JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 33
(Tien Kumalasari)
Guntur menatap Wanda tak berkedip. Sangat takjub melihat penampilannya. Wanda yang dulu bersikap arogan, sombong dan semaunya, sekarang tampak sangat anggun dan keibuan. Seakan tak percaya, ia menyebut namanya pelan.
“Wanda?”
Wanda menatap Guntur. Matanya berbinar. Tak disangkanya bisa bertemu di sini. Laki-laki sederhana yang dikaguminya, sekarang kelihatan gagah dan berwibawa.
“Guntur, ternyata kamu, senang bertemu denganmu.
“Ibu … perutku sakit …”
Keduanya terkejut, melupakan Wahyu yang sudah terbaring tak disentuh. Perawat pembantu juga sudah keluar dari ruangan sejak tadi.
“Oh, eh … Wahyu, ini pak dokter yang akan mengobati kamu.”
“Ini anakmu?”
“Iya, anakku. Tolonglah,” akhirnya Wanda sadar bahwa kedatangannya adalah untuk mengantarkan anaknya berobat.
Guntur mengeluarkan stetoskop yang sudah disimpannya. Dengan sigap dia memeriksa Wahyu, yang terlihat pucat.
Wanda menatap apa yang dilakukan Guntur dengan wajah berseri. Alangkah senangnya bisa bertemu Guntur kembali.
Ia terus menatap sampai Guntur selesai memeriksa.
“Siapa namamu?”
“Wahyu,” jawab Wahyu pelan.
“Duduklah kembali. Kamu tidak apa-apa. Hanya salah makan. Tapi sepertinya ada infeksi di dalam, sehingga tubuhnya panas.”
“Harus opname ya?” tanya Wanda yang memang itulah harapannya, agar bisa sering bertemu dokternya.
“Tidak usah. Aku buatkan resep, dan istirahat di rumah saja.”
“Ooh,” keluh Wanda kecewa. Sedikit aneh, anaknya sakit dan tidak harus opname, harusnya bersyukur kan?
“Makan yang halus-halus dulu, jangan minum es atau makanan dingin.”
“Ini resepnya?” tanya Wanda ketika Guntur menyerahkan resep.
Tiba-tiba ponsel Guntur berdering.
“Guntur, kamu sudah di jalan kan?” itu suara Ardi.
“Oh, iya … iya, masih ada pasien, tapi habis ini aku berangkat,” kata Guntur tanpa memperpanjang pembicaraan. Ia memasukkan semua peralatan ke dalam tas kerjanya.
“Maaf, aku harus segera pulang. Kembalilah kalau besok masih merasa sakit,” kata Guntur sambil berdiri.
“Kamu mau pergi ke mana?”
“Pulang, Kinanti mau melahirkan.”
Wanda berdiri ketika Guntur juga beranjak pergi keluar ruangan.
Ada rasa kecewa mendengar perkataan Guntur. Padahal ia ingin banyak berkeluh tentang hidupnya.
Ia mengajak Wahyu keluar, menatap Guntur yang sudah bergegas menuju ke arah depan. Ia tampak tergesa-gesa.
“Kinanti akan melahirkan. Aku pernah mendengar, ini anak kedua. Tampaknya mereka bahagia.”
“Ibu, perutku sakit lagi,” keluh Wahyu menyadarkannya.
“Oh iya, kita ke apotek dulu beli obat ya.”
“Perutku sakit Bu. Ke toilet dulu.”
“Oh, baiklah, ayo ke toilet dulu,” kata Wanda sambil bergegas menggandeng Wahyu ke arah toilet.
***
Guntur mengendarai mobilnya dan memacunya. Ia ingin pulang sejak tadi, tapi ada saja halangannya.
“Tak apa, anakku harus tahu kalau ayahnya adalah seorang dokter, yang tidak bisa mengabaikan orang sakit,” gumamnya di sepanjang perjalanan.
Ponselnya berdering berkali-kali.
“Guntur, kamu sudah jalan?”
“Ya, ini di jalan, tenang saja.”
“Istrimu memanggil-manggil namamu terus. Ia tampak kesakitan, tapi aku tak diijinkan masuk untuk menemaninya. Bahkan kedua mertuamu juga menunggu di luar.”
