MAWAR HITAM 36
((Tien Kumalasari)
Bagus diam, tapi dia tak membantah pada perkataan Sinah. Barangkali pikirannya sudah buntu, dan dengan linglung kemudian dia ikut turun dari atas mobil, ketika Sinah menghentikan mobilnya di tepi sebuah sungai.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Bagus dan salah satu temannya yang ikut bersama Sinah.
“Dorong mobil ini ke bawah.”
“Tapi bagaimana dengan gadis itu?”
“Dia hampir mati, apa yang bisa kita dapatkan dari dia? Yang penting kita harus bisa menghilangkan jejak."
“Kamu itu melakukan sesuatu yang berbahaya, tapi akhirnya kamu tidak mendapatkan apa-apa,” omel Bagus.
Sinah diam, karena itu adalah benar. Ia berusaha mendapatkan Satria dengan melenyapkan Dewi, tapi setelah Dewi dilenyapkannya, Satria masih jauh dari jangkauan. Jangankan bisa jatuh cinta padanya, bersikap manis sedikit saja tidak pernah dilakukannya. Tapi ia sangat benci pada Dewi.
Sinah punya banyak akal, tapi dia bukan orang yang cerdas. Kelakuannya yang buruk tak pernah diperhitungkan sebagai gagal atau berhasilnya setiap usaha. Baik untuk menarik simpati orang lain, apa lagi untuk membuat orang jatuh cinta padanya.
Ia merasa kalau dia punya uang dan kekuasaan maka semua keinginannya pasti akan terlaksana,
“Hei, mengapa bengong? Ayo lakukan. Kita bertiga, masa tidak bisa mendorong mobil ini?”
Malam sudah semakin larut. Mendung masih melingkupi langit, sehingga gelap di sekelilingnya.
Tarik ulur yang terjadi diantara mereka bertiga tidak segera membuat keinginan Sinah terlaksana.
“Baiklah, kalau kalian keberatan, terserah. Tapi kalau sampai kalian tertangkap polisi, jangan bawa-bawa aku,” kata Sinah yang sebenarnya juga merasa takut.
Kemudian Sinah mendekati belakang mobil, berusaha mendorongnya. Bagus dan temannya terpaksa membantu. Mereka tak mengira kalau pintu mobil bagian depan terbuka lebar. Mobil itu terus di dorong, menembus semak pohon-pohon perdu, lalu terjun di kedalaman sungai.
“Cepat kita lari, dan cari tempat yang aman, setelah pagi aku akan kembali ke rumah.”
Ketiganya meninggalkan semak, lalu bergegas ke jalan raya. Sepi di sekelilingnya, dan barangkali juga hujan akan kembali turun.
“Tak ada kendaraan lewat yang bisa kita tumpangi,” keluh Sinah.
Tapi tidak, sebuah kendaraan kemudian menuju ke arah mereka, dan tanpa diberhentikan, mereka sudah langsung berhenti, membuat ketiganya terkejut, apalagi ketika melihat bahwa itu mobil polisi.
Tapi Sinah memberi isyarat agar mereka terus melangkah.
Namun dua orang polisi turun dari mobil itu dan menghentikan mereka.
“Berhenti.”
Bagus dan temannya sudah gemetar ketakutan, tapi Sinah masih mampu menjawab.
“Ada apa ya?”
“Apakah Anda yang bernama Sinah?”
“Saya Mawar.”
“Ya, Sinah atau Mawar itu sama kan?”
“Mana mungkin? Saya adalah seorang pengusaha, siapa Sinah?”
“Mengapa Anda berjalan kaki?”
“Kami sedang mencari tumpangan. Mobil saya mogok.”
“Mogok di mana? Kami tidak melihat ada mobil mogok di sekitar sini.”
“Di … sana, kami sudah berjalan jauh.”
“Di sana mana?”
“Mobilnya kecebur di sana,” tiba-tiba Bagus yang ketakutan justru mengaku. Dia yakin polisi tidak gampang percaya begitu saja.
“Kecebur?”
“Tidak … tidak, dia ngawur.”
