Tuesday, May 20, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 15

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  15

(Tien Kumalasari)

 

Wanita itu mempercepat langkahnya. Ia mengenal suara itu, tentu saja. Tapi gerimis semakin deras. Adisoma menarik lengannya.

“Kamu tidak kasihan pada bayimu?” Dengan hentakan keras dia menarik lengan wanita yang memang Arum adanya.

Arum meronta. Walau hujan semakin deras, ia tak sudi pergi bersama Adisoma.

“Jangan bandel. Anakmu kamu biarkan mandi hujan yang semakin deras begini?” kata Adisoma sambil memaksa Arum memasuki mobil.

“Tolong hentikan, biarkan aku pergi,” kata Arum ketika mobil mulai berjalan.

Hujan semakin deras, petir sesekali terdengar menyambar. Arum mendekap Aryo erat ke dadanya, mengelus punggungnya lembut. Aryo masih terlelap. Tapi selendang yang tadi dipakai menggendong sudah basah. Arum meraih tas yang dibawanya, menarik selimut yang ada di sana, lalu melepas selendang yang masih melilit di bahunya.

Adisoma melepas jacketnya, diselimutkan ke tubuh Arum dan Aryo sekaligus. Arum ingin menolaknya.

“Jangan memikirkan dirimu sendiri. Anakmu kedinginan,” kata Adisoma kesal.

Arum terpaksa membiarkannya. Wajahnya pucat. Ia juga kedinginan. Ia mendekap Aryo lebih erat. Sesungguhnya dia juga merasa agak pusing.

“Kamu mau ke mana?”

“Ke mana saja, yang tidak akan bisa bertemu lagi denganmu.”

“Arum, kamu tidak boleh pergi.”

“Akan kamu bawa aku ke istanamu itu? Tidak. Aku tidak mau.”

“Aku tidak akan membawamu pulang. Aku carikan kamu tempat lain yang lebih membuatmu nyaman.”

“Apa maksudmu?” diluar istana kecil Adisoma, Arum menganggap den mas Adisoma adalah mas Adi yang pernah dikenalnya. Ia bukan abdinya. Ia sudah menjadi wanita biasa, dan Adisoma adalah laki-laki yang pernah dikenalnya, bukan seorang ningrat dimana ia harus membungkuk-bungkuk setiap kali bicara dan memanggilnya den mas.

Adisoma tiba-tiba menghentikan mobilnya di depan sebuah hotel.

Arum sangat terkejut.

“Apa maksudmu membawa aku ke hotel? Aku tidak sudi melayani nafsu bejatmu. Biarkan aku pergi,” katanya sengit.

“Arum, anakmu kedinginan, ia butuh tempat yang nyaman. Tinggallah sementara waktu di sini.”

Adisoma menghentikan mobilnya di lobi sebuah hotel, lalu menarik Arum turun.

“Jangan khawatir, aku tak akan melakukan apapun. Aku menyesal telah menyakiti kamu. Aku akan menebusnya dengan perbuatan baik.” katanya sambil menuntun Arum ke sebuah kursi tunggu, sementara Adisoma memesan kamar sekaligus membayarnya.

Arum masih mendekap anaknya, diluar hujan masih deras. Tempat ini memang nyaman, tapi ada kekhawatiran di hati Arum tentang apa yang akan dilakukan Adisoma. Bagaimana kalau dia kembali memaksanya? Di sini tak ada penghalang. Ia bisa lebih leluasa melakukannya. Tapi apa yang harus dilakukannya? Ia tak bisa pergi begitu saja. Kalau saja dia sendirian, pasti akan lebih gampang dia kabur.

Aryo merengek. Ia menepuk pantatnya untuk menenangkannya. Tapi rupanya Aryo butuh minum. Bagaimana mungkin dia akan memberikan ASi di tempat umum seperti ini, dimana setiap orang bisa melihatnya. Kalau selendangnya ada, ia bisa menutupinya, tapi pasti bisa. Ada jacket Adisoma yang masih tersampir di pundaknya.

“Ayo, kamar sudah disiapkan,” tiba-tiba Adisoma mendekat, lalu mengambil tas yang tadi dibawa Arum, sementara Aryo masih merengek. Tak ada jalan lain kecuali mengikuti di belakangnya sambil menepuk-nepuk punggung bayinya.

Mereka memasuki sebuah kamar, yang menurut Arum sangat nyaman. Ada kasur empuk, lampu yang terang, ada almari, di dinding ada televisi.