“Aku tahu, memang melahirkan itu sakit, kok kamu yang kebingungan sih,” tegur Guntur.
“Ya iyalah, aku belum pernah menunggui orang mau melahirkan. Kasihan mendengar dia merintih-rintih kesakitan.”
“Kamu belum punya anak?”
“Ya ampuun, punya istri saja belum,” omel Ardi yang gelisah dari seberang. Ia heran, Guntur tampak tenang-tenang saja.
“Oh, kasihan, bujang lapuk.”
“Jangan ngomong yang enggak-enggak. Istrimu tuh ….”
“Iya, tenang saja, sejam lagi aku sampai.”
“Sejam lagi? Ampuuun deh. Bagaimana kalau anakmu keburu lahir?”
“Tolong nanti kalau sudah lahir duluan, kamu adzani dia.”
“Apa? Aku bukan ayahnya.”
“Tolonglah. Tapi semoga dia lahir setelah aku datang.”
“Aduuh, ibunya sudah kesakitan begitu,” keluh Ardi.
Guntur tersenyum sambil terus memacu mobilnya. Sebenarnya dia senang akan bertemu sahabatnya setelah bertahun-tahun mereka berpisah.
***
Pak Bono mendekati Ardi, dan berharap sudah mendengar berita tentang keberadaan Guntur yang akan segera tiba.
“Sampai di mana dia?” tanyanya kepada Ardi.
“Tadi ada pasien yang harus ditangani, sehingga terlambat datang. Tapi katanya sejam lagi dia sampai. Kalau sekarang ya mungkin sudah semakin dekat,” kata Ardi yang ingin menenangkan hati pak Bono yang sejak tadi juga sangat gelisah. Padahal sebenarnya dia sendiri juga merasa tidak tenang.
“Begini rasanya menunggui istri mau melahirkan? Ya Tuhan, tapi dia bukan istriku, mengapa aku segelisah ini?”
Ketika kemudian terdengar lengking nyaring yang membelah kegelisahan orang-orang yang menungguinya, lalu terdengarlah desah-desah lega.
Pak Bono menerobos masuk ke dalam. Ia mengenal dokter yang menangani kelahiran cucunya, dan segera menanyakan keadaannya.
“Kinanti sehat dan kuat, bayinya perempuan, montok menggemaskan. Tenanglah, Pak. Nanti setelah dibersihkan silakan menemui mereka,” kata sang dokter.
Pak Bono mengangguk lega. Ia keluar dan mengabarkan berita gembira itu kepada sang istri. Tapi kemudian seorang bidan memburunya.
“Apakah ayahnya ada? Apa ada yang akan mengadzaninya?”
Pak Bono tampak bingung. Ia keluar dan melihat-lihat, belum tampak Guntur datang. Ardi yang kemudian mendekat, lalu diminta agar mengadzani orok yang baru lahir. Ardi agak gugup, tapi ia teringat pesan Guntur ketika di jalan.
“Tolong adzani cucuku,” kata pak Bono.
Dengan suara sedikit gemetar, Ardi mengadzani anak Kinanti.
Ia merasa aneh, pesan Guntur menjadi kenyataan.
Begitu ia selesai adzan, terdengar langkah kaki mendekat. Ia adalah Guntur.
“Sudah aku jalankan perintahmu, kamu terlambat sedikit,” kata Ardi yang sudah merasa tenang, kemudian beranjak keluar.
Guntur tersenyum mengangguk. Ia langsung mendekati sang istri, memeluknya dan mencium keningnya.
“Terima kasih telah menambahkan satu lagi kecintaan di keluarga kecil kita.”
“Mengapa kamu baru datang?” kata Kinanti lemah.
“Ada … ada pasien mendadak kesakitan, aku harus menanganinya,” kata Guntur yang tidak ingin menyebutkan nama Wanda, takut mengganggu perasaan sang istri yang baru melahirkan.
“Tidak apa-apa. Aku senang kamu akhirnya datang.”
“Maaf terlambat.”
Guntur segera keluar ruangan, karena Kinanti akan dibersihkan.
