MAWAR HITAM 08
(Tien Kumalasari)
Pak Sawal saling tatap dengan istrinya. Ada perasaan tidak enak karena Dewi membawa mobil berikut sopirnya.
“Berikan alamatnya saja, nanti saya sama ibunya Satria menyusul pakai andong atau becak,” kata pak Sawal.
“Ya tidak bisa begitu, Pak. Masa satu rombongan berangkatnya sendiri-sendiri. Tidak apa-apa kita bareng sekalian, ya kan Sat?”
“Sebenarnya mau ke rumah makan mana sih? Jauhkah?”
“Tidak, nanti man Tangkil yang akan membawa kita ke sana. Kemarin sudah pada nyobain, katanya enak.”
Dewi tentu saja tidak tahu tentang pemilik rumah makan yang wajahnya mirip Sinah, karena saat di rumah dia tidak mendengar ketika ayah dan ibundanya berbicara tentang pemilik rumah makan yang mirip Sinah, dan setelah itu tidak membicarakannya lagi karena dianggap tidak penting.
Karena dipaksa, maka akhirnya pak Sawal dan istrinya bersedia ikut bersama Dewi, diantar oleh sopir keluarga Adisoma.
Agak jauh sih, karena rumah makan Mawar Hitam letaknya tidak di tengah kota, tapi lokasinya strategis karena dekat perkantoran, sehingga rumah makan itu cepat mendapatkan pelanggan.
Tangkil memarkir mobilnya di tempat parkir, setelah menurunkan ‘penumpangnya’ di depan lobi.
“Nanti menyusul masuk ya Man?” kata Dewi.
“Baik, Den Ajeng.”
Agak terasa nggak enak ketika mendengar pak sopir memanggilnya den ajeng. Dan dia akan menjadi menantunya? Diam-diam bu Karti membandingkan Dewi dengan Sinah. Memang sih, jauh cantik Dewi, tapi apakah tidak ketinggian kalau Satria memilih dia? Sedangkan Sinah gadis dari keluarga biasa, justru sepadan dengan keluarganya.
Dewi menggandeng bu Karti masuk, lalu seperti biasa, pemilik rumah makan dengan pakaian serba hitam itu menyambut dengan ramah. Tapi bu Karti dan semuanya terbelalak memandangnya.
“Nak Sinah?”
”Sinah?”
Sinah tertegun. Tadi dia tidak mengira kalau yang datang adalah orang-orang yang dikenal dan tentu saja mengenalnya. Tapi bukan Sinah kalau tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.
“Selamat datang di rumah makan ini, silakan masuk,” katanya sambil tersenyum sumringah.
“Sinah?” ucapan itu terlontar dari semua yang datang.
Sedikit berdebar, Sinah mengeluarkan senyuman manis.
“Anda semua salah mengenali orang. Saya pemilik rumah makan ini, nama saya Mawar. Sinah itu kan nama gadis kampung yang tidak ada manis-manisnya sama sekali.”
“Mawar?” ucapan itu juga dilontarkan oleh semuanya, dan Satria kemudian ingat tentang seorang nona kaya yang ditemuinya saat dirinya membeli hadiah untuk keluarga Listyo yang baru mendapatkan putra beberapa hari sebelumnya.
Tanpa ditanya waktu itu dia mengatakan bahwa dirinya bernama Mawar, sementara sebelumnya Satria juga merasa bahwa dia adalah Sinah. Sekarang wanita itu ada di sini, menjadi pemilik rumah makan baru yang kabarnya masakannya sangat enak.
Satria menatap Sinah yang matanya berbinar aneh ketika menatapnya. Satria membuang muka, lalu dia menarik sang ayah yang langsung diajaknya masuk.
Dewi juga teringat pernah melihat Sinah yang walau hanya sekilas, Satria mengatakan bahwa itu bukan Sinah tapi Mawar.
Kemudian ia menarik tangan bu Karti yang masih bengong seperti sapi ompong, matanya menatap Sinah tak berkedip.
“Bukan nak Sinah? Persis sekali,” gumamnya, yang kemudian mengikuti Dewi yang membawanya ke arah sebuah meja, di mana Satria sudah lebih dulu memilihnya.
