RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 25
(Tien Kumalasari)
Ikan itu dilemparkan begitu saja ke tanah, menggelepar-gelepar. Hasto terbelalak. Memang benar, mata ikan itu seperti mata manusia, berkedip-kedip dan tampak kesakitan.
Kenanga mendekat, menatap ke arah ikan itu. Ada yang aneh, pikir Kenanga. Lalu ia teringat perkataan almarhum ayahnya. Penghuni bukit Senyap lenyap tenggelam di dalam telaga yang terbentuk tiba-tiba, dan berubah ujud menjadi ikan. Ketika menjadi ikan, mereka tak berdaya karena tak bisa ke mana-mana.
Sekarang tiba-tiba ikan itu berada di sini?
“Dari mana mas Hasto mendapatkan ikan ini?”
“Seekor kucing menggondolnya. Ketika aku dekati, kucing itu melepaskan mangsanya. Aku pungut saja karena ikannya tampak masih segar. Maksudku agar kamu bisa membakarnya.”
“Ini bukan sembarang ikan, ini ikan siluman.”
“Masukkan ke dalam api … masukkan ke dalam api … masukkan ke dalam api.”
Kenanga menoleh, ia mengira salah seorang dusun menyuruhnya memasukkan ke dalam api. Tapi tak ada seorangpun laki-laki di situ, kecuali dua atau tiga wanita yang masih menemaninya. Barangkali mereka akan datang berramai-ramai lagi saat malam nanti.
“Suara siapa itu?” desis Kenanga.
“Suara apa? Aku tidak mendengar suara apapun,” kata perempuan dusun itu.
“Iya Kenanga, siapa yang bersuara?”
Tapi Kenanga yakin bahwa dia mendengar suara. Suara seorang laki-laki. Seperti suara ayahnya? Tak mungkinlah, bukankah ayahnya sudah meninggal? Kenanga melihat ikan itu menggelepar-gelepar.
“Masukkan ke dalam api ….”
Suara itu terdengar lagi, Kenanga mendongak ke atas, barangkali suara itu datang dari atas. Tapi kemudian Kenanga menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenanga? Bagaimana ini?”
Hasta yang penakut sudah sedikit gemetaran. Ia juga ingat apa yang dikatakan kakek bersorban.
“Suara siapa itu?”
“Bukan suara kakek?” Hasto belum tahu kalau kakek bersorban sudah meninggal, karena Kenanga belum sempat mengatakannya. Tiba-tiba Kenanga terdorong untuk memenuhi anjuran suara itu. Ia memungut ikan itu, lalu membawanya ke belakang rumah, di mana dua orang ibu sedang menyalakan api kayu untuk menanak nasi. Rupanya ibu-ibu itu sudah bersiap untuk malam nanti, yang tampaknya para warga di bawah akan kembali memadati rumah Kenanga.
Setelah mengucapkan kata permisi, maka Kenanga melemparkan ikan itu ke dalam bara api yang sedang menyala.
Tiba-tiba terdengar jeritan seorang perempuan, yang suaranya bergaung dari atas sana. Hasto terkejut, dan ketakutan. Ia merasa ada sesuatu yang menakutkan sedang terjadi. Ia menatap ke arah api. Bau busuk menyengat, lalu asap hitam bergumpal keluar dari bara itu. Lolongan jeritan itu menjauh ke atas sana. Hasto mundur-mundur, dan tubuhnya bersandar pada tiang rumah.
Semua orang diam. Keheranan ketika Kenanga melemparkan ikan itu masih memenuhi benak dua tiga orang perempuan yang ada di sekitar tempat itu, ditambah lagi aroma busuk yang tercium, suara jeritan seperti bergaung dari atas sana, lalu asap hitam bergulung keluar dari kobaran api. Beruntung mereka belum meletakkan dandang di atasnya. Kalau sudah, barangkali mereka akan membuang isinya, karena aroma busuk keluar dari ikan yang dlempar ke dalam api, yang dikhawatirkan akan mencemari nasi yang ditanak mereka.
“Ada apa ini?”
“Aneh, ikan dengan mata seperti mata manusia.”
“Berkedip-kedip. Mana ada mata ikan berkedik-kedip?”
“Itu ikan siluman dari bukit Senyap. Bukan ikan biasa,” kata salah seorang dari mereka.
“Bagaimana bisa sampai kemari?”
“Kata mas nya yang baru datang itu, tadinya ikan itu digondol kucing.”
“Ya ampun, sekarang ikan itu hilang tak berbekas. Abunya juga tidak ada.”
“Bagaimana ini, aku harus menanak nasi.”
“Ganti tungku saja, jangan di situ, serem … bekas siluman dibakar. Baunya sih sudah tidak ada, tapi lebih baik buat tungku yang baru lagi saja,” kata yang lain.
Sementara itu Hasto masih bersandar di tiang rumah. Dia baru sadar ketika Kenanga menyapanya.
“Duduklah di depan, nanti mengganggu yang sedang bekerja.”