Begitu Guntur keluar, kedua mertuanya segera memeluk dan memberinya selamat. Demikian juga Ardi yang memeluk erat sahabatnya.
“Banyak pasien ya?” tanya pak Bono yang sudah tahu bagaimana kesibukan seorang dokter.
“Sebenarnya sudah mau pulang, lalu tiba-tiba ada pasien lagi,” kata Guntur yang lagi-lagi tidak ingin menyebutkan nama Wanda. Apalagi ada Ardi di situ.
“Ya sudah, yang penting Guntur sudah datang, anak cucu kita juga baik-baik saja,” kata Bu Bono.
“Anak Kinanti cantik sekali. Wajahnya mirip ayahnya,” kata Ardi yang lebih dulu sudah melihat wajah anak sahabatnya.
“Sebentar lagi kita boleh melihatnya,” kata pak Bono.
Mereka sangat bahagia, tentu saja. Bu Bono akan segera menyiapkan selamatan kecil untuk kehadiran cucunya.
“Guntur, apakah kamu akan segera kembali?”
“Tidak, Bu. Saya akan minta cuti selama tiga hari, sampai Kinanti pulang ke rumah.”
“Bagus sekali. Kalau tidak apa-apa, dua hari juga Kinanti dan anaknya pasti sudah boleh pulang,” kata pak Bono.
***
Pagi hari itu Wanda kembali mengajak Wahyu ke rumah sakit. Ia sudah mendaftar dan menunggu. Dua hari, Wahyu sudah kelihatan sehat. Diare sudah tidak, panas juga tidak. Sebenarnya Wahyu enggan diajak ke dokter, tapi Wanda memaksanya. “Dokter harus melihat, apakah kamu benar-benar sudah sehat.”
“Wahyu kan sudah tidak merasa sakit lagi Bu.”
“Benar, tapi harus diperiksa dengan sungguh-sungguh. Penyakit itu tidak kelihatan. Kita sudah merasa sehat, tapi masih ada penyakit yang bersembunyi.”
“Penyakit bisa bersembunyi?”
Wanda tertawa. Sesungguhnya ia hanya ingin bertemu Guntur. Banyak yang ingin diceritakannya. Itu sebabnya dia memaksa Wahyu untuk kembali ke rumah sakit, juga memintakan ijin ke sekolah untuk belum bisa masuk hari itu.
Ia menatap ke arah pintu, yang tertulis nama dokternya. Guntur, tentu saja. Ketika datang yang pertama kali, dia tak memperhatikan bahwa ada nama Guntur dipintu masuk.
Ketika giliran nama Wahyu dipanggil. Wanda segera menggandeng Wahyu memasuki ruangan dokter. Tapi betapa terkejutnya ia, karena yang praktek adalah dokter lain. Apakah dia salah membaca nama dan keliru memasuki ruangan lain? Ketika masih termangu, perawat segera memintanya duduk.
“Silakan Bu, ini Wahyu ya?”
“Mengapa bukan dokter Guntur?” Wanda malah menanyakan Guntur, bukan segera mengatakan perkembangan kesehatan anaknya.
“Oh, dokter Guntur cuti tiga hari, karena istrinya melahirkan, jadi saya yang menggantikannya.”
“Oo ….”
“Bagaimana keadaan Wahyu? Masih merasakan apa?”
“Mm … ini dok, sebenarnya sudah tidak panas.”
“Masih diare?”
“Tidak juga. Ini … hanya untuk memastikan bahwa anak saya sudah benar-benar sehat.”
“Oh, bagus sekali. Ibu seorang ibu yang penuh perhatian. Tidurlah di sini nak, biar saya periksa.”
Perawat menuntun Wahyu dan memintanya berbaring di ranjang pemeriksaan.
Wanda sangat kecewa. Dia mengira Guntur hanya menunggu kelahiran, lalu kembali praktek, ternyata cuti tiga hari.
“Pasti Guntur sangat mencintai istrinya,” kata batin Wanda.
Ia sampai tidak merasa bahwa Wahyu sudah kembali duduk di sampingnya, dan dokternya sudah ada di depannya kembali.
“Baik kok, sudah sehat,” kata sang dokter.