Salah seorang polisi yang menjadi pimpinan segera menyuruh temannya untuk memborgol ketiganya. Lalu yang lain melihat ke arah yang ditunjuk Bagus. Polisi terkejut, ada jejak mobil merusak semak.
“Mana kedua orang itu?”
“Si … siapa Pak?”
“Kalian menculik seorang gadis, lalu ada lagi seorang laki-laki, di mana mereka?”
“Si … siapa menculik? Kkami tidak tahu siapa … maksud … eh… apa maksud Bapak,” kata Sinah yang mulai ketakutan.
Tiba-tiba dari arah dimana mobil itu terperosok atau diperosokkan, beberapa polisi mengatakan bahwa tak ada orang di dalam mobil itu?
“Tidak ada?”
Sinah dan Bagus saling pandang. Kalau tak ada orang, ke mana perginya Dewi? Kata batin mereka.
“Tadi ada di dalam mobil,” kata Bagus gemetaran.
“Dua-duanya tak ada?”
“Yang satu sudah dibawa ke rumah sakit,” kata teman Bagus, sama dengan Bagus, iapun gemetaran.
Tetapi mereka tak menemukan sosok yang dikatakan Bagus. Barangkali hanyut. Pencarian segera dikerahkan, sementara ketiga pesakitan digelandang ke kantor polisi.
***
Di rumah sakit, malam itu, pak Sunu menunggui Andra yang luka parah. Di sampingnya, bu Sunu dan Andira yang terus saja menangis terisak-isak.
“Kenapa mas Andra? Kecelakaan di mana? Apa yang terjadi? Mengapa kata dokter lukanya parah?”
“Tenanglah dulu Andira, nanti setelah ditangani, pasti kita akan mendapat keterangan yang jelas,” hibur pak Sunu.
“Ini semua salah Bapak, kalau sampai mas Andra tidak tertolong, Andira akan ikut mati bersamanya,” tangisnya.
“Andira, jangan berkata begitu. Tidak baik.”
“Ini benar Bu, Andira tidak bisa hidup tanpa mas Andra."
“Berdoalah agar dia tertolong, jangan berpikir yang bukan-bukan, dan jangan berkata buruk.”
Tadi pak Sunu yang mendapat telpon dari kantor segera pergi ke rumah sakit, setelah membawa serta Andira yang sejak sore tak bisa tidur. Ada rasa lega ketika mendengar Andra ditemukan, tapi sedih sekali ketika melihat keadaannya. Punggungnya penuh luka, dan kepala serta lengannya juga terluka. Darah membasahi banjunya yang putih. Andira hanya sebentar bisa melihat keadaan suaminya, karena dokter segera menanganinya.
Ia hanya duduk sambil menunggu, dengan air mata yang terus bercucuran.
Hari hampir pagi, ketika perawat mengatakan bahwa Andra sudah siuman. Andira segera mendahului menghambur ke dalam, karena yang diijinkan masuk hanya satu orang saja.
Melihat kepala dan tangan dibebat perban, Andira segera menubruknya.
“Mas Andra … mas Andra …”
Andra membuka matanya, dan dengan heran ia melihat istrinya ada di dekatnya.
“Andira, kamu Andira kan?”
“Tentu saja aku Andira, apa ada perempuan lain yang memperhatikan Mas seperti aku melakukannya?" tangis Andira.
“Andira … bagaimana kamu bisa berada di sini? Bagaimana aku bisa berada di sini juga?” tanya Andra dengan suara lemah, karena bibirnya bengkak, dengan menahan sakit karena sebelah tangannya tersambung selang infus, sedang tangan satunya diperban, Andra memeluk kepala istrinya.
“Aku juga tidak tahu ceritanya, katanya Mas ditemukan di jalan, lalu orang itu membawanya ke rumah sakit ini.”
Andra memejamkan matanya. Ia juga tidak tahu mengapa bisa terluka parah. Ia mencoba mengingat-ingat tapi kepalanya terasa pusing.
