Tuesday, February 11, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 34

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  34

(Tien Kumalasari)

 

Guntur duduk di kursi  prakteknya, di hadapannya ada Wanda yang kemudian mengusap air matanya. Guntur menatapnya heran.

“Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa. Hanya tiba-tiba ingin nangis saja.”

“Kamu sakit?”

“Sering pusing, bisakah kamu mengobatinya?”

“Apakah kamu banyak pikiran? Kelihatannya hidup kamu nyaman, dan bahagia.”

“Bahagia? Begitukah menurut kamu?”

“Lalu apa?”

“Periksa dulu, sebenarnya aku sakit apa….”

Guntur mempersilakan Wanda berbaring di tempat tidur pemeriksaan. Guntur praktek sendirian, belum membutuhkan asisten karena pasiennya belum begitu banyak sehingga tidak terlalu repot.

Wanda berbaring, lalu membuka sebagian baju atasnya.

Guntur mengerutkan keningnya.

“Tidak usah dibuka. Tetap pakai saja baju kamu. Tolong kancingkan,” kata Guntur sambil memalingkan muka.

“Oh, maaf. Aku kira harus dibuka.”

Guntur meletakkan stetoskop untuk memeriksa, Wanda merasa Guntur tidak sepenuhnya memeriksa. Hanya sebentar kemudian menyuruhnya kembali duduk.

“Kamu tidak sakit apa-apa.”

“Mengapa aku sering pusing?”

“Itu karena kamu sendiri yang membuatnya. Tidak butuh obat dan hanya perlu lebih tenang serta tidak memikirkan yang terlalu membebani.”

Wanda menghela napas, dan entah mengapa, matanya kembali merebak.

“Hidupku tidak sebahagia yang kamu bayangkan. Nasibku buruk,” keluhnya dengan suara bergetar. Guntur mencoba mendalami arti kata yang diucapkannya. Tapi kelihatannya Wanda tidak berpura-pura.

“Bagaimana dengan suami kamu? Anak kamu gagah dan tampan. Seperti ayahnya?”

“Ada banyak hal yang aku alami. Dari sebuah kesalahan, menjadi kesialan.”

“Apa maksudnya?”

“Kamu mengenal Zaki?”

“Zaki … penyanyi itu? Dia sudah meninggal kan? Aku takziah bersama teman yang lain waktu itu.”

“Karena kecelakaan,” katanya lirih.

“Aku mendengarnya begitu. Apa hubungannya dengan dirimu?”

“Waktu itu dia sedang bersama aku.”

“Oh ya? Aku tak begitu mengetahui dengan siapa dia waktu itu. Hanya mendengar bahwa dia kecelakaan bersama teman wanitanya.”

“Itu aku.”

“Oh ya? Lalu … kenapa? Kamu sebenarnya mencintai dia?”

Wanda menggeleng lemah. Guntur mengerutkan keningnya. Mencoba menebak-nebak apa hubungan mereka sebenarnya.

“Wahyu adalah darah dagingnya.”

Guntur terbelalak. Ia tak mengira. Wanda tidak mencintainya, tapi ia melahirkan anaknya?

“Sebuah kecelakaan,” masih lirih ketika dia mengatakannya.

“Ouw … kecelakaan yang nikmat?” Guntur mencoba bercanda.

“Itu sebabnya aku mengatakan bahwa nasibku buruk sekali. Aku melakukan kesalahan yang kemudian menjadi kesialan.”

“Kamu tidak menikah dengan kehamilan itu?”

Wanda menceritakan semuanya. Semua yang dialaminya ketika ayahnya mengetahui kehamilannya lalu menikahkannya dengan seseorang yang kemudian menghancurkan usaha ayahnya.

Guntur merasa iba. Ia belum pernah melihat Wanda menangis. Wanda yang dikenalnya adalah Wanda yang suka berbuat seenaknya. Menangis atau bahkan merasa malu? Tidak pernah Wanda melakukannya. Sekarang isak itu tiba-tiba meluruhkan hatinya. Guntur terlalu baik. Menghadapi Wanda yang seenaknya, dia bisa membalasnya dengan kasar. Tapi melihat air matanya, dan duka yang sebenarnya tersembunyi karena ditutupinya, ia tak bisa mengingkarinya, bahwa ia merasa iba. Kekesalan di masa lalu tidak harus dibawanya sampai sepanjang hidup. Manusia bisa berubah, bukan?