“Oh, eh… iya dokter,” jawab Wanda.
“Wahyu kan sudah bilang, kalau Wahyu sudah sehat,” kata Wahyu kepada ibunya.
Wanda tersenyum.
“Iya, ibu hanya ingin memastikan.”
“Ini resepnya hanya vitamin. Hati-hati ya, jangan makan jajanan sembarangan,” kata dokter sambil menyerahkan selembar resep obat.
Wanda mengangguk, kemudian mengajak Wahyu segera pamit keluar ruangan.
Sepanjang langkah menuju mobil, Wanda masih berpikir tentang Guntur yang hari itu tidak bisa ditemuinya.
“Ibu, kita beli es krim ya?”
“Lhoh, kok beli es krim?”
“Kan Wahyu sudah sembuh?”
“Baiklah, tapi tidak banyak-banyak ya,” jawab Wanda sambil memikirkan bagaimana mencari alasan untuk bertemu lagi dengan Guntur.
Kemudian dia menghampiri satpam yang berjaga.
“Mas, mau tanya, apakah dokter Guntur praktek di rumahnya?”
“Iya Bu, praktek kalau sore, tapi sepertinya dokter Guntur tidak praktek selama tiga hari, karena istrinya melahirkan.”
“Iya, saya sudah tahu. Boleh minta alamatnya?”
“Di Jl. Dr. Cipto, Bu.”
“Tolong dituliskan di sini, Pak,” kata Wanda sambil mengambil selembar kertas dari dalam tasnya.
Satpam itu segera menuliskan alamatnya di kertas yang disodorkan. Wanda menerimanya kemudian berlalu sambil menggandeng tangan Wahyu.
“Apa ibu mau ke tempat praktek dokter Guntur?” tanya Wahyu.
“Barangkali memerlukan periksa. Tidak ke rumah sakit, ngantrinya banyak. Kalau di rumahnya kan lebih cepat,” kata Wanda memberi alasan. Lalu ditambahkannya sendiri, kan bisa ngobrol lebih lama. Tapi ungkapan itu tidak sampai terucap. Kalau itu terjadi, barangkali akan menimbulkan pertanyaan bagi Wahyu yang masih kecil, mengapa harus ngobrol dengan dokter.
***
Di rumahnya, Guntur tak henti-hentinya menggendong anak bayinya, membuat Kinanti tersenyum lucu. Sementara Kinanti belum pulih benar, anak sulungnya dititipkan di rumah ayah ibunya.
“Kalau kebiasaan digendong, nanti dia akan selalu minta digendong lhoh. Kalau ingin tidur juga, pasti dia selalu harus digendong.”
“Ya tidak apa-apa, apa sih susahnya menggendong anak bayi? Bukan aku yang minta digendong kan?” canda Guntur, membuat Kinanti tertawa sambil mencubit pinggangnya.
“Kamu tuh ketularan Ardi ya, sukanya ngomong sembarangan.”
“Tidak apa-apa, candaan itu kan menyegarkan. Aku tuh masih ingin menggendong-gendong dia, soalnya besok harus kembali ke Semarang. Kalau boleh sih, mau aku bawa saja ke sana.”
“Eeh, enak saja. Bayi merah diajak pergi jauh. Ya nanti kalau sudah agak besar. Kalau sekarang kamu ajak dia ke sana, aku bisa diomelin ibu.”
“Baiklah, tunggu kalau sudah agak besar ya.”
“Tapi kalau agak besar kan aku juga harus kerja. Kamu mau membawanya tanpa aku?”
“Wah, ya enggak, aku tidak punya ASI, kalau rewel bagaimana?”
“Maka dari itu. Kamu cukup pulang seminggu sekali. Masalah pekerjaan itu kan juga penting.”
“Iya, kamu benar. Kalau bisa kamu minta pindah saja ke sana, biar kita tidak berjauhan.”
“Iya, nanti gampang.”
“Lagi pula dua hari lagi kan Minggu, aku bisa pulang lagi, senangnya,” kata Guntur dengan wajah berseri, lalu tak henti-hentinya mencium sang buah hati.”
