Tuesday, December 24, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 46

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  46

(Tien Kumalasari)

 

Yang berdiri di teras, dan memang yang  baru datang adalah bu Carik, Wahyuni dan Suyono. Bu Nuke berjalan mendekat, menatap mereka penuh curiga.

Dalam benaknya, terpikir bahwa mereka adalah kerabat Arumi dari desa.

“Kalian siapa?” tanya bu Nuke begitu telah mendekat.

“Saya dari desa Sabrang, dulu anak buah pak Bachtiar,” jawab Suyono tak senang, melihat pandangan mata bu Nuke yang tampak merendahkan.

“O, dari desa?”

“Ini istri saya, dan ini ibu mertua saya.” lanjutnya.

“Ada perlu apa datang kemari?” bak nyonya rumah yang punya kuasa, bu Nuke bertanya sambil menatap mereka satu persatu.

“Ibu ini siapa? Ibunya pak Bachtiar?” tanya Suyono lagi yang belum pernah melihat wajah ibu Bachtiar, dan merasa kesal karena bersikap seperti yang punya rumah.

“Bachtiar itu kerabat aku. Aku kemari memang ingin mencari Bachtiar.”

“Tampaknya rumahnya kosong. Saya sudah mengetuk pintu berkali-kali, tapi tidak ada suara dari dalam.”

“Kalau bertamu itu jangan mengetuk pintu. Lihat, ada bel tamu. Pencet itu,” katanya sambil menatap sinis, mengira orang-orang di depannya tak tahu ada bel pintu di sana.

“Saya sudah memencetnya, tidak ada jawaban,” kata Wahyuni kesal melihat orang yang kelihatan kaya tapi sombong itu.

Bu Nuke tak percaya. Ia mendekat ke arah bel dan memencetnya berkali-kali.

“Kok nggak ada orang?” katanya sambil mendekati pintu, mencoba melongok ke dalam melalui pintu kaca yang kordennya sedikit tersibak.

“Di sana kosong, di sini kosong,” gerutunya.

“Ya sudah, karena rumah kosong, kalian pergi saja. Aku mau menunggu di sini,” katanya sambil duduk di kursi teras dengan santai.

Wajah Wahyuni gelap. Ingin sekali dia menyemprot perempuan cantik yang sombong itu.

Tapi mereka tak beranjak. Suyono segera mengambil ponsel, memutar nomor kontak Bachtiar. Langsung dijawab.

“Ya, Yono. Ada apa?”

“Pak Bachtiar di mana?”

“Aku di rumah sakit, tapi aku mau ke kantor sebentar. Ada apa?”

“Lhoh, siapa yang sakit?”

“Ibuku. Aku dan Arumi menemani di rumah sakit setiap hari.”

“Saya di rumah pak Bachtiar ini, bersama ibu, dan Wahyuni.”

“Ibu … bu Carik, atau bu Lurah?”

“Mertua saya Pak. Berikan alamatnya, kami mau ke sana.”

“Baiklah.  Ada Arumi di sana, tungguin aku ya, aku tidak lama.”

Suyono menutup ponselnya, kemudian menarik tangan istri serta mertuanya untuk berlalu.”

“Hei, mau ke mana kalian?”

“Ke rumah sakit,” kata Suyono yang enggan memberitahukan dengan jelas pembicaraannya dengan Bachtiar. Bukankah dia kerabatnya? Lalu Suyono merasa tak perlu mengatakan apapun. Apalagi dia juga kesal atas sikap sombong wanita yang mengaku kerabat Bachtiar itu.

“Heeiii, siapa yang sakit?” bu Nuke kembali berteriak.

Tapi Suyono segera membawa mobil pickup butut itu pergi.

Bu Nuke mencari sopir mobil yang tadi mengantarnya, tapi tak kelihatan batang hidungnya.

“Keterlaluan. Ke mana dia? Tadi dia bicara dengan Bachtiar, karena dia menyebut nama Bachtiar. Siapa yang sakit? Pasti istri Bachtiar yang orang desa itu. Bagaimana ini? Apa aku kembali saja ke rumah keluarga Wirawan, barangkali mereka sudah pulang dan bisa memberi keterangan, atau aku langsung meminta pertolongannya saja.”