Wanda mengusap air matanya.

“Sekarang aku hanya memiliki Wahyu, dan ibuku yang sudah mulai menua. Aku membesarkannya dengan hasil keringatku sebagai guru.”

“Kalau kamu bisa menerimanya dengan ikhlas, maka kamu bisa merasa tenteram. Kamu tidak perlu merasa pusing.”

“Tapi aku memang merasa pusing.”

“Aku tuliskan resep untuk pusing, tapi hanya boleh kamu minum ketika kamu membutuhkannya,” kata Guntur sambil menuliskan resep.

“Kamu hidup bahagia?” tanya Wanda.

“Sangat bahagia. Kami sudah punya dua orang anak. Ah ya, kamu tidak mau mengucapkan selamat atas kelahiran anakku?”

“Oh ya, lupa. Selamat ya.”

“Terima kasih,” katanya sambil mengulungkan resepnya.

“Bolehkah aku sering datang kemari?”

“Silakan saja,” kata Guntur sambil tersenyum. Kekesalannya kepada Wanda di masa lalu sudah sirna. Sekarang Wanda adalah teman baiknya, begitulah kira-kira yang dipikirkannya.

Ketika Wanda pulang, Guntur mengantarkannya sampai ke pintu depan rumah kontrakannya, karena Wanda adalah satu-satunya pasien di sore hari itu.

Ketika memasuki kamarnya, entah kenapa, air mata di pipi yang halus itu terbayang kambali. Guntur mengibaskan bayangan itu, lalu bersiap untuk menutup pintu depan, tapi seorang pasien tampak mendatanginya, setelah turun dari mobil. Tapi Guntur terkejut ketika mengenali siapa yang datang. Senyumnya merekah, ia menyambutnya di teras, lalu mereka berpelukan.

“Aku kira pasien yang datang,” kata Guntur sambil menggandeng sahabatnya masuk. Ia adalah Ardi.

“Angin apa yang membawamu kemari? Jangan bilang kamu sakit.”

“Tidak, tadi ada urusan bisnis di kota ini. Aku ingat kamu praktek sore di sini, lalu aku samperin kamu.”

“Terima kasih banyak. Sore ini agak sepi.”

“Ada pasien tersembunyi rupanya,” kata Ardi sambil duduk di sofa tamu.

“Apa maksudmu?”

“Aku melihatnya. Dia Wanda bukan?”

Guntur terkejut.

“Kok kamu tahu?”

“Jendela mobilnya terbuka ketika keluar dari sini. Aku sangat mengenali wajahnya. Benar kan? Atau ada orang yang mirip?”

“Memang dia,” jawabnya singkat.

“Kok kamu kelihatan seperti orang yang … gimana … gitu sih? Curiga nih aku,” kata Ardi seenaknya.

“Kamu itu dari muda, sampai tua, tetap saja kalau ngomong seenaknya,” gerutu Guntur, membuat Ardi cemberut.

“Tunggu, kamu bilang ‘sampai tua’ … memangnya aku sudah benar-benar tua?” katanya gusar.

Guntur terbahak.

“Kamu tuh tua, untuk ukuran seorang perjaka.”

Ardi menghela napas berat.

“Di mana-mana orang selalu bilang begitu,” keluhnya kemudian.

“Janda cantik, mau nggak?” canda Guntur.

“Wanda … maksudmu?”

“Bagaimana kalau ‘ya’?”

“Nggak … nggak … aku nggak selera.”

“Dia sudah berubah. Hidupnya menderita.”

“Ya ampuun … sepertinya kamu sudah berhasil dirayu olehnya.”

“Kamu itu kebiasaan ya, menuduh seenaknya. Aku ini dokter, dia pasien aku.”

“Baiklah … baiklah … aku percaya bahwa kamu laki-laki setia. Kasihan Kinan dong kalau kamu punya pikiran aneh-aneh pada perempuan lain.”

“Aku hanya menawarkan, siapa tahu dia menjadi baik bersama kamu.”

“Tidak. Aku tidak ingin dia, atau siapapun juga. Aku masih harus fokus pada bisnis ayahku. Kalau gagal maka ayahku bisa mencoretku dari hak warisnya,” kata Ardi bersungguh-sungguh.

“Itu bagus, tapi kamu juga harus memikirkan hidup kamu sendiri. Berumah tangga akan membuat hidup kamu lebih teratur.”

“Benarkah?”

