RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 19
(Tien Kumalasari)
Seorang anak muda berdiri gagah. Ditangannya ada bungkusan dari kresek berisi aneka makanan yang dibawanya dari bawah bukit. Tanpa mengatakan apapun dia menyerahkan bungkusan itu kepada Kenanga, yang diterimanya dengan tersenyum lucu.
“Ini apa?”
“Saya beli tadi dibawah. Untuk kamu dan kakek.”
Kenanga masuk, meletakkan bungkusan di bangku yang ada di dalam, lalu mempersilakan tamunya duduk di atas batu-batu berjajar yang memang dipergunakannya sebagai tempat duduk. Rumah Kenanga tidak ada ruang tamunya, seperti kebanyakan rumah. Tapi Hasto dengan senang hati duduk di batu itu, sambil menatap Kenanga tak berkedip.
“Apa kabar, Kenanga?”
“Baik. Kok bisa sampai di sini?”
“Kan dulu kamu menemani kami turun. Aku melewati jalan yang kita lewati dulu itu.”
“Oh, syukurlah tidak lupa.”
“Ya tidak, aku sangat mengingatnya, seperti aku selalu mengingatmu,” katanya sambil tersenyum. Kenanga membalas senyum itu, tapi kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia merasa kurang nyaman dengan pandangan itu.
“Apa kabar kakek? Apa dia ada di rumah?”
“Bapak baik-baik saja. Tapi sekarang sedang istirahat di dalam.”
“Apa aku bisa ketemu kakek?”
“Maaf. Kakek sedang istirahat, dia tidak suka diganggu.”
“Oh, maaf.”
“Aku buatkan minum?” tanpa menunggu jawaban, Kenanga masuk ke dalam lalu keluar sambil membawa sebuah cangkir kaleng berisi minuman.
“Silakan diminum,” kata Kenanga.
Bukan air putih, bukan teh, tapi sebuah minuman manis, yang entah dibuat dari apa. Ketika Hasto mencecapnya, ia ingat, minuman itu pernah dirasakannya ketika dia dan teman-temannya ada di sana.
“Selalu enak. Dibuat dari apa sih?”
“Dari tanaman dan daun-daun yang ada di sekitar tempat ini. Aku tidak pernah membeli teh di bawah. Di sekitar tempat ini bisa memberi kami makan dan minum yang cukup.”
Hasto mengangguk-angguk.
“Selain aku, apa ada yang sudah pernah datang kemari? Maksudku setelah peristiwa kami tersesat itu.”
“Belum, aku kira sudah melupakannya, karena kesibukan masing-masing. Tidak apa-apa, yang penting sehat semuanya.”
“Tapi aku tidak pernah melupakannya. Ketika turun dari tempat ini, aku berjanji dalam hati, untuk pada suatu hari nanti akan kembali lagi kemari. Alhamdulillah sekarang terlaksana, dan tidak nyasar.”
“Syukurlah.”
“Kami masing-masing sudah menyelesaikan kuliah kami, dan sudah bekerja. Tapi masih sering janjian untuk ketemu.”
“Semoga kalian berhasil.”
"Kami sedang sibuk mencari istri,” kata Hasto setengah bercanda.
“Kalian orang-orang pintar, pasti tidak susah mencari pasangan.”
“Tapi aku lebih suka gadis yang sederhana, seperti kamu,” kata Hasto lirih, agak malu-malu.
Kenanga tertawa.
“Apa yang diinginkan dari gadis seperti aku? Gadis dusun yang tidak berpendidikan, mana pantas berdampingan dengan pemuda kota yang jauh bedanya dengan gadis desa. Apalagi gadis hutan.”
“Yang penting bukan orang hutan,” canda Hasto, membuat Kenanga terkekeh.
“Ada-ada saja.”
“Tapi aku serius.”
Kenanga menatapnya tak mengerti.
“Aku tahu, kamu dijodohkan oleh kakek dengan Alvin. Tapi aku tidak yakin Alvin akan diijinkan orang tuanya. Mereka keluarga terpandang dan kaya raya. Sekarang Alvin juga sudah menggantikan ayahnya, duduk sebagai pimpinan perusahaan.”
Kenanga mengangguk mengerti. Ada sebuah jarum menusuk dadanya. Sedikit nyeri. Seperti digigit semut.