Ketika kemudian sang sopir datang, bu Nuke mengomelinya.

“Ke mana kamu ?”

“Sedang beli minum di warung depan, Bu. Haus.”

“Dasar. Harusnya aku suruh mengejar pickup bau itu tadi.”

“Wah, saya melihatnya keluar. Sudah tidak kelihatan. Bu.”

“Kamu sih.”

Lalu sang sopir membukakan pintu untuk pelanggannya.

“Mau ke mana kita?”

“Ke alamat sebelum ini tadi saja, siapa tahu mereka sudah pulang.”

***

Tapi ketika sampai di rumah keluarga Wirawan, rumah itu masih rapat terkunci.

“Heran aku. Masa sih, Arumi yang sakit, lalu mbakyu Wirawan juga sudi menungguinya? Begitu cepat membuka hatinya untuk menantu desanya itu? Kalau mas Wirawan sih, aku dengar dia memang setuju punya menantu gadis desa itu. Tapi istrinya? Apa karena suaminya memaksa? Aduh, bagaimana ini?” gumam bu Nuke sambil duduk sendiri di teras rumah. Bingung harus melakukan apa. Padahal maksud yang sebenarnya adalah untuk meminta maaf pada Arumi, tapi enggan bertemu langsung.

“Rumah sakit mana ya? Kalau benar mbakyu Wirawan ada di sana, aku minta tolong saja sama dia tentang permintaan maaf itu. Tapi rumah sakit mana? Orang desa itu sombong amat, ditanya baik-baik tidak mau mengatakannya. Dia bisa menghubungi Bachtiar. Aku menghubungi siapa? Nomor kontak Bachtiar saja aku tidak tahu.”

Lalu Bu Nuke mencoba menghubungi bu Wirawan. Tapi lagi-lagi nomornya belum aktif.

“Aneh mbakyu Wirawan ini. Hanya menunggui menantu desanya yang sedang sakit saja, mengapa ponselnya dimatikan?”

Bu Nuke masih kebingungan memikirkan apa yang harus dilakukannya, lalu ia menelpon rumah sakit besar yang sekiranya adalah tempat di mana Arumi dirawat.

“Bachtiar pasti tak mau kalau istrinya dirawat di rumah sakit sembarangan. Dia kan banyak uang,” omelnya.

Beberapa rumah sakit terkenal dihubunginya, tapi tak satupun yang memiliki pasien bernama Arumi. Atau nyonya Bachtiar. Membuat bu Nuke kesal. Ia meletakkan ponselnya di meja dengan kesal.

“Ke mana Bachtiar membawa istrinya yang sedang sakit? Tak mungkin rumah sakit sembarangan.”

Ketika sedang kebingungan itulah, tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman.

“Nah, akhirnya mereka datang,” gumamnya sambil berdiri, dan menyambut di depan teras. Tapi ternyata yang turun adalah bibik pembantu.

“Ya ampun Bik, kamu dari mana?”

“Dari rumah sakit, Nyonya.”

“Dari rumah sakit? Begitu besar perhatian keluarga ini untuk Arumi ya? Rupanya mbakyu Wirawan sudah bisa menerima Arumi sebagai menantunya, sehingga dia dan bahkan pembantunya disuruh ikut menunggui di rumah sakit.”

“Kok Arumi sih, Nyonya. Yang sakit bukan non Arumi.”

“Siapa?”

“Nyonya sendiri yang sakit, sudah dua hari ini.”

“Apa? Nyonya yang sakit? Sakit apa?”

“Nggak tahu, Nyonya, saya tidak mengerti. Katanya perutnya ada yang luka, entahlah. Ini saya pulang membawa baju-baju kotor, untuk dicuci.”

“Begini saja, kamu kan diantar sopir?”

“Iya, Nyonya, tapi sopirnya akan kembali ke rumah sakit dengan membawa pakaian Tuan yang masih berada di sana, sejak pulang dari kantor, kemarin.”

“Baiklah, aku akan membayar mobil sewaan itu, lalu aku ikut mobil yang akan kembali ke rumah sakit.”

“Silakan Nyonya, saya mau masuk ke rumah dulu untuk menyiapkan semuanya.”

