Monday, July 15, 2019

SAAT HATI BICARA 52

SA'AT HATI BICARA  52

(Tien Kumalasari)

Panji masih memegangi tangan bu Tarjo. Panji juga melihat linangan air mata bu Tarjo, tapi Panji tidak tau, apa sebenarnya yang ada dibalik linangan air mata itu. Maruti yang terkejut, tiba2 menarik tangan Panji, diajaknya keluar dari ruangan itu.

"Maruti, apa aku salah?"

"Tunggu mas, mari kita bicara."

Maruti terus menarik tangan Panji, mencari tempat yang tak banyak lalu lalang orang disekitar rumah sakit itu, kemudian duduk disebuah bangku.

"Maruti, ada apa ini? Apa aku salah?" tanya Panji sambil memandangi wajah Maruti lekat2, penuh kasih sayang. Wajah cantik yang sangat dikaguminya itu tampak tegang. Bulu mata lentik, mata yang bening bagai sepasang bintang, hidung kecil mancung, dan bibir tipis yang kemerahan, aduhai, Panji ingin merengkuhnya dalam satu pelukan, yang tak akan pernah dilepaskannya. Tapi ketika tangannya bergerak ingin menyentuh pipinya, Maruti menghindar dengn mengundurkan kepalanya dan memegang tangan Panji.

"Maruti, apa aku salah?" pertanyaan itu kembali dilontarkannya. Dada Maruti berdebar kencang, ucapan bahwa Panji ingin melamarnya sudah lama sekali ditunggunya, tapi itu dulu, beberapa bulan yang lalu,

"Mas Panji...," katanya lembut, tak urung matanya berkaca kaca, Panji mengusap air mata yang membasahi pipi Maruti. Kali ini Maruti membiarkannya. Debr jantung yang memukul mukul dadanya ini sesungguhnya terasa amatlah nikmat. Ini adalah cinta yang menggelora, yang getarnya menyusuri setiap alir darahnya. Tapi Maruti mengucurkan air matanya semakin deras

"Maruti, apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu menolak cintaku? Apa kamu tidak mencintai aku? Kamu pernah bilang bahwa kamu juga mencintai aku.Kamu lupa?"

"Mas, aku nggak tega, aku nggak sampai hati melukai hati Dita," bisik Maruti.

"Apa maksudmu Maruti? Dita sudah melupakan cerita bohong itu, Dita mana mungkin mengharapkan aku lagi?"Suara Panji meninggi, membuat Maruti kemudian menutupkan jari telunjuknya kebibir Panji; Panji memegangi tangan itu, Maruti meronta tapi Panji tak ingin melepaskannya.

"Itu sebuah drama yang memalukan, drama yang dibuat oleh tangan2 kotor dan busuknya hati seseorang. Aku sudah tau dari Dita bahwa Santi melakukannya untuk memisahkan aku dari kamu. Dita yang bilang karena Santi kemudian mengatakannya.

"Tapi Dita mencintai kamu mas,aku tak sampai hati melukai perasaannya."

"Tidak mbak, aku tidak mencintai mas Panji," tiba2 suara itu mengejutkan keduanya. Dita muncul tiba2, dan berdiri dihadapan mereka berdua.

"Dita..." 

"Itu benar mbak, mas Panji milikmu, aku bukan siapa2."

"Dita, kamu..."

"Aku berdosa memiliki perasaan itu, aku sudah terhukum dengan perasaan yang tidak semestinya. Aku sekarang sadar, cinta itu tak ada padaku, aku hanya ingin diperhatikan, aku hanya ingin dimanjakan. Aku tidak ingin mencintai tapi tidak dicintai. Kalian saling mencintai, aku bahagia melihat kalian bahagia."

Tak ada sendu, tak ada air mata mengganang, Dita mengatakannya dengan sangat jelas, dan lugas. Lalu tangannya memagang tangan Panji serta Maruti, disatukannya dengan wajah berseri.

"Kebahagiaan ini milik mbak dan mas Panji. Nikmatilah..."

Dita memeluk Maruti, sekarang baru air matanya menetes, membasahi bahu Maruti. Dan Maruti mengelus lembut punggung adiknya. 

"Terimakasih Dita,"  bisik Maruti, lalu diliriknya wajah ganteng yang tersenyum memandangi ulah mereka, senyum yang biasanya, yang menggetarkan jiwa Maruti sejak pertama melihatnya.

***

Bu Tarjo bahagia, ketika Dita mengatakan bahwa Panji lebih cocog untuk Maruti. 

"Tapi dulu kamu suka bukan?"

"Nggak bu, ternyata itu bukan cinta. Dita berdosa kalau sampai merebut mas Panji dari mbak Ruti."

"Anakku memang cah ayu tenan, ibu jadi nggak bingung lagi," kata bu Tarjo dengan wajah berseri.

"Kenapa ibu bingung?"

"Ya bingung lah, kedua anak ibu mencintai satu laki2, lalu ibu harus berfihak pada siapa? Kan bingung jadinya."

"Sekarang ibu nggak usah bingung lagi, mas Panji akan segera melamar mbak Maruti. Ibu cepat sembuh ya."

"Iya, ibu sudah sembuh. Nanti ibu akan bicara sama dokter, kalau boleh mau rawat jalan saja."

"Boleh saja, tapi nggak boleh memaksa, kalau dokternya bilang belum boleh ya nggak usah pulang dulu."

"Ta, ibu menurut deh. Nanti kamu tidur disini?"

"Iya bu, Dita mau tidur disini. Kan sudah lama Dita nggak menemani ibu."

