CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 16
(Tien Kumalasari)
“Hamil?” pekiknya bersamaan, dan kekagetan keduanya membuat dokter itu tersenyum.
“Terlalu cepat ya, sementara babynya baru dua bulan lebih? Tapi tidak apa-apa. Nanti akan terpaut satu tahunan, tak apa-apa asalkan Ibu bisa membagi waktu untuk anak yang masih bayi dan bayi yang ada dalam kandungan. Hanya saja saya hanya dokter Umum. Untuk memastikan, Ibu dan Bapak bisa ke dokter kandungan, atau sementara pakai tes kehamilan yang bisa dibeli di apotek. Saya kan hanya meraba, berdasarkan pengalaman saja. Maaf kalau keliru. Tapi saya tak berani memberi obat, takutnya Ibu benar-benar hamil dan dokter kandungan pasti punya pertimbangan lain untuk memberikan resepnya.”
Adisoma mengangguk, lalu mengajak Arum keluar ruangan sambil menggendong Aryo.
Rasa pusing di kepala Arum terasa semakin berdenyut, Adisoma menuntunnya ke mobil.
“Ke apotek dulu, beli resepnya ini,” kata Adisoma setelah menyerahkan Aryo kepada ibunya. Ia membawa mobilnya melaju, agar setelah dari apotek Aryo bisa segera minum obatnya
Arum tak menjawab. Sesungguhnya ia ingin kabur. Lari dari Adisoma. Ia tak ingin merusak rumah tangga den ayu Saraswati yang sebenarnya sangat baik kepada dirinya. Janji untuk menikahi yang diucapkan Adisoma itulah yang membuatnya ingin kabur, tak peduli akan bagaimana nanti nasibnya. Tapi kenyataan bahwa dia hamil, membuat hatinya sangat kacau.
“Arum, kamu tidak usah khawatir. Aku sudah mengatakan bahwa akan bertanggung jawab kepada Aryo, berarti aku juga akan bertanggung jawab kepada bayi yang kamu kandung. Aku serius akan menikahi kamu.”
Arum tetap diam. Harus menjadi istri seorang priyayi seperti Adisoma tidak akan membuatnya bangga. Rasa cinta yang dulu pernah dipendamnya sudah sirna. Tapi bagaimana dengan bayi ini?
“Jangan sedih Arum. Aku akan menanggung semua kebutuhanmu dan anak-anakmu.”
Janji itu tidak membuatnya bangga apalagi bahagia. Arum justru merasa bahwa hidupnya penuh papa. Ia terlunta-lunta setelah orang tuanya tak ada, lalu terlunta-lunta ketika orang tua angkatnya mengusirnya, sekarang terlunta-lunta karena kabur dari rumah den ayu Saraswati karena ulah Adisoma pula.
***
Adisoma berhenti di apotek, dan tak lama menunggu obatnya karena apotek sedang sepi, lagipula obatnya bukan ramuan. Tapi ia tak lupa membeli tes kehamilan untuk meyakinkan bahwa Arum benar-benar hamil.
“Ini obatnya, minumnya diteteskan,” kata Adisoma sambil memberikan obat dari resep sang dokter.
“Dan ini tes kehamilan, kamu bisa memeriksanya sendiri nanti.”
Arum menerima semuanya tanpa mengucapkan kata-kata. Ia tak tahu harus berkata apa.
Arum membuka bungkusan obat, hanya sebuah botol kecil. Memang benar, minumnya diteteskan. Ada alat tetes dan ukurannya. Tiga kali sehari satu ml.
Arum segera membuka botolnya dan meminumkan obatnya, karena Aryo masih panas. Sedikit merengek, tapi Arum merasa lega karena obatnya sudah masuk ke mulut.
Ia membuka baju dan memberikan ASI sambil menutupinya dengan selendang. Adisoma sama sekali tak ingin melihatnya. Melirikpun tidak. Perasaan menyesal menghilangkan amukan nafsu yang selalu mengganggunya.
Mereka tiba di hotel, lalu Adisoma mengantarkan Arum ke kamarnya.
Tanpa jawab dan tanpa kata, Arum menidurkan Aryo yang sudah terlelap. Panas di tubuhnya sudah berkurang, setelah obat diminumkan di jalan.
Seorang pelayan mengetuk pintu, untuk mengantarkan makanan. Adisoma memesan makanan untuk Arum tiga kali sehari.
“Kamu makanlah, dan istirahat. Kalau Aryo sudah baik, aku antar kamu ke dokter kandungan.”