“Tapi aku bukan anak orang berada. Keluarga kami adalah keluarga sederhana yang hanya mengandalkan uang pensiun ayahku yang seorang guru. Aku disekolahkan dengan susah payah. Sekarang aku diharapkan oleh orang tua agar segera mencari istri.”
“Pasti aku doakan agar mendapatkan yang terbaik. Mas Hasto orang baik, pasti juga akan menemukan gadis yang baik.”
“Tapi aku ingin kamulah yang bisa menjadi istriku.”
“Apa?”
“Atau kamu akan menunggu Alvin yang keluarganya kaya raya? Memang harta itu gemerlap, tapi menyilaukan.”
“Aku bukan gila harta,” kata Kenanga dengan wajah tak suka.
“Maaf, maksudku bukan kamu. Aku tahu siapa kamu. Tapi kamu jangan merasa rendah diri. Keluargaku juga keluarga sederhana, ayah ibuku juga orang kampung, mereka tak akan keberatan punya menantu gadis dari desa seperti dirimu. Aku bersungguh-sungguh. Kalau saja aku bisa bertemu kakek, aku akan langsung mengatakannya.”
“Jangan. Bapak sedang beristirahat. Dia tak pernah suka diganggu.”
“Kalau begitu untuk sementara aku titipkan pesan lewat kamu, bahwa aku ingin melamar kamu.”
“Tapi aku ….”
“Kamu boleh memikirkannya dulu, yang penting kamu tahu bahwa aku bersungguh-sungguh.”
***
Ketika Hasto pulang, Kenanga memasuki rumah dengan wajah murung. Sesungguhnya dia selalu membayangkan Alvin yang datang, tapi Hasto sudah menggambarkan bagaimana keluarga Alvin. Terpandang, kaya raya, lalu siapa dirinya? Apakah Hasto lebih pantas menjadi pendampingnya? Yang menurut Hasto lebih sepadan, karena orang tuanya juga berasal dari kampung?
“Ada apa?” kakek bersorban menegurnya pelan, tapi cukup membuat Kenanga terkejut karena dia sedang melamun.
“Pak, tadi mas Hasto yang datang. Ini, dia membawa kue-kue dan buah-buahan," kata Kenanga sambil mendekat, lalu meletakkan makanan pemberian Hasto di sebuah baki.
“Ini makanan orang kota.”
“Bapak mau coba?”
“Nanti saja.”
“Apa Bapak merasakan sakit?”
“Tidak. Bapak hanya lelah. Kamu benar, tidak mengijinkan anak muda itu menemui bapak. Bapak sedang ingin sendirian saja, tak ingin banyak bicara.”
“Bapak mendengar kami bicara?”
“Bapak juga mendengar maksud kedatangannya.”
Kenanga duduk di ranjang, di dekat kaki ayahnya. Wajahnya menunduk.
“Jodohmu bukan dia.”
“Bukankah jodoh harus dengan orang yang sepadan?”
“Jodoh adalah siapapun yang bisa menerima keadaan dan baik serta buruknya si jodoh itu.”
“Dia tadi mengatakan itu.”
“Apa kamu menyukainya?”
Kenanga menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Kakek bersorban tersenyum tipis.
“Percayalah kalau jodoh itu bukan kita yang memilihnya. Kita boleh menginginkan sesuatu, tapi semuanya ada di tangan Yang Maha Mengetahui. Maha Kuasa. Maha segala Maha yang Agung, Yang Suci, Yang Mulia.”
“Tapi mengapa kakek menjodohkan aku dengan dia?” kata Kenanga yang merasa malu mengucapkan nama Alvin.
“Aku bukan menjodohkan. Aku hanya setengah bercanda ketika menyumpahi dia akan jadi jodohmu. Seperti yang aku katakan tadi, kita boleh menginginkan sesuatu tapi semuanya ada di tangan Yang Maha segala Maha, tak ada duanya.”
Kenanga menundukkan kepalanya, mempermainkan ujung bajunya yang terikat di depan perutnya.
“Mengapa kamu risau? Kenanga, kamu itu sudah dewasa, memang sudah saatnya kamu memiliki suami. Tapi kamu adalah perempuan, jodohmu akan datang kemari, bukan kamu yang akan mencarinya.”
