Monday, December 23, 2019

DALAM BENING MATAMU 71

DALAM BENING MATAMU  71

(Tien Kumalasari)

 

Siang itu Adhit pulang kerumah untuk makan siang. Sejak Anggi pintar memasak, bu Broto menyarankan agar Adhit selalu pulang setiap makan siang.

Bu Broto dan Anggi yang menemaninya agak heran melihat wajah Adhit sedikit muram.

"Ada apa le? Kamu sakit?"

"Nggak eyang, itu... Ayud, anaknya masuk rumah sakit."

"Ada apa? Sakit apa?"

"Tadi pagi diare dan muntah-muntah, tapi eyang jangan khawatir, sudah baik kok. Besok sudah boleh pulang."

"Ah, syukurlah, tadi aku sudah bilang sama Anggi, akan kerumah Ayud untuk melihat Ananda. Kalau begitu nanti sore eyang mau kesana."

"Iya eyang, nanti kita sama-sama pergi kerumah sakit."

"Memangnya kenapa, anak sekecil itu bisa diare dan muntah-muntah?"

"Ayud memberinya minum susu formula."

"Bagaimana anak itu, sudah tau kalau susu terbaik itu ASI mengapa dikasih susu formula?" kata bu Broto kesal.

"Iya eyang, Adhit sudah memarahinya."

"Tapi benar, Ananda nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa eyang, tadi ketika Adhit kesana sudah bisa tertidur nyenyak. Dan tidak diare lagi. Besok katanya boleh pulang kok."

"Syukurlah, tapi kalau keadaannya baik mengapa wajahmu seperti orang lagi sedih.. begitu?"

"Masa sih eyang?Adhit cuma lelah barangkali.."

"Kalau begitu istirahatlah sebentar setelah makan, nggak usah buru-buru kembali ke kantor."

Adhit mengangguk. Benarkah wajahku muram? Adhit tak mengerti mengapa, tapi ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Setelah makan ia masuk kekamarnya diikuti Anggi. Melihat Adhit berbaring tanpa melepas sepatunya, Anggi segera melepasnya, juga kaos kakinya.

"Mau dipijit?" tanya Anggi.

\"Nggak ... aku nggak apa-apa.. biarkan aku berbaring sejenak ya," kata Adhit sambil memejamkan mata. Ada bayangan me nari-nari disana, bayangan seorang perempuan menggendong anak kecil, membuainya dengan manis.

"Mas.." 

Adhit terkejut, bayangan itu buyar, Anggi berbaring disampingnya, miring menghadap kearahnya. Kepalanya terangkat, ditumpu oleh sebelah tangannya. Adhit menatapnya sekilas. Wajah cantik itu sangat dekat dengan wajahnya. Harum rambut yang sebagian menutupi keningnya terasa menusuk hidungnya. Adhit menyibakkannya, tapi hanya itu yang dilakukannya, lalu matanya kembali terpejam.

***

Adhit ketiduran sampai hari menjelang sore. Ia tak akan kembali ke kantor. Ketika keluar dari kamar dilihatnya bu Broto sudah siap berdandan

 "Dhit, kamu jadi mengantarkan kami ke rumah sakit kan?" kata bu Broto.

"Iya eyang, tapi Adhit mandi dulu ya?"

Ketika Adhit mau masuk kembali ke kamar, dilihatnya Anggi sedang membawa nampan berisi cawan2 teh hangat.

"Mium dulu mas," kata Anggi sambil meletakkan cawan-cawan iu di meja.

"Aku mau mandi dulu," kata Adhit lalu masuk kekamarnya. Anggi mengikutinya, menyiapkan ganti pakaian untuk suaminya dan semua perlengkapan mandinya.  SEsungguhnya Anggi seoang isteri yang baik, yang berusaha melayani dan menyenangkan hati suami dengan se tulus-tulusnya.

"Terimakasih Anggi, kamu sudah mandi?"

"Sudah, eyang ingin kita segera berangkat ke rumah sakit."

