CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 40
(Tien Kumalasari)
Listyo terpana. Bukankah Dewi menyebut nama Satria? Bukankah Satria mengatakan bahwa Dewi adalah kekasihnya? Jadi ….
“Jadi … kamu ….”
“Ya, aku sudah menitipkan semuanya pada dia, aku sudah berjanji akan memberikan berkas-berkasku besok. Memangnya kenapa? Kamu marah?” kata Dewi sambil menatap Listyo tak berkedip. Siap beradu mulut kalau nanti Listyo menentangnya.
“Maksudku … apa kamu pacarnya Satria?”
“Apa?” yang berteriak bukan hanya Dewi tapi juga Saraswati, yang kemudian menatap tajam anak gadisnya. Dewi heran karena bagaimana Listyo bisa mengetahuinya.
“Satria mengatakan bahwa pacarnya bernama Dewi, ternyata kamulah Dewi itu?”
“Dewi? Itu benar?” tanya Saraswati.
“Kamu kenal dia?” tanya Dewi.
“Dia mahasiswaku, apa kamu lupa bahwa aku dosen di sana?”
“Dia yang pernah datang kemari bersamamu itu, Lis?” tanya Saraswati.
“Iya, Bi. Satria adalah mahasiswa saya, yang saya bilang dia pintar dan sangat bersemangat.”
“Dia pernah datang kemari?” Dewi masih heran.
“Pernah, ketika bibi baru saja datang dari Solo. Aku dan dia mengantarkan sampai ke rumah ini.”
“Dewi, kamu pacaran sama dia?” tanya Saraswati sambil masih menatap anaknya tajam.
“Kanjeng Ibu, kami dulu teman SMA. Mohon Kanjeng Ibu memaafkan saya. Waktu itu diantara kami memang ada rasa suka, tapi kami tidak pacaran. Satria sangat santun dan menjaga saya,” kata Dewi lirih. Sesungguhnya Dewi takut kalau sang ibu menentangnya, karena Satria adalah anak dari keluarga orang biasa.”
“Apakah dia yang Sinah katakan waktu itu?” kata Saraswati seperti bergumam.
“Sinah mengatakan apa?”
“Sinah mengatakan kalau ada anak orang biasa yang menyukai kamu, bahkan ingin menemui kamu di keputren ….” lalu Saraswati mengatakan semua yang diadukan Sinah kepadanya saat sebelum Listyo datang melamar.
“Jadi Sinah mengatakannya kepada Kanjeng Ibu?”
Lalu Dewi menyadari bahwa Sinah telah mengkhianatinya. Tapi semuanya sudah berlalu. Ini jalan hidupnya, Dewi tak pernah takut menjalaninya.
“Apakah Kanjeng Ibu tidak suka seandainya Dewi menyukai orang yang bukan siapa-siapa?” kata Dewi sambil menundukkan wajahnya.
“Apakah karena dia maka kamu lari dari rumah disaat pamanmu datang melamar kamu untuk Listyo?”
Dewi mengangguk pelan.
Sulistyo diam dengan seribu perasaan yang sulit diungkapkannya. Menyesali kepergian Dewi? Menyesali persahabatannya dengan Satria yang ternyata menjadi pesaing dalam cinta tapi yang kemudian mengalahkannya?
Listyo menghela napas panjang, lalu Dewi menatapnya.
“Maafkan aku ya Mas.”
“Semuanya sudah berlalu. Lupakan saja. Bagaimanapun Satria adalah mahasiswaku yang seperti sahabatku. Dia baik, tekun dan bersemangat. Semoga bibi bisa menerimanya,” kata Listyo sambil menundukkan wajahnya tapi duduknya menghadap ke arah sang bibi yang belum memberikan jawaban atas pertanyaan Dewi tentang apakah dia akan menerima Satria atau tidak.
Saraswati menjadi sedikit pusing. Ternyata masalah perjodohan menjadikannya pusing tujuh keliling. Bukan hanya masalah tumenggung Ranu, tapi juga masalahnya sendiri. Memilih dan menentukan bukan hal mudah, karena namanya orang memilih, bisa saja salah, tapi bisa juga benar. Mana tahu sebelum semuanya terjadi?
“Kanjeng Ibu belum menjawab pertanyaan Dewi. Apakah Kanjeng Ibu tidak suka kalau Dewi menyukai Satria?”
“Dewi, bukankah kamu masih ingin melanjutkan pendidikan kamu ke jenjang yang lebih tinggi? Menurut ibu, lebih baik kamu fokus pada keinginan kuliah kamu, lalu menyelesaikannya. Bukankah itu yang terbaik?” jawaban bijak Saraswati yang akhirnya keluar dari mulutnya.
