Monday, December 24, 2018

SEPENGGAL KISAH 98

SEPENGGAL KISAH  98

(Tien Kumalasari)

Pagi hari itu setelah mengantar Pandu sekolah, Asri langsung belanja kepasar. Tak banyak yang harus dibelinya karena suaminya sedang tak ada dirumah. Tiba2 seseorang menepuk pundaknya. Asri terkejut, ternyata Danik.

"Kamu buat orang terkejut aja Danik,"

Danik Tertawa " Terkejut ya, kasihaaaan," 

"Kamu mau belanja? Jauh banget pasar ini dari rumahmu Dan....lagi pengin jalan2?"

"Aku tuh mau kerumahmu, ngelihat kamu disini, ya udah aku berhenti dulu disini. "

"Oh gitu, hayuk kerumah sekarang kalau gitu,"

"Nggak usah, ayo kita sarapan saja diwarung itu, kayaknya enak, itu soto kan? Sudah lama aku pengin makan soto"

"Baiklah, apa sih yang enggak buat kamu," kedua sahabat itu tertawa sambil memasuki warung makan yang ada didekat pasar itu.

Mereka duduk agak dipojok. Asri yakin ada hal penting yang ingin disampaikan sahabatnya ini. 

"Ada yang penting ya?" tanya Asri setelah memesan makan dan minum. 

"Nggak sih, cuma mau ngobrol ringan aja. Apa kabarmu?"

"Baik. Kok kamu kelihatan agak gemuk ya? Kamu hamil lagi?" Danik tertawa terkekeh kekeh :

"Mana bisa aku hamil lagi, anakku tiga sudah cukup. Kamu itu yang baru satu, "

"Aku kan sudah tua, kalau aku hamil lagi akan banyak resiko yang harus aku tanggung. Apa aku masih kuat mengejan? Jangan gila kamu." Dan merekapun tertawa tawa..

"Aku tau Damar sering pulang ke Solo," kata Danik tiba2, dan Asripun berdebar debar.

"Darimana kamu tau?"

"Damar itu sering menelpon aku, biar aku sering marahin dia, masih saja dia suka ngoceh yang enggak2. Aku pikir dia itu nggak sepenuhnya waras."

Asri tak menjawab. Tertunduk lesu. Ia menghirup teh panas yang baru dihidangkan.

"Aku ingin mengingatkan kamu, agar kamu berhati hati. "

"Ya, aku tau.."

Mereka makan dan minum sambil berbicara banyak, Danik wanti2 agar Asri ber hati2, tapi Asri enggan mengatakan bahwa baru dua hari lalu ketemu dia dan ngomong banyak, mengeluh banyak, yang ahirnya sangat mengganggu sanubarinya.

"Oh ya, kamu kan mau belanja? Ya udah aku juga sekalian mau belanja. Nanti para suami marah kalau kita terlambat menyajikan makan siangnya."

"Mas Bowo lagi di Jakarta,"

"Oh ya? "

"Tapi besok dia pulang kok, cuma tiga hari disana katanya,"

"Syukurlah, kalau besok sudah pulang, sekali lagi aku ingatkan kamu, agar berhati hati, Asri"

 

Ketika telephone rumah berdering, pak Marsam yang menerimanya, telephone itu dari Bowo.

"Hallo bapak, Apa kabar? Bapak sehat?" suara Bowo dari seberang.

"Iya nak, bapak sehat, nak Bowo dan pak Prasojo juga baik2 saja kan?"

"Iya pak, Kami sehat. Boleh berbicara sama Asri?"

"Oh, Asri baru kepasar nak, mungkin sebentar lagi pulang."

"Oh, baiklah, saya akan telepone ke ponselnya saja. Cuma mau ngabarin kalau kami tidak bisa pulang besok, mungkin baru seminggunan lagi, karena urusan belum selesai."

"Oh, iya nak.. baiklah.. nak Bowo telepone langsung aja sama Asri."