"Baiklah," sahut Adhit yang langsung masuk kekamar mandi. Anggi menghela nafas panjang. Sikap suamunya sore ini sudah lain dari semalam sampai pagi harinya. Tak sehangat semalam, ketika becumbu dalam alunan kidung-kidung dari surga, sesa'at terasa indah... tapi sekarang.. dingin seperti es. Baiklah..  Anggi hanya ingin berbakti. Apapun perasaan Adhit terhadapnya, dia akan terus melayaninya.

***

Ketika Adhit, bu Broto dan Anggi memasuki ruangan dimana Ananda dirawat, Adhit benar-benar tercengang. Disana ada Dewi, dan berdiri agak kesudut, Mirna sedang menggendong Ananda, mengayunkannya  perlahan dalam dekapannya. Ia terpana, selalu begitu. Pemandangan yang terus menerus membuatnya tergoda. Tergoda untuk mendekat dan mengayunkan bayi itu ber sama-sama. Adhit serta merta mendekat.

Mirna terkejut. Aduh.. mengapa selalu begini?

"Sudah tidur?" sapa Adhit sambil menyentuh pipi Adinda.

Mirna hanya mengangguk.

"Boleh aku menggendongnya?" katanya sambil mengulurkan tangannya. Mirna mengulurkannya dengan gemetaran. Wajahnya sangat dekat dengan bos ganteng yang selalu dikaguminya. Bahkan desah nafasnyapun terdengar lembut, terasa menghembus pipinya. 

"Sama pakde ya..?" kata Adhit sambil menerima Ananda ditangannya. Tapi bayi itu membuka matanya dan merengek pelan.

"Adduh... diamlah Nanda.. ini pakde..." Adhit berusaha mengayunkannya, tapi Ananda tetap menangis. Mirna yang sudah melangkah menjauh menghentikan langkahnya. 

"Adhuh... bagaimana ini, Mirna.. tolong.." 

Mirna mendekat dan menerima lagi Ananda. Kembali wajah mereka hampir bersentuhan, dan nafas sang bos ganteng terasa seperti menghembus ke pipinya. Wajah Mirna memerah. Sedikit  gemetaran ia menerima Ananda dengan cekatan, mendekapnya kedada dan menhayunkannya. Tangis itu berhenti. Menurut Adhit itu adalah keajaiban. Setidaknya bagi hatinya sendiri. Ia berdiri terpaku dan terus memandangi Mirna.

Anggi bukan tak tau. Suaminya terpesona pada pemandangan itu. Ada perih dibatinnya, ada darah menetes pelan, terasa  nyeri di ulu hati. Adhit bukan hanya menyukai bayi itu, tapi juga perempuan yang menggendongnya. Hati seorang isteri.. barangkali begitu peka menangkap perilaku suaminya. Tapi Anggi  tak akan marah, dan akan mengibaskan rasa sakit hati.Benar.., bukan hanya sekali ia menyaksikan sikap Adhit terhadap Mirna. Ia menghela nafas, lalu mencoba tersenyum. Bukankah senyum itu bisa mengurangi rasa sakit yang mengiris? Ia mencobanya... lalu  rasa sakit itu memang berkurang. Bukan hanya karena senyum yang disunggingkannya, tapi juga oleh rasa pasrah karena ia begitu memahami keadaan dirinya. Barangkali juga Anggi sudah mempersiapkan hal-hal yang bakal terjadi pada pernikahannya. Entahlah..

Tiba-tiba Adhit merasa bahwa beberapa pasang mata sedang memandanginya. Ia kemudian menjauh dari Mirna dan duduk diantara mereka sambil beberapa kali masih menoleh kearahnya.

Sementara itu Mirna telah meletakkan Ananda kedalam box nya, lalu menghampiri Dewe.

"mBak, kalau mbak Dewi masih ingin disini, bolehkah saya pulang lebih dulu?"

"Oh, jangan Mirna, sebentar.. kita pulang bersama saja," jawab Dewi.

"So'alnya saya membawa kunci rumah, takutnya kalau bapak pulang lebih dulu, nanti gak bisa masuk," Mirna memberikan alasan.

"Ya Mirna, ayo kita pulang bersama... Ayud, aku pulang ya, syukurlah anakmu sudah sehat."

"Terimakasih mbak Dewi, terimakasih Mirna," kata Ayud sambil menyalami Dewi dan Mirna. 