Lagi-lagi Arum tak menjawab. Tapi Adisoma tak membutuhkan jawaban apapun. Kalau benar Arum hamil, mau tidak mau ia harus mau dinikahinya. Dan ia sudah hampir yakin karena dokter yang mengatakannya.
***
Ketika sampai di rumah, Adisoma melihat Tangkil sedang dimarahi istrinya karena kemarin pergi tanpa pamit. Tapi Tangkil yang rupanya sudah tahu bahwa akan mendapat teguran, sudah menyiapkan jawaban.
“Ampun, Den Ayu. Saya tiba-tiba mendapat berita bahwa ada saudara yang sakit, jadi saya pergi tergesa-gesa tanpa mohon ijin.”
Saraswati yang sejatinya punya hati yang lembut dan penuh welas asih, mereda kemarahannya karena berita tentang seseorang yang sakit pastilah berita yang menyedihkan.
“Lain kali setergesa apapun, pamitlah, supaya orang-orang juga tidak bingung mencari kamu.”
“Baiklah, Den Ayu. Saya mohon maaf.”
“Ya sudah, pergilah dan lanjutkan pekerjaanmu.”
Tangkil mengundurkan diri, dan Adisoma mendekati istrinya.
“Kangmas dari mana, hari ini tidak ada acara di keraton?”
“Tidak. Sedang ada urusan lain. Sebentar lagi saya pergi lagi.”
“Ke mana, Kangmas?”
“Ada kerabat yang rumahnya rusak ketika hujan kemarin itu, aku akan menyuruh Tangkil untuk membantu membetulkannya.”
“Memangnya Tangkil bisa memperbaiki rumah?”
“Entahlah. Aku hanya ingin menunjukkan rasa simpati dengan meminjamkan Tangkil, barangkali diperlukan. Tapi kalau memang di sana sudah ada tukang yang bisa membenahi rumah, ya tidak apa-apa.”
“Tadi Tangkil di sini, mengapa Kangmas tidak mengatakannya?”
“Takut mengganggu, karena Diajeng sedang marah-marah.”
“Tidak marah, hanya menegur saja, supaya dia tahu kesalahannya.”
“Ya sudah, aku mau menemui Tangkil sekarang.”
“Oh ya, Kangmas, apakah jacketnya sudah ketemu?”
Adisoma terkejut. Dia lupa lagi. Jacket itu masih tertinggal di hotel.
“Itu … sudah, sekarang ada di mobil.”
“Jangan sampai lupa lagi.”
Adisoma mengangguk, lalu menepuk bahu sang istri lembut. Dalam hati ia menyesal karena harus berbohong lagi. Memang benar kan, sebuah kebohongan tidak akan pernah berangkat sendiri. Ia akan diikuti oleh kebohongan-kebohongan yang lain.
***
Hari terus berjalan, tak urung Arum tak bisa berkata tidak, ketika Adisoma menikahinya, walau hanya nikah siri. Ia tinggal di sebuah rumah kecil yang dibeli Adisoma dengan perantara Tangkil.
Tapi Arum bersyukur, Adisoma tidak pernah memaksanya untuk melayani, kecuali dengan sebuah kesadaran bahwa dia seorang istri, maka barulah ia bersedia melakukannya.
Untunglah, sejak kehamilan anak pertama, kandungan Arum tidak begitu rewel. Ia doyan makan apa saja, dan bisa melakukan apa saja kecuali hanya terkadang sedikit pusing. Adisoma juga rajin membawanya ke dokter kandungan.
Mereka senang karena ibu dan bayinya sehat.
Tak cukup hanya memeriksa kandungan setiap kali, Adisoma juga menyuruh Tangkil mencarikan seorang pembantu yang baik untuk Arum.
Arum yang merasa dimanjakan, tak begitu saja merasa bersyukur. Ia sadar bahwa ia melakukannya karena keadaan. Memang benar, hidupnya selalu dirundung papa.
Bukan maunya ketika ia harus menjadi istri Adisoma, bukan maunya kalau dia seperti merebut cinta Adisoma dari istri sahnya. Ia menjalani kehidupan ini, hanya demi anak-anaknya. Walau terlahir karena nafsu, tapi mereka tidak berdosa.
***
Hari itu Saraswati sedang duduk ditemani mbok Manis. Wajah Saraswati selalu muram. Ingatan tentang Aryo yang sudah berbulan-bulan menghilang, masih selalu mengganggunya.
“KIra-kira ke mana perginya Arum ya Mbok?”