Duduklah, tampaknya anakmu rewel dan ingin minum,” kata Adisoma yang kemudian pergi meninggalkan kamar itu.

Arum merasa lega. Ia duduk dan mulai menyusui anaknya, yang kemudian berhenti merengek.

Dalam menyusui itu, pikiran Arum lari ke mana-mana. Sudah dua hari dia pergi dari rumah Adisoma, dan sudah sejak pergi itu ia mencari pekerjaan ke mana-mana. Tapi tak ada yang mau menerima pekerja dengan anak bayi yang dibawanya.

Apakah pertemuannya dengan Adisoma akan membuatnya menyerah? Ia akan menurut apa saja yang dilakukannya? Tidak, Arum tidak mau hubungan yang tak jelas itu berlanjut. Dulu dia sangat mencintai Adi, tapi semenjak bertemu kembali lalu menerima perlakuan yang sangat membuatnya terhina itu, perlahan cinta itu sirna. Ia hanya pemuas nafsu, tak ada cinta, baik di hatinya maupun di hati Adisoma. Bukankah Adisoma juga sudah mengatakan bahwa dia tak mencintai Arum? Baguslah, Arum juga tak mau mengemis cinta dan belas kasihan.

***

Aryo sudah terlelap. Arum membaringkannya di pembaringan yang empuk dan wangi. Tiba-tiba rasa lelah itu baru terasa oleh Arum. Rasa pusing masih saja mengganggunya. Ia membaringkan tubuhnya di samping Aryo, dan tanpa terasa diapun terlelap.

Adisoma belum pergi dari hotel itu. Ia duduk di sofa lobi, lalu menelpon agak lama dengan seseorang. Seseorang itu adalah Tangkil. Adisoma menyuruh Tangkil mencarikan sebuah rumah, atau kontrakan yang layak, dan Adisoma memberinya waktu dua hari.

“Dua hari, Den Mas?”

“Dua hari, tidak lebih. Rumah itu agak ke luar kota, tapi jangan tempat yang sepi.”

“Sebenarnya untuk apa Den Mas mencari rumah?”

“Kamu sudah kebanyakan pertanyaan dari tadi. Jadi jangan menambah pertanyaan lagi. Segera kerjakan dan beri aku kabar.”

“Tapi Den Mas sekarang sedang ada di mana?”

“Ini pertanyaan lagi, Tangkil?” kesal Adisoma.

“Baiklah, maaf Den Mas.”

“Satu lagi, hanya kamu yang boleh mengetahui tentang rumah ini, jangan sampai mulut kamu bocor ke mana-mana.”

“Baik, sendiko Den Mas.”

Adisoma menutup pembicaraan itu dengan puas. Ia akan mencarikan rumah untuk Arum dan anaknya. Rencana selanjutnya adalah sesuatu yang baik untuk Arum. Adisoma menyesali perbuatannya. Yang paling penting adalah Arum harus percaya pada dirinya.

Perlahan ia bangkit. Ia sudah cukup lama meninggalkan Arum yang sedang menyusui bayinya. Ia tak akan nyelonong masuk lalu Arum mengira dia sengaja melecehkan dirinya. Tidak. Ia akan menjadi laki-laki yang baik untuk Arum.

Ketika sampai di depan pintu kamar, Adisoma berhenti. Ia mengetuk pintu sebelum masuk. Ketukan pintu itu membuat Arum terkejut. Ia bangkit lalu berjalan menuju pintu. Ia membukanya, lalu melihat Adisoma berdiri di depan pintu.

“Aryo sudah selesai minum?”

“Sudah.”

Arum membiarkan Adisoma masuk.

“Kalau kamu mau mandi, kamar mandinya di situ.”

“Kapan aku bisa pergi? Aku harus mencari pekerjaan.”

“Mencari pekerjaan dengan membawa anak kecil, tidak mudah.”

Arum terdiam, karena itu memang benar. Ia sudah merasakannya.

“Kamu tinggallah dulu selama dua hari di sini.”

“Mengapa harus dua hari?”

“Aku sedang mencarikan kamu rumah tinggal. Tangkil yang mencarikannya, aku beri waktu dua hari.”

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu membawa darah dagingku, dan aku harus bertanggung jawab. Jadi jangan membantah. Aku akan menikahi kamu.”

“Apa?”

“Itu benar. Aryo harus punya ayah. Dia tak boleh terlunta-lunta bersama ibunya.”

“Bukankah kamu sudah punya den ayu?”