“Tiba-tiba ada yang memukuli aku, lalu entahlah, aku tak ingat apa-apa lagi.”
“Ya sudah, ceritanya nanti saja, yang penting Mas segera sembuh, jangan pernah sakit lagi.”
“Kamu dengan siapa?”
“Bapak dan ibu … “
“Bapak dan ibu Sunu?”
“Tentu saja, apa aku punya bapak dan ibu yang lain?”
“Tapi, bukankah … bapak membenci aku?”
“Kalau bapak membenci Mas, aku juga akan benci pada bapak. Aku sudah tahu ceritanya, aku menyesal bapak menghukum kamu begitu berat. Aku mencari ke rumah Mas, ternyata Mas tidak pulang. Aku terus menunggu, lalu berita menyedihkan ini terdengar.”
“Aku memang tidak bermaksud pulang ke sana, itu bukan rumahku. Aku tak mau menyentuh barang-barang keluargamu."
“Mas jangan begitu, aku tidak membenci Mas, aku memaafkan Mas, jangan pergi lagi. Kalau Mas pergi, aku akan ikut bersama Mas.”
Air mata Andra berlinang-linang. Ucapan sang istri membuatnya luluh. Beban yang menghimpit serasa semakin membebani. Cinta sang istri begitu tulus, dan dia mengotorinya dengan perilaku yang walau kemudian disesalinya, tapi tetap menodai cinta yang seharusnya dirawatnya dengan sepenuh jiwa.
“Mas masih mencintai aku bukan?”
Bukannya menjawab, Andra semakin erat memeluk sang istri, tak peduli lengannya terasa sakit, dan kepalanya berdenyut semakin menggigit.
Andira terkejut ketika perawat memintanya keluar.
“Mohon maaf Bu, sebaiknya Ibu menunggu diluar, kalau keadaan pak Andra stabil sampai pagi nanti, bisa dipindahkan ke ruang rawat. Dia perlu beristirahat.
“Tapi ayah dan ibu saya belum ketemu dia,” kata Andira.
“Nanti saja di ruang rawat ya Bu, dokter melarang pasien banyak berbicara dulu. Tapi nanti kalau keadaannya stabil, bisa dipindahkan ke ruang rawat, baru keluarganya bisa bertemu, asalkan tidak terlalu mengganggu."
Andira mengecup kening suaminya, menciumi tangannya, lalu melangkah keluar.
Andra merasa hatinya tercabik-cabik. Tak urung dia membuat istri dan pastinya keluarganya juga terbebani dengan keadaannya.
Andira keluar dari ruang IGD sambil mengusap air matanya. Ia duduk di samping sang ibu, yang kemudian merangkulnya.
“Bagaimana keadaannya? Bisa bicara?”
“Bisa, tapi dia tak tahu apa yang terjadi. Katanya tiba-tiba ada yang memukuli, lalu dia pingsan, tak ingat apa-apa lagi.”
“Biar nanti diurus yang berwajib, aku akan melaporkannya,” kata pak Sunu tandas.
“Kita bisa ketemu? Ayahmu ingin bertemu.”
“Katanya nanti, kalau sudah dipindahkan ke ruang rawat. Mas Andra baru di observasi, kalau keadaannya normal besok bisa dipindah ke ruang rawat,” terang Andira yang merasa semakin tenang.
“Katakan pada petugas, berikan kamar terbaik untuk menantuku,” kata pak Sunu, yang membuat Andira merasa senang atas perhatian ayahnya.
“Terima kasih, Pak," kata Andira yang segera berdiri dan menyampaikan kepada perawat atas pesan ayahandanya.
***
Sementara itu Satria dan Listyo kebingungan, karena sampai pagi harinya Dewi belum juga diketemukan. Perkiraan sementara, Dewi hanyut terbawa arus sungai karena ketika ditemukan, pintu samping kiri mobil tampak terbuka.
Pencarian sudah dilakukan, tapi Dewi seakan lenyap ditelan bumi.
Betapa sedih keluarga Dewi ketika mendengar peristiwa itu. Mereka segera menuju Jogya agar bisa mendapat keterangan lebih cepat tentang anak mereka.