“Tidak seorangpun tahu, Den Ayu. Bukankah den mas Adisoma juga sudah berusaha mencarinya, tapi belum mendapatkan hasil?”
“Aku mengira dia pulang ke kampungnya.”
“Tapi sudah ada utusan yang mencari ke sana, dan tak ada bayangan Arum di sana.”
“Iya, benar.”
“Arum tidak punya orang tua lagi. Dia diusir oleh orang tua angkatnya gara-gara hamil sebelum menikah. Dia bercerita banyak pada saya ketika itu, Den Ayu.”
“Orang tua angkatnya itu sungguh kejam.”
“Benar. Sudah tahu kalau Arum itu yatim piatu, malah diusir, bukannya dirawat dengan baik.”
“Yang aku tidak mengerti, mengapa Arum memilih pergi membawa Aryo, sementara di sini dia hidup nyaman dan tidak kekurangan? Ia bukannya senang anaknya menjadi putra seorang Adisoma?”
“Saya juga tidak mengerti, Den Ayu. Arum benar-benar bodoh, tidak bisa memilih yang terbaik untuk hidupnya.”
“Barangkali Arum punya kekasih di luar sana.”
“Saya kira tidak. Kalau benar begitu, dia pasti sering pergi keluar untuk menemuinya. Nyatanya selama dua bulan berada di sini dia tidak pernah pergi ke-mana-mana.”
“Aku hanya tidak bisa melupakan Aryo. Aku sudah terlanjur menyayanginya.”
“Den Ayu masih muda, masih bisa melahirkan lagi.”
“Apa? Jangan bercanda Mbok, aku sudah empatpuluh tahun.”
“Kalau Allah menghendaki, usia bukan halangan.”
“Ada-ada saja. Aku sudah enggan didekati kangmas.”
“Mengapa begitu, Den Ayu? Keng raka masih belum sepuh. Kalau Den Ayu menolaknya, bagaimana kalau keng raka mendua? Maaf kalau saya lancang, tapi saya mengingatkan Den Ayu, karena banyak hal seperti itu terjadi. Jadi Den Ayu harus bisa mengerti juga.”
“Maksudmu … kangmas akan mencari wanita lain?” kata Saraswati sambil tersenyum.
“Kangmas sangat mencintai aku. Jangan membuat aku takut, Mbok.”
“Mohon ampun, Den Ayu, bukan menakut-nakuti, semoga saja keng raka benar-benar suami yang setia. Saya hanya menceritakan hal yang umum terjadi.”
“Iya Mbok, semoga tidak terjadi pada keluargaku. Diduakan itu sakit kan Mbok?”
“Tentu saja, Den Ayu. Tapi semoga tidak terjadi pada Den Ayu.”
“Aamiin.”
***
Sinah sedang berjalan menuju penjual nasi liwet tak jauh dari rumah pak Sawal, ketika tiba-tiba melihat simboknya sedang naik becak, tampaknya mau ke pasar.
“Mboook, Simboook,” teriaknya.
Mbok Manis segera menghentikan becak yang ditumpanginya.
Sinah berlari mendekat.
“Kok kamu ada di sini?”
“Sedang mau beli nasi liwet. Pengin sekali. Simbok lama sekali tidak menemui aku, sudah berbulan-bulan. Simbok sehat-sehat saja kan?”
“Iya, simbok sehat. Hanya saja di dalam sedang repot, jadi lama tidak kemari. Padahal aku ingin sekali menemui calon besanku itu.”
“Repot kenapa Mbok?”
“Apa aku pernah cerita kalau ada abdi baru membawa bayi?”
“Belum. Abdi yang menggantikan aku?”
“Bukan.”
Lalu secara singkat mbok Manis bercerita kepada anaknya tentang Arum dan anaknya, yang kemudian diangkat anak oleh den ayu Saraswati, tapi kemudian ia kabur membawa anaknya itu.
“Kok bodoh sekali dia? Anak diberikan hidup mulia, malah kabur?”
“Itulah, aku tidak bisa keluar, karena harus selalu menemani dan menghibur den ayu yang sangat sedih kehilangan den Aryo.”
“Dasar tidak tahu diri.”
“Ya sudah, aku harus buru-buru. Biasanya bukan aku yang belanja, tapi karena belanjaan agak banyak, jadi terpaksa aku yang berangkat.”
“Ya sudah, aku juga pasti ditunggu bu Karti, soalnya siang nanti mau diajak belanja juga.”
***
“Nak Sinah perginya lama, apa banyak pembeli sehingga harus ngantri?”
“Sebetulnya bukannya ngantri. Tadi ketemu simbok ketika mau belanja, jadi omong-omong sebentar.”
