CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 23
(Tien Kumalasari)
Saraswati menatap Sinuhun tak berkedip, ada heran, ada rasa tak percaya.
“Mengapa kamu menatapku seperti itu, Saraswati?”
“Tidak adakah bangunan yang sedang direnovasi?” sedikit gemetar Saraswati ketika mengucapkannya, dimana sebenarnya dia sangat ketakutan ketika menatap sang junjungan.
Sinuhun tertawa keras.
“Kamu terlalu sederhana sebagai seorang istri. Seharusnya kamu merasa ketika suami kamu selingkuh,” kata Sinuhun berterus terang.
Saraswati tak menjawab.
“Se … lingkuh?”
“Di mana-mana laki-laki itu sama saja. Apalagi kalau isterinya beranjak tua, enggan melayani, atau pelayanannya kurang memuaskan. Kamu tidak usah menangis. Wajar seandainya suami kamu punya selir, bahkan di mana-mana. Yang penting kebutuhanmu tercukupi."
Mata Saraswati berkaca-kaca. Tak percaya mendengar apa yang dikatakan Sinuhun. Suaminya yang penuh perhatian dan cinta kasih itu selingkuh?
“Ya sudah, jangan menangisi sesuatu yang wajar dilakukan, seorang istri harus bisa mengerti tentang suaminya, ” kata Sinuhun enteng, sambil meninggalkan senyuman. Barangkali senyum yang disertai perasaan iba, entahlah. Nyatanya sebelum memasuki kereta agung yang akan membawanya, ia berkali-kali menoleh ke arah Saraswati yang masih bersimpuh di tepi jalan, seperti ketika menyambutnya. Dalam hati Saraswati berpikir, seorang istri harus mengerti tentang suaminya? Bahkan ketika kelakuannya sudah melewati batas sebuah kesetiaan tentang cinta suami istri?
Mbok Manis luruh dalam tangis tertahan. Ia sudah tahu semuanya, dan sekarang ia bisa merasakan apa yang dirasakan bendoronya. Ia segera menarik kedua tangan Saraswati, diajaknya berdiri.
“Hari sangat panas, Den Ayu, mari kita pulang dulu.”
Dengan lunglai Saraswati melangkah, lalu menaiki kereta dengan dibantu oleh mbok Manis.
“Kita jalan, Den Ayu?” tanya Tangkil.
“Pulang saja, Tangkil,” yang menjawab adalah mbok Manis, karena Saraswati tak mampu mengucapkan apapun. Lunglai seluruh tubuhnya, luruh dalam nestapa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ternyata ada duri menancap dalam kehidupannya, dan dirinya tidak merasakan apapun. Sekarang ia merasa ada darah menetes, setetes demi setetes, dari luka yang tiba-tiba menganga.
Derap kaki kuda yang berderak, seperti berpacu dengan detak jantungnya. Tak terdengar ada tangis, tapi mbok Manis tahu bahwa sang bendoro sedang kesakitan.
Mbok Manis meraih tangannya, mengelusnya perlahan.
Sampai kereta itu memasuki halaman yang penuh bertebaran bunga tanjung yang putih wangi, Saraswati masih terdiam. Masih tanpa kata ketika ia melangkah ke dalam rumah, langsung memasuki kamarnya.
Mbok Manis membantu menggantikan pakaiannya, dan menemaninya duduk bersandar di atas kursi rotan dengan kayu berukir yang ada di dalam kamarnya.
“Den Ayu, katakan sesuatu,” kata mbok Manis sambil memijit-mijit kakinya.
Tiba-tiba tangis Saraswati meledak, memenuhi ruangan kamar yang oleh mbok Manis memang ditutup dari dalam.
“Den Ayu,” mbok Manis terus memijit-mijit kakinya. Ia membiarkan sang bendoro meluapkan emosinya dengan tangis, dengan berharap beban yang disandang akan banyak berkurang.
“Mengapa Mbok … mengapa? Mengapa bisa terjadi?”
“Sabar Den Ayu, ini adalah cobaan. Den Ayu harus kuat.”
“Ketika Dewi pergi, hatiku tidak sesakit ini, karena aku tahu dia pergi karena tidak mau dipaksa. Tapi sekarang ini aku sedang dibohongi, Mbok. Tega sekali kangmas melakukannya.”
“Den Ayu, hidup itu adalah sebuah perjalanan. Ketika berjalan, terkadang ada kerikil membuat kita tergelincir, terkadang ada duri terinjak dan menyakiti kaki, terkadang ada batu yang membuat kita tersungkur. Tapi bagaimanapun, walau kaki terluka, bukankah kita harus bangkit berdiri, lalu melanjutkan langkah kita kembali?”