“Silakan duduk dengan nyaman, dan memilih menu mana yang Anda sukai,” Sinah menyusul mereka dan mengucapkan kata ramah itu persis di samping Satria duduk, hampir menyentuhnya.
“Terima kasih.”
Yang menjawab adalah Dewi, yang agak risih juga melihat sikap ‘Mawar’ yang seperti berlebihan.
***
Sinah mundur ke arah ruang kantornya. Ada sekat kaca tebal yang membentang diantara kantor itu dan area tempat para tamu menikmati hidangannya. Ia menatap Satria dengan pandangan kagum. Satria sudah tampak semakin dewasa, semakin gagah dan tampan. Sangat sulit bagi Sinah untuk menghilangkan perasaan suka pada Satria. Tapi ia sangat benci melihat Dewi yang duduk di depan Satria, lalu melihatnya saling pandang dengan mesra, lalu terkadang Dewi mengambilkan sepotong makanan, diletakkannya di piring Satria.
“Dasar genit. Mentang-mentang keluarga ningrat dan terpandang, merasa bisa menguasai Satria. Coba tidak ada dia pasti aku sudah bisa memiliki Satria. Bukankah bu Karti sangat menyukai aku dan selalu menganggap bahwa aku adalah calon menantunya? Tapi lihat, sekarang bu Karti bersikap sangat baik kepada Dewi. Dasar perempuan mata duitan. Pasti Dewi sering memberinya sesuatu yang berharga. Mungkin juga uang, atau perhiasan, atau apalah, pokoknya agar bu Karti suka pada dirinya. Huhh, apa yang harus aku lakukan agar bisa menyingkirkan gadis itu?” gumamnya sambil terus menatap ke arah Satria yang semakin lama semakin membuatnya kesal karena sikap manisnya kepada Dewi.
Sementara itu Dewi selalu menenangkan bu Karti dan pak Sawal yang meragukan hubungannya dengan Satria, dan menganggapnya kelak akan menyia-nyiakannya.
“Saya mengenal Satria sejak lama, dan selalu menganggap bahwa kami tidak berbeda.”
“Bagaimana dengan den mas Adisoma dan keluarganya. Mereka keluarga ningrat yang terhormat, mana mungkin mau berbesan dengan keluarga Sawal yang hanya orang rendahan?”
“Orang tua saya sudah mengenal Satria. Bahkan ibu saya mengenalnya sejak sebelum tahu bahwa saya mengenal Satria. Mereka tidak pernah mengatakan tidak suka. Mereka hanya berharap agar saya bisa menyelesaikan pendidikan saya.”
“Pak, Bu, Satria juga belum memikirkan masalah pernikahan. Satria akan mencari pekerjaan terlebih dulu, menabung, dan setelah merasa siap baru akan melamar Dewi. Kalau saya masih seperti ini, mereka akan meragukan saya, apakah benar saya bisa menjadi suami untuk putrinya, atau tidak. Tapi sejauh ini saya tidak merasa bahwa mereka tidak menyukai saya,” sambung Satria.
“Syukurlah, kamu adalah satu-satunya anak bapak dan ibumu ini, dan harapan kami adalah kamu bisa menemukan hidup tenang dan bahagia,” kata sang ayah lagi.
“Doa dan restu Bapak serta Ibu selalu Satria harapkan.”
Dewi sangat mengagumi hubungan keluarga ini, antara anak dan orang tuanya. Ternyata rasa hormat dan menghargai orang tua juga dimiliki oleh orang kebanyakan, bukan hanya keluarganya yang selalu menanamkan rasa hormat itu. Dewi yakin bahwa Satria akan menjadi suami yang baik pada dirinya.
“Apakah Bapak dan Ibu masih akan menginap?”
“Kami akan pulang besok, Satria akan mengajak kami melihat-lihat Jogya, baru kami akan pulang,” kata pak Sawal.
“Biarlah diantar man Tangkil, dia masih beberapa hari lagi di sini,” kata Dewi sambil menunjuk ke arah Tangkil yang duduk sendirian di meja yang agak jauh dari mereka.