“Benar dong. Aku kan sudah merasakannya.”

”Baiklah, akan aku pikirkan. Ngomong-ngomong kamu sudah selesai praktek?”

“Hari ini tidak ada pasien. Mungkin masih mengira aku cuti setelah aku pulang ketika Kinanti melahirkan.”

“Kalau begitu ayo jalan-jalan keluar. Makan malam, misalnya.”

“Kamu masih lama di sini?”

“Besok masih ada urusan, barangkali sore baru aku pulang. Ayuk berangkat sekarang.”

***

Begitu sampai di rumah, Wahyu marah-marah karena ibunya pergi lumayan lama.

“Ibu ke mana saja sih? Lama banget,” gerutunya.

“Bukankah ibu bilang kalau ibu ke dokter?”

“Lama sekali.”

“Iya, ngantrinya banyak.”

“Memangnya Ibu sakit apa?”

“Pusing. Habis kamu nakal.”

“Wahyu nggak nakal kok. Bukankah Wahyu selalu nurut apa kata Ibu?”

“Baiklah, tidak kok. Ibu hanya bercanda. Ayuk belajar, sudah waktunya belajar kan?”

“Makan dulu, Wahyu lapar.”

“Oh, belum makan sama eyang?”

“Belum, kata eyang nungguin Ibu pulang.”

“Kalau begitu ibu ganti baju dulu, lalu kita makan ya.”

“Ibu tidak lupa kan? Hari Minggu Wahyu ulang tahun?”

“Oh iya, tapi ibu tidak lupa, tenang saja. Kita akan merayakannya dengan meriah. Undang teman-teman kamu ya?”

Ketika masuk ke dalam kamar, ibunya mengikutinya masuk.

“Ibu dengar kamu sakit?”

“Tidak Bu, hanya pusing.”

“Jangan terlalu banyak pikiran. Ibu berharap, kamu menikah lagi. Kamu masih muda, Wahyu membutuhkan seorang ayah.”

“Ibu ada-ada saja.”

“Itu benar. Apa harus ibu bantu mencarikan jodoh yang baik? Ibu masih kenal teman-teman ayah kamu almarhum. Ada yang punya anak laki-laki yang sukses dalam bisnis.”

“Tidak Bu, jangan. Wanda belum memikirkan untuk menikah lagi.”

“Memangnya kenapa? Kamu masih muda. Kamu membutuhkan seorang pendamping yang bisa melindungi kamu dan anak kamu.”

“Membutuhkan seorang laki-laki yang baik untuk itu. Yang bisa mengerti Wanda dan mengasihi Wahyu. Tidak mudah mendapatkannya.”

“Ibu tahu, ibu akan membantumu.”

“Jangan, biarkan saja waktu yang akan menentukan. Wanda masih ingin sendiri.”

Tapi dalam menjawab itu, wajah Guntur melintas. Guntur yang sudah tampak sebagai laki-laki matang, yang menerimanya dengan sikap baik dan manis. Akan mudahkah meraih simpati dan membawanya ke dalam hidupnya?

***

Malam itu Guntur dan Ardi sedang menikmati makanan yang mereka pesan. Semangkuk soto dan segelas jeruk panas belum bisa memuaskan mereka. Masih ada beberapa cemilan yang dihabiskannya untuk menemaninya ngobrol ke sana kemari.

Dalam kesempatan itu Guntur bercerita tentang Wanda yang ternyata sudah menjadi janda dengan seorang anak laki-laki berumur hampir sembilan tahun.

Ardi sempat terkejut mendengar bahwa anak Wanda adalah anaknya Zaki. Hal yang tak pernah terlintas dalam bayangannya.

“Sejak kapan mereka dekat?” tanya Ardi.

“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja bertemu, lalu semua itu terjadi, dan kemudian Zaki meninggal dalam kecelakaan.”

“Sial benar. Lalu dia menikah dengan siapa?”

“Seseorang yang dijodohkan oleh orang tuanya, tapi ternyata malah membuat perusahaan ayahnya bangkrut.”

“Oh, itu sebabnya? Aku juga mendengar kalau perusahaannya bubar. Jadi karena menantunya itu?”

“Kasihan Wanda. Sekarang suami dan tentunya wanita selingkuhannya itu masuk penjara.”

“Kamu mengatakan kasihan, jangan sampai rasa kasihan itu menjadi keterusan.”

“Apa maksudmu? Kamu lupa, aku sudah punya istri, dan aku sangat mencintai istri aku.”