“Katakan apa salahku Mbok, mengapa kangmas membohongi aku?”
“Bukan hanya karena sebuah kesalahan ketika batu menghadang dan membuat kita tersandung. Ini adalah ujian.”
“Apa yang harus aku lakukan Mbok? Apakah aku harus minta cerai? Aku tak mau dimadu, aku emoh, Mbok.”
“Nanti kalau keng raka pulang, Den Ayu bisa mengajaknya bicara. Sekarang ini lebih baik Den Ayu menenangkan diri. Istirahat, atau menyibukkan diri dengan sesuatu, sehingga Den Ayu bisa melupakan semuanya. Simbok ambilkan benang songket ya, sudah lama Den Ayu tidak menyongket. Membuat taplak meja, atau pinggiran alas tidur, atau hiasan untuk jendela kamar?”
Saraswati mengangguk, tapi setelah mbok Manis menyiapkan benang dan perlengkapan menyongket, Saraswati hanya menimang-nimang gulungan benang, tanpa melakukan sesuatu.
***
Adisoma sedang berada di rumah Arum. Ia baru saja menidurkan Aryo yang agak rewel, entah karena apa. Ia masih duduk di tepi box bayi dimana Aryo tertidur nyenyak. Menatap wajahnya yang semakin mirip dengan dirinya, Adisoma merasa semakin menyayanginya.
“Tinggalkan saja, jangan terlalu lama berada di sini,” kata Arum yang selalu bersikap dingin kepada suaminya. Sudah berhari-hari lewat sejak mbok Manis datang, tapi Arum tidak ingin mengatakan kedatangan mbok Manis itu kepada Adisoma.
“Kamu mengusir aku?” tanya Adisoma dengan wajah muram. Tadi Adisoma membawa seperangkat perhiasan yang dibelinya didaerah Secoyudan, diberikannya kepada Arum, tapi yang diterimanya tanpa rona suka ataupun gembira. Kotak berhiasan berselimut beludru merah tua itu masih tergeletak di meja, Arum tak hendak menyimpannya.
“Kamu benar-benar mengusir aku?” Adisoma mengulang pertanyaannya.
“Harusnya kamu mengerti mengapa aku mengatakannya.”
“Arum, sudah saatnya kamu mau melahirkan. Ada baiknya aku sering berada di sini untuk membantumu, kalau setiap saat kamu merasa akan melahirkan.”
“Tidak perlu. Dulu ketika Aryo lahir, aku juga sendirian. Apa yang aku takutkan pada kelahiran anakku ini nanti?”
“Arum, kamu jangan keras kepala. Kamu butuh seseorang untuk melindungi kamu, anakmu butuh ditungguin ayahnya juga.”
”Tidak. Ia tidak perlu tahu siapa ayahnya.”
“Arum! Lama-lama kamu membuat aku kesal.”
“Baguslah kalau begitu, jadi jauh-jauhlah dari aku.”
Tangan Adisoma hampir terayun untuk menampar, sesuatu yang sering dilakukannya kalau ada abdi yang tidak taat kepada dirinya. Tapi menatap wajah cantik berwajah sendu dengan perut buncit itu, ia menahan gerakannya.
“Aku mohon, Arum, demi anak-anakmu, kamu bisa mengerti mengapa aku selalu ingin ada di samping kamu.”
“Bagaimana kalau aku katakan bahwa aku tidak suka berdekatan denganmu?” suara Arum lantang, tanpa mengenal takut. Memang sejak kedatangan mbok Manis beberapa hari yang lalu, Arum semakin merasa bahwa dia tak pantas melanjutkan hubungannya dengan Adisoma. Dia mulai ingin dijauhi olehnya, lalu segera diceraikan begitu ia selesai melahirkan.
Beberapa hari terakhir ini ia juga sudah memikirkan apa yang akan dilakukannya setelah berpisah dengan Adisoma. Bekerja, ikut orang, sudah tak mungkin. Ketika membawa satu anak saja sudah tidak ada yang mau menerimanya, apalagi nanti kalau dia membawa seorang bayi juga.
Berjualan? Tapi ia harus punya rumah untuk berteduh, lalu dia akan membuat makanan, atau mengambil dari orang untuk dijualnya, atau apalah. Ia yakin tak akan kelaparan selama dia mau berusaha. Ia beruntung bisa menabung sedikit demi sedikit dari uang yang diberikan Adisoma. Ia tak menampik, memang uang yang diberikannya masih sebatas wajar, karena Adisoma memberikannya demi anak-anaknya, jadi Arum tidak perlu malu mempergunakannya untuk melanjutkan hidupnya. Tapi pemberian perhiasan, itu dianggapnya berlebihan. Ia tak sudi menerimanya. Pakaian bagus yang dibelikan? Ia juga tak hendak memakainya.
