Thursday, December 19, 2019

DALAM BENING MATAMU 69

DALAM BENING MATAMU  69

(Tien Kumalasari)

Mirna mengeluh dalam hati. Selalu begini setiap kali ada Adhit. Seharusnya tak usah bertemu, sehingga perasaan ini tak mengganggu. Ya Tuhan, aku mencintainya, keluhnya dalam hati. Sementara Adhit sudah berjalan semakin dekat. Beruntung Bima kemudian menariknya karena dia melihat sesuatu seperti yang diinginkannya. Dengan senang hati sambil menenangkan hatinya Mirna mengikuti langkah Bima.

Adhit melihat itu seperti melihat pemandangan yang menyenangkan. Seorang ibu, dan seoang anaknya yang merengek minta dbelikan mainan. Aduhai, seandainya aku bisa, bisik batin Adhit sambil terus menatap keduanya.

"Adhit, apa yang kamu lakukan disini?" seru Dewi begitu Adhit tiba didepannya.

Adhit terkejut, buyar lamunannya.

"Aku lagi cari mainan untuk Ananda. Anaknya Ayud."

"Ya ampun, baru satu bulan belum ada, dia mau kamu beri mainan apa?"

"Nggak tau aku, baru mau nyari nih."

"Adhit... kamu ingin punya anak kan?" tiba-tiba Dewi berkata seenaknya. Adhit terkejut, benarkah apa yang dikatakan DEwi?

"Ah, entahlah... ini kamu lagi ngapain? Beli mainan buat Bima?"

"Iya, ceritanya Bima kan ulang tahun, Mirna ingin membelikan sesuatu buat Bima, nggak tau tuh, dari tadi me milih-milih terus."

"Kalau begitu aku juga ingin membeli mainan untuk Bima," kata Adhit yang kemudian bergegas mendekati Mirna dan Bima yang lagi me lihat-lihat.

"Hai BIma, selamat ulang tahun ya,"kata Adhit tiba-tiba, dan lagi lagi mengejutkan Mirna. Bos ganteng sudah ada didekatnya. Dibiarkannya Bima menerima salam dan ciuman dari Adhit, sementara dia sedang menyuruh pelayan toko mengambilkan mobil-mobilan yang tadi dipilih Bima.

"Bima mau mobil itu?"

"Iya, tapi kata ibu nggak boleh yang mahal=mahal."

"Bima mau yang mana? Itu, yang dipegang tante Mirna?"

Bima mengangguk. Harga mobil itu duaratus limapuluh ribu rupiah, Mirna ingin membelinya, tapi ketika pelayan mengulurkan nota yang dibuatnya, Adhit memintanya.

"Biar aku yang membayarnya," katanya sambil tersenyum kepada Mirna. Aduh, kenapa tersenyum begitu?

"Oh.. jj.. jangan... saya.. ingin...ingin membelikan untuk BIma."

"Benar, tapi ijinkan aku yang membayarnya, Bima pengin yang mana lagi?"

Bima, namanya anak kecil, ditawarin mainan, siapa yang nggak mau? dhit membawanya ke kelompok yang lain. 

"Woouww... kapal terbang, Bima suka?"

Bima mengangguk, tapi kemudian menoleh kepada ibunya, yang mengacungkan jari telunjuk sambil di goyang-goyangkan, tanda melarang.

Adhit menoleh ke arah Dewi.

"Dewi, apa-apaan kamu ini, biarkan saja, ini kan ulang tahunnya, biarlah dia bergembira sedikit saja," kata Adhit sambil menarik Bima untuk melihat pesawat mana yang dia suka.

Bima menoleh lagi pada ibunya, tapi Adhit kembali menariknya.

"Sudahlah, ibumu sudah mengijinkan, jangan takut, yang mana? Ini.. yang biru? Ouw.. ini helikopter..  atau... "

"Yang itu," Bima menunjuk kesebuah pesawat lain. 

"Itu?"

Bima mengangguk. Pelayan segera mengambil dan membuatkan nota.

Sementara Mirna kemudian mendekati Dewi yang menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Adhit.

"Biarkan saja, mana bisa menahan kemauan dia," kata Dewi yang kemudian melihat wajah Mirna yang pucat.

"Mirna, kamu kenapa? Sakit?"

"Oh, nggak mbak, memangnya saya kelihatan seperti sakit?"

Dewi memegang tangan Mirna, yang berkeringat.

"Tuh, keringat dingin tuh."

"Nggak mbak, bener saya nggak apa-apa."

Dewi melihat sesuatu dimata Mirna. Sudah lama dia men duga-duga. Mirna suka sama Adhit, dan sekaang kelihatan lagi perbedaan sikapnya, dari semula dia datang, sampai setelah Adhit datang. Ya Tuhan, kasihan Mirna.

Dilihatnya Adhit membawa Bima ke tempat kasir, lalu tak lama kemudian dua buah bungkusan besar sudah dibawanya bersama Bima.

"Ibu, om Adhit yang kasih.." kata Bima begitu sampai didepan ibunya.