Tapi mengapa yang datang adalah Hasto? Diakah jodohku? Itu yang dipikirkan Kenanga, tapi tak berani mengutarakan kepada sang ayah.
“Kenanga, bapak berharap, kalau bapak sudah tak ada nanti, kamu sudah memiliki seseorang yang melindungi kamu.”
“Mengapa Bapak bicara tentang itu lagi?”
“Seperti juga jodoh, umur manusia juga bukan manusia yang menentukan. Sebuah perjalanan nanti akan sampai pada suatu titik, dan titik itu adalah sebuah dunia yang lain, yang kita tidak bisa menebaknya.”
Kenanga mengusap air matanya.
“Kamu menangis? Bukankah aku selalu mengajari kamu agar kamu kuat?”
“Kenanga bisa melakukan apa saja, tapi Kenanga tak bisa hidup tanpa Bapak.”
“Hei, mana bisa begitu? Apa kamu tidak kasihan pada bapakmu ini, yang renta tapi masih harus memikirkan banyak hal dalam hidupnya? Ada kalanya manusia bisa lelah. Kamu harus mengerti itu.”
Lalu Kenanga menubruk kaki ayahnya, menangis terisak di sana. Sang ayah mengelus kepalanya lembut. Ada doa dipanjatkan, agar sang anak menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.
***
Alisa sedang menunggui sang ibu di rumah sakit. Ia menatapnya dengan penuh rasa prihatin.
“Mengapa Ibu tidak tidur?”
“Belum bisa tidur, pikiran ibu macam-macam.”
“Ibu bagaimana, bukankah dokter menyuruh agar Ibu banyak beristirahat? Nanti kalau Ibu banyak pikiran, tensi susah turun, gula darah juga pasti tetap tinggi, walaupun ibu sudah minum obat.”
“Badan ibu rasanya sangat tidak enak.”
“Alisa mengerti Bu, namanya orang sakit, badan pasti terasa tidak enak. Tapi Ibu harus sabar, dan jangan memikirkan apapun. Ayuk selalu berdoa agar Ibu segera sehat kembali.”
“Ibu sudah selalu berdoa. Tapi ibu bukan berdoa untuk ibu sendiri. Ibu memikirkan Alvin juga.”
“Memangnya mas Alvin kenapa Bu?”
“Ibu itu sebenarnya ingin sekali segera bisa menimang cucu. Tapi Alvin susah sekali disuruh segera menikah.”
“Mas Alvin belum punya pacar. Alisa juga heran. Banyak teman-teman gadis mengejar dia, tapi mas Alvin acuh saja.”
”Dia menyukai seorang gadis dusun.”
”Gadis dusun siapa?”
“Yang rumahnya di tengah belantara itu.”
“O, yang mas Alvin cerita waktu dia tersesat itu?”
“Ibu sedih sekali memikirkannya. Masa iya, ibu akan punya menantu gadis yang terbiasa hidup di hutan, yang pastinya tidak punya tata krama, yang pastinya juga tidak pantas bergaul dengan keluarga kita. Ibu kan malu Alisa, kalau sampai rekan-rekan bisnis ayahmu mendengar tentang asal usul gadis itu.”
“Apa itu benar?”
“Ia bilang sendiri pada ibu. Hanya saja dia belum pernah bicara pada gadis itu bahwa dia suka. Bantu ibu mencegahnya Alisa, tampaknya dia akan nekat. Ibu sedih memikirkan itu.”
“Ibu, baiklah, nanti Alisa akan bicara pada mas Alvin. Tapi aku mohon Bu, jangan sampai Ibu terlalu memikirkan mas Alvin, nanti ibu tidak sembuh-sembuh. Pikiran atau perasaan hati itu mempengaruhi kesehatan seseorang. Jadi Ibu jangan banyak pikiran ya Bu, supaya Ibu segera sembuh dan bisa pulang ke rumah.”
“Entah bagaimana, ibu tidak bisa melupakannya.”
“Ibu harus berusaha untuk tidak memikirkan mas Alvin, nanti Alisa akan bicara pada mas Alvin.”
“Apa mungkin, dia mau mendengarkan apa yang kamu katakan?”
“Bu, sudahlah Bu, ayo tidur, Alisa pijit kaki ibu, ya.”
“Pelan-pelan, di bagian yang luka itu sakit sekali kalau dipijat.”