Sambil menunggu itu bu Nuke baru mengerti, ternyata yang sakit bu Wirawan, dikira Arumi. Pantesan seluruh rumah sakit tidak tahu, orang yang ditanyakan adalah Arumi.

“Tapi bagaimana ya, dia kan ada di sana, males banget bicara sama dia. Hanya saja memang aku harus meminta maaf demi Luki.”

Sampai kemudian sopir keluarga Wirawan membawanya ke rumah sakit, bu Nuke masih belum menemukan cara untuk berbicara.

***

Sementara itu, Bu Wirawan yang masih saja tak bersemangat, selalu ditunggui oleh Bachtiar dan istrinya. Walau enggan, tapi Bachtiar dengan sabar selalu mengingatkan sang ibu, bahwa Arumi sangat menyayangi ibu mertuanya, seperti kepada orang tuanya sendiri.

Bu Wirawan hanya diam. Wajahnya tak pernah cerah setiap kali Arumi mendekat. Bahkan ketika saat makan, ia juga menolak disuapi, walau tak menolak didekati. Rasanya sulit untuk menerima seorang gadis lugu dan sederhana itu menjadi menantunya.

Walau begitu Arumi tetap melayani dengan senyuman manis yang selalu tersungging di bibirnya.

Hari itu Bachtiar dan pak Wirawan pergi ke kantor, sedangkan Arumi sendirian menemani ibu mertuanya. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Arumi yang selalu duduk di sampingnya tak beranjak walau wajah sang ibu mertua selalu muram. Bu Wirawan tak bisa makan banyak. Lambungnya yang terluka, membuatnya harus dirawat lebih lama.

“Ibu, tadi bibik membuatkan bubur sumsum untuk ibu. Apa ibu mau?” tanya Arumi dengan lembut.

Bu Wirawan menggeleng, tanpa menatap ke arah Arumi. Tiba-tiba bu Wirawan bangkit. Ia menekan bel perawat agar datang, rupanya bu Wirawan merasakan sesuatu. Perutnya terasa mual, dan ingin muntah.

“Ibu ingin apa?”

Bu Wirawan memegangi perutnya. Ia turun dari pembaringan. Arumi dengan cekatan mengambil botol infus di mana selangnya masih terhubung di lengannya.

Tertatih bu Wirawan berjalan ke kamar mandi. Sebelah tangan Arumi memegang botol infus, sebelahnya lagi memapah bu Wirawan. Mereka masuk ke kamar mandi, dan bu Wirawan muntah-muntah di sana. Arumi memijit-mijit tengkuknya dengan lembut. Membiarkan bajunya kotor, dan tetap memegangi sang ibu mertua. Perawat yang datang segera menggantikan memegangi botol infus, dan kembali memapah bu Wirawan keluar dari kamar mandi setelah memintanya berkumur.

“Mbak, baju mbak kotor,” kata perawat itu.

“Tidak apa-apa. Biar saya mencucinya. Tolong bawa ibu kembali ke ranjangnya,” kata Arumi sambil tersenyum.

Ketika sang ibu dipapah kembali ke tempat tidurnya, Arumi segera membersihkan kamar mandi, dan membasuh bajunya.

Ia mengambil baju bersih yang dibawa Bachtiar dari rumah dan selalu tersedia selama mereka menunggui ibunya.

“Untunglah Mbak membawa baju ganti,” kata perawat yang sudah membantu bu Wirawan kembali berbaring, dan menata letak infusnya kembali, lalu memberinya minum, yang hanya sedikit diteguknya.

“Saya kadang-kadang masih merasa mual.”

“Iya, lambung ibu belum pulih. Ibu harus makan yang lembut dulu, ya. Lalu lain kali kalau ingin muntah, ada tempat di sini, ibu tidak harus bangkit ke kamar mandi.”

“Tadi ibu tidak bilang apa-apa, langsung turun dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi,” kata Arumi.

Bu Wirawan menyadari kesalahannya. Ia mengacuhkan Arumi yang selalu melayani, dan ternyata Arumi harus berkorban terkena kotoran ketika membantunya tadi. Ada sesal, ada rasa terima kasih yang masih dipendamnya, dan agak segan mengakuinya, padahal perasaan itu ada.

Perawat itu hanya tersenyum, kemudian meninggalkan ruangan.