“Tidak masalah. Bukankah sudah aku katakan bahwa aku harus bertanggung jawab? Aku merasa berdosa karena selama ini membuatmu terlantar. Aku sadar sekarang, aku adalah seorang ayah bagi Aryo.”

“Tapi_”

“Tidak ada tetapi. Sebentar lagi akan ada yang mengirim kamu makanan, juga untuk besok. Aku harus pulang sekarang.”

Arum masih bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang dikatakan Adisoma. Tapi ketika kemudian Adisoma benar-benar pergi, ia percaya bahwa Adisoma tak akan mengganggunya seperti yang dilakukannya saat dia menjadi abdi.

***

Sesampai di rumah, Saraswati menatapnya heran karena melihat baju suaminya basah.

“Kangmas, bajunya basah? Kangmas dari mana?”

“Kan memang hujan? Wajar kalau basah kan?”

“Apa kangmas hujan-hujanan?”

“Maksudnya tidak, tapi ketika sedang berjalan, tiba-tiba hujan turun, jadi basah bajuku,” kata Adisoma sambil melepas bajunya.

“Kangmas sudah mendapat berita tentang Arum dan Aryo?”

“Susah menemukannya. Seperti mencari jarum diantara tumpukan jerami.”

“Berarti aku benar-benar kehilangan Aryo?” tanya Saraswati sedih.

“Sabar diajeng, toh dia bukan anak kandung diajeng. Biarkan saja.

Saraswati menghela napas panjang. Bagaimanapun dia terlanjur menyayangi Aryo. Tapi kenyataan bahwa Aryo sudah dibawa ibunya, dia tak bisa apa-apa.

“Jacket kangmas mana?” tiba-tiba tanya Saraswati ketika melihat suaminya melepas baju luarnya.

Adisoma terkejut. Jacketnya tadi diberikan pada Arum untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Ia lupa mengambilnya.

“Kangmas tadi membawa jacket kan?”

“Iya, apa ketinggalan di hotel ya?”

Saraswati terkejut.

“Hotel? Kangmas ke hotel”

”Eh, salah ngomong, maksudku di rumah makan, aku tadi lapar lalu makan di rumah makan itu.”

Saraswati mengerutkan keningnya. Bagaimana rumah makan bisa keliru hotel? Walaupun dia wanita yang lugu dan penurut, tapi dia juga sudah sering mendengar perilaku para laki-laki berduit yang senang bermain-main di hotel. Tentu tidak sendirian, dan temannya pastilah perempuan.

“Mengapa Diajeng menatapku seperti itu?”

“Di mana rumah makannya? Biar saya mengutus abdi untuk mengambilnya. Jacket itu mahal, dan pemberian dari keraton.”

“Biar aku saja yang suruhan. Jangan khawatir.”

“Harus sekarang, takutnya diambil orang. Itu kan jacket wol sih Kangmas, memang saya minta Mas pakai karena sedang musim hujan.”

“Iya. Setelah ini aku cari siapa yang bisa disuruh.”

“Mbok Manis, tolong panggil Tangkil, suruh mengambil jacket kangmas yang ketinggalan di rumah makan.”

“Tangkil sudah sejak pagi keluar. Sampai sekarang belum kembali,” jawab mbok Manis yang sedari tadi melayani Saraswati.

“Ke mana dia?”

“Saya tidak tahu Den Ayu.”

“Bagaimana mungkin dia pergi tanpa pamit, seperti di rumahnya sendiri?”

Akhir-akhir ini karena kekecewaan yang disebabkan perginya Aryo, Saraswati gampang sekali marah. Adisoma segera mendekat dan mengelus bahunya lembut.

“Sudahlah Diajeng, nanti aku suruhan orang yang berjaga di depan, tidak usah marah-marah, sabar Diajeng.”

“Mengapa banyak hal yang membuat aku kesal?”

“Diajeng sabar ya,” Adisoma merangkul istrinya, kemudian berjalan keluar. Dalam melangkah ia sangat menyesal telah meninggalkan jacket itu, sementara ia tahu sang istri sangat memperhatikan apapun yang dipakai suaminya.

Di luar, Adisoma menelpon Tangkil.

“Bagaimana?”

“Ada, Den Mas, tapi rumahnya kecil. Bagus sih, hanya saja harganya mahal.”

“Kamu tawar sampai dikasih. Besok aku mau melihatnya.”

“Baik.”

“Selesaikan dan segera pulang. Kerja bagus. Baru sehari sudah dapat.”

