CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 17
(Tien Kumalasari)
Sinah terpana, ia mengucek matanya berulang kali. Barangkali salah melihatnya. Tapi tetap saja laki-laki yang tidak muda lagi tapi masih gagah itu adalah den mas Adisoma.
“Siapa perempuan itu? Apa itu perempuan hamil? Perutnya buncit, itu pasti hamil. Ya ampun, memasuki toko roti, den mas Adisoma menggandengnya begitu mesra. Pasti bukan teman biasa. Saudara? Siapa? Keluarga Adisoma hampir aku mengetahui semuanya. Tak pernah aku melihat perempuan itu. Apa den mas selingkuh? Punya selir? Ya ampuun … selingkuhan den mas? Apa den ayu Saraswati mengetahuinya?”
Sinah menatap tanpa berkedip, sampai bu Karti yang selesai membeli kelapa kebingungan mencarinya. Ketika kemudian Sinah ditemukan di belakang becak, bu Karti berteriak.
“Ya ampun, Nak! Mengapa kamu sembunyi di situ?”
“Ada den mas Adisoma, sedang bersama seorang perempuan.”
“Den mas Adisoma? Masa dia pergi ke pasar?”
“Bersama seorang perempuan, sedang memasuki toko roti itu.”
“Istrinya?”
“Bukan, kalau istrinya saya pasti sudah tahu. Nah, itu mereka keluar dari toko roti,” kata Sinah sambil kembali nyungsep di belakang becak.
Bu Karti menatap ke arah yang ditunjuk. Yang namanya den mas Adisoma sudah banyak dikenal orang. Tapi baru sekali itu dia melihat dari arah agak dekat.
“Sudah setengah tua, masih gagah. Perempuan itu siapa kalau bukan istrinya? Sepertinya perempuan itu hamil.”
“Jangan-jangan selingkuhannya. Selirnya. Apa den ayu mengetahui tentang perempuan itu ya?”
“Barangkali adiknya.”
“Dia tidak punya adik. Anak tunggal, sama dengan istrinya.”
Bu Karti menatap sampai ketika Adisoma membukakan pintu mobil untuk Arum, dan kemudian mobil itu berlalu.
“Ah, sudahlah, bukan urusan kita, ayo kita pulang, aku harus segera bekerja, supaya besok pagi-pagi sudah siap semua.”
Sinah mengikuti bu Karti, menaiki becak yang penuh belanjaan. Tapi dalam hati ia terus berpikir tentang perempuan yang kelihatannya sedang hamil itu.
“Nanti aku mau bertanya pada simbok, ah iya, kenapa tadi aku tidak memotretnya? Ya susah, aku saja harus sembunyi tadi,” gumamnya pelan. Bu Karti tidak menanggapi. Ia tidak mengenal Adisoma, dan ia merasa itu bukan urusannya.
***
Mbok Manis baru selesai menata meja makan untuk majikannya, ia sedang membersihkan dapur ketika ponselnya berdering. Mbok Manis memiliki ponsel, tapi dia hanya bisa menelpon dan menerima telpon. Selebihnya ia tidak bisa. Lagipula ponselnya ponsel jadul, pemberian Saraswati hanya untuk menerima panggilan kalau sang den ayu membutuhkannya. Tak ada layanan WA di sana.
Ia bergegas ke kamarnya yang ada di samping dapur, lalu mengangkat ponselnya.
“Simbok?” suara dari seberang.
“Kamu Nah? Ada apa? Ngganggu orang sedang bekerja saja. Aku kira den ayu yang memanggil aku,” omelnya
“Ya ampun Mbok, jangan marah-marah dulu. Kalau tidak sangat penting aku juga tidak berani menelpon. Simbok lagi di mana? Sibuk?”
“Baru membersihkan dapur, sebentar lagi melayani den ayu makan siang. Yang sangat penting itu apa?”
“Mbok, aku tadi melihat den mas Adisoma mengantarkan seorang perempuan yang kelihatannya sedang hamil.”
“Apa? Nggak salah lihat kamu?”
“Benar Mbok, aku sudah memelototinya, dan itu benar den mas sama perempuan hamil. Apa di sini sedang ada tamu?”
“Tamu apa?”
“Barangkali den mas sedang mengantarkan tamu, entah siapa … gitu.”
“Tidak ada tamu, tidak ada siapa-siapa.”
“Apa den mas punya selir?”
“Apa maksudmu? Di sini hanya ada den ayu Saraswati.”