“Arum, jangan begitu,” Adisoma masih berusaha mengucapkannya dengan nada lunak. Tapi Arum bergeming.
Karena kesal, Adisoma bangkit lalu beranjak keluar. Di ruang tamu, dia melirik ke arah kotak beludru itu lalu berhenti sejenak. Ia akan mengambilnya lalu memberikannya lagi kepada Arum, tapi Arum membuat langkahnya tertahan.
“Bawa saja lagi perhiasan itu, aku tidak membutuhkannya.”
Dengan kesal yang sudah naik ke ubun-ubun, ia meraih kotak beludru itu lalu membawanya memasuki mobil, dan berlalu.
Arum menghela napas lega.
***
Adisoma memasuki rumah dan mendapati sang istri sedang duduk bersandar di kursi malas, dengan nampan rotan berbentuk bulan berada di pangkuannya. Tapi ia tidak melakukan apapun. Matanya nanap menatap langit-langit.
“Diajeng, sedang apa ini? Mau menyongket, mengapa hanya didiamkan saja benang-benangnya?” sapa Adisoma sambil menyentuh pipi sang istri.
Tak ada sambutan manis seperti hari-hari biasa. Adisoma memegang kedua pipinya, diangkatnya wajahnya yang sedari tadi enggan menatapnya.
“Diajeng, ada apa? Aku sudah pulang agak sore, karena kangen pada diajeng.”
“Pulang dari mana?” akhirnya Saraswati membuka suara, sambil menepiskan kedua tangan suaminya yang masih menempel di pipinya.
“Pertanyaanmu sungguh aneh, Diajeng, bukankah aku tadi bilang mau ke keraton?”
“Bukan dari menemui seseorang?” tangis itu sudah tak ada. Saraswati menatap suaminya dengan tatapan tajam.
“Diajeng, apa maksudmu? Ayolah, jangan begini, aku sangat lapar, temani aku makan ya?”
“Tidak, aku sudah makan,” sergah Saraswati yang kemudian mengambil jarum songket dan mulai meronce-ronce benang yang dibuat semaunya.
“Hei, kamu! Bilang pada mbok Manis, aku mau makan!” teriaknya kepada salah seorang abdi yang duduk di luar kamar menunggu perintah sang bendoro, karena mbok Manis sedang ada di dapur.
Tanpa disuruh dua kali ia langsung bangkit dan bergegas ke dapur.
“Mbok … mbok … den mas sudah pulang.”
Mbok Manis terkejut. Ia meletakkan cucian gelas yang ditatanya di rak. Apakah terjadi sesuatu di sana? Pikirnya.
“Ada apa?”
“Minta disediakan dahar.”
“Den Ayu yang menyuruh kamu?”
“Bukan, den mas sendiri. Den ayu sedang menyongket di kamar.”
Mbok Manis merasa bahwa telah terjadi hal yang tidak enak. Barangkai keributan, atau entahlah.
“Cepatlah Mbok, kelihatannya den mas agak marah.”
“Iya .. iya. Ayo bantu aku menata meja,” titahnya kepada salah seorang abdi, bawahannya.
Bergegas mbok Manis, dengan dibantu temannya ia menyiapkan makan untuk sang bendoro.
Ketika melewati kamar Saraswati, mbok Manis melirik, dan melihat Saraswati sedang menggerak-gerakkan tangannya sambil memegangi jarum songket. Tapi ia tak berani mengganggunya.
“Mengapa lama sekali?”
Mbok Manis terkejut mendengar Adisoma menghardiknya. Hal yang tak pernah didengarnya ketika sedang berada di depannya.
“Maaf, Den Mas.”
Mbok Manis menyelesaikan pekerjaannya, dan melihat Adisoma segera mengambil piring dan makan tanpa bersuara.
Mbok Manis diam membeku di lantai, menunggu barangkali ada titah dari sang bendoro.
Sunyi di ruang makan itu. Yang terdengar hanyalah kelunting sendok garpu ketika beradu dengan piring.
Tak lama kemudian Adisoma menatap mbok Manis yang duduk sambil menundukkan muka.
“Ada peristiwa apa tadi?” tiba-tiba suara keras Adisoma terdengar.
Mbok Manis mengangkat wajahnya.
“Peristiwa … peristiwa … saya tidak tahu, Den Mas.”
“Diajeng mengatakan apa?”
“Tidak ada. Saya hanya duduk melayani, lalu saya tinggalkan sebentar karena harus bersih-bersih dapur.”