***

Pagi hari itu Arum sudah bangun dan mandi.  Sesungguhnya dia merasa agak pusing, karenanya tadi mandi dengan air hangat yang sudah tersedia. Setelah berganti pakaian, Ia melihat Aryo masih tertidur. Ia ingin membangunkannya, karena sudah saatnya minum ASI. Tapi betapa terkejutnya Arum, karena badan Aryo sangat panas. Ia tidak menangis.

“Ya ampun, Aryo, kamu kenapa? Karena kehujanan kemarin?”

Arum mengangkatnya, kemudian menyusuinya. Tapi Aryo menolaknya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menangis keras.

Arum kebingungan. Lalu ia mengganti popoknya dan menggendongnya keluar dari kamar. Ia harus bertanya, di mana dokter atau rumah sakit terdekat dari sini. Tapi sebelum sampai di depan, ia melihat Adisoma mendatanginya.

“Mau ke mana?”

“Aryo panas.”

Adisoma meraih tubuh Aryo, kemudian menarik tangan Arum.

“Kita ke rumah sakit sekarang.”

***

Saat Aryo diperiksa, Adisoma yang menjaganya, sedangkan Arum duduk di kursi sambil memegangi kepalanya. Ia merasa sangat pusing. Hujan kemarin bukan hanya membuat Aryo sakit, tapi juga dirinya.

“Tidak apa-apa. Anak Ibu hanya terkena flu. Saya beri obat sirup saja ya, supaya gampang minumnya. Ini sudah ada turun panasnya.”

”Adisoma yang duduk di dekat Arum menatap Arum dengan khawatir, karena Arum juga tampak sakit.”

“Dokter, bisakah diperiksa sekalian ibu bayi ini, tampaknya dia juga sakit.”

“Aku tidak usah,” kata Arum. Tapi wajahnya yang tampak menahan sakit membuat Adisoma khawatir.

“Tidak apa-apa. Aryo aku yang gendong.”

“Silakan berbaring Bu, biar saya priksa sekalian,” kata dokter setengah tua itu dengan sabar.

Adisoma menepuk nepuk punggung Aryo untuk menenangkannya, sambil menunggu Arum diperiksa.

Tak lama kemudian doker itu kembali ke meja kerjanya.

“Tampaknya istri Bapak hamil.”

“Apa?” bukan hanya Adisoma yang berteriak, tapi juga Arum yang  duduk di depan dokternya.

***

Besok lagi ya.

43 comments:

  1. 💞😍💞😍💞😍💞😍
    Alhamdulillah 🙏 💐
    Cerbung CJDPS_15
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam seroja🦋🌸
    💞😍💞😍💞😍💞😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai

      Delete
  2. Alhamdulillah....matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah ...
    Matur nuwun Bunda Tien.

    ReplyDelete
  5. Alhamdullilah..terima ksih bunda cerbungnya🙏selamat mlmdan slmt istrhtslm seroja dri skbmi unk bunda sekel🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  6. Horeee...maturnuwun mbak Tien ssysng

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sehat wal'afiat dan Pak Tom semakin sehat....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Reni

      Delete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun , bu Tien. Semoga selalu sehat dan bahagia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Anik

      Delete
  10. Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 15..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Sehat wal Afiat juga kagem Pakdhe Tom.
    Aamiin

    Arum benar benar 'thok cer'..😁😁

    Adisoma hrs bertanggung jawab ya dan jadilah ayah yang baik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  11. Terima kasih Bunda Tien ... nampaknya Jika Adisoma jadi menikah dengan Arum.... wow Dewi bisa dapat izin jika sama Satria nih

    ReplyDelete
  12. Hatur nuhun Bu Tien semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Yati

      Delete
  13. Aryo mau punya adek.... Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu sekeluarga...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  15. Alhamdulillaah " Cintaku Jauh Di Pulau Seberang - 15" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ting

      Delete
  16. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  17. Hamil hasil lebur Adisoma bersama Arum selama di istana kecil. Bisa dilanjutkan di rumah kecil nantinya...
    Maafkan kalau komen saya lancang...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 Mas MERa
      Nggak lancang kok.
      Terima kasih ya

      Delete
  18. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 15 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  19. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 15 "
    🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  20. Wah... Bakalan nikah siri ini mas Adi n mbak Arum nya... Gimana gak hamil... Arum masih muda dan subur, 2 bulan berhubungan.....

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 42

CINTAKU JAUH Di PULAU SEBERANG  42 (Tien Kumalasari)   Arum terkejut, sekaligus tersipu. Ia melihat Listyo turun dari mobil dan menghampirin...