“Iya Bu, Alisa tidak akan memijit di bagian itu.”
***
Ketika Alisa pulang ke rumah, dilihatnya Alvin duduk di ruang tengah, masih dengan pakaian kerja, hanya sepatunya saja yang dilepas. Ia bersandar pada sandaran sofa, seperti tak mendengar langkah kaki adiknya.
“Mas Alvin baru saja pulang?”
Alvin mengangkat wajahnya. Alisa masih berdiri menatapnya, dan melihat wajah kusut kakaknya.
“Mas kelihatan capek sekali. Di kantor banyak pekerjaan?”
“Banyak yang harus diurus. Aku belum ke rumah sakit karena tahu kamu masih ada di sana.”
“Bapak sudah datang, lalu aku pulang.”
“Bagaimana keadaan ibu?”
“Belum begitu baik. Tensi masih tinggi, jantungnya juga bermasalah. Gulanya juga belum turun secara signifikan.”
“Ibu terlambat berobat. Tak pernah mengeluh apapun. Kemarin itu karena lukanya semakin parah jadi badan terasa nggak enak. Mungkin infeksi.”
“Kata dokter, karena gulanya tinggi, maka lukanya susah sembuh. Aku sangat khawatir. Ayahnya teman kuliahku, kakinya diamputasi gara-gara luka karena gula tinggi.”
”Kamu membuat aku takut.”
“Ibu juga banyak pikiran. Sehingga susah mengendalikan penyakitnya.”
“Ibu memikirkan apa?”
“Memikirkan mas Alvin kan?”
“Aku?”
“Ibu sangat sedih, karena mas Alvin suka pada gadis hutan itu.”
“Apa?”
“Ibu mengatakan semuanya padaku. Ibu berharap aku bisa mencegah keinginan mas Alvin untuk mendekati gadis itu.”
Alvin menghela napas panjang. Padahal liburan mendatang dia bermaksud pergi untuk menemui Kenanga.
“Apa mas Alvin sangat mencintai gadis itu? Apa sih kelebihannya gadis dusun? Pasti lusuh, kumel, tidak bisa dandan. Ibu juga mengatakan kalau malu seandainya mas nekat mendekati gadis itu.”
“Mengapa perbedaan kasta bisa menjadi penghalang sebuah cinta?”
“Kalaupun mas tidak peduli pada perbedaan kasta, dan tetap akan memperistri gadis itu yang entah bagaimana penampilannya, apa mas tidak khawatir, bagaimana kalau kenekatan mas akan membuat sakit ibu semakin parah?”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang
ReplyDeleteππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eRKaDeBe_19
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai π¦πΉ
ππππππππ
Alhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~19 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 19" sampun tayang,
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Alhamdulliah . Matur nuwun bunda
ReplyDeleteCerbung Rumah kenanga udah terbit
Semoga sehat selalu.
Mudah"an kake bersorban bisa mengobati ibunya Alvin
Alhamdulillah....
ReplyDeleteTernyata benar dugaan mas Mera, Hasto mau menlikung Alvin.... Kalau saya terserah penulisnya, karena dugaanku salah, tadinya saya kira Hasto disuruh Alvin "golek srana" obat untuk sang ibu, jika mujarab Ibunya lalu sayang sama Kenanga.
Eeee ternyata datang ada maunya.....
Terima kasih Bu Tien, salam SEROJA dan.....
tetap ADUHAI.
Salam dari Antapani mBandung π€π
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat...
ReplyDeleteMks bun, smg bunda dan pak Tom sll sehat sll dlm lindungan Allah....selamat malam salam kangen bun
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien cerbung nya,smg ibu sll sehat,bahagia tetap semangat menulis cerbung yn menarikπ
ReplyDeleteAlhamdulillah mksh Bu Tien smg sekeluarga sll diberikan kesehatan
ReplyDeleteHamdallah sdh tayang
ReplyDeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSalam seroja dan bahagia bersama keluarga . .
Terima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....19...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Alvin...musim liburan nnt kamu naik bukit ya, menemui Kenanga. Kamu yakinkan bahwa Kenanga bukan gadis desa, seperti anggapan ibumu dan adikmu.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
Sal aduhai hai hai
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 19 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Terima kasih bu Tien semoga selalu sehat dan tetap semangat berkarya.
ReplyDelete