Tuesday, September 3, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 48

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  48

(Tien Kumalasari)

Walau suasana hiruk pikuk disekitarnya, tapi bagi Putri dan Raharjo semuanya terasa mencekam. Ada bayangan seperti mimpi, yang ternyata terpampang didepan mata. Putri merasa seakan sedang melayang diangkasa, tanpa pegangan. Kalau saja dia sedang berdiri pasti akan jatuh lunglai ke lantai. Telapak tangannya basah oleh keringat. Didepannya, Adhitama digendong oleh Raharjo, Teguh Raharjo, yang telah membuat benih menetes dirahimnya, dan benih itu adalah Adhitama. Tidaaak... itu anakku.. anak mas Galang.. teriak Putri dalam hatinya. Simbok yang tidak tau apa-apa segera berdiri mendekati Raharjo, meminta Adhitama yang masih dalam gendongannya.

"Sama simbok saja,cah bagus," kata simbok yang lalu menggendongnya dengan selendang yang sejak tadi tersampir dipundaknya.

Raharjo terpaku ditempatnya. Darahnya seakan berhenti mengalir, iapun limbung. Apakah yang didepan itu Putri kekasihnya yang hilang? Sorot mata itu, bibir itu, wajah itu, yang dulu selalu dirindukannya, lalu terpisah tanpa pesan dan kesan.. Ya Tuhan.. Kau pertemukan kami disini, apa maksudnya ini? Bisik batinnya yang merasa teriris.

"Jo, kok bengong, itu isteriku, ibunya Adhit.. " kata Galang yang melihat kekakuan itu. Ada rasa tak enak menghentak, seakan seorang laki-laki ganteng sedang menyukai isterinya. Memang isteriku kan cantik? kata hati Galang yang belum tau semuanya. Kurang suka juga melihat Raharjo menatap isterinya seperti melihat hantu.. eh bukan.. seperti melihat bidadari turun dari kahyangan?

"Putri...?" desis itu lirih bergetar dibibir Raharjo, namun Galang mendengarnya.

"Kamu mengenal isteriku?"

"Putri.... " bisiknya lagi lalu tangannya terayun kedepan, sambil berjongkok dihadapan Putri yang masih terduduk kaku.

Putri mengalihkan tangannya, sehingga tangan Raharjo jatuh ke pangkuan Putri.

"Teguh ?" hanya itu yang diucapkan Putri dengan lemah. Tapi segera Putri berdiri, membiarkan Teguh masih berjongkok didepan kursi yang tadi diduduki Putri.

"Ini suamiku.." kata Putri sambil mendekati Galang. Sekejap saja rasa terkejut itu, dan Putri segera sadar bahwa ia adalah suami Galang.

Teguh berdiri dengan lunglai. Matanya sayu memandangi Putri berdiri disamping Galang.

Galang tiba-tiba teringat ketika menghadap pak Haris beberapa hari lalu. KAMU, GALANG PERKASA, DAN KAMU TEGUH RAHARJO......

"Jadi Raharjo itu Teguh?" bisik Galang pelan. Putri pernah menceritakan perihal hubungannya dengan Teguh, sampai lahirlah seorang anak bernama Adhitama, yang dikasihinya bagai darah dagingnya sendiri.

"Ma'afkan aku mas," bisik Raharjo lirih.

"Kalau begitu... Adhitama adalah...." kata Galang yang kemudian dipotong oleh Putri.

"Adhitama putra pertama kami."

Galang hanya mengangguk, dan Raharjo seperti tak bereaksi. Sungguh sebuah kebetulan yang luar bias ketika ia bersahabat dengan seseorang, yang ternyata seseorang itu adalah isteri kekasihnya. Aduhai.

Tiba-tiba panggilan dari pegawai bandara terdengar keras, bahwa penumpang pesawat Garuda dengan nomor penerbangat sekian, tujuan Solo harus segera bersiap menunggu di boarding room. Ketegangan batin itu terurai sebentar. Mereka bergegas masuk sambil membawa barang bawaan mereka. Putri menggandeng simbok agar bisa berjalan lebih cepat.

"Oh ya Jo, ini ticketmu, dan KTP mu," kata Galang sambil melangkah. Raharjo menerimanya dengan telapak tangan membasah, mata yang membasah, jiwa yang juga basah.

Masing-masing dari mereka memendam perasaan yang tak menentu, bahkan setelah naik kedalam pesawat, lalu turun dari pesawat. Tak ada suara, tak ada kata, kecuali berbicara dengan hati mereka masing-masing.

Putri bahkan lupa menelpone ibunya untuk minta agar Sarno menjemputnya.