“Lalu siapa yang sedang bersama den mas tadi ya.”
“Ya sudah, pekerjaanku belum selesai, keburu nanti dipanggil den ayu karena aku lama tidak segera ke sana.”
Mbok Manis meletakkan ponselnya, tapi tak urung ucapan Sinah juga mengganggu pikirannya.
“Den mas Adisoma mengantarkan perempuan hamil? Siapa? Sanak … saudara … tak ada yang sedang hamil. Lagipula mana mungkin kalau harus mengantar lalu den mas melakukannya sendiri? Bukan suruhan Tangkil, atau siapa … gitu?”
Mbok Manis merasa hatinya tidak enak. Apakah yang dikatakannya pada Saraswati akan menjadi kenyataan? Bahwa karena tidak mau melayani suami, maka Adisoma akan mencari perempuan lain?
Sibuk bekerja sambil berpikir, Mbok Manis terkejut ketika seorang abdi yang lain memanggilnya.
“Mbok, den ayu memanggil. Tadi menelpon tapi Simbok tidak menyahut.”
“Oh, iya. Baiklah.”
***
Mbok Manis terburu-buru menyelesaikan pekerjaannya, lalu setengah berlari menuju keputren setelah membersihkan tangannya.
“Kamu tidak mendengar aku menelpon? Kamu sedang menelpon siapa?”
“Maaf Den Ayu, tadi ada … telpon dari … Sinah,” kata mbok Manis berterus terang.
“Apa kabarnya Sinah?”
“Baik Den Ayu, sudah bekerja di tempat orang.”
Mbok Manis tentu saja tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya dikatakan Sinah.
“Syukurlah. Aku mau makan sekarang, tidak usah menunggu kangmas, karena kangmas bilang akan pulang agak malam. Soalnya ada tugas dari keraton yang tidak bisa ditinggalkan. Ada rencana untuk merenovasi tembok di sebelah barat atau apa, entahlah. Mengapa semuanya diserahkan pada kangmas ya mbok, kasihan, pasti kangmas capek sekali.”
Mbok Manis tak menjawab.
“Tugas dari keraton? Bukankah den mas sedang mengantarkan perempuan hamil?” tanya mbok Manis dalam hati.
Rasa iba menyeruak dalam hati mbok Manis. Sudah jelas suaminya berbohong, karena dia sedang bersama perempuan yang entah siapa. Tapi wanita lembut hati itu tidak merasa kalau sedang dikhianati.
Mbok Manis hampir yakin kalau Adisoma sedang melakukan hal yang tidak benar. Punya selir? Masuk akal juga sebenarnya. Persis seperti yang digambarkannya beberapa hari yang lalu.
“Mbok, kok jadi melamun?”
“Oh, iya … maaf Den Ayu. Sebenarnya sudah saya siapkan,” kata mbok Manis sambil berdiri. Saraswati mengikutinya.
“Kamu sedang memikirkan sesuatu? Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu,” kata Saraswati menebak-nebak.
“Tidak Den Ayu. Tidak ada apa-apa.”
“Hari ini sikapmu berbeda. Telpon dari Sinah tadi? Apa dia meminta uang?”
“Eh … iya, mm … sesungguhnya … iya,” mbok Manis masih saja berbohong.
“Kalau begitu minta tolong pada seseorang, katakan pada Tangkil dia akan mengatur siapa yang disuruh. Kamu harus memberikan uang yang diminta, barangkali dia sedang kesulitan uang.”
“Iya, baiklah.”
“Apa uangmu cukup? Katakan kalau tidak cukup, aku bisa membantumu.”
“Ya Tuhan, wanita sebaik ini, mengapa harus dilukai?” kata batin mbok Manis.
“Jangan sungkan Mbok, katakan saja.”
“Tidak Den Ayu, cukup. Saya punya tabungan yang cukup. Den Ayu tidak usah khawatir.”
“Baiklah, kalau begitu. Masak apa hari ini?”
“Semur daging dan perkedel kentang.”
“Aku jadi teringat Dewi, ini kan kesukaannya.”
Mbok Manis tersenyum tipis, hatinya bertambah nyeri. Sesungguhnya sang junjungan sedang dilanda nestapa.
***
Begitu selesai melayani makan siang, mbok Manis segera mencari Tangkil. Bukan menyuruhnya mengirimkan uang untuk Sinah, tapi untuk bertanya tentang sang bendoro. Siapa tahu Tangkil mengetahui sesuatu.