Ketika Asri pulang dari pasar, ternyata Bowo sudah mengabarinya tadi. Ada perasaan tak enak setelahnya, karena sang suami akan agak lama perginya. Bowo mengatakan semingguan.. berarti belum tentu seminggu, bisa lebih.

"Ya sudah nggak usah sedih, nak Bowo kan pergi karena urusan pekerjaan, kok kamu jadi sedih begitu, seperti mau ditinggal setahun saja," ujar pak Marsam.

Asri tersenyum dan mengangguk. Pak Marsam tentu saja tidak tau apa yang dipikirkan anaknya. Seperti pesan Danik tadi, ia takut Damar akan mengganggunya ketika suaminya sedang tidak ada dirumah. Ia kedapur dengan perasaan gelisah. Sungguh Asri tidak bisa membenci Damar, kisah sedih yang diceriterakan sangat membuatnya trenyuh. Rasa trenyuh itu mengalahkan rasa takutnya apabila suatu sa'at nanti Damar mengganggunya. Asri bingung dengan perasaannya.

"Asri, bapak mau menjemput Pandu sekarang,. kayaknya sudah terlambat nih." tiba2 pak Marsam membuyarkan lamunannya.

"Oh, iya pak, sudah lebi 10 menit lho pak, nanti Pandu jalan kemana mana kalau bapak belum sampai disana."

"Ya..ya.. pasti Pandu nungguin kakeknya kok."

"Oh.. ya pak, baiklah, hati2 ya pak, dan jangan mampir kemana mana,"

"Baiklah," jawab pak Marsam sambil berlalu.

Asri melanjutkan memasak didapur. Agak kesiangan, jadi masak yang gampang2 saja supaya Pandu bisa segera makan begitu dia pulang nanti..

Masakan itu sudah siap, dan Asri menatanya dimeja. Ia ingin segera bertemu Pandu, mendekapnya untuk menguatkan hatinya. Ia merasa tiba2 hatinya lemah. Ia benci perasaan ini.

Ting tong... itu suara bel rumah, pertanda tamu datang. Bergegas Asri kedepan dan membukakan pintu. Didepan sudah berdiri bu Prasojo mertuanya, yang kemudian memeluknya erat.

"Ibu, masuklah.."

"Ibu hanya sebentar, tapi ibu masak goreng ayam kesukaan Pandu, nih.. ibu bawakan.."

"Ya ampun bu, iya bener, ini kesukaan Pandu, ibu memasak sendiri?"

"Ya donk, untuk cucu ibu harus tangan ibu sendiri yang memasaknya." 

Asri tertawa senang. Ia menerima sekotak ayam itu dan meletakkannya dimeja makan."

"Nanti ibu sekalian makan siang disini kan?"

"Ma'af Asri, besok saja ibu kesini agak lama, tadi ada temen ibu arisan mau nyamperin siag ini,"

Asri tersenyum, semakin tua ibunya masih juga aktif berkumpul dengan teman2nya untuk arisan atau apalah. 

"Jadi ibu mau langsung pulang?"

"Iya Asri, ma'af, sebetulnya ibu kangen sama Pandu, tapi ibu janji besok mau kesini seharian. Oh ya, bapakmu tadi menelpon bahwa tidak bisa pulang besok."

"Iya, mas Bowo juga sudah menelpon tadi."

"Semoga urusannya segera selesai sehingga pulangnya tidak mundur2 lagi ," ujar bu Prasojo sambil berlalu.

Asri meggeleng gelengkan kepalanya. Ibu mertuanya masih bersemangat untuk pergi kemana mana. Tapi untunglah sekarang ada sopir pribadi yang bisa menemaninya.

Ketika Asri mau masuk kerumah, didengarnya sepeda motor butut ayahnya memasuki halaman.Tapi Aasri heran, di boncengan pak Marsam tidak kelihatan Pandu anaknya.

"Asri... Pandu sudah pulang? Disekolah tadi sudah nggak ada."

Asri terkejut bukan alang kepalang. Dipeganginya daun pintu rumahnya agar tubuhnya tidak jatuh tersungkur.

  #adalanjutannyaya#


No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...