Adisoma tak melanjutkan pertanyaannya. Barangkali mbok Manis memang tak tahu apa-apa.
Tiba-tiba Adisoma berdiri dan bergegas keluar. Mbok Manis hanya menatapnya. Dadanya berdebar tak menentu. Sambil menumpuk piring kotor, ia terus berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Tapi abdi yang memanggilnya tadi tidak mengatakan apa-apa. Berarti tidak ada apapun yang terjadi. Ketika ia melewati kamar Saraswati, dilihatnya Saraswati masih duduk di kursi yang tadi, mengotak-atik benang dengan jarum songketnya, entah ia sedang membuat apa. Tapi mbok Manis tak berani masuk atau menyapanya. Takutnya kalau Adisoma kembali lalu melihatnya sedang berbincang dengan Saraswati, ia akan marah karena hatinya sedang tidak berkenan.
***
Adisoma melangkah lebar ke arah halaman. Ia mencari Tangkil. Barangkali Tangkil bisa memberikan jawaban. Barangkali Tangkil dengan mulut embernya mengatakan sesuatu pada istrinya. Karena tampaknya mbok Manis tidak tahu apa-apa. Kemarahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun.
“Tangkil!!” teriaknya.
Tapi yang menjawab adalah Simul.
“Man Tangkil ada dibelakang, sedang membersihkan halaman dekat taman.”
Tanpa menyuruh Simul untuk memanggilnya, Adisoma bergegas mencari Tangkil sendiri. Seperti petunjuk yang dikatakan Simul, Tangkil sedang membersihkan halaman di dekat taman.
Melihat Adisoma bergegas menghampiri, Tangkil menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan sapu lidi yang dipegangnya, bermaksud menghampiri sang bendoro. Tapi Adisoma sudah mendekat kearahnya, dan tanpa mengucapkan apapun, sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya, membuat Tangkil terjengkang.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..... CJDPS_23
ReplyDeleteSudah tayang.
Matur nuwun bu Tien.... Salam SEROJA dan tetap ADUHAI....
Doa kami buat mas Widayat, semoga semakin sehat, kersa dahar, ngunjuk, lan bercengkerama bersamq putra wayah.
ReplyDeleteAamiin yaa Robbal'alamiin π€²π€²π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah... gasik matur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 23 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom selalu sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah.... akhirnya kamu ketahuaaaan..... Den maaas !!
ReplyDeleteMatur Nuwun mbak Tien tayang gasik...πππ
Semoga Allah senantiasa paring keberkahan sehat wal afiat....πͺπΏπͺπΏ
Salam rindu penuh sayang dr Surabaya π❤️
Sami2 jeng Dewi
DeleteAku juga rindu
Matur nuwun bunda, barokalloh ... salam sehat dari semarang
ReplyDeleteSami2
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun ibu Yulian
Semoga pak Tom Widayat segera pulih kembali kesehatannya.... π♥️
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Dewi
ππ¦ππ¦ππ¦ππ¦
ReplyDeleteAlhamdulillah π
Cerbung CJDPS_23
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€². Salam serojaπ
π¦ππ¦ππ¦ππ¦π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah CJDPS- 23 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin yaa Robbal' Aalaamiinπ€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien, ceritanya tambah bikin deg2an, membuat penasaran jika ada kata besuk lagi yaπ,semoga Bu Tien tetep sehat semangat, terus berkarya menulis cerita.....π
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 23 "sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun, bu Tien. Salam sehat
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun bunda Tien semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~23 sudah hadir.. maturnuwun Bu Tien πππ
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
DeleteAdisoma itu sedang panik. Memenjarakan eh maksud saya memukul orang sembarangan. Mentang-mentang berkuasa. Kekuasaan itu ada batasnya.
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteTerima kasih perhatiannya
Kasihan Tangkil kena bogem Adisoma. Padahal bukan dia yang salah... Terimakasih bunda Tien, sehat selalu dengan keluarga tercinta.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Walaah...bogemnya salah sasaran tuh...coba kalau denmas tahu yg "bocorin" rahasianya Sinuhun, gimana ya?π€ππ€
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...selamat Hari Lansia, semoga bahagia selalu.ππ»❤️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillaah matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°π
ReplyDeleteMarah Adisoma, mengira Tangkil cerita
Salam sehat juga ibu Ika
DeleteSami2
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 23..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Adisoma knp pusing. Sbg pejabat keraton, wajar klu punya selir atau isteri lagi, kata Ingkang Sinuhunππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Untunglah pak Munthoni bukan pejabat keraton. Kalau iya bisa cari selir dong ya.
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dr Yk...
ReplyDeleteSami2 ibu Reni salam sehat bahagia juga.
Delete