik ini harus kecewa, karena Bagas sama sekali tidak berminat makan  di warung Mery. Bagas sedang membawa hatinya yang terluka ketempat yang jauh dari Mery.

Kalau Kristin bertanya-tanya kemana perginya Bagas, Mery sudah tau bahwa Bagas pasti tak akan datang setelah mengetahui bahwa dirinya akan menikah dengan Basuki.

 

*** 

Kristin masuk kembali keruang kerjanya dan mendapatkan Bagas masih duduk disofa dengan menyelonjorkan kakinya serta menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Kristin ingin menahan mulutnya agar tak menyapa, tapi tak bisa.

"Bagas.." suara itu sangat lugas. Tak ada rengekan manja. Namun suara itu  membuat Bagas mengangkat kepalanya.

"Kamu tidak makan?"

"Sudah."

"Makan dimana ?"

"Di kantin.."

"Tumben.."

"Iya, lagi malas keluar."

"Oh," lalu Kristin kembali duduk didepan meja kerjanya. Mengambil ponsel dan mengotak atiknya.

Bagas benar-benar merasa risih dengan suasana diruang kerjanya. Kristin tidak marah, tapi sikapnya yang berbeda membuat Bagas kelimpungan. Ia tak tahu harus bicara apa, karena biasanya Kristinlah yang selalu mengajaknya bicara.

Bagas kembali ke mejanya, diambilnya map yang selesai diperiksanya, lalu diserahkannya kepada Kristin.

"Ini mbak, sudah selesai."

"Oh ya, taruh disitu saja," kata Kristin tanpa mengalihkan pandangannya kearah laptop.

Bagas kembali ke mejanya dengan kesal. Ia mencari akal bagaimana caranya memancing agar Kristin mau bicara seperti biasanya.

Suasana kembali sepi. Bagas membuka ponsel, mencari lagu-lagu dari  youtube.

Kristin mengangkat kepalanya ketika sebuah lagu terdengar. 

Take my hand for a while.... berkumandang diruangan itu.

"Lagunya bagus." celetuk Kristin yang rupanya suka lagu itu.

"Iya.."

"Tumben menyetel lagu-lagu ?"

"Daripada sepi..."

"Oh.."

Hanya itu, lalu dilihatnya kepala Kristin manggut-manggut mengikuti irama lagu yang diputar.

Tapi Bagas belum puas juga. Dia terus berfikir bagaimana caranya agar Kristin mengoceh seperti biasanya.

Tiba-tiba telepone didepannya berdering.

"Hallo selamat siang," sapanya.

"Bagas, ini aku."

"Bapak? Ada apa pak?"

"Aku menelpon ponsel kamu kok tidak bisa."

"Iya, kenapa ?"

"Aku boleh meminjam mobilmu siang ini? Nanti sa'at pulang bapak jemput kamu."

"Bapak mau kemana?"

"Ada perlu sebentar, tapi daripada naik taksi aku mau pinjam mobilmu saja."

"Bagas antarkan kerumah saja, nanti bapak antarkan Bagas kekantor."

"Tidak, bapak sudah ada didepan kantormu."

"Oh.. " Bagas setengah berlari keluar, sambil mengambil kunci mobilnya.

Kristin menatapnya penuh tanda tanya. 

Bagas kembali keruangannya setelah menyerahkan kunci mobil kepada ayahnya. Dan tiba-tiba Bagas menemukan akal untuk mendekati Kristin.

"mBak, bolehkah sa'at pulang nanti saya numpang mobilnya mbak Kristin?"

Kristin menatap Bagas lekat-lekat. Membuat Bagas berdebar. Apakah gadis ini akan menolaknya juga ?

***

besok lagi ya

 

 

 

 

l

ADA MAKNA 29

ADA MAKNA  29 (Tien Kumalasari)   Reihan terkejut. Sang ibu begitu nekat. Bagaimana kalau nanti ayahnya bilang tentang uang itu? “Bu, jangan...