Yang tak kalah sedih dan bingung adalah mbok Manis. Ia heran anak semata wayangnya bisa melakukan hal yang sangat luar biasa jahatnya. Ia enggan menemuinya di tahanan, hanya menangis di rumah. Menangisi nasibnya yang serasa sangat buruk tak terkira.
“Jadi ketika dia menjadi penjual buah atau makanan waktu itu, rupanya hanya untuk mengelabui kita, bahwa yang namanya Mawar itu berbeda dengan Sinah,” kata mbok Manis diselingi isak. Antara mbok Manis dan mbok Randu saling memanggil ‘yu’ karena umurnya hampir sebaya.
“Iya Yu, mau bagaimana lagi, ini adalah kesalahan anakmu sendiri. Tapi yang aku heran, kok bisa-bisanya dia tiba-tiba jadi orang kaya. Tapi itu dosa besar Yu, dia tidak menghormati orang tuanya. Berburu kesenangan dengan cara yang salah.”
“Itu sebabnya aku enggan bertemu dia Yu, paling aku hanya ingin marah, dan menangis.”
“Tapi sebaiknya ya bertemu Yu, supaya Sinah tahu bahwa ada orang tua yang memperhatikannya, lalu dia bisa menyadari kesalahannya.”
“Entahlah, kapan aku ketemu, sekarang ini bendoro kita juga berduka dengan belum ketemunya den ajeng Dewi.”
Mbok Randu dan mbok Manis bertangis-tangisan karena duka yang bertumpuk-tumpuk.
***
Disebuah rumah sederhana, seorang laki-laki tua sedang memberi minum kepada seorang gadis yang berbaring lemah.
Ia sudah menghubungi mantri kesehatan, agar melihat dan mengobati gadis muda yang diakuinya sebagai cucunya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteeMHa_36 sdh hadir.....
Alhamdulillah
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 36* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 36 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda cepat sembuh dari sakit flu batuk dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
ππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eMHa_36
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€². Salam serojaπ
ππππππππ
Terima kasih bu Tien, dalam keadaan kurang sehat masih saja menulis demi penggemar cerbung eMHa tidak kecewa. Lagi rame²nya dan menegangkan....
ReplyDeleteWalau lari, pasti ketangkap kau Sinah.
Syafakillah bu Tien, ka ba'-sa thohuurun InshaaAllah.
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 36" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun ππ©·π©·
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, syafakillah Bunda....
ReplyDeleteAlhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 36 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah MAWAR HITAM~36 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..π€²
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeletematur nuwun Bunda Tien, semoga sehat2 ya Bunda dan Pak Tom , aamiin YR'A
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Bu Tien semoga lekas sembuh.
ReplyDeleteCepat sekali Sinah tertangkap. Apalagi Bagus justru 'menuntun' polisi mengungkap kejadiannya. Ya.. Orang ketakutan karena bersalah.
ReplyDeleteDewi selamat ya, dirawat pak Tua yang tinggal di tepi sungai.
Salam sukses mbak Tien yang aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.
Alhamdulillaah " Mawar Hitsm-36" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiinπ€²
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Mbak Tien semakin menjadi-jadi daya imajinasinya membuat kita termehek-mehek membaca ceritanya...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteTerima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 36..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Episode ke 36 ini menegangkan, haru, seram,...Dewi di larung bersama mobil nya Sinah s Mawar Hitam di sungai Progo di malam yang gelap dan menyeramkan...he...he...
Tapi Gusti Allah SWT ora sare...dan telah tiba saat nya mereka tertangkap oleh Polisi.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteSabaaar ya Dewi ....
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat bahagia selalu nggih Buππ
Alhamdulillah, mawar hitam 36 sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun bu tien, sehat selalu
Dewi ga sempat kecebur bersama mobil ya...bersyukur diselamatkan kakek tua. Kapok Sinah cs tertangkap polisi.ππ»
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...semoga cepat sembuh batuknya dan pulih kembali.ππ»ππ»ππ»