"Mas, apa kita menunggu agar Sarno menjemput kita?" tanya Putri pelan.

"Naik taksi saja," jawab Galang singkat. Entah mengapa, Putri menerima jawaban itu seperti pisau tajam mengiris dagingnya. Apakah Galang marah?

"Mas, aku mau cari taksi bandara," kata Raharjo yang kemudian pergi meninggalkan mereka.

Tanpa berkata pun Galang juga memesan taksi bandara. Mereka menuju pulang kerumah tanpa kata ramah. Kekakuan suasana masih menyelimuti mereka.

***

"Bu, jam berapa mereka sampai? Kok tidak menelpon kita?" kata pak Brroto yang bersiap meninggalkan rumah sakit. Sarno sudah mengangkat semua barang-barang perlengkapan pak Broto yang semula diperlukan sa'at opname. 

"Ibu juga nggak tau pak, kemarin ibu sudah bilang, kalau sudah berangkat dari Jakarta, kabari ibu supaya ibu bisa suruhan Sarno untuk menjemput. Kok nggak ada kabarnya ya."

"Coba ibu telpone dia.."

"Kalau mereka msih didalam pesawa ya nggak bisa telepon pak, ditunggu dulu kabar dari mereka, sementara kalau bapak mau pulang sekarang ya ayo, pulang."

"Sebentar, jalannya pelan-pelan saja, sambil nungguin Sarno datang kemari lagi."

"Lha mengapa juga Sarno ibu suruh datang kemari."

"Ya biar bapak kalau jalan ada yang menuntun.. "

"Ibu itu menganggap bapak sudah loyo apa? Lihat, bapak masih bisa berjalan cepat, tegap, tidak loyo seperti kakek-kakek,"

Bu Broto memilih diam. Ia sudah tau kalau pak Broto bawaannya keras, tidak mau mengalah, dan tidak mau kalah. Dia juga tidak mau dibilang tua atau sakit-sakitan.

Pak Broto sudah berjalan duluan. Bu Broto mengawasi sekeliling barangkali ada barang yang tertinggal. Nah, itu kaca mata pak Broto kan, masih tertinggal diatas meja. Untung bu Broto melihatnya.

Ketika keluar bu Broto melihat pak Broto sudah berjalan jauh kedepan. Ia berpapasan dengan Sarno yang kemudian berusaha menggandengnya, tapi tangan Sarno ditepiskan dan pak Broto berjalan dengan gagahnya.

Dilihatnya Sarno mengangkat bahu, dan bu Broto tersenyum melihat ulah suaminya. Sarno menghampiri bu Broto dan meminta tas yang dibawanya.

"Bapak nggak mau digandeng bu," keluh Sarno.

"Ya sudah, No, biarkan saja. Dia itu kalau dikatakan sakit atau tua, nggak mau. Kita awasi saja dari belakang."

"Benar bu."

"Yang penting dia sehat No,  apapun kita lebih baik ngemong, ngalah."

"Jeng Putri belum jadi pulang bu?"

"Lha ya itu, aku juga menunggu kabarnya, supaya kamu bisa menjemput ke bandara No, tapi kok nggak ada kabarnya. Nanti saja kalau sampai rumah aku telepon mereka, kalau sekarang takutnya masih ada didalam pesawat.

"Benar bu, nanti saya siap menjemput jeng Putri dan suami serta putranya."

"Itu No, bapak sudah mau masuk ke mobil," kata bu Broto ketika melihat suaminya sudah sampai di parkiran. Sarno segera ber lari-lari menghampiri.

***

Ternyata Galang dan isterinya sudah sampai dirumah lebih dulu. Mereka berdiri diluar gerbang karena gerbang itu digembok dari luar.

"Tuh mas, tadi harusnya kita menelpon Sarno," kata Putri sambil mengelap keringatnya.

"Jadi aku yang salah?" kata Galang tanpa senyum.

Putri sedih, sejak dari bandara sikapnya sangat kaku. Ia sudah berusaha memperlihatkan bahwa Galang adalah suaminya, dan itu ternyata belum cukup bagi Galang. 

"Maas," Putri mendekati Galang, bergayut dilengannya.

"Aku telepone Sarno ya?"

"Terserah kamu saja," masih kaku jawaban itu. Putri hampir menangis, air matanya berlinang ketika dia menelpon ibunya. Galang melihatnya, ingin rasanya ia mengusap mata bening itu, tapi diurungkannya. Pertemuannya dengan Teguh membuatnya gundah. Galang masih ingat kata Retno bahwa Teguh masih mencintai Putri. Ia juga pernah mendengar sendiri dari Raharjo bahwa masih ada sisa sekeping cinta dihatinya terhadap Putri. Dan Putri itu adalah isterinya. Aduhai..Teguh Raharjo begitu gagah dan tampan, lebih tampan manakah Teguh dengan  dirinya? Galang dibakar rasa cemburu. 