***

Laras sangat rajin menemani Sasa. Walau lengan masih dibalut perban, tapi ia selalu merasa sehat apabila ada didekat Sasa, maksudnya... ayahnya Sasa. Entah mengapa, tiba2 hati saling bertaut.

Siang itu Agus masih ada dikantornya, sedangkan Laras sudah sejak pagi ada disana, bersama Endang perawatnya. Itu membuat Agus merasa tenang. Sebentar2 dia menelpon Laras menanyakan keadaan anaknya, tapi sesungguhnya ia ingin mendengar suara Laras, yang bening dan selalu bersemangat setiap menerima telepon darinya. Agus merasa bahwa Laras tak akan menutup pintu hatinya walau dia seorang duda beranak satu.\

Sasa juga merasa lebih tenang, dan tadi dokter bilang infusnya boleh dilepas. Mungkin besok pagi sudah boleh pulang.

"Apa mama mau kesini?" tiba2 Sasa bertanya.

"Sasa kangen sama mama?"

Tapi Sasa menggeleng. Kejadian tiga hari yang lalu membuatnya trauma. Ia merasa tidak nyaman bersama ibunya karena kepergiannya serasa dipaksa, dan Sasa juga merasa tersiksa karena jauh dari ayahnya. Kedekatannya dengan Santi hanya terbatas pertemuan beberapa kali dalam sebulan, itupun kalau Santi merasa kangen. Jadi Sasa merasa tak pernah dekat dengan ibunya.

"Masa nggak kangen sama mama?"

"Sasa takut sama mama," jawab Sasa sambil menggeleng gelengkan kepalanya.

"Apa Sasa mau ibu baru?" tanya Laras tiba2, tapi kemudian Laras menyadari bahwa ia tak seharusnya mengucapkan kata2 itu. Laras sungguh menyesal, tapi semuanya sudah terlanjur.

"Ya, Sasa mau.." tapi Sasa menjawab sambil memeluk boneka Hallo Kitty milik Laras.

"Mau? Mama yang seperti apa yang Sasa mau?" Laras merasa sudah terlanjur basah, jadi dilanjutkannya pertanyaannya.

"Yang seperti tante Maruti," tiba2 Sasa menjawab, dan itu membuat hati Laras tergores. Perih dan berdarah.

Laras terdiam. Mencoba menenangkan perasaannya yang terguncang.

"Tante Maruti itu baik kan?"

Laras hanya mengangguk, sambil tersenyum. Senyum yang dibuat buat, untuk menyenangkan hati Sasa.

 *** 

Siang itu sehabis pulang dari kantor Agus langsung menuju rumah sakit, namun dia kecewa karena Laras sudah tidak ada lagi disana.

"Kemana mbak Laras?" tanya Agus pada Endang.

"Tadi pamit pulang, katanya kepalanya pusing," jawab Endang.

"Oh, dia sakit?"

"Tadi habis bercanda sama Sasa, tapi tiba2 mengeluh pusing, lalu pamit pulang.

Agus mengeluarkan ponselnya, menelpon Laras, tapi ponselnya mati. Berkali kali dicobanya menghubungi, tapi tak ada nada sambung. 

"Ponselnya mati,"keluh Agus.

"Papa... Sasa mau pulang saja.." rengek Sasa..

"Iya, iya.. papa ketemu dokternya dulu ya."

"Tadi susternya bilang, mungkin besok pagi Sasa boleh pulang.." kata Endang.

"Oh, baiklah, itu bagus. Sasa sabar dulu ya, besok pagi boleh pulang kok."

"Mengapa tante Maruti nggak pernah kesini?" 

"So'alnya ibunya tante Maruti kan lagi sakit juga... besok kita undang tante Maruti kerumah, juga tante Laras ya."

Sasa mengangguk senang.

*** 

Tanpa menunggu lama Agus sudah sampai dirumah Laras. Sesungguhnya ia khawatir karena Endang bilang Laras pusing kepala. Tapi begitu dia datang, Laras sudah menyambutnya dipintu dan mempersihakannya duduk.

"Katanya kamu sakit ?" tanya Agus khawatir.

"Tadi, ya.. tapi sudah baikan. Mengapa mas kemari?"

Agus heran, wajah manis itu tampak kaku ketika menyambutnya. Senyum yang terpampang terasa hambar. 

"Kok gitu nanyanya...tentu aku khawatir karena Endang mengatakan kamu sakt, dan ponsel kamu mati sehingga aku nggak bisa menghubungi."

"Oh, khawatir ya."

"Iya lah khawatir, pertanyaanmu aneh, dan sikapmu juga aneh. Pasti masih puyengmu masih belum hilang, ya kan?"

Laras tersenyum. Tapi dibiarkannya Agus memegang keningnya. Dia suka kok, tapi ketika teringat olehnya ucapan Sasa ketika dia masih dirumah sakit, kembali hatinya terluka. Kalau Sasa hanya menghendaki Maruti, mengapa dia harus berharap?

"Nggak panas sih, tapi mau aku antar ke dokter?" 

"Nggak, aku nggak apa2 kok. Mengapa mas begitu khawatir sih?"

"Ya pasti lah aku khawatir, kamu itu gadis yang telah membuat aku jatuh cinta."

Laras terkejut. Tiba2 saja Agus mengucapkan itu, tanpa basa basi, begitu saja meluncur dan mengenai sasaran."

Tapi Laras tertunduk lesu. Ucapan Sasa kembali terngiang ditelinganya. Mengapa harus Maruti?

***

besok lagi ya

 
















No comments:

Post a Comment

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...