Monday, December 16, 2019

DALAM BENING MATAMU 67

DALAM BENING MATAMU  67

(Tien Kumalasari)

Mirna terpekik kaget, tangan yang memegang bayu gemetaran. Adhit terus memegangi tangan Mirna, tak sadar bahwa apa yang dilakukannya hampir membuat Mirna pingsan. Bukan hanya karena bayi itu nyaris terjatuh, tapi karena tangan bos ganteng yang terus memegangi tangannya, dan tatapan mata yang begitu dekat dengan wajahnya. Ya Tuhan, belum pernah seperti ini, dan sesa'at keduanya terpaku dalam kejutan yang entah berbeda nafasnya, atau sama. Hanya Tuhan yang tau.

Ayud yang melihatnya nyaris berteriak. Untunglah dua pasang tangan merangkul bayinya dengan erat.

"Mas, apa yang mas lakukan?"katanya setengah berteriak.

Barulah Adhit tersadar, dilepaskannya tangannya,   lalu sambil tersenyum ia meminta ma'af.

"Ma'af Mirna, aku mengejutkanmu."

"Serangkaian kata yang tak mampu dijawabnya. Kemudian ia menjauh, dan memangku sang bayi sambil duduk di sofa. Debar itu masih sangat kencang. Didekapnya orok yang terlelap itu kedadanya.

Ia baru bisa menenangkan perasaannya ketika mendengar Ayud berbincang dengan kakaknya dan Anggi.

Diam-diam Mirna menyesal datang pagi-pagi krumah sakit, hanya ingin menggendong bayinya Ayud. Sang bayi baru habis menyusu, lalu digendongnya dengan sepenuh perasaan. Ia teringat bayinya yang tak sempat didekap dan dicintainya. Namun ia tak menyangka sepasang pengantin yang baru semalam menikah juga datang sepagi itu.

"Mengapa -pengantin baru bisa bangun pagi-pagi?"

"Mas Adhit hampir nggak tidur semalaman, masih banyak tamu mengajaknya berbincang."

"Oh, kasihan, malam petama jadi tertunda dong," canda Ayud. yang membuat Anggi tersipu. Mirna pura-pura tak mendengarnya.

"Kamu ngomong sembarangan. Mana, aku mau menggendong keponakanku dulu," kata Adhit yang kemudian berjalan kearah sofa, dimana Mirna memangku keponakannya. Entah dari mana datangnya, Addhit merasa sangat kagum melihat perempuan cantik memangku bayi yang terlelap. Itu pemandangan yang sangat indah..

Mirna berdebar. Mengapa dia mendekati aku lagi? Aduh.. bukan aku .. tapi bayi ini. Atau sebaiknya aku berpamit saja? Kan aku juga harus bekerja? Pikir Mirna sambil menenangkan goncangan batinnya, karena tiba-tiba Adhit duduk disampingnya, sangat dekat dengannya. Ya Tuhan, godaan macam apa lagi ini?

"Oh, sayang... nyaman ya digendong tante Mirna?" Sini, pakde juga pengin menggendong kamu lho," kata Adhit sambil mengulurkan tangannya ke arah sang bayi. Dan itu membuat tubuh mereka bersentuhan lagi. Mirna kembali gemetaran, tapi dengan perlahan dilepaskannya bayi mungkil itu ke pangkuan pakdenya.

"Hm... miip siapa kamu le..," kata Adhit sambil memandangi keponakan mungilnya.

Adit tertawa ketika bayu itu membuka matanya, lalu mulutnya ber gerak-gerak. 

"Ups.. lihat Mirna, dia memandangiku. Baru pertama kali kamu melihat pakdemu ini. Ganteng bukan? Wouw.. keponakanku juga ganteng.. tuh.. bibirmu tipis mirip ibumu, mudah-mudahan kamu nggak cerewet kayak ibumu," kata Adhit.

Anggi menoleh kearah suaminya yang sedang ter tawa-tawa sambil memangku bayi Ayud. Tiba-tiba Ayud merasa, Adhit dan Mirna yang sedang berdampingan dengan bayi dipangkuannya, seperti sepasang suami isteri dengan anaknya. Diam-diam ia melirik ke arah Anggi, yang memandangi suaminya dengan pandangan yang aneh. Apakah Anggi cemburu? Ataukah merasa sedih karena tak akan pernah bisa memberikan bayi pada suaminya? Diam-diam Ayud khawatir, melihat bagaimana sikap kakaknya terhadap bayinya, bagaimana kalau nanti Ahit menyesali pilihannya?

Tiba-tiba dilihatnya Mirna berdiri.

"Hei, mau kemana ?" seru Adhit. Mirna berhenti melangkah.

"Saya sudah lama disini hanya karena kepengin menggendong bayinya bu Ayud, saya mohon diri."

"Nanti saja, bersama aku, bukankah kamu juga mau ke tokonya Dewi?"

"Iya sih, tapi nanti saya terlambat terlalu lama, jadi..."

"Nggak apa-apa, nanti aku bilang sama Dewi. Duduklah lagi disini," Adhit menatap Mirna, seperti memohon agar Mirna tak segera pergi.

"Nanti keponakanku yang ganteng ini akan mencari, kemana tante Mirna pakde... begitu..," canda Adhit.

"Iya Mirna, nanti bareng mas Adhit saja," pinta Ayud.

Mirna terpaksa duduk kembali, dengan perasaan tak menentu.

Tiba-tiba perawat datang, dan meminta bayi Ayud, karena sudah selesai menetek pada ibunya.

Adhit mengulurkannya dengan kecewa.

"Mengapa tidak boleh tidur disini saja?"

"Tidak pak, ada ruangan tersendiri untuk bayi. Ia hanya boleh kemari ketika sedang menyusu ibunya., ma'af ya" kata  perawat sambil membawa pergi bayinya.

"Kapan kamu boleh pulang?"

"Kalau nggak ada apa-apa, paling tiga hari sudah boleh pulang."

"Nanti kalau sudah pulang aku pasti kerumah kamu setiap hari."

"Waaah, megapa mas Adhit nggak bikin aja sendiri supaya anakku nggak usah digangguin sama pakdenya?" canda Ayud, yang kemudian sadar bahwa candaannya menyinggung perasaan Anggi.

"Ma'af Anggi, aku hanya bercanda," kata Ayud penuh sesal.

Anggi tersenyum. Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang isteri, yang menurutnya suasananya kurang mengenakkan.

"Mas, ayo kita pulang, bukankah mas belum sarapan?" kata Anggi tiba-tiba.

"Baiklah, kita pulang dan mampir sarapan, kita ajaak Mirna sarapan bersama-sama."

"Tt..tapi.... saya..." Mirna gugup sekali, mana mungkin ia harus makan pagi bersama bos ganteng dan isterinya? Yapi bagaimana menolaknya.

"Sudahlah, nanti aku telepone Dewi, dia tak akan marah sama kamu."

Aduh, bagaimana ini? Mau tak mau Mirna harus mengikuti sepasang pengantin baru itu. Ya Tuhan, ini bisa men cabik-cabik perasaannya. Dan ber kali-kali Mirna menyesali kepergiannya ke rumah sakit pagi ini.

***

Dirumah makan itu Mirna hanya memesan nasi gudeg, yang entah kebetulan atau tidak, Adhit memesan menu yang sama.

"Minumnya apa?"

"Teh saja, teh manis," jawab Mirna singkat.

"Anggi mau makan apa?"

"Aku soto ayam saja, sama es jeruk" kata Anggi.

Mereka makan, dan tak banyak ber kata-kata. Adhit teringat Dinda, yang pasti sudah mendominasi semua pembicaraan sa'at makan dimanapun berada.

"Mengapa tadi kita nggak mengajak Dinda ya?" celetuk Adhit tiba-tiba.

"Kayaknya ada kuliah pagi ini," jawab Anggi.

"Oh.. kuliah pagi ya?"

"Mas, rasanya aku nggak ingin melanjutkan kuliah."

"Kamu? Benar ingin berhenti kuliah?"

"Ya, aku ingin total melayani mas," katanya sambil memandang suaminya.

Mirna tersedak.

"Eh, hati-hati, memang nggak bagus ditengah makan lalu kita minum," sapa Adhit .

"Ma'af."

"Terserah kamu saja kalau memang ingin berhenti kuliah. "

"Kapan kita pindah kerumah mas?"

"Bukankah kata eyang harus menunggu setelah sepekan?"

"Apa mas nggak mau tinggal saja dirumah mama?"

"Nggak bisa Anggi, eyang sendirian, kalau mama kan banyak pembantunya."

"Iya benar."

***

Mirna meminta ma'af karena sampai di toko sudah agak siang. Nggak enak rasanya melihat Dewi melayani sendiri pembeli ditokonya.

"Ma'af mbak, tadi..."

"Nggak apa-apa Mir, Adhit sudah menelpon. Jadi kamu tadi pagi-pagi sudah kerumah sakit?"

"Maksud saya sebentar, pengin nggendong bayinya bu Ayud, teringat anak saya mbak."

"Ya sudah, jangan di ingat-ingat lagi. Nanti, kalau kamu menikah lagi, pasti akan mendapatkan gantinya."

Mirna tersenyum. Siapa yang bisa meruntuhkan hatinya sa'at ini? Mirna merasa gila karena mencintai seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Tapi mengapa sikap Adhit begitu manis? Itu membuatnya selalu tergoda, ia sungguh heran pada dirinya sendiri, alangkah susah mengibaskan bayangan Adhit dari benaknya.

"Kamu harus melupakan masa lalumu Mirna, kamu masih muda, pasti banyak laki-laki yang ingin memperisteri kamu.

Mirna duduk dikursi, didepan meja yang bertumpuk barang ada disana. Dewi baru saja membeli barang-barang baru, dan Mirna ingin mengecek harganya.

"mBak, ditaruh dimana notanya?"

"Oh, ini, masih ada dimejaku."

Mirna mengambil nota dimeja Dewi, ia ingin mengalihkan pembicaraan tentang menikah itu. Sepagi ini perasaannya dibuat bagai ter cabik-cabik oleh sikap Adhit yang begitu manis terhadapnya. Selama ini belum pernah semanis itu. Duduk sangat dekat, dan Adhit memangku bayi.. lalu..

"Oh ya, ini daftar pesanan bu Susan, nanti dia minta belanjaannya diantar kerumah, padahal pembantu tidak masuk."

"Jadi..." kata Mirna, ia mulai berdebar, kalau dia yang disuruh kerumah bu Susan, lalu ketemu Adhit disana, oh... tidaak..

"Mirna, nanti tolong kamu antar ya, cuma sedikit, ini sudah aku siapkan."

"Oh, eh.. iya mbak.."

"Kamu kenapa kelihatan gugup begitu?"

"In..ini.. baru mencocokkan notanya mbak.."

"Kalau begitu biar aku saja...kamu antar belanjaan bu Susan sekarang saja ya."

"Bb..baiklah mbak.."

Mirna mengambil belanjaan yang sudah disiapkan Dewi, sambil mengomel dalam hati, mengapa pembantu hari ini tidak masuk?

"Mirna, notanya ada didalam ya."

Mirna mengangguk dan melangkah pergi.

Tuh kan, yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi. Begitu memasuki pekarangan rumah bu Susan, yang dilihatnya pertama kali adalah Adhit. Ia sedang duduk di teras depan, sendiri.

 Mirna ingin berbelok masuk dari samping rumah, tapi Adhit keburu memanggilnya.

"Mirna.. sini..!"

Mirna terpaksa menuju teras.

"Apa itu?"

"Ini.. mm.. mengantar .. belanjaan bu Susan.."

"Anggiiiii.." Adhit berteriak.

"Duduklah dulu,"

"Saya .. menunggu disini saja.."

"Lho, masak berdiri disitu ?"

Tiba-tiba Anggi muncul dari dalam, sambil membawa dua gelas minuman dingin.

"Itu belanjaan pesanan mama kamu."

Anggi meletakkan dua gelas minumannya, lalu menghampiri Mirna, meminta tas berisi belanjaan itu.

"Mana notanya mbak?"

"Ada... didalam.."

"Oh, ya.. duduklah dulu," kata Anggi sambil membawa belanjaan kedalam.

"Ayo duduk disini, apa aku harus menarikmu?" kata Adhit sambil berdiri mendekati Mirna. Mirna terpaksa masuk, lalu duduk di kursi diteras itu. Kepalanya menunduk, memandangi lantai bercorak cantik yang terbentang di teras itu.

"Nah, itu baru bener, ayo diminum," Adhit menyodorkan minuman ke dekat Mirna, lalu mengambil gelas satunya untuk dirinya sendiri.

"Mirna, minumlah, rupanya kamu itu harus dipaksa  ya,"

Mirna ragu-ragu, bukankah dua gelas yang dibawa Anggi tadi untuk Adhit dan Anggi sendiri? Mengapa Adhit memaksanya untuk meminumnya.

"Mirna, minumlah,"

"Terimakasih pak, saya baru saja minum di toko tadi."

"Ini uangnya mbak," kata Anggi yang sudah muncul, dan merasa heran karena satu gelas yang seharusnya untuk dirinya, disodorkan kedepan Mirna.

"Minum dulu mbak, kan mas Adhit sudah mempersilahkan," kata Anggi sambil tersenyum.

"Terimakasih, saya mau langsung saja, so'alnya mbak Dewi sendirian di toko, pembantunya nggak masuk," kata Mirna sambil berdiri.

"Baiklah mbak, terimakasih banyak, kalau tau nggak ada pembantunya tadi biar saya ambil saja."

"Nggak apa-apa kok, permisi.." kata Mirna sambil berlalu.

"Kenapa mas suruh mbak Mirna meminum minumanku?" kata Anggi sambil cemberut.

"Hanya minuman kan kamu bisa ambil lagi. "

"Cuma pegawe toko saja, mas kelihatannya perhatian sekali," kata Anggi sambil meneguk minumannya.

"Dia itu bekas sekretarisku, dan dia baik kok," Adhit meneguk minumannya, tak memperhatikan sikap Anggi, lalu mengambil koran yang terletak diatas meja.

***

Adhit dan Anggi sudah pindah kerumah bu Broto, yang selama sepekan kesepian ditinggal cucunya. Ia senang Anggi selalu berada dirumah, dan mau belajar memasak demi melayani suaminya. 

Anggi memang banyak belajar dari bu Broto. Ia menyadari kekurangannya, dan melayani suaminya, menjaganya seperti menjaga mutiara.

Setiap kali makan dirumah, bu Broto selalu bilang bahwa itu masakan isterinya. Adhit senang isterinya sangat dekat dengan neneknya.

Tapi sore itu, sepulang dari kantor, dilihatnya Anggi sedang duduk diruang tengah, dipangkuannya terlihat sesuatu yang di elus-elusnya.

Sesa'at Adhit teringat pada Mirna, yang beberapa hari lalu dilihatnya sedang memangku bayi Ayud.Adhit tersenyum, entah mengapa hatinya tersentuh setiap kali teringat pemandangan yang dianggapnya sangat manis itu.

Anggi tak melihat suaminya datang. Adhit mendekat, dan terkejut melihat Anggi sedang membelai kucing.

"Anggi, apa yang kamu lakukan?" teriak Adhit. Rupanya bu Broto lupa memberi tau bahwa Adhit tak suka ada hewan peliharaan didalam rumah.

Anggi terkejut, dilepaskannya kucing itu, yang kemudian berlari kearah depan, menabrak kaki Adhit.

"Anggiiiii!!" 

Anggi terkejut, melihat Adhit menatapnya dengan pandangan marah.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 


8 comments:

  1. Pengennya adhit jd dg anggi selamanya, meski adhit gak cinta anggi berharap adhit setia

    ReplyDelete
  2. Srmiga adith terus menyayangi anggi, memahami dan menerima kekurangan anggi.....

    ReplyDelete
  3. semoga adhit dan anggi tetap jd suami istri yg bahagia...tanpa ada orang ke 3 yg merusak rmh tangganya...kasian Anggi...Mirna wanita cantik dan baik hati..carilah jodoh yg lain ya ibuk..trims..

    ReplyDelete
  4. Entah knapa lbh suka adit mirna y drpd dg anggi. Cuma minum aza marah. Nengokin bayi jg g antusias liat bayinya. Jiwa ibunya g keluar.

    ReplyDelete
  5. Harusnya cerita nya udah selesai, tokoh utama udah bahagia, tinggal ngg mirna aja

    ReplyDelete
  6. Maaih ba panjnag nih veriranya yabak...ditungu episode selanjutnya

    ReplyDelete
  7. Lanjut episode 68
    ....ditunggu tunggu....

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 01

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  01 (Tien Kumalasari)   Seorang wanita cantik dengan pakaian anggun sedang duduk di sebuah kursi, di dalam ...