Saturday, December 14, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 38

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  38

{Tien Kumalasari}

 

Bachtiar merasa kesal. Mengapa kalau ada hubungannya dengan keluarga Luki, selalu dia harus ikut campur. Padahal ibunya kan sudah tahu kalau dirinya sudah menikah?

“Ada apa Mas? Tanya Arumi.”

“Arumi, aku mau keluar sebentar saja, apa kamu tidak apa-apa, kalau aku tinggalkan sendiri?”

“Di desa, yang lampunya hanya kelap-kelip saja aku tidak takut, mengapa di rumah yang terang benderang aku harus takut? Pergilah kalau memang ibu memanggil Mas, barangkali ada sesuatu yang penting,” kata Arumi tulus.

“Terima kasih Arumi, percayalah, aku hanya sebentar.”

“Ya Mas, aku mau mandi dulu.”

"Biar aku isikan dulu bak mandinya.”

“Mas harus mengambil air di mana?”

“Tidak di mana-mana. Di kamar mandi tersedia air yang melimpah. Tinggal putar krannya, maka air akan mengalir. Ayo aku tunjukkan."

Bachtiar lagi-lagi mengajari Arumi bagaimana mandi di kamar mandi yang ada di rumahnya.

“Aku tidak mau berendam, mau diguyur saja,” kata Arumi.

“Itu namanya Shower, putar kalau ingin mengguyur tubuh, kalau mau air hangat mutarnya begini.”

“Ya ampuun.”

“Kamu harus terbiasa dengan semua ini, karena rumah ini juga akan menjadi rumahmu. Nanti rumah yang sedang dikerjakan di dusun sana, juga akan aku buat mirip seperti ini.”

“Baiklah, terserah Mas saja. Bukankah aku harus menurut apa kata suami?”

“Bagus, istriku yang cantik. Besok pagi aku akan mencari keterangan tentang homeschooling. Kamu akan belajar di rumah.”

“Apakah aku bisa mendapat ijazah?”

“Tentu saja bisa. Jangan khawatir. Kalau kamu pintar, kamu bisa lulus lebih cepat.”

Ponsel Bachtiar berdering lagi. Bachtiar mengangkat, tapi tidak membukanya. Sang ibu kembali menelpon, barangkali dianggap kedatangannya terlalu lama.

“Kok tidak dijawab?” tanya Arumi.

“Aku langsung ke rumah ibu saja,” katanya sambil berkemas.

"Pintu aku kunci dari luar ya, jangan dibuka kalau ada yang mengetuk pintu atau membunyikan bel tamu. Aku segera pulang.”

Bachtiar mencium kening Arumi.

“Katanya tidak akan menyentuh. Mas Tiar sudah berkali-kali menyentuh,” tegur Arumi.

“Menyentuh yang berbeda, maksudku bukan menyentuh seperti ini, tapi lebih,” katanya sambil kembali mencium kening istrinya, lalu tersenyum lepas. Arumi sudah mengerti, dan dia tahu, sang suami akan menepati janjinya.

***

Arumi sudah selesai mandi. Sangat takjub dengan semua perabotan di rumah suaminya. Ia belum biasa melakukannya, tapi seharian tadi dia sudah belajar banyak hal. Mulai besok dia sudah akan terbiasa. Ia menyetel televisi, melihat-lihat acara yang baik untuknya, lalu berhenti pada siaran berita tentang kiprah para pengusaha, dan dia melihat seseorang yang dikenalnya. Bukankah itu pak Wirawan, ayah mas Tiar? Ya ampuun, rupanya dia orang yang sangat terkenal, sedang bekerja saja dimasukkan ke televisi.

Lalu ia merasa kasihan kepada bapak dan simboknya, yang belum pernah memiliki televisi. Kalau ada bapak dan simboknya, pasti menyenangkan. Tiba-tiba dia teringat pada pengalamannya ketika diculik. Merinding membayangkan seandainya dia tidak memuntahkan cairan yang dicekokkan ke mulutnya. Beruntung dia bisa memuntahkannya segera. Dia heran pada pak Carik yang hanya karena penolakannya atas Sutris, kemudian ingin mencelakakannya. Ia juga heran atas kebencian Luki terhadapnya, yang dianggap menjadi penyebab ditolaknya cinta Luki kepada Bachtiar.

“Bukankah Luki sangat cantik? Penampilannya saja sudah seperti bintang film di televisi. Mengapa juga mas Bachtiar memilih menikahiku. Gadis dusun yang bodoh, yang tidak bisa sejajar dengan mas Tiar yang pengusaha, anak pengusaha besar pula. Apakah ini keberuntungan bagiku? Bagaimana nanti kalau kemudian mas Tiar merasa bosan terhadapku, lalu aku ditinggalkannya?” gumamnya.

Lama-lama Arumi mengantuk. Tak terasa dia terkulai di sofa, entah bermimpi tentang apa.

***

Bu Carik membangunkan suaminya yang sejak pulang langsung masuk ke kamar. Hari sudah malam, harusnya sejak tadi sang suami meminta makan seperti biasanya. Tapi tidak.

Bu Carik memegangi kening suaminya, barangkali sakit. Tapi tidak. Tubuh sang suami justru berkeringat.

“Pak, tidak makan dulu Pak? Apa sudah makan di warung? Tapi sejak siang tadi Bapak belum makan lhoh. Wahyuni dan Yono sudah makan sejak tadi.”

Pak Carik hanya menggeliatkan badannya, kemudian beralih memunggungi istrinya.

“Pak, makan dulu, kalau mau tidur lagi ya tidur saja, tapi makan dulu.”

“Hmmmh,” hanya itu jawaban sang suami, tapi tidak mengubah posisi tidurnya. Tetap memunggungi istrinya.

“Tidak ingin makan? Kalau tidak, ya mau aku bawa ke belakang semua makanannya.”

“Ya sudah, terserah kamu. Biarkan aku tidur dan jangan menggangguku lagi,” sentaknya kasar.

Bu Carik membalikkan tubuhnya. Merasa aneh dengan sikap sang suami. Tapi dia tidak bertanya lebih lanjut. Kalau sedang ada masalah, pak Carik tidak suka berbagi. Itu sudah menjadi kebiasaan. Pasti ada masalah di toko. Tapi kali ini, mana bu Carik tahu bahwa kegelisahan pak Carik tidak seperti kalau ada masalah di tokonya. Ini masalah hukum. