Monday, September 2, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 47

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  47

(Tien Kumalasari)

"Jo, ini program yang kamu buat, aku suka," kata pak Haris kerika memeriksa laporan Raharjo di akhir minggu itu.

"Terimakasih pak, sama saya mohon pamit karena besok pagi mau pulang ke Solo." 

"Lho, ada acara apa kok tiba2 mau pulang ke Solo? Barusan juga Galang bilang mau ke Solo besok pagi. Ayah mertuanya sakit katanya."

"Benar pak, kebetulan kami ada keperluan yang bersamaan waktunya."

"Apa kamu mau dijodohkan sama orang tuamu ?"

aharjo tersipu.

"Ada kerabat yang mau menikah hari Minggu pak, tapi Minggu sore saya sudah kembali."

"O, kerabatmu yang mau menikah? Terus kapan kamunya Jo?"

"Belum ada yang mau pak," jawab Raharjo tersipu.

"Masa belum ada yang mau? Kamu ganteng, kamu sudah mulai mapan, atau kamu yang terlalu memilih-milih?'

" Nggak pak, sungguh, belum ada yang mau."

Pak Haris tertawa.

"Boleh aku carikan? Aku punya keponakan-keponakan yang cantik lho. Bukan Widi, jangan khawatir, dia sudah aku coret dari daftar keluargaku," kata pak Haris yang tiba=tiba wajahnya berubah sendu. Bagaimanapun dia sangat kecewa mengetahui polah kemenakannya yang satu itu.

"Kalau sudah selesai saya mau pamit memesan tiket buat besok pak. Mas Galang sekaliyan nitip pesan juga buat keluarganya."

"Eit, tunggu, jangan kamu sendiri, akan aku suruh pak Bowo pesan buat kalian, dia sudah biasa ."

"Terimakasih banyak pak, saya bilang mas Galang lebih dulu."

"Galang sudah tau, biar kantor yang mengurusnya, sekarang kamu bioleh kembali keruanganmu."

Raharjo mengucapkan terimakasih dan berlalu. Diliriknya Retno yang sibuk dengan pekerjaannya disudut ruangan. Ada harapan untuk melihat sedikit saja senyumnya, tapi mungkin pekerjaan Retno terlalu banyak, sehingga ia sama sekali tak mengangkat kepalanya dari laptop yang dihadapinya. Raharjo keluar dengan sedikit rasa kecewa. Lalu ia heran pada dirinya sendiri, sebenarnya apa yang diinginkan oleh batinnya.

Namun sepeninggal Raharjo, pak Haris bertanya pada Retno.

"Kamu sama sekali nggak ingin pulang ke Solo juga?"

Retno masih berkutat dengan pekerjaannya.

"Retno," panggil pak Haris lebih keras.

"Ya om,"jawab Retno terkejut,.

"Kamu itu kalau sudah bekerja lalu nggak bisa memperhatikan kiri kananmu lagi," tegur pak Haris.

"Ma'af om, baru mengetik surat yang tadi om berikan, katanya harus selesai hari ini."

"Aku bertanya, apa kamu juga ingin pulang ke Solo bersama mereka?"

"Lho, kan besok om Haris menyuruh saya kerumah."

"Oh iya aku lupa, tapi nggak terlalu penting, kalau kamu ingin pulang sehari dua hari juga nggak apa-apa, nanti kamu kecewa."

"Enggak om, kan bisa pulang kapan saja, sementara mereka baru ada keperluan yang mendesak."

"Sungguh nggak ingin? Aku lihat kamu seperti kecewa.."

"Om bisa saja.." jawab Retno lalu kembali menekuni pekerjaannya.

"Apa kamu pacaran sama Raharjo?"

Kali ini Retno terkejut. Tangannya berhenti mengetik, kepalanya diangkat, memandang kearah om nya dengan heran.

"Benar?"

"Aaap..apa om?"

"Kamu ini seperti nenek-nenek saja, diajak ngomong kalau belum dua atau tiga kali belum mengerti juga."

"Saya.. kurang mendengar karena...sedang.. menyelesaikan ini.." jawabnya sekenanya, padahal sungguh dia tadi mendengarnya dengan jelas.

"Aku bertanya singkat saja kok, apa kamu pacaran sama Raharjo?"

"Ap..pa.. pacar..pacaran?"

"Iya tidak?"

"Nggak om, sungguh, Raharjo itu kan pemalu om, sedangkan saya kan agak cerewet."

"Oh, ya.. ya..menurutku itu benar, dia itu pemalu, jadi harus ada yang mencarikan." kata pak Haris mengangguk-angguk. Retno kembali memainkan jari tangannya diatas keyboard laptopnya, sambil bertanya-tanya dalam hati, apa arti anggukan kepala om nya waktu itu. 

***

"Bu, nanti kalau dokter visite, aku mau bilang bahwa aku ingin pulang." kata pak Broto ketika pagi itu ia baru saja membuka matanya. Kemudian ia mencoba duduk, wajahnya memang sudah memerah, tidak pucat seperti hari-hari sebelumnya. Kepulangan cucunya ternyata memberinya kekuatan dan semangat untuk bisa bangkit.

"Lho, kok bapak yang bilang, dokter dong yang menentukan boleh atau tidak bapak pulang. Kalau bapak sudah sehat, cek up semuanya bagus, ya pasti boleh pulang."

"Aku ini sudah sehat bu, kamu sendiri bilang bahwa cucuku akan datang, mengapa aku nggak boleh pulang?"

"Kalau memang bapak benar-benar sudah sehat, ya pasti boleh pulang. Jangan memaksa dong pak."

"Yang merasakan itu aku, aku ini sudah sehat, dan kamu tau bu, kalau aku tidak boleh pulang, berarti aku tidak boleh ketemu sama cucuku, untuk apa dia balik ke Solo?"

Bu Broto terdiam, memang benar, anak bayi mana boleh masuk rumah sakit. 

"Ya sudah, nanti bagaimana kata dokternya, kalau bapak merasa sehat dokternya pasti tau kok."

"Ya sudah, ibu kumpulkan semua mainan-mainan ini, nanti aku yang akan memberikannya pada cucuku."

"Sudah pak, sudah dikumpulkan, nanti biar Sarno membawanya pulang."

"Aku mau mandi sekarang bu."

"Mandi sendiri kekamar mandi?"

"Ya iyalah mandi sendiri, apa ibu mau memandikan aku seperti bayi?" Pak Broto langsung merosot turun dari tempat tidurnya. Ketika bu Broto ingin memapahnya, pak Broto menolaknya.

"Aku sudah kuat bu, tenang saja."

"Baiklah, pelan-pelan jalannya, dan kamar mandinya nggak usah dikunci. Pakai air hangat lho pak."

"Ya, aku tau," kata pak Broto sambil memasuki kamar mandi. Bu Broto merasa lega, pak Broto berjalan mantap, tanpa dipapah. Ia segera menyiapkan baju pak Broto, yang kemudian disusulkannya kekamar mandi.

"Mudah-mudahan kedatangan anak cucunya benar-benar bisa memberi kesembuhan," bisik bu Broto penuh harap.

***

Raharjo sedang bersiap mau berangkat ketika ponselnya berdering.

"Hallo Jo, sudah siap?" suara Retno dari seberang.

"Sudah, ini sudah didepan rumah."

"Mau nungguin aku Jo? Biar aku antar kamu."

"Nggak usah Retno, kasihan kamu, aku sudah memanggil taksi on line."

"Bener?"

"Bener, jangan khawatir, tuh dia sudah datang."

"Hati-hati ya Jo, kalau bisa mampirlah kerumah."

"Iya pasti, kan kamu nitip sesuatu buat ibu kamu?"

"Ya sudah, terimakasih banyak Jo."

Sampai Raharjo naik kedalam taksi yang dipesannya, Retno masih wanti-wanti berpesan sama Raharjo.

"Hati-hati ya Jo."

"Iya, terimakasih, sampai ketemu Ret."

"Jangan lupa oleh-oleh buat aku ya Jo, serabi, ampyang, emping yang mentah saja, nanti aku goreng sendiri."

"Iya, aku masih ingat, kamu kayak nenek-nenek deh."

"Ih, jahat.. masa aku kaya nenek-nenek?"

Raharjo tertawa, kemudian menutup ponselnya. Sesugguhnya ia kecewa karena Retno tak ikut pulang bersamanya.

***

"Kamu sama simbok disini saja ya sayang sambil nungguin Raharjo. Kok belum sampai juga anak itu."

"Coba mas telephone dia, jangan-jangan kena macet dia."

"Hallo, Jo, sampai mana?"

"Oh, ini sudah hampir sampai mas, tenang aja,"

"Ya sudah, kirain lupa bangun." dan Raharjo tertawa diseberang sana

"Sudah hampir sampai, aku ngurusin ticketnya dulu, kamu sama simbok nungguin disini ya?" kata Galang kepada isterinya.

"Ya mas, aku mau beli pampers dulu disana."

"Jangan lama-lama, " kata Galang sambil bergegas meninggalkannya.

"mBok, kamu duduk disini saja ya, aku mau membeli pampers buat Adhit, lupa tadi mau beli dijalan. Lagian mas Galang tampak terburu-buru."

"Ya jeng, simbok duduk disini saja sama mas Adhit. Hm, tidur terus nih jeng, seneng mau ketemu eyangnya."

"Iya mbok, sebentar ya..jangan pergi kemana-mana, sambil nungguin mas Galang lagi ngurusin ticket."

Putri berjalan melenggang kearah sebuah toko yang tak jauh dari sana. Ia hanya ingin membeli pampers .  

Simbok yang sedang duduk menunggu terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya.

"Simbok !!"

Simbok menoleh dan terkejut.

"Lho, pak Raharjo?"

"Mana mas Galang dan isterinya?"

"Tuh.. lagi.. ngurusin apa, nggak tau simbok. Simbok disuruh nungguin disini. Sedangkan ibunya mas Adhit lagi beli pampers, tadi kelupaan," kata simbok.

"Hai, Adhitama, sayangku, sini mbok, biar aku gendong," pinta Raharjo sambil mengulurkan tangannya.

"Lagi bobuk lho pak.."

"Nggak apa-apa, jangan khawatir, dia tak akan terbangun. Aku hanya pengin menggendong saja kok. Hai sayang, ayo kita cari bapak kamu ya,"kata Raharjo yang kemudian meninggalkan simbok sendirian.

"Hati-hati pak.."

Tapi tiba-tiba Adhitama merengek dan membuka matanya. Raharjo senang sekali melihatnya bangun. Ia mendekapnya dan menggendongnya berjalan menyusul Galang.

 Putri sudah keluar dari sana dan kemudian merasa heran karena mendapatkan simbok ditempat duduknya semula tapi tanpa menggendong Adhitama. Selendang batik yang tadi dipakainya untuk menggendong hanya disampirkan saja dipundaknya.

"Aduuh, mbok, mana Adhit?"

"Itu, dibawa pak Raharjo," kata simbok sambil menunjuk kearah perginya Raharjo.

Putri duduk disamping simbok, memandangi punggung Raharjo yang sedang menggendong Adhit, mendekati Galang yang tampaknya sudah membalikkan badannya menuju kearahnya.

"Hei, Adhit, ikut siapa kamu? Hm, awas ya.. semoga kamu diompolin Jo, soalnya dia belum memakai pampers," canda Galang sambil mengajak Raharjo kembali menemui isterinya.

"Nggak apa-apa mas, kalau diompolin kan biar cepet ketularan," jawab Raharjo sambil mencium pipi Adhit.

"Sudah beres semua mas?" lanjut Raharjo.

"Sudah beres semua, kamu nggak bawa koper?"

"Nggak, cuma sehari saja, ya cuma bawa tas kecil ini, berisi sarung celana dalam, baju koko untuk ke kondangan nanti.."

Putri yang sedang menunggu suaminya merasa lega melihat Galang sudah bersama Raharjo. Tadinya takut terlambat, sementara ticket sudah diurus suaminya.

Tapi semakin mendekat kearah Putri, Raharjo terkejut,darahnya  seakan berhenti mengalir. Wajahnya pias, apakah aku bermimpi? Perempuan cantik memakai celana jean ketat dan blouse warna pink dengan bunga-bunga biru, berkaca mata hitam besar, dan juga sedang memandanginya dengan mata terbelalak, bukankah itu Putri?

***

besok lagi ya

No comments:

Post a Comment

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 41

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  41 (Tien Kumalasari)   Adisoma menerima amplop itu dengan heran. Ada urusan apa ini? Pikirnya dengan hati ...