Hasto mengikuti Kenanga. Debar jantungnya sudah mereda. Ketika Kenanga memintanya duduk di batu depan rumah, Hasto baru menanyakan tentang kesibukan yang ada.
“Mereka sedang apa?”
“Mereka adalah warga di bawah sana yang beramai-ramai untuk menemani aku.”
“Memangnya ada apa? Kamu harus ditemani? Kenapa?”
“Bapak meninggal kemarin.”
“Apa?” Hasto sampai terlonjak kaget.
“Di sana, bapak dikuburkan.”
“Ayo antarkan aku ke kuburan kakek,” kata Hasto, yang sesungguhnya takut mendekat sendirian.
Kenanga mengantarkannya. Ia bahkan belum bertanya mengapa Hasto kembali lagi padahal baru kemarinnya dia pulang dari tempat itu..
Hasto berjongkok di pinggir gundukan tanah yang belum mengering, mulutnya berkomat-kamit melantunkan doa.
“Kakek sakit apa? Kemarin masih menyapa aku walau hanya sebentar.”
Wajah Kenanga meredup, air mata menggenang di pelupuknya.
Hasto mengembangkan tangannya, ingin memeluk Kenanga, tapi kenanga mundur beberapa langkah.
“Maaf Kenanga. Lalu kamu sendirian di sini?”
“Banyak warga dusun menemani aku.”
“Ikutlah aku ke kota, kamu tidak akan kesepian. Kami akan menghibur kamu.”
Kenanga menggeleng lemah. Ia teringat Alvin yang juga berjanji akan membawanya ke kota, walau bukan sekarang. Siapa yang akan diturutinya?
Benarkah dia akan sanggup berbaur dengan keluarga Alvin yang kaya raya? Bukankah Hasto lebih sepadan dengannya, atau kalaupun ada berbedaan, itu tidak terlalu banyak. Hasto pernah mengatakan kalau kedua orang tuanya juga orang dusun. Sekarang apa yang harus dilakukannya?
“Kenanga, masa iya kamu akan hidup di sini terus, sendirian? Mungkin kamu sudah terbiasa dengan alam sekitar tempat ini, tapi waktu itu ada kakek, sekarang kamu benar-benar akan sendirian, aku tak tega melihatmu begini, Kenanga.”
“Aku tidak sendirian, banyak warga dusun menemani aku.”
“Hanya beberapa hari, setelah itu?”
“Entahlah, aku belum bisa berpikir. Biarkanlah aku merasa tenang.”
Seorang wanita dusun membawa nampan. Ia menyuguhkan minuman untuk Hasto.
“Silakan di minum. Kakek orang baik, bukan hanya kami warga dusun yang memperhatikan Kenanga. Kemarin juga ada pria ganteng yang menemani Kenanga bersama kami sampai pagi,” katanya kemudian berlalu.
Hasto terpana. Laki-laki ganteng menemani sampai pagi?
“Siapa?” Hasto menatap Kenanga penuh selidik. Tapi Kenanga tak harus menutupinya.
“Dia mas Alvin.”
Hasto yang sudah memegang cangkir tiba-tiba melepaskannya, sehingga sebagian isinya tumpah, membasahi celananya.
“Oh, celanamu kotor mas,” kata Kenanga, spontan.
“Benarkah Alvin datang kemari?”
Kenanga mengangguk. Wajah Hasto muram seketika.
“Apa dia sering datang kemari?”
“Baru sekali kemarin itu, dan saat dia ada, kakek meninggal,” kata Kenanga lirih.
“Apa yang dia katakan ketika datang? Melamar kamu?”
“Tidak,” jawab Kenanga berterus terang.
“Syukurlah,” jawabnya pelan.
Lalu keduanya tak banyak bicara, karena Kenanga juga sedang tak ingin bicara. Kecuali ia sedang berduka, ia masih bingung akan mengikuti siapa. Yang kaya raya dan dia belum tahu bagaimana sikap keluarganya, atau yang jelas bisa menerima karena merasa sama-sama orang dari kalangan orang biasa.
***
Bu Warsono senang ketika mendengar bahwa Alvin sudah ada di kantornya. Pak Warsono yang mengatakan ketika tadi dia menelpon ke kantor.
“Apa Bapak sudah berpesan agar sepulang dari kantor Alvin harus datang kemari?”
“Dia pasti sudah tahu. Masa dia tidak memperhatikan ibunya.”
“Hatinya sedang tidak tenang. Dia bingung antara memikirkan gadis yang disukainya, dan ibunya yang sedang sakit.”
“Bukankah Ibu sudah menyampaikan sikap Ibu melalui ponsel Alisa ketika dia susah dihubungi?”
“Mungkinkah dia sudah membaca?”
“Pasti sudah. Masa belum?”
“Tapi Bapak tadi menelpon kantor kan, bukan ponsel Alvin?”
“Ponselnya mati, mungkin tidak dicas semalaman. Sebentar lagi aku akan mencoba menghubungi ponselnya.”
“Nanti kalau nyambung, biarkan ibu bicara ya.”