Bukan tanpa pertimbangan ketika ia mengatakannya. Dewi pernah kabur dan rela kehilangan kemuliaan dalam kehidupan yang melingkupinya, demi mengejar cintanya. Apakah Saraswati akan kembali melakukannya lalu membiarkan Dewi kabur lagi? Atau apakah sebenarnya Saraswati tidak sepenuhnya menentang hubungan cinta antara sang putri dan seorang laki-laki yang tampan dan santun itu walau bukan keturunan siapa-siapa, tiada derajad dan pangkat?
Dewi menatap ibunya lekat-lekat. Ia tak melihat wajah kurang suka pada sang ibunda. Ada sedikit kelegaan, karena berarti ada restu dari sang ibunda walau hanya setitik.
“Apakah kamu setuju?” kata sang ibu.
Dewi mengangguk.
“Tapi kamu seorang gadis, bukan karena kamu anak siapa, tapi seorang gadis siapapun dia atau di manapun dia, maka ia wajib menjaga martabatnya sebagai seorang wanita. Maka ia wajib mengerti bahwa kesucian seorang wanita terletak pada bagaimana dia bersikap dan mebentengi diri dari hal-hal buruk yang bisa menjatuhkannya dari sebuah ketinggian, dan itu akan terasa sangat sakit. Kamu mengerti?”
“Terima kasih, Kanjeng Ibu,” kata Dewi sambil mengangguk.
“Aku mendukung hubungan kamu dengan Satria, dia laki-laki yang baik,” kata Listyo tiba-tiba. Dan itu berarti tak ada luka yang masih menyakiti hati dan jiwanya karena Dewi kabur demi seorang Satria yang ternyata adalah laki-laki yang tidak mengecewakan.
“Baiklah, masalah kuliah sudah selesai, aku serahkan pada kalian, bagaimana Dewi bisa melakukan apa yang diingininya. Sekarang aku akan mengulangi pembicaraanku kemarin, tentang telpon dari ayahandamu, Listyo. Ayahandamu meminta aku agar mengingatkan kamu tentang wanita yang kamu pilih menjadi istrimu. Menurut beliau, kamu kurang tepat dalam memilih, mengingat kamu itu siapa, dan wanita itu bagaimana. Apakah kamu sudah mantap memilihnya, atau kamu bisa melepaskannya demi kedua orang tua kamu yang tidak setuju?”
Sulistyo diam sejenak sebelum menjawab.
“Sesungguhnya saya menyukai sifat keibuan yang dia miliki. Dia wanita baik yang pantas dikasihani.”
“Kamu menyukainya karena kasihan?”
“Apakah harus dicari alasan mengapa orang menyukai sesuatu?”
“Tentu saja, dari jawaban atas pertanyaan ‘mengapa’ itu bisa diketahui seberapa tulus kamu menyukainya.”
“Memang bermula dari rasa kasihan. Tapi kemudian saya merasa benar-benar jatuh cinta padanya.”
“Pasti dia seorang yang istimewa, mengingat bahwa kamu yang tak pernah memikirkan untuk punya istri sekarang ini, lalu tiba-tiba merasa jatuh cinta.”
“Benar. Pada suatu hari nanti saya akan mengajaknya jalan-jalan kemari. Menemui Bibi, agar Bibi bisa menilai apakah pilihan saya salah.”
“Baiklah, bawa dia datang kemari untuk menemui bibimu ini.”
“Saya senang, Bibi tidak mendukung kanjeng rama.”
“Cara berpikir bibimu ini sudah berbeda. Bibi sudah bukan wanita yang dulu lagi.”
“Tapi sebenarnya saya belum tahu, apakah dia juga menyukai saya, atau tidak.”
“Apa?” Saraswati heran. Listyo begitu bersemangat mencintai, tapi ternyata si wanita belum tentu membalasnya?
“Barangkali dia mau, tapi malu, atau merasa rendah diri, atau entahlah.”
“Bagaimana kalau dia menolak kamu?”
“Kalau dia menolak, berarti memang nasib saya atau bahkan takdir saya akan menjadi perjaka tua dan tidak laku.”
Saraswati tersenyum.
“Jangan berkecil hati. Kamu tidak mengecewakan, pasti mudah seorang wanita jatuh cinta padamu.”
“Mohon doa restu, Bibi.”
***
Urung pulang ke Solo, Listyo justru pergi ke rumah kost Satria. Bahkan dia rela menunggu ketika mendapat keterangan bahwa Satria sedang mengantar barang dagangan.
Satria heran ketika pulang dan mendapati Listyo duduk menunggu di bangku teras depan kamarnya.
“Pak Listyo?” teriaknya sambil menstandartkan motornya, lalu bergegas mendekati.
“Sibuk ya?”
“Sudah selesai. Bapak katanya mau pulang ke Solo?”
“Iya, setelah ini.”
“Ada yang penting?"