“O, jangan Nak, biarkan kami sendiri saja. Pertama, kami tidak ingin merepotkan, keduanya, kami tidak bisa leluasa pergi kemana-mana kalau diantar, bukankah begitu, Bu?” kata pak Sawal kepada istrinya. Ia memanggil Dewi dengan hanya ‘nak’ saja atas permintaan Dewi sendiri.
“Benar, kami ingin naik andongnya Jogya, ingin jalan-jalan ke Malioboro, melihat keraton, dan entah apa lagi. Pasti tidak leluasa kalau diantar,” kata bu Karti.
“Iya, Dewi. Justru tidak leluasa kalau diantar pakai mobil. Kami ingin jalan-jalan, bukan bermobil-mobilan," kata Satria setengah bercanda.
“Kalau begitu nanti menginap di rumah saya?” tawar Dewi lagi.
“Apalagi itu, tidak … kami sangat menikmati tidur berdesakan di kamar Satria, sambil melepas kangen. Tapi terima kasih atas kebaikan nak Dewi.”
“Iya, Dewi, biarkanlah orang tuaku menikmati kota ini dengan leluasa dan sesukanya. Besok sore pastinya akan pulang, aku juga akan mengantarkan ke Solo. Mungkin akan beberapa hari,” kata Satria.
“Baiklah, tidak apa-apa. Nikmati kebebasan kamu setelah selesai kuliah yang pasti sangat melegakan.”
“Semoga kamu juga bisa cepat selesai. Aku di Solo juga sambil mencari pekerjaan.”
“Kamu ingin bekerja di Solo?” tanya Dewi.
“Tidak tentu juga, terserah nanti dapatnya di mana.”
“Dimanapun, asalkan itu pekerjaan baik, ya tidak apa-apa,” sambung pak Sawal.
Ketika mereka selesai makan dan pergi, Sinah menyuruh pembantunya untuk menyiapkan mobil. Ia mengikuti mobil yang dikemudikan Tangkil, yang terlebih dulu mengantarkan Satria dan kedua orang tuanya ketempat kost nya, kemudian baru pulang ke rumah Dewi.
“O, jadi di sini rumah den ajeng itu?” gumam Sinah yang kemudian memutar mobilnya untuk kembali ke rumah makan miliknya. Sambil pulang itu ia memutar otaknya untuk sebuah rencana, yang entah apa tapi belum ditemukannya.
***
Di ruang keluarga pada sore hari itu, Adisoma dan istrinya menanyakan perihal orang tua Satria.
“Apakah kamu juga bertemu mereka?”
“Iya, mereka orang-orang baik. Walau bukan dari kalangan priyayi, tapi mereka sangat santun seperti orang terpelajar.”
“Apa kata mereka tentang kamu?”
“Mereka takut Satria dekat dengan Dewi, karena merasa mereka hanya orang biasa. Tapi Dewi mengatakan bahwa kita tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. Lagi pula Dewi dan Satria belum memikirkan masalah pernikahan. Dewi sedang fokus pada kuliah, dan Satria sedang fokus untuk mencari pekerjaan.”
“Itu betul. Dengan begitu ayahanda tahu bahwa Satria adalah orang yang punya tanggung jawab untuk kehidupannya di masa yang akan datang.”
Dewi tertunduk tersipu. Bagaimanapun setelah kepergiannya beberapa tahun yang lalu, ternyata telah mengubah cara pandang kedua orang tuanya tentang perbedaan status pada setiap orang. Bahwa yang terpenting adalah perilakunya, bukan dari kasta mana dia dilahirkan. Itu sangat membahagiakannya.
“Mereka besok akan pulang ke Solo, setelah paginya mau berjalan-jalan dulu di sekitar kota ini.”
“Bukankah ada Tangkil yang bisa mengantarkan mereka?” kata Saraswati.
“Sudah Dewi tawarkan, mana mereka mau? Mereka pasti akan merasa tidak leluasa kalau harus diantarkan.”
“Itu benar. Baru saja ketemu, harus merepotkan, siapapun pasti sungkan,” kata Adisoma.