“Iya, tapi Ibu jangan terlalu banyak berpikir.”
“Kata susternya, tensiku sudah menurun. Memang gula darahnya masih agak tinggi.”
“Makanya, Ibu tidak boleh banyak berpikir.”
“Tidak, ibu sudah merasa senang, Alvin ternyata pulang. Nanti kalau ketemu, ibu akan menyuruhnya mengajak gadis itu kemari. Semoga pilihan Alvin tidak mengecewakan.”
“Ya, terserah Ibu saja. Tapi mengapa tiba-tiba Ibu berubah pikiran? Ibu tidak bingung lagi, bagaimana nanti, punya menantu yang tidak selevel, apa tidak malu sama rekan bisnis bapak, atau juga saudara-saudara. Itu kan yang selalu Ibu katakan?”
“Alvin menangis di dada ibu, memohon agar ibu merestui, itu membuat batin ibu tersayat. Ibu akan mengesampingkan rasa malu, atau merasa punya derajat tinggi, demi Alvin, agar dia tidak lagi menangis,” kata bu Warsono tulus.
“Tapi Alisa tidak suka punya kakak ipar gadis hutan Bu.”
Alisa yang baru keluar dari kamar mandi mendengarkan pembicaraan ayah dan ibunya. Ia sangat tidak suka Kenanga, yang sudah bisa dibayangkan bagaimana nanti ujud dan penampilannya.
“Alisa, apa maksudmu?”
“Masa iya, ibu akan berbesan dengan aki-aki yang berpakaian lusuh dan pasti bau, dan juga tidak punya kesopanan yang seperti kita. Malu dong Bu.”
Bu Warsono diam. Ia kesal pada perkataan Alisa, walau sudah sejak semalam dia tahu bagaimana sikap ibunya terhadap keinginan Alvin.
“Alisa, jaga ucapanmu,” tegur sang ayah.
“Bukankah Sinta jauh lebih baik dari pilihan manapun? Dia juga terpelajar, dia anak pengusaha, dia cantik, dia_”
”Hentikan Alisa," sentak sang ayah.
Alisa diam, lalu dia pamit untuk pulang karena harus pergi ke kampus. Sambil melangkah, rasa kesal itu masih terbawa.
Pak Warsono mendekati sang istri, menenangkannya karena melihat bahwa istrinya merasa kesal pada ucapan Alisa.
“Jangan hiraukan perkataan Alisa. Lakukan apa yang Ibu suka.”
***
Siang hari itu Alvin ada di kantornya. Banyak yang harus dikerjakannya. Map-map bertumpuk menunggu diperiksa olehnya.
Tiba-tiba sekretarisnya datang, mengatakan bahwa ada tamu ingin bertemu.
“Siapa?” tanya Alvin.
“Katanya, namanya pak Hasto.”
***
Besok lagi ya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulilah maturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteAduhai aduhai
Matursuwun b Tien Mugi tansah pinaringan kesehatan ugi keberkahan
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun Rafli
Trrima kasih sudah membaca
Alhamdulillah.... eRKaDeBe_25 sdh tayang.
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien salam SEROJA dan tetap ADUHAI.
Sami2 mas Kakek
DeleteADUHAI
Iyessss.
ReplyDeleteIyeesss
DeleteApa kabar Prics21
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun
ReplyDeleteSehat bunda dan keluarga.
Ada apa Hasto ya ?
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun bapak Endang
Alhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~25 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terima kasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun BuTien π
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteHamdallah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 jeng Susi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteTerima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....25...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin
Hasto ke kantor Alvin...ada apakah gerangan?
Sdh kelihatan nih, yang tdk suka Alvin berhubunangan dengan Kenanga, adalah Alisa dan Hasto.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 25 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Herry
Mks bun cerbung RKDB 25 nya....selamat mlm bun smg sehat sllπ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Matur nuwun Bu Tien, tambah seru ceritanya....penuh konflik. Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat..
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillaah " Rumah Kenanga di tengah Belantara -25 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiinπ€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Ting
π‘π²π‘π΄π‘π²π‘π΄
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eRKaDeBe_25
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
π‘π²π‘π΄π‘π²π‘π΄
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Tumben belakangan.
Sami2... yangtie
ReplyDeleteTumben nih.
Terima kasih sudah membaca
Di bagian akhir, selalu ada kejutan...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Slmt pagii bundaqu..terima ksh cerbungnya..slm sht sll unk bunda sekelua4gaππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteHehe...Hasto menemui Alvin...mau negosiasi tentang Kenanga ya? Urusan hati kan beda...apalagi dibayangi "sumpah" kakek terhadap takdir Alvin dan Kenanga...π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien terus berkarya, semoga selalu sehat ya...ππ»
Btw, koreksi sedikit, kata "ujud" lebih tepatnya "wujud", karena berbeda artinya.
Terima kasih bunda Tien, RKDH 25 sudah tayangπππ
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteJangan ribut ya Hasto dg Alvin biar kenanga yg memilih