Tergopoh mbok Manis ketika melihat Tangkil sedang duduk di bawah pohon Tanjung sambil merokok.
“Ada apa Mbok, kelihatannya kok tergesa-gesa,” kata Tangkil ketika mbok Manis sampai di depannya.
“Aku mau tanya sama kamu,” kata mbok Manis sambil duduk di atas batu yang ada di depan Tangkil.
“Kelihatannya kok serius?”
“Serius itu apa? Mbuh aku nggak ngerti. Aku mau tanya, sebenarnya den mas itu ke mana?”
“Lha mana aku tahu? Aku kan di sini, sedangkan den mas pergi sendiri.”
“Pasti kamu tahu sesuatu. Den mas tidak sendiri kan?”
“Mbok Manis ini kenapa ya, ngomongnya kok aneh-aneh? Aku tahu apa?”
“Pasti kamu tahu sesuatu.”
“Sesuatu itu apa Mbok?”
“Yang ada hubungannya dengan bendoromu itu. Seorang perempuan.”
“Lhah, ini apa lagi?”
“Jangan berpura-pura di hadapanku. Aku tahu kamu sangat dipercaya oleh den mas. Aku tahu kamu pergi sama den mas bukan karena urusan keraton. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan.”
Tangkil menggaruk-garuk kepalanya. Sesungguhnya ia tahu, tapi dia kan memegang sebuah janji kepada sang bendoro, tentang sesuatu yang tidak boleh orang lain tahu.
“Katakan. Kamu harus berterus terang. Tidak usah ditutup-tutupi karena aku sudah tahu semuanya.”
“Lha kalau sudah tahu, mengapa tanya sama aku?”
“Aku harus yakin. Jadi jangan coba-coba membohongi aku.”
“Mbok, jangan mendesakku begitu. Tolonglah.”
“Lha kok minta tolong itu maksudnya apa?”
“Jangan menanyakan hal itu sama aku.”
“Tangkil. Kita sudah lama sama-sama menjadi abdi. Kalau kamu selalu menjaga den mas, maka aku juga menjaga den ayuku. Aku menemukan bukti bahwa den mas punya selir.”
“Dari mana simbok tahu?”
“Iya apa tidak?”
Tangkil kembali menggaruk kepalanya.
“Sebenarnya rambutmu ada kutunya ya, sebentar-sebentar digaruk. Jawab saja pertanyaanku. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun. Aku hanya sekedar ingin tahu kebenarannya.”
Tangkil menghela napas panjang. Sebenarnya ia tak ingin terlibat. Tapi mbok Manis sudah seperti kakaknya sendiri, ia memanggil simbok karena semuanya memanggilnya begitu.
“Jawab Kil! Jangan berbohong, kamu pasti tahu tentang hal itu.”
“Aku tuh takut kalau sampai den ayu tahu. Soalnya den mas wanti-wanti agar hal ini menjadi rahasia. Jangan sampai den ayu tahu.”
“Aku janji, hal yang menyakiti den ayu tidak akan aku sampaikan. Aku hanya ingin tahu kebenarannya.”
“Baiklah Mbok, memang benar, den mas punya selir.”
“Dan sudah mengandung?”
“Iya.”
“Perempuan mana itu? Orang biasa atau anak priyayi?”
“Dia Arum Mbok.”
“Arum?”
“Sssst, jangan berteriak,” kata Tangkil sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, takut ada yang mendengar karena mbok Manis berteriak.
“Kok bisa Arum?” kata mbok Manis lebih pelan.
“Sudah sejak di sini kejadiannya Mbok.”
“Apa? Sejak di sini?”
“Aku sering memergoki den mas masuk ke kamar Arum.”
“Ya Tuhan, jadi dia minggat karena ingin menyembunyikan hubungan itu, atau ingin bersembunyi agar den ayu tidak tahu?”
“Entahlah Mbok, tahu-tahu Arum pergi, lalu tiba-tiba den mas menyuruh aku mencari rumah untuk tempat tinggal Arum, malah dicarikannya pembantu segala karena harus momong den Aryo. Lha den Aryo itu sesungguhnya juga putra den mas kok.”
“Apa?”
“Ya ampun Mbok, jangan berteriak.”
“Kok bisa ada kejadian ruwet seperti ini.”