“Nak Sinah nggak kangen sama simboknya?”
“Kangen sih, tapi di sini kan sudah ada Ibu, sehingga rasa kangen Sinah terobati.”
“Syukurlah, bisa menjadi pengganti orang tua nak Sinah.”
“Tentu saja. Pagi ini jadi mengajak saya belanja?”
“Iya, soalnya ada tetangga minta tolong membuatkan nasi urap untuk bancaan sepasaran bayi.”
“Wah, sedap sekali makan nasi bancaan.”
“Ya sudah, selesaikan dulu makannya, lalu kita berangkat.”
“Baiklah.”
“Kalau membuat nasi urap jadi ingat Satria. Anak itu tidak pernah sempat pulang. Kita mau ke sana juga dilarang oleh ayahnya,” omel bu Karti.
“Sabar Bu, saya masih bisa menahan rasa kangen saya kok. Atau kalau Ibu dilarang, saya berani kok berangkat ke sana sendiri.”
“Benarkah?”
“Benar. Kalau Ibu selesai mengerjakan pesanan, saya mau jalan-jalan ke Jogya.”
“Ya sudah, nanti gampang, syukur bisa merayu bapaknya lagi, supaya diijinkan.”
“Saya sudah selesai Bu, ayuk berangkat sekarang.”
***
Belanjaan bu Karti banyak. Berbagai sayuran sudah dimasukkan ke dalam becak. Sinah sedang menunggu bu Karti yang sedang membeli kelapa, ketika dilihatnya sebuah mobil berhenti. Mobil itu sangat dikenalnya.
“Itu kan mobil Den Mas Adisoma? Ada apa dia ke pasar? Apakah Man Tangkil yang membawa mobil itu? Mengantar Den Ayu?"
Sinah enggan bertemu mereka yang sudah memecatnya. Ia bersembunyi di balik becak, agar tak terlihat kalau ada yang turun dari mobil.
Tapi Sinah terbelalak, melihat yang turun adalah Adisoma, lalu membuka pintu di sebelahnya, dan turunlah seorang wanita cantik yang perutnya buncit.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 16 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Matur suwun. Bu Tien
ReplyDeleteTur nuwun Bu Tien, CJDPS sudah tayang
ReplyDeleteSehat sll Bunda …🤝🙏
Alhamdulillah "Cintaku Jauh di Pulau Seberang 16" sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien🙏
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Matur nuwun. Sehat selalu, Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteCintaku jauh di pulah sebrang 16 sudah tayang
Terima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan pak Tom widayat sehat walafiat selalu dlm lindungan Alloh SWT . Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillaah dah baca, makasih bunda cerbungnya salam sehat bersama bapa
ReplyDeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteArum sdh tinggal dirumah sendiri, ada pembantu juga ... dan sudah dinikah siri oleh Adisoma.... Berbahagiakah Arum?
Kita tunggu di episode berikutnya....
Terima kasih Bu Tien, dalam SEROJA dan tetap ADUHAI
Matur nuwun Bu Tien, ceritanya semakin seru. Semoga Ibu sehat wal'afiat dan Pak Tom tambah sehat....
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 16 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏
Terima ksih bundaqu cerbungnya..slmt mlm dan slmt istrht..slm seroja unk bunda sekeluarga🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien...barokalloh Bunda Tien dan Keluarga
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Alhameulillaah Cintaku Jauh Di Pulau Seberang-16:sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 16..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Sehat wal Afiat juga kagem Pakdhe Tom.
Aamiin
Waduh...gaswat...Sinah melihat bekas Pepunden ne...ke pasar mengantar Arum. Sinah sing pinter 'tumbak cucukan' bisa cerita ke Biyung nya nih...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu bersama keluarga tercinta, aduhaii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehst juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteSemakin pinisirin...
Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
Delete🌹🌿🌹🌿🌹🌿🌹🌿
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_16
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🌹🌿🌹🌿🌹🌿🌹🌿
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Aduh. Adisoma bergesernya tak jauh-jauh, ya kelihatan oleh Sinah jadinya...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteAlhamdulillah, cerbung terbitnya lancar, Maturnuwun Bu Tien ,sehat2 selalu, semoga bisa menulis lanjutan cerbungnya, .
ReplyDeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 17 " sampun tayang, Semoga bu Tien sll sehat dan Pak Tom segera diberikan kesembuhan dan dapat beraktifitas spt semula aamiin yra , 🤲🤲
ReplyDeleteIbu jaga kesehatan ya , salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