"Hallo nduk, ibu sudah menunggu telepone mu dari tadi. Sudah berangkat dari Jakarta?" tanya bu Broto dari seberang.

"Bu, aku sudah didepan rumah," jawab Putri dengan suara lirih menahan tangis.

"Ya ampuun. Sudah dirumah? Ya sudah, tunggu sebentar. No, ayo agak cepat sedikit, mereka sudah dirumah, dan nggak bisa masuk pastinya. Kamu menggembok pintu gerbang>"

"Iya bu, Sarno gembok, habis nggak ada orang."

"Waduuh, kasihan anak-anak itu."

"Cepat sedikit to No, kamu itu kayak orang lagi belajar nyetir saja." kata pak Broto menimpali.

"Ini sudah cepat pak, jalanan rame, lagian sudah hampir sampai tuh pak,"

"Mereka pasti kepanasan.." keluh pak Broto.

"Sabar pak, sebentar lagi sampai," hibur isterinya.

***

Pertemuan Putri dan ayah ibunya berlangsung sangat mengharukan. Pak Broto menggendong Adhit dan mendekapnya erat=erat didadanya.

"Kamu benar, gantheng seperti eyang kakungmu ya?"

Galang menyalami kedua mertuanya dengan mencium tangan mereka. Namun ia lebih banyak diam. Membiarkan kedua mertuanya sibuk menimang cucunya. Dan Galang merasa seperti orang asing. Bukankah Adhitya bukan darah dagingnya? 

Putri kebelakang membuat minuman,  sambil berurai air mata. Simbok yang menyusulnya sangat heran melihat tangis momongannya.

"Ada apa jeng? Kok nangis?"

"Nggak apa-apa mbok, Aku terharu bapak menyayangi cucunya." jawab Putri. Mana mungkin ia sesambat sama simbok-nya tentang keadaan yang menimpanya?'

"Sini biar simbok saja yang buat minuman," kata simbok sambil menyiapkan cangkir untuk membuatkan minuman. Walau simbok tau bahwa sesuatu sedang terjadi pada momongannya, tapi ia tak pernah ingin tau. Ia adalah abdi yang benar=benar abdi dan tak berhak mencampuri urusan majikannya.

"Ini mbok, ditata saja dimeja, mereka kan belum sarapan. Aku sudah beli lauk mateng ini semuanya. Nggak ada waktu untuk memasak mbok." kata bu Broto sambil menaruh tas kresek berisi lauk dimeja.

"Oh, baik bu, taruh saja disitu nanti simbok menatanya," kata simbok.

Putri sudah kembali kedepan, dan duduk disamping suaminya. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya. Putri harus menunjukkan bahwa dia mencintai Galang, lebih dari apapun, dan Teguh adalah masa lalunya. Tapi Galang masih terlihat kaku.

"Bagaimana pekerjaanmu, Galang?" tanya pak Broto.

"Baik pakde," jawab Galang singkat.

"Kamu tampak lelah Galang, tiduran dikamar ya?" bu Broto yang melihat Galang tak bersemangat mengira menantunya lelah.

"Nggak apa-apa bude."

"Kamar yang didepan itu selalu rapi, bude bersihkan setiap hari seperti ketika isteri kamu masih disini. Ayo istirahat saja sana. Putri, ajak suamimu kekamar."

"Ayo mas," Putri menggandeng lengan suaminya. Galang menurut, lebih baik ia menyembunyikan rasa gundah yang dirasakannya daripada ikut berbincang dengan kedua mertuanya. 

Putri mengantarkannya kekamar. 

"Tiduran dulu mas? Mas Capai?"

"Aku baik-baik saja." jawab Galang singkat, yang kemudian merebahkan tubuhnya dipembaringan. Tapi ia menutup wajahnya dengan bantal. Putri sedih, ia merebahkan kepalanya didada suaminya, dan menumpahkan air matanya disana.

"Mas Galang, apa mas Galang marah sama Putri?"

Tapi Galang tak menjawab. Ia bahkan membiarkan baju dan dadanya basah oleh air mata yang membuncah.

"Mas Galang, aku mencintai kamu mas, hanya kamu yang aku cintai.." isak Putri memelas.

Indahkah hari itu?

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 41

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  41 (Tien Kumalasari)   Adisoma menerima amplop itu dengan heran. Ada urusan apa ini? Pikirnya dengan hati ...