“Ini gila … benar-benar gila … “ kata Listyo sambil geleng geleng kepala, membuat Satria menjadi bingung.
“Siapa yang gila Pak?”
“Bukan, saya salah. Hidup ini seperti sebuah lingkaran yang sangat rumit. Benar-benar rumit.”
“Saya tidak mengerti.”
“Tadinya aku juga tidak mengerti.”
“Bapak membingungkan saya.”
“Kamu tahu Sat, Dewi pacarmu itu adalah juga Dewi kerabatku yang aku bicarakan tadi.”
“Jadi ….”
“Namanya sama, Dewi, memang orangnya sama. Kekasih kamu itu, masih terhitung kerabat aku.”
“Ya Tuhan.”
“Dulu dia calon istriku.”
“Apa?”
“Dia kabur ketika aku dan keluargaku datang untuk melamarnya.”
“Apa?”
“Itulah, baru tadi aku mengetahuinya, ketika dia menyebut namamu.”
“Aduuh … itu ya … kejadian beberapa tahun silam itu? Jadi saya penyebab Bapak urung menjadi suami Dewi?” wajah Satria tampak sedih.
“Tidak, jangan begitu. Jodoh itu bukan kita yang harus mengejarnya. Dewi bukan jodohku, aku tidak menyesalinya. Sungguh. Aku datang menemui kamu bukan untuk menghujat kejadian masa lalu, tapi ingin membuat suasana ini menjadi hal yang lucu saja. Kita membicarakannya, menganggapnya orang yang berbeda, ternyata dia orang yang sama,” kata Listyo sambil tertawa.
“Astaga, aku mengira Bapak akan memarahi saya.”
“Mengapa harus marah? Ini lucu, ya kan? Kamu pernah ke rumahnya, rumah bibiku itu, berkenalan dengan bibiku, dan bibi itu adalah ibunya Dewi.”
“Kalau begitu, ibu Dewi mendengar juga kan? Mendengar bahwa saya teman Dewi? Bagaimana sikapnya? Pasti beliau sangat marah.”
“Tidak. Bahkan Dewi mengaku suka pada kamu.”
“Benarkah? Bagaimana kemudian sikap ibunya? Marah sekali?”
“Tidak. Tak tampak ada penolakan.”
“Masa? Apa ibu Dewi belum tahu saya ini siapa?”
“Tahu. Tapi bibi hanya meminta agar Dewi fokus pada cita-citanya. Kamu tidak akan kehilangan harapan.”
“Benar, Bapak tidak marah pada saya? Saya sungguh tidak tahu bahwa_”
“Sudah, jangan bicarakan itu lagi, kamu adalah mahasiswa aku, dan juga sahabat aku. Sekarang aku mau pulang.”
Satria masih termangu ketika Listyo pergi meninggalkannya termenung seorang diri di depan pintu kamarnya. Kemudian dia mengambil ponselnya untuk menelpon Dewi, dan dia mendapat jawaban yang sama dari kekasihnya itu.
“Apakah ibundamu marah setelah tahu siapa aku?”
“Apakah ketika kamu bertemu ibundaku, kamu melihat bahwa ibuku seperti tidak ramah, atau bersikap beda ketika mengetahui bahwa kamu bukan siapa-siapa kecuali mahasiswanya mas Listyo?”
“Ibundamu sangat baik dan ramah, tapi kan ketika itu beliau tidak tahu bahwa diantara kita ada perasaan saling suka?”
“Aku sudah berterus terang pada ibundaku. Beliau hanya menyarankan agar aku fokus kepada cita-citaku dulu. Itu bukan penolakan. Barangkali juga ibundaku butuh ruang untuk memikirkan semuanya. Kamu tidak usah khawatir.”
“Syukurlah.”
“Besok aku temui kamu pagi-pagi untuk menyerahkan berkas yang diperlukan.”
“Datanglah, aku berangkat jam delapan kurang.”
***
Ketika Listyo sampai di rumah, ia tidak menemui Arum di sana. Si Yu mengatakan bahwa Arum sedang mengurusi perceraiannya.
“Mengapa tidak menunggu aku?”
“Mungkin ibu sungkan merepotkan Bapak. Tapi sepertinya sudah ada yang membantunya, dari Kyai yang dulu menikahkannya. Mungkin setelah ini semuanya akan selesai.”
“Berarti dulu memang benar-benar menikah siri.”
“Entahlah, saya ikut Ibu Arum setelah mereka menikah, tapi bu Arum tidak pernah suka melihat kedatangan suaminya. Saya merasa, selama berbulan-bulan suasana rumah selalu panas setiap kali bapak datang. Lagi pula mereka kan menikah pura-pura? Bukankah menikah siri itu pura-pura?” kata si Yu berapi-api.