Ketika keduanya menjauh, Adhit masih saja memandangi punggung mereka. Ayud yang melihatnya mencolek Lengan Adhit, lalu memelototinya. Adhit tersenyum, lalu menyandarkan tubuhnya disofa yang ada diruangan itu.

Anggi berdiri, lalu mendekat kearah cox dimana Ananda dibaringkan. Ia memandangi bayi kecil yang terlelap dalam tidurnya. Ada rasa rindu dihati Anggi, rindu akan memiliki seorang bayi, tapi mana mungkin? Ia menghela nafas, berusaha tabah dan menahan bulir air matanya yang nyaris memenuhi kelopaknya. Perlahan ia mengelus pipi ananda.

Adhit menatapnya lalu menghela nafas panjang.

"Ayud, besok kalau kamu ingin mulai bekerja, biar Ananda dititipkan sama eyang saja, bagaimana?" tiba-tiba kata bu Broto.

"Oh ya, itu bagus Yud, aku setuju. Biarpun ada perawat yang kamu percaya tapi kalau ada yang mengawasi itu lebih baik." kata Adhit

"Nanti merepotkan eyang.." tukas Ayud.

"Nggak, benar kata masmu Adhit, harus ada yang mengawasi."

"Usul yang bagus, nanti  Ayud bicarakan lagi sama mas Raka.

***

Akhirnya memang Ananda dititipkan dirumah bu Broto. Sebelum berangkat ke kantor, Ananda dan perawatnya diantar dulu kerumah bu Broto, baru sore ketika pulang dijemput kembali.

Ayud juga senang, barangkali kehadiran Ananda akan menyenangkan hati Anggi yang pasti merindukan hadirnya seorang anak.

Namun ternyata Anggi kurang begitu luwes mengasuh bayi. Ia hanya mendekati Ananda ketika ana perawat yang juga menungguinya. Pernah suatu ketika, sang perawat sedang ada dikamar mandi, sementara Ananda terbangun. dan menangis. Anggi yang mencoba mendekatinya  lalu mengangkatnya untuk membuatnya diam, tak bisa membuatnya berhenti menangis. Bu Broto yang mendekatinya menyuruhnya memberikan susu yang tadi telah dipersiapkan. Susu ASI yang selalu ditinggalkan Ayud sebelum pergi dan ditaruh di freezer. 

"Ini susunya, sudah dihangatkan tadi, tinggal diminumkan," kata bu Broto. 

Sejenak Ananda terdiam, tapi kemudian menangis lagi. Anggi kewalahan. Perawat yang kemudian datang, mengambilnya.

"O.. lha ini dia ngompol bu, risih kalau nggak segera diganti," kata perawat yang kemudian menidurkan Ananda dan menggantikan popoknya.

Setiap waktu makan Adhit pasti pulang, setelah makan dihabiskan waktu luangnya untukbermain bersama Ananda. Ia juga tau isterinya tak begitu suka bermain bersama Ananda. Namun setiap akhir pekan Ayud mengajak anaknya tinggal dirumah saja, atau mengajaknya ber jalan-jalan bersama suaminya. Sering hal itu membuat Adhit kecewa. Namun bagaimana lagi, Ananda bukanlah anaknya sendiri.

Berbulan telah berlalu, 

Tampaknya biasa saja, namun ada gejolak dihati Adhit yang sesungguhnya menginkari janjinya sendiri. Pada dirinya, dan juga pada Anggi sebelum meminangnya. Ternyata ia menginginkan memiliki bayi sendiri.

***

Sore hari itu Adhit tak melihat Anggi dirumahnya.

"Isterimu pulang kerumah ibunya, katanya kangen."

"Oh ya?"

"Nanti jemputlah dia, eyang sudah bilang kalau begitu kamu pulang kantor pasti akan menjemputnya."

"Ya eyang, nanti Adhit jemput. Ananda mana?"

"Ayud baru saja menjemputnya."

"Oh," kata Adhit dengan nada kecewa.

"Adhit, eyang tau kamu sangat ingin memiliki anak. Bagaimana kalau kamu meng adopsi seorang anak.. misalnya.. di panti asuhan?"

"Panti asuhan?"