”Ya sudah, jangan bertanya apa-apa lagi. Aku mengatakan ini pada Simbok karena Simbok aku anggap sebagai mbakyuku. Dan ingat ya, ini rahasia yang harus kita pegang. Aku takut kalau den mas tahu kalau aku bilang pada sampeyan. Bisa dibunuh aku.”
“Iya, aku mengerti. Jangan khawatir, ini rahasia kita berdua.”
Mbok Manis kembali ke dapur dengan perasaan mengharu biru. Betapa iba rasa hatinya kepada sang bendoro yang lembut hati dan penuh kasih sayang. Tapi apa yang bisa diperbuatnya?
***
Hari itu Satria pulang, setelah mencari-cari waktu luang. Pak Sawal dan istrinya tentu saja senang melihat kedatangan anak semata wayangnya.
Apalagi Sinah yang merasa bahwa dia adalah calon istrinya. Ia mengabaikan rasa ketidak sukaan pak Sawal atas perjodohannya dengan Satria, karena bu Karti mendukungnya.
“Satria, aku juga kangen sama kamu,” katanya tak tahu malu ketika Satria sedang duduk sendirian.
“Jangan berlebihan.”
“Apa maksudmu? Apa salah kalau aku kangen sama kamu?”
“Salah, karena tidak pada tempatnya.”
“Satria, ibumu sangat mengharapkan aku bisa menjadi istrimu. Ibumu sangat menyukai aku.”
“Kalau begitu menikahlah dengan ibuku,” katanya sambil beranjak pergi. Tapi Sinah memburunya.
“Jangan begitu, Satria."
“Tapi aku mencintai gadis yang lain.”
“Maksudmu den ajeng Dewi? Hm, aku jadi pengin cerita sama kamu. Entah di mana adanya den ajeng itu sekarang, tapi keluarganya sedang kacau balau,” kata Sinah yang berusaha berbincang lebih lama dengan Satria.
Dan Satria berhenti melangkah. Bukankah ia juga sedang mengemban pesan dari Dewi yang ingin mengetahui keadaan keluarganya.
“Den mas Adisoma, punya selir, dan selirnya itu sudah mengandung.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah CJDPS_17 sdh tayang.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien.....
Salam sehat...
Sami2 mas Kakek
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 17 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat selalu dari mBantul
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat dari Solo
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur suwun bu Tien salam sehat selalu utk keluarga..
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun bunda Tien, smg senantiasa sehat2
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu
matur nuwun bu Tien...sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Atiek
🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏 💐
Cerbung CJDPS_17
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja🦋🌸
🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Dalam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai..
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 17...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Satria jangan sampai kepancing omongane Sinah ya, hati2 dia pinter pradol lho..😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sehat wal'afiat dan Pak Tom semakin sehat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dengan keluarga tercinta....aduhaii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat juga
terima kasih Bunda Tien, barokalloh , aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Alhamdulillaah CJDPS-17 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu..
Syafakallaah utk Pak Tom, semoga lekas sembuh dan sehat kembsli.
Aamiin Yaa Robbal" Aalaamiin🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Alhamdulillah .... terima kasih Bu Tien, swmoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 17 " sampun tayang, Semoga bu Tien sll sehat dan Pak Tom segera diberikan kesembuhan dan dapat beraktifitas spt semula aamiin yra , 🤲🤲
ReplyDeleteIbu jaga kesehatan ya , salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Alhamdulillah, sudah terbit episode 17, maturnuwun Bu Tien, semoga tetep sehat dan bahagia....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Beneran mengharu biru... Sedih....
ReplyDeleteJeng dokter apa kabar?
DeleteTerima kasih untuk setia mengikuti
Hmmmm .. juga
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien .... Bakat Ibu sangat luarbiasa, sejajar dgn pengarang legendaris seperti Motinggo Boesye, SH Mintarja dll
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya, in syaa Allaah Pak Tom Widayat semakin membaik ya,
ReplyDeleteKok komen saya hilang?
ReplyDeleteApa kemarin belum terkirim ya?
Kejora belum sinar ya malam ini?
ReplyDeleteSemoga Mbak Tien sehat-sehat saja.
Demikian juga bayi yang dikandung Arum juga sehat...
Terimakasih Mbak Tien...
Iya mudah2an kejora tidak tertutup mendhung
ReplyDeleteMet malam mbak Tien,semoga mbak Tien sehat2 selalu..Ini teman2 sedang nunggu ocehan Sonah pada Satria yg bikin terus penasaran nih he he he he
ReplyDelete