“Namanya godaan, bisa datang kapan saja. Kamu lupa, bahwa Wanda sejak kita masih SMA sudah tergila-gila sama kamu?”

“Tergantung siapa yang kena goda. Masa iya aku bisa … ah, sudahlah, jangan bicara tentang dia lagi. Maksudku hanya berbagi berita, yang tadinya membuat aku terkejut.”

“Aku juga terkejut. Padahal tadinya aku dengar Zaki itu suka sama Kinanti.”

“Ya sudahlah, aku sudah menghabiskan dua potong tahu dan sepotong tempe goreng. Ayo pulang.”

“Sama, aku lebih banyak lagi,” kata Ardi sambil tertawa.

“Tidur di rumah aku saja. Kita bisa ngobrol semalaman.”

“Barang-barang dan berkas yang aku bawa ada di hotel. Kamu saja yang tidur di hotel bersama aku.”

Guntur menimbang-nimbang, dan akhirnya menuruti kemauan Ardi. Tidur dihotel bersama Ardi.

“Aku jadinya pulang Sabtu sore, karena paginya masih ada keperluan. Baru saja asistenku menelpon. Berarti kita bisa bersama pulang sorenya.”

“Ya nggak bisa kalau itu, aku kan membawa mobil sendiri.”

“Ah, iya, benar. Tak apa-apa, hari Minggunya aku ke rumah kamu, dan kita bisa ngobrol lagi bertiga.”

***

Pagi-pagi, setelah mengantarka Wahyu ke sekolah, Wanda melintasi rumah kontrakan Guntur. Ia sudah menemukan alasan mengapa menemuinya lagi. Ia membawakan sekotak nasi dengan lauk ayam bakar dan lalapan. Ia tahu, Guntur sendirian, pasti tak ada yang melayaninya makan pagi. Ia juga ingin mengundangnya di hari Minggu, pada saat Wahyu ulang tahun.

Ketika mobilnya memasuki halaman, ia melihat rumahnya tertutup. Wanda turun dari mobil dengan membawa sekotak nasi yang sudah disiapkannya.

Ia menaiki teras, yang pintunya msih terkunci.

“Apakah Guntur masih tidur? Bukankah ia harus ke rumah sakit?”

Wanda memencet bel tamu. Berkali-kali dan tak ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Ia mengetuk pintunya, sama saja. Tak ada yang menjawab.

“Apa Guntur sudah berangkat ke rumah sakit, sepagi ini?”

Wanda meletakkan kotak nasi di atas meja, kemudian ia berdiri. Ia ingin menghubungi ponselnya, ketika melihat Guntur turun dari sebuah taksi. Wanda ingin melonjak kegirangan. Ia berdiri dan menyambutnya. Ia heran, Guntur datang dengan naik taksi.

“Wanda? Ada apa pagi-pagi sudah sampai di sini?”

“Aku baru saja mengantarkan Wahyu ke sekolah. Aku membawakan kamu sarapan,” katanya sambil menunjuk ke arah meja.

“Wanda, mengapa kamu repot-repot untuk aku? Aku harus segera berangkat ke rumah sakit.”

“Memangnya kamu dari mana? Aku juga ingin mengundang kamu besok Minggu. Wahyu ulang tahun, aku harap kamu bisa datang.”

“Minggu? Tapi ….”

“Tolonglah, aku ingin kita tetap berteman. Datang ya? Tolong, jangan kecewakan aku.”

“Akan aku pikirkan, tapi maaf, aku harus segera bersiap berangkat ke rumah sakit.”

Wanda tersenyum. Ia senang sudah menyampaikan niatnya.

***

Hari Minggu pagi Ardi sudah sampai di rumah Kinanti. Ia disambut Kinanti yang sedang berjemur bersama anak bayinya.

“Ardi? Pagi sekali kamu sudah sampai di sini,” pekik Kinanti senang.

“Guntur mana? Belum bangun?”

“Guntur? Dia tidak pulang.”

“Tidak pulang? Dia mengatakan hari Sabtu sore akan pulang.”

“Tapi dia tidak pulang, entahlah. Aku belum sempat menanyakannya.”

***

Besok lagi ya.

61 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 34 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
  3. Yes....

    Matur nuwun mbak Tien
    Salam sehat dari Purwodadi Grobogan.