"Kmu bisa merawaatnya seperti anakmu sendiri, sekaligus mengangkat si anak dari rasa kehilangan orang tuanya. Itu perbuatan mulia bukan?"

"Adhit sudah sering membanti panti-panti asuhan, eyang.' 

"Iya, eyang tau, tapi maksud eyang kalau saja ada yang kamu suka, kemudian mengadopsinya, begitu. Eyang tau Anggi tak akan bisa memberikan anak untuk kamu, tapi kamu kan sudah berjanji akan menerima dengan segala kekurangannya?"

"Betul eyang."

"Cobalah kamu pikirkan usul eyang ini. Nani Adhit akan bicara juga sama Anggi."

"Bagus kalau begitu."

"Sekarang Adhit mau kerumah Anggi dulu ya,"

"Baiklah."

***

Namun di jalan sebelum sampai kerumah Anggi, dilihatnya seseorang sedang berjalan. Seseorang yang sangat dikenalnya. Adhit menghentikan mobilnya, tepat disamping seseorang itu, dan membuatnya terkejut.

""Mirna," seru Adhit yang kemudian turun dari mobilnya.

"Oh, " seri Mirna terkejut. Ia ingin melanjutkan langkahnya tapi Adhit menahan lengannya.

"Mau pulang?"

"Yy..ya.. pak," jawabnya gugup.

"Ayo, aku antar kamu."

"Jangan pak, terimakasih, saya.. biasa berjalan kaki.."

"Hari hampir hujan, nanti kamu kehujanan."

"Saya membawa payung, terimakasih."

"Mirna, ayolah, jangan menolak."

"Tt..tapi..."

Mirna ingin meronta tapi merasa tak enak. Adhit sudah membukakan pintu mobil dan menuntunnya agar naik keatasnya. Aduhai, bagaimana kalau aku pingsan disampingnya? Bisik batin Mirna gemetaran.

Adhit sudah menjalankan mobilnya, dan berbalik arah, menuju ke rumah kontrakan Mirna. Tak sepatah katapun mampu diucapkan Mirna. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Ia me remas-remas tangannya sendiri untuk menutupi kegelisahannya.

"Mirna..." Panggil Adhit pelan.

Mirna menoleh sejenak kearah Adhit.

"Mengapa kamu seperti ketakutan begitu?"

"Buk..bukan takut.. tt..tapi.. mengapa.. bapak mengantar saya?"

"Aku nggak tega melihat kamu pulang dengan berjalan kaki."

"Rumah saya dekat. Kalau naik mobil.. malah jadi jauh.. karena didepan itu jalan satu arah. Kalau jalan kaki kan nggak apa-apa."akhirnya  jawab Mirna pelan setelah berhasil menata hatinya.

"Benar, aku tau kok.'

 "Saya merepotkan.."

"Nggak, kan ini kemauan saya? Nggak apa-apa jalannya sedikit memutar, kan kita bisa lebih lama berbincang," jawab Adhit seenaknya.

Tapi itu membuat hati Mirna bergincang. Apa maksud kata-katanya? Lalu kenapa kalau berbincang lebuh lama?

"Kita lama nggak ketemu ya, kamu nggak kangen Ananda?"

"Dia kan sudah ada dirumah bapak.."

"Benar, tapi kalau sore sudah dibawa sama ibunya. Senang ya kalau punya anak sendiri," kata Adhit yang kemudian membuatnya terkejut menyadari ucapannya sendiri.

Mirna menatap Adhit. Dilihatnya bisa ganteng itu tersenyum perih. Aduh.. tampaknya dia sedih, ingin Mirna mengelus punggungnya, menghiburnya. Lhah.. ini kan ngelantur? Sampai kemudian tiba didepan rumah kontrakan Mirna, masing-masing dari keduanya sibuk mencerna arti dari pertemuan itu.

***

Ketika Anggi kembali kerumah bu Broto sendirian, bu Broto heran, karena tadi Adhit menjemputnya.

"Sudah lama tadi berangkatnya, kok bisa kamu nggak ketemu?"

"Barangkali mas Adhit mampir-mampir eyang."

"Bagaimana anak itu, harusnya kan menjemput isterinya dulu baru mampir kemana dia suka, gerutu bu Broto.

Tiba-tiba ponsel Anggi berdering. ternyata dari ibunya.

"Anggi, kamu dimana ?"

"Anggi sudah sampai dirumah ibu, ada apa?"

"Ini, nak Adhit baru saja datang menjemput kamu."

"Oh, ya sudah bu, suruh kembali saja, Anggi sudah sampai rumah kok."

Begitu ponsel ditutup, bu Broto kembali mengomel.

"Gimana anak itu, nanti eyang marahi d9ia, menjemput isterinya dari tadi kok ini baru sampai sana, dan isterinya malah sudah sampai rumah."

"Ya sudah bu, biarkan saja, barangkali mas Adhit punya keperluan  lain," jawab Anggi sambil berlalu kebelakang.

***

"Mas tadi mampir kemana, kok bisa selisih lama dari Anggi pulangnya?"

"Oh, tadi iru,... tadi itu... aku ketemu teman, lalu.. ngobrol sebentar."

Ah, Adhit kan tidak berbohong. Memang tadi ketemu teman kan?

Tapi Anggi tidak mengatakan sesuatu. Ia berbaring disamping Adhit, menatap langit-langit dengan perasaan yang tak menentu. 

Tiba-tiba Anggi terkejut, Adhit mengusap pipinya lembut,  membuat Anggi memiringkan tubuhnya, menghadap kearah Addhit. Ditatapnya mata Adhit, yang memandanginya penuh gairah. Adhit menarik tubuh Anggi, sampai bersentuhan dengan tubuhnya. Lalu memeluknya erat, sangat erat dan membuat Anggi sulit bernafas. 

Malam yang hangat dan membuat Anggi terhanyut dalam ayunan cinta itu tiba-tiba pecah ketika dari mulut Adhit terdengar bisikan lembut, tapi berhasil memecahkan aroma manis yang semula menghiasi kamar itu. Membuat batinnya hancur berkeping.

"Mirna...." bisik lembut itu pasti menyakitkan bagi yang mendengarnya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


13 comments:

  1. Wow...mbakkk tambah bikin baper......

    ReplyDelete
  2. Kok semakin melebar... dan panjang????

    ReplyDelete
  3. Ada 3 hati yang menderita,diluar kuasa. Semoga ke 3 hati itu bisa melebur saling memahami Dan saling mengikhlaskan Dan menemukan kebahagiaan yg sesungguhnya.

    ReplyDelete
  4. Jangan sakiti anggi dong bu tien ....kasian.... Adopsi anak aja deh

    ReplyDelete
  5. Mirna itu sudah ada mulai episode 01. Wanita baik dan tanpa cela. Nyaris sempurna. Anggi baru muncul di episode 60 an.. Tidak ada cinta segitiga yang kekal. Satu tokoh wanita harus "dihilangkan". Bu Tien piawai dalam "menghilangkan" tokohnya.
    Dan Aji belum ada khabarnya...

    ReplyDelete
  6. Whuaaduuuuuu.... Adiiit.... ya perilaku ini yg nantinya membuat Anggi nelongso, sakit hati, patah hati atau apalah namanya yg membuat sel kankernya tumbuh lagi dan mengganas

    ReplyDelete
  7. Mirna seorang wanita yg baik hati,, semoga endingnya mendapatkan kebahagiaan yg abadi,,,

    ReplyDelete
  8. Yg penting haapy ending ya mb tien..

    ReplyDelete
  9. aduh kasian Anggi..sdh hidupnya nelangsa tdk akan punya anak..tambah tersakitii hatinya..suaminya mencintai wanita lain....aduh..berilah ketabahan pd Anggi..

    ReplyDelete
  10. Anggi dan Mirna sesama wanita, pasti keduaxa bs saling menjaga perasaan xa, kalaupun harus ada yg mengalah salah satuxa, pasti xa utk bahagia, smg

    ReplyDelete
  11. Mirna dan amgi dan adit hidup bersama bahagia..salung menyayangi...

    ReplyDelete
  12. Di tunggu ya kelanjutan karna semakin hari semakin penasaran

    ReplyDelete
  13. Bagus juga alur ceritanya. Dialog juga disusun dgn cakap

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...