“Padahal sebenarnya besok kami juga harus pulang, ya kan Diajeng?”
“Besok?” tanya Dewi.
“Ada tugas di keraton, tidak bisa aku tinggalkan.”
“Tapi mbok Randu ingin tinggal di sini, katanya,” kata Saraswati.
“Iya, tadi Dewi juga ingin mengatakan itu. Selama bertahun-tahun mbok Randu menjadi simboknya Dewi. Sebaiknya sekarang juga harus tinggal bersama Dewi. Sudah lama dia kembali ke Solo, bukan?”
“Tidak apa-apa. Di sini atau di Solo sama saja, kalau dia kangen rumah Solo, bisa pulang ke sana, begitu kan?”
“Ya sudah, aku mau mencari Aryo dulu, seharian nggak ketemu, padahal besok pasti sudah dijemput orang tuanya,” kata Dewi yang segera beranjak meninggalkan ayah ibundanya.
***
Pak Sawal dan istrinya puas berjalan-jalan dengan diantar Satria. Melihat keraton, membeli sesuatu di Malioboro, makan di pinggiran jalan. Sangat menyenangkan dengan kebebasan Satria setelah bertahun-tahun menekuni kuliahnya.
Pak Sawal membelikan baju-baju untuk Satria, yang walau ditolak tapi sang ayah memaksa.
“Ini baju untuk kamu melamar pekerjaan nanti, biar lebih rapi, sehingga menarik para pimpinan di perusahaan manapun.”
“Bapak kenapa selalu repot untuk Satria. Satria masih punya uang beberapa untuk bekal mencari pekerjaan nanti."
“Sat, kamu jangan begitu, orang tua akan bangga bisa menyenangkan anaknya. Selama ini kamu hampir sepenuhnya selalu mencari uang sendiri, biar sedikit jangan menolak pemberian orang tua,” kata sang ibu.
“Iya, sebenarnya hanya kasihan pada bapak kok Bu, tapi Satria senang diberi celana dan baju-baju bagus dari bapak.”
“Syukurlah, bapak senang mendengarnya."
Mereka sudah puas berjalan-jalan dan berbelanja, saatnya kembali ke tempat kost, untuk bersiap pulang.
“Naik andong saja ya,” kata bu Karti.
“Ayo ke sana, kalau begitu,” ajak Satria.
Tapi tiba-tiba ia hampir menabrak seseorang. Keduanya sama-sama terkejut.
“Pak Andra?” pekik Satria.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteeMHa_08 sudah hadir......
Yuk kita ikuti petualangan SINAH, di Mawar Hitam.
Terimakasih bu Tien.... Salam sehat.
Sami2 mas Kakek
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
Delete🪻🪺🪻🪺🪻🪺🪻🪺
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💐
Cerbung eMHa_08
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin🤲. Salam seroja🦋
🪻🪺🪻🪺🪻🪺🪻🪺
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Aduhai
Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 08 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 08 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah MAWAR HITAM~08 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga sehat semuanya. Aamiin YRA 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdullilah bunda..trimaksih Mawar Hitam ke 08ny..slm mlm dan slmt istrhat..salam seroja unk bunda bersm bpk🙏🥰💞🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam seroja juga
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam episod 08" sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan turut berbahagia Pak Tom bertambah sehat dan semangat, semoga kel bu Tien selalu dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
Terima kasih Bunda Tien, salam sehat dari Semarang. Barokalloh aamiin YR'A
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung * MAWAR HITAM 08
* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 08...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Mungkin ada benar nya komen nya Bu Tatik kemaren. Sinah akan kebuka kedok topeng Mawar nya setelah di beritahu oleh Andra atau Andira. Kebetulan secara tdk sengaja Kel Satria bertemu Andra di Malioboro - Yogya..😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Pak Andra dan Mawar kah?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteAlhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖🌿🌸
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Nah... Sinah akan beraksi besok. Pasti si Mawar Hitam membuat ulah yang dapat menggemparkan grup PCTK. Menunggu keteguhan iman seorang Satria dan pertahanan seorang Dewi yang akan ditusuk duri Mawar beracun.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.