    ReplyDelete
  4. 🌹🍃🌹🍃🌹🍃🌹🍃
    Alhamdulillah 🙏💝
    JeBeBeeL_34 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai🦋😍
    🌹🍃🌹🍃🌹🍃🌹🍃

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ,terima kasih Bunda Tien

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah ...... maturnuwun Bu Tien ....sehat selau nggih

    ReplyDelete
  7. Alhamdullilah sdh tayang jbbl nya..terima ksih bundaqu..slmt mpm dan slmt istrhat..salam sehat sll unk bunda sekeluarga🙏🙏🌹

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah senajan rada telat, JeBeBeeL_34 sdh tayang.
    Semoga Bu Tien selalu diberikan kesehatan yang prima lahir batin. Aamiin.
    Terima kasih Bu Tien, dalam SEROJA dan tetap ADUHAI.🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda tien semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  11. Ikhhh Wanda pelakor... Akankah guntur tergoda? Kuatkan iman guntur, makasih bunda

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang, sudah tayang episode teranyar salam seroja dan tetep semangat inggih wassalam dari Tanggamus Lampung

    ReplyDelete
  13. Apa Guntur kena jerat janda muda ya, mudah mudahan tidak.
    Ardi yang sedikit tau keadaan Guntur semoga tidak mengipasi asap yang mulai tercium.
    Tabah ya Kinan..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU~34 sudah hadir.. maturnuwun Bu Tien 🙏.
    Semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat senantiasa. Aamiin..🤲

    ReplyDelete
  15. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 34 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Weleh...weleh Guntur, kasih perhatian dikit aja, jadi nya Wanda..GR banget. Rupa nya Guntur sdh tergoda x ya...😁😁

    ReplyDelete
  16. Pada megang rumusan sendiri², sementara Guntur ketiban Wahyu ora biså obah; mulai rasané risih gimana tidak; Wanda sudah berubah, kepingin men-direct supaya tegar menjalani hidup, sok pahlawan, sekali kali jangan kecewakan aku; aduhai, ngomongnya juga lembut, genyuk² kaya gethuk.
    Hi hi.
    Padahal Ardi dipersilahkan datang kerumah, sama Guntur, biar bisa ngobrol têtiluan, bertiga maksud lho.
    Iyå lah kan kerabatan.
    Saking asyiknya, nah lho, mulai ada sedikit keganjilan; kalau tiga yå ganjil.
    Ini kurang satu, yang lagi pesta sama ibunya yang ulang tahun, namanya anak ingin pamer bapaknya seorang dokter yang mapan, Bu Wita malah heran, cah rupa pas pasan kok ya digandrungi.
    Guntur ingat pesan tersirat; ibunya, 'jangan anggap sepele kalau wanita punya mau', aduh biså kesrimpet tali kutang iki mengko.
    Kinanti juga pakai rumusan sendiri; ah masa seeh sampai segitunya, bapaku kan yang menggangkatnya jadi orang, dipercaya lagi.
    Hayuh mulai ada getar gempa, mudah mudahan nggak berdampak stunami.

    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tiga puluh empat sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  17. Jangan tergoda rayuan Wanda, Guntur sosok yg kuat iman.... Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillaah JBBL-34 sdh hadir
    waduh Guntur jgn sampai tergoda Wanda ya..
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bshagia selalu.
    Aamiin🤲
    Salam Aduhau🙏

    ReplyDelete
  19. Waah...Guntur payah ah, masa lupa juga ga kasih kabar ke Ardi kalau ga jadi pulang sih? Pesona Wanda atau rasa kasihan pada Wahyu yg mengikat Guntur ya?🤔

    Terima kasih, ibu Tien. Salam bahagia.🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
  20. Kenapa ada orang seperti Wanda?
    Untuk apa Tuhan menciptakannya?
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, mtsw mbakyu, sehat selalu❤

    ReplyDelete
  22. Yaaaah Wanda, tdk bs dikasih hati.
    Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, semoga sehat & bahagia selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  24. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Nuwun pak Wedeye

    ReplyDelete
  25. Semoga attitude Guntur yg selama ini mengedepankan perhatian kepada anak dan istri tidak mudah serta Merta berubah hanya krn .rengekan Wanda. Bagi saya, itu sangat mengecewakan, dan itu tidak berkelanjutannya

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 46

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  46 (Tien Kumalasari)   Tangkil hanya mendengarkan sang bendoro yang asyik menelpon. “Ada yang ingin aku ka...