“Ibu, kalau butuh apa-apa, bilang pada Arumi, ya.”

Bu Wirawan tak menjawab. Sekilas menatap menantu yang tak diinginkannya itu, dan mengakui bahwa Arumi memang cantik. Memiliki mata bening dan senyuman yang tulus. Apa aku salah menilainya? Kata batin bu Wirawan.

Hanya karena penampilan sederhana, hanya karena datang dari desa, apakah itu mengecewakan? Dia rela bajunya tersiram kotoran dari muntahan yang tak bisa ditahannya. Dia rela setiap hari menunggui, bahkan dua hari tak pulang, demi dirinya. Apakah tidak bisa semua itu menyentuh nuraninya?

Bu Wirawan memejamkan matanya, lalu dengan perlahan Arumi membetulkan letak selimutnya.

"Ibu tidur saja, saya menunggui di sini."

Tiba-tiba bu Wirawan meraih minyak kayu putih yang memang selalu siap di meja samping tempat tidurnya. Arumi dengan cekatan meminta botol minyak itu.

“Ibu mau di gosok? Bagian perut ya Bu, biar agak enakan, dan hangat.”

Arumi menyibakkan selimut bu Wirawan, mengangkat sedikit baju atasnya, lalu menggosokkan minyak kayu putih itu di perut sang ibu mertua. Bu Wirawan diam saja, tidak menolak. Arumi merasa senang. Sikap itu terasa lebih lunak.

Setelah mengoleskannya merata, Arumi kembali menutup baju sang ibu, lalu membetulkan lagi letak selimutnya. Dengan lembut Arumi memijit-mijit kakinya, dan lagi-lagi bu Wirawan membiarkannya, sementara sebelum-sebelumnya selalu menolak.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Arumi bangkit, dan terkejut melihat siapa yang datang.

“Bu Carik?”

Lalu tiba-tiba saja bu Carik memeluknya erat, dengan linangan air mata.

“Arumi, maafkan suamiku, ya.”

“Bu Carik, saya sedang menunggui ibu mertua yang sedang sakit.”

“Iya, Yono sudah mengatakannya,” kata bu Carik sambil menatap ke arah tempat tidur. Tapi dilihatnya mertua Arumi memejamkan mata.

“Beliau tidur,” kata bu Carik pelan, sepertinya takut mengganggu. Arumi menyapa Yono dan Wahyuni, lalu diajaknya duduk di sofa. Setelahnya, mereka bicara sangat pelan, takut mengganggu yang sedang tidur.

“Arumi, jauh-jauh aku datang mencari kamu. Aku minta maaf atas nama suamiku,” kata bu Carik pilu.

“Saya sudah mendengar semua itu. Pak Carik yang menyerahkan diri. Sebenarnya saya ingin melupakan masalah itu, tapi bagaimana lagi. Kata mas Tiar, itu sudah ada di tangan yang berwajib. Tapi saya sudah memaafkan pak Carik.”

“Terima kasih Arumi, kami sudah tahu, kamu gadis yang baik.”

“Sama-sama bu Carik, sudahlah, tidak usah dipikirkan. Saya benar-benar ingin melupakan semua itu.”

Ketika itu tiba-tiba pintu dibuka tanpa ada yang mengetuk, lalu muncullah bu Nuke, yang tak mempedulikan mereka yang duduk, langsung mendekat ke arah pembaringan, dan menubruk bu Wirawan dengan menangis terisak.

Bu Wirawan membuka matanya, karena sesungguhnya dia hanya pura-pura tidur. Melihat siapa yang merangkulnya, wajahnya berubah muram, didorongnya tubuh bu Nuke, sehingga jatuh terduduk.

***

Besok lagi ya.