“Menikah secara agama, tapi tidak secara hukum. Semoga lancar semuanya. Baiklah, mana Aryo?”
“Sedang main di taman belakang.”
“Aku akan kesana, tapi aku menelpon Arum dulu.”
“Ponsel ibu ketinggalan di kamar.”
“Waduh, ya sudah, aku pulang dulu dan mandi. Ini oleh-oleh untuk Aryo,” kata Listyo sambil memberikan sebuah bungkusan kue-kue kepada si Yu.”
“Akan saya berikan sekarang, terima kasih Pak.”
Ada sebuah harapan di hati Listyo. Setelah proses cerai itu selesai, ia harus segera berterus terang kepada Arum tentang perasaannya.
***
Tangkil merasa iba melihat bendoronya duduk sendirian dibawah pohon sawo manila, diatas bangku yang memang dibuat untuk bersantai.
Ia kemudian mengambilkan minum di dapur, segelas rujak degan yang segar, lalu diberikannya kepada sang bendoro.
“Rujak degan, Den Mas, pasti segar.”
Adisoma menerima gelas berisi air kelapa berwarna coklat karena mangandung gula aren, dan serutan kelapa muda yang kelihatan segar. Tanpa berkata-kata Adisoma melahapnya habis, lalu memberikan gelas kosong itu kepada Tangkil.
“Udara sangat panas, ada baiknya Den Mas istirahat di pendopo.”
“Tangkil, yang panas bukan hanya udaranya, tapi juga hatiku ini. Ke mana sebenarnya Arum pergi?”
“Mohon maaf Den Mas, menurut saya, sebaiknya Den Mas melupakan saja. Memang rasa suka atau cinta itu sulit dihilangkan, tapi kalau dia menolak, perjuangan mencari yang tak ada habisnya itu akan sia-sia. Bagaimana susahnya hidup bersama orang yang tidak mencintai kita? Bukankah itu sia-sia?”
Tiba-tiba seorang abdi bergegas mendatangi mereka.
“Mohon maaf Den Mas, ada surat untuk Den Mas,” katanya sambil mengulurkan amplop panjang berwarna coklat. Adisoma menerimanya dan wajahnya berubah.
“Dari kantor Pengadilan Agama?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 40 "sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku jauh di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete🍓🫐🍓🫐🍓🫐🍓🫐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_40
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🍓🫐🍓🫐🍓🫐🍓🫐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien salam sehat dan selalu aduhai aduhai bun
ReplyDeleteSalam sehat juga ibu Sri
DeleteAduhai 2x
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur Nuwun mas Listyonya sdh hadir... Semoga mbak Tien senantiasa pinaringan keberkahan Sehat Bugar bahagia....
ReplyDeleteSalam sayang dr Surabaya 🙏😘😍
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Dewi
Alhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~40 telah hadir.. terimakasih Bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga tercinta.
ReplyDeleteAamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu dari Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam hangat dari Solo
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Terima kasih sudah tayang Mbu Tien... satu keunikan sdh terbuka... tinggal listyo, arum bersama saraswati....
ReplyDeleteSemoga sehat sllu bersama keluarga trcnta
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Kasihan Adisoma...semua istri meninggalkannya, kenapa tidak berusaha rujuk dengan Saraswati saja?😉
ReplyDeleteBtw, koreksi sedikit bu Tien...yg mencari Arum itu Listyo bukan Satria (typo). Terima kasih, ibu...salam sehat.🙏🏻🌹
Iya maaf. Sudah diralat.
DeleteNuwun ibu Nana
Alhamdulillah cerbungnya sudah tayang, terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien .
Sehat Sehat Sehat Aamiin.❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Susi
Bunda Saras sudah memberi lampu hijau untuk Dewi. Tinggal bagaimana rama Adi. Bahkan Listyo pun secara terbuka telah merelakan.
ReplyDeleteTinggal Listyo sendiri, bagaimana ortunya bisa menerima, priyayi terhormat berdarah biru akan menikahi janda beranak dua.
Salam sukses mbak Tien yang aduhai, semoga selalu sehat , bersama keluarga, aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 40...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Mantab...cinta nya Dewi thd Satria...tulus dan murni...he..he..
Jadi ingat cersil dari Jepang s Miyamoto Musashi, dia di cintai kekasih nya setengah mati. Musashi melupakan nya, krn garis hidup nya dengan pedang ( samurai ), kasihan deh kekasih nya tsb...😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillaah CJDPS-40 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Kata Buya Hamka, cinta itu bisa lewat dari salah satu beberapa pintu. Cinta yang paling aman itu adalah cinta yang lewat pintu kasihan.
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Saya setuju
DeleteTerima kasih Mas MERa
Alhamdulillah, matursuwun Bu, semoga sehat selalu 🙏💖
ReplyDelete