***
Sore hari begitu dia sudah kembali, sorenya langsung praktek seperti biasa. Hanya ada beberapa pasien di sore itu, sehingga Guntur bisa langsung istirahat. Tapi ternyata masih ada seorang pasien lagi, yang ternyata adalah Wanda.
Begitu memasuki ruangan, Wanda langsung duduk, lalu dengan heran Guntur melihat Wanda meneteskan air mata.
***
Besok lagi ya.o
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteJuara pak Latief....
DeleteYa iyalah.....
DeleteKakek Habi lagi 'ngisya' Nekbun perjalanan ke Sby, cucunya sdg dirawat di RS UNAIR, mohon doa restunya.... Perjalanan lancar dan cucunda dapat penanganan yang. cepat dan tepat. Aamiin.....
Sami2 pak Latief
DeleteMaturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 33 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2x
🍬🥧🍬🥧🍬🥧🍬🥧
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
JeBeBeeL_33 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja😍🦋
🍬🥧🍬🥧🍬🥧🍬🥧
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sari
Alhamdulillah....
ReplyDeleteNuwun ibu Wiwiek
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur Suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Yes....
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien
Salam sehat dari Purwodadi Grobogan.
Sami2 ibu Kharisma
DeleteSalam sehat dari Sala
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),33 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Uchu
Alhamdulilah... Suwun bu Tien. Smg sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Handayaningsih
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah Probo
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *JANGAN
BUNGAKU LAYU 33* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Wedeye
Awas aja ya..... jangan sampai mas dokter tergoda.janda..🤬🤬
ReplyDeleteNueun ibu.Wening
DeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteAlhamdulillah JBBL~33 sudah hadir... maturnuwun bu Tien🙏
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
DeleteAlhamdulillah JeBeBeeL_33 sudah tayang, walau agak mundur waktunya, maklum baru pulang perjalanan dari Solo - Malang - Mojokerto - Malang - Solo
ReplyDeleteSehat terus ya bu Tien dan pak Tom....
Doaku selalu. untuk keluarga Babar Layar 30
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Kakek
Alhamdjlillah ... maturnuwun Bu Tien ... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endang
Alhamdulillaah JBBL- 33 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin🤲
Salam Aduhai🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ting
Aduhai
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Wah...kok yang meng-adzan-i anak Guntur malah Ardi. Lebih baik kakeknya. Awas loh kalau Ardi keterusan terlalu dipercaya..
ReplyDeleteWanda pasang aksi, kalau Guntur kelamaan 'puasa' bisa berbuka di luar rumah...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 33 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Hayo Guntur...diam diam mulai mengagumi Wanda, krn Wanda skrng anggun dan keibuan..😁😁
Hati hati jangan sampai terperangkap dengan drama yang di buat oleh Wanda ya..he..he...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Tanda-tanda mekarnya kuncup asmara mulai membuka kelopak hati yang selama ini kosong, berharap berkenan mengisi; padaké kotak amal.
ReplyDeleteLho kan jomblowan dan jomblowati sudah pada merangsek pedekaté gitu, akankah itu terjadi.
Gimana mungkin, segalanya bisa terjadi tinggal gimana cara menyikapi;
Repot juga ya, paribasan ora entuk orisinil nya yå sing kawé yå ora på på, pokoké kudu éntuk.
Waduh mak wis dèdèl duwèl, isih waé berupaya harus dapêt, namanya galak gathung; gagal ditolak ya ngganthung juga nggak apa-apa yang penting komunikasi rutin, masa iya seeh nggak punya hati, digerus dengan dongeng yang sendu & pilu; pasti dapat.
Yakin.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tiga puluh tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas crigis
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteWaah...Ardi makin senang deh dipercaya keluarga Kinanti. Wkwk...bisa-bisa Guntur tersingkir.😁
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam hormat.🙏🏻
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam hangat
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam hangat, semoga Bu Tien sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Umi
Matur nuwun Bu Tien, semoga selalu sehat wal'afiat...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Reni
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰💖
ReplyDeleteApakah ini awal pertanda akan berpisah nya Guntur dg Kinanti,..😔
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ika
Alhamdulilah matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang sudah tayang episode teranyar , salam seroja dan wassalam dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteSeru membiru
ReplyDelete