 

68 comments:

  1. 🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞
    Alhamdulillah πŸ™πŸ€©
    KaBeTeeS_46 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam serojaπŸ˜πŸ¦‹
    🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat malam jeng Sari ... Maba oleh2 dari jalan-jalan ke negeri ban jauh disana??
      Selamat malit, nich ye....πŸ‘πŸ‘

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih jeng Sari

      Delete
  2. Gasiiik .... alhamdulillah, maturnuwun bu Tien

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.Maturnuwun cerbung hebat 🌹 semoga Bunda selalu sehat wal afiat πŸ€²πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  4. Matur sembah nuwun Mbak Tien..KaBeTeEs 46_ SDH tayang...semoga Mbak Tien sehat2 selalu
    Salam ADUHAI dari Bandung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih jeng Ning
      ADUHAI dari Solo

      Delete
  5. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien , sugeng dalu... salam sehat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete

  6. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 46* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih pak Wedeye

      Delete
  7. Alhamdulillah ... maturnuwun sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih ibu Endang

      Delete
  8. Syukron.Bu Tien, Alhamdulillah KaBeTeeS_46 sdh hadir.
    Rasain bu Nuke dicuekin sama bu Wirawan.

    Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.
    πŸ€πŸ€πŸ™πŸŒΉ

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah .. sehat selalu ya Bu Tien

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih ibu Endang

      Delete
  10. Itulah buah yg bu Nuke dapatkan. Ingatlah ya, apa yg kita tanam, akan kita petik buahnya.
    Trima kasih ibu Tien untuk cerbungnya yg menarik.
    Salam hangat selalu.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ..tetep SeRoJa in Sya Alloh Aamiin.🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam hangat... semoga sehat dan bahagia selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  13. Terima kasih Bun..salam sehat
    Semangat ..salam Aduhai

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah sdh tayang.... semoga bu Wirawan trbuka hatinya.... makin seruu tak sabar menunggu besok.
    Terima kasih Mbu tien, sehat sllu bersamq keluarga trcnta

    ReplyDelete
  16. Alhamdullilah..terima ksih bunda..slmt mlm dan salam sehat sll dri sukabumiπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih tayangan cerbungnya bu tien
    Semoga bu tien selalu sehat² n tetap semangat

    ReplyDelete
  18. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 46 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala.

    Bu Wirawan diam diam mengakui Arumi budi nya baik, lemah lembut dan tidak sombong...he...he..
    Sebalik nya Bu Wirawan wajah nya makin muram ketika tante Nuke yang tdk punya sopan santun...menubruk nya...😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih pak Munthoni

      Delete
  19. Alhamdulillaj
    Terima kasih bunda
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  20. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Terima kasih ibu Yati

    ReplyDelete
  21. Wow
    Masih banyak yang ada dalam hati maknya Tiar; bagaimana sang soib yang begitu hangat mau nambahin aib mencoreng muka sahabatnya sendiri, namanya juga iklan, ya mesthi; apa lagi penampilannya anak tante Nuke, tinggal dipoles dikit dengan kata-kata manis, berharap cepat laku ya begitulah bunyinya.
    Kenyataan nya; terbiasa dengan mudah mendapatkan, malah jalan pintas secara paksa sampai harus dilakukan walau kriminal, yang bikin susah sendiri.
    Kekecewaan memuncak maknya Tiar; sudah di bela²in tebal muka pilihannya tepat, ternyata bisa melakukan diluar dugaan, sampai segituna, keinginan hidup bersama Tiar.
    Hatinya kering sudah; surung sisan bèn keringkangan

    Aduhai

    Terimakasih Bu Tien

    Ketika Bulan Tinggal Separuh yang ke empat puluh enam sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Salam crigis mas Nanang

      Delete
  22. Nah kan...Arumi yg telaten menjaga bu Wirawan di RS...pasti hati sang mertua akan cepat luluh melihat kebaikan hati menantu desanya itu.πŸ˜€

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  23. Makasih cerbung nya
    Mohon bantuan dpt dishare ulang episode 33 dan 35, saya belom baca, makasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 ibu Anis
      Kan bisa di lihat di sini?
      Nggak hilang kok

      Delete
    2. Ibu Anis, klik tanda panah dibawah naskah. Klik terus sampai ketemu seri yang ibu maksud

      Delete
    3. Maksudnya dibawah koment2 itu sebelah kanan kan ada panah tuh

      Delete
  24. Terima kasih banyak Ibu sdh dibantu, saya sdh bisa baca episode yg saya cariπŸ™

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 17

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  17 (Tien Kumalasari)   Wanda mengerucutkan bibirnya. Walau pelan, tapi suara Guntur berupa hardikan, sangat m...