"Ya sudah, nggak apa-apa, kalau masih mau lagi minta aja lagi sama om Adhit. Tapi Bima menggeleng. Adhit tertawa.

"Nggak apa=apa kok, kalau perlu ibunya boleh minta yang dia suka, boneka barby?"

Dewi tertawa sambil menggaplok lengan Adhit.

"Lhah kamu tadi mau beli apa, kok jadi mikirin Bima?"

"Nggak jadi, katanya masih belum sebulan belum bisa main apapun."

"Ya nggak apa-apa, namanya hadiah, boleh saja dibeli sekarang untuk bermain besok=besok."

"Kalau begitu antar aku nyariin dong, ayo Mirna," kata Adhit kepada Mirna.

Kok aku sih, Mirna tak mampu lagi menahan debar jantungnya.

"Ssa..saya.. mana tau.." jawabnya gugup.

"Ya sudah, ayo kita cari bersama=sama," kata Dewi yang emudian menarik Adhit menuju ke mainan bayi.

***

Ketika mereka keluar dari toko mainan itu, Dewi Mirna dan Bima menuju ke arah mobil Dewi, tapi Adhit mengikutinya.

"Kamu mau kemana ?" tanya Dewi.

"Mobilku disana," jawab Adhit, tapi tiba-tiba Adhit terkejut ketika seseorang memanggilnya.

"Mas Adhit !!

Dan lebih terkejut lagi ketika melihat siapa yang berjalan mendekatinya. Dinda dan Anggi.

"Dinda, Anggi?"

Dewi dan Mirna urung masuk ke mobilnya. Ia menyalami Anggi dan Dinda.

"Kok bisa main sendiri-sendiri sih." seru Dewi

"Dinda nyamperin saya, ngajakin jalan..."

"Ya sudah, kami duluan ya," kata Dewi yang kemudian menggandeng Mirna dan Bimo untuk diajak naik ke mobilnya.

"Dinda, kamu nggak kuliah?" tanya Adhit setelah mobil Dewi berlalu.

"Nggak, lagi kangen sama Anggi, trus aku ajak jalan-jalan, nggak boleh?" 

"Boleh saja, siapa bilang nggak boleh."

"Mas Adhit sih, jalan-jalan nggak ngajakin isteri malah ngajakin orang lain," tegus Dinda sambil cemberut sementara Anggi hanya diam saja.

"Bukan ngajakin, kami kebetulan saja ketemu disini."

"Itu mas bawa apa?"

"Lha ya ini, lagi beliin mainan buat Ananda, ee.. ketemu Dewi sama Mirna yang lagi beliin mainan Bima."

"Bima itu anaknya mbak Dewi?"

"Iya.. hari ini ulang tahun. Mas juga kaget melihat mereka."

"Ya udah, sekarang traktir kami makan dong, eeh.. sama isterinya kok diam aja,"

"Aneh kamu, terus harus bagaimana?"

"Dicium kek..." kata Dinda seenaknya.

"Dinda, kamu ada-ada saja."

"Ayo mas, kita makan, laper nih," Dinda merengek seperti biasanya kalau ketemu Adhit.

"Baiklah, mau makan dimana?"

"Mana bungkusannya biar Anggi yang bawa mas," kata Anggi meminta bungkusan besar yang ditenteng suaminya. Adhit mengulurkannya sambil tersenyum.

"Berat lho," katanya.

"Nggak papa, nggak berat kok."

"Ayo, kita makan dimana?"

"Terserah kamu , tapi  cari disekitar sini saja, karena mas harus segera kembali ke kantor."

***

 Setelah mengantarkan Anggi pulang, Adhit kemudian mengantar Dinda ke tempat kostnya. Dengan enteng Dinda menegur Adhit yang tampak tak ramah terhadap isterinya.

"Mas, mengapa mas mengambil dia sebagai isteri kalau mas nggak suka sama dia?"

"Kok kamu bilang begitu?"

"Kelhatan, apalagi pengantin baru, nggak ada mesra-mesranya."

"Kamu itu anak kecil tau apa."

"Eh, jangan lagi bilang Dinda anak kecil ya, Dinda udah mahasiswa nih, udah dewasa, udah boleh nyari pacar."

Adhit tertawa. Selalu semuanya menjadi ramai kalau ada Dinda.

"Mas, Dinda minta ya, jangan sampai mas membuat Anggi sedih."

"Memangnya Anggi cerita apa sama kamu?"

"Nggak cerita apa-apa. Dia cuma bilang sangat mencintai mas. Tapi dia tau bahwa mas hanya kasihan sama dia."

"Nggak semuanya benar," jawab Adhit sambil menghela nafas. Sesungguhnya Adhit juga heran pada dirinya sendiri. Mengapa sama sekali tak ada gairah ketika mendekati Anggi. Tapi bukan berarti dia nggak suka. Sungguh. 

"Maksudnya apa?"

"Mas suka kok, tapi beri mas waktu, kan kami juga belum lama kenalnya?"

"Kalau begitu mengapa mas buru-buru melamarnya? Dinda sudah peringatkan, cari yang lain saja supaya mas nggak kecewa. Mas nekat," kata Dinda sambil cemberut.

"Aduuh, hari ini aku sial ya, masa seorang kakak dimarah-marahin sama adiknya."

"Pokoknya Dinda nggak suka kalau mas me nyia-nyiakan Anggi."

***

Malam itu ketika berbaring disamping Anggi, Adhit termenung. Kata-kata Dinda sangat menusuk perasaannya. Bukan dia sakit hati, tapi dia mulai menyadari kesalahannya. Dipandangnya isterinya, yang terbaring telentang sambil memejamkan matanya. Selalu begitu, Anggi tak pernah menuntut. Anggi menyadari kekurangannya, dan sadar seandainya Adhit tak akan memberinya cinta. Mata bening yang terpejam itu, membiaskan bulu-bulu mata lentik yang menawan. Bibir tipisnya terkatup. Ada helai-helai rambut yang menutupi wajahnya. Adhit memiringkan tubuhnya, sejenak menikmati keindahan yang setiap malam terbentang disampingnya dan tak pernah disentuhnya. 

"Alangkah berdosanya aku," bisiknya lembut. Lalu sebelah tangannya terulur, menyibakkan helai-helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Anggi tak terusik. Ia mungkin terlelap, atau pura-pura terelap. Wajah cantik itu tergolek diam, seperti bayi tanpa dosa. Adhit tergoda untuk menyentuh pipinya yang sidikit kemerahan. Disentuhnya pelan. Sebulan lamanya tubuh molek itu terbaring disampingnya, dan dia membiarkannya. Seperti seorang teman yang tidur seranjang, tanpa melakukan apa-apa. Tapi malam itu,entah  karena omelan Dinda, atau entah malaikat mana yang mengingatkannya, baru Adhit menyadarinya.

Disentuhnya pipinya lagi, Anggi tetap tak bergeming. Terlalu nyenyakkan tidurnya atau memang dia sedang menunggu?

Adhit menggeser tubuhnya lebih mendekat. Tubuh molek itu meggeliat, lalu berbalik memunggunginya. Adhit menghela nafas. Dia baru menyentuh pipinya, dan darahnya mulai berdesir aneh. Dibalikkannya tubuh yang menghadap kearah sana, lalu tubuh itu kembali tertelentang. Tapi mata itu masih terpejam. Desirah nafasnya halus terdengar, rupanya Anggi benar terlelap. Ia tak lagi pernah menunggu setelah sebulan penantiannya tanpa arti.

Tapi malam itu Adhit merasa lain. tubuh molek yang tergolek itu adalah miliknya, mengapa di sia-siakannya? Adhit mengangkat kepalanya, lalu mengecup bibir tipis yang terkatup dengan lembut. Tiba-tiba Anggi membuka matanya. Seperti mimpi ia merasakan ada seseorang yang mencumbuinya. Suami yang dicintainya. Ia merasa tubuhnya melayang, tinggi sekali.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


17 comments:

  1. Mudah mudahan adith menysyangi anggie sepenuh jiwa......

    ReplyDelete
  2. mb tien mhn maaf bskah episode no. 53 dalam bening matamu di share ulang? dy tertertinggal 1 episode no. 53 tsb. mksh sblmnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di scrol kebawah lagi kan bisa? Atau ditulis diatas seri berapa yang mau dibuka

      Delete
    2. Di scrol kebawah lagi kan bisa? Atau ditulis diatas seri berapa yang mau dibuka

      Delete
  3. He he.. Bu tien sll bikin penasaran..

    ReplyDelete
  4. Semoga ada keajaiban..anggi ternyata hamilšŸ’

    ReplyDelete
  5. Semoga cepet2 ada kelanjutannya

    ReplyDelete
  6. carilah jodoh utk mirna..tp jgn adit ya ibuk...

    kasian anggi

    ReplyDelete
  7. Sdh mau selesai kayaknya.Bikin Mirna happy Juga dong Bu

    ReplyDelete
  8. Anggi ikhlas Adhit menikah dg Mirna, tapi itu menyakitkan

    ReplyDelete
  9. Kok belum muncul ya DBM_70?
    Kemarin DBM_69 gasik keluarnya. Setuju semua heppy endingnya

    ReplyDelete
  10. Anggi meninggal krn metastase kankernya trus Adhit menikah dg Mirna dan berhaeil mempunyai keturunan

    ReplyDelete
  11. Ya begitu seharusnya ceritanya, klo adith mau dijodohkan dg mirna. Jadi tidak ada yg tersakiti

    ReplyDelete
  12. Adit anggi mirna bahaia bersama.... Mereka pinya hati baik... Anggi menyadari kalaiutdk bs punya keturunan dan berbesar hati menwrima.mirna yg bs memberikannketurunan ke adit tapi mirna juga menyadari kalau selain mirna ada anggi yg juga mencintai adit dan mereka hidup bahaia bersama...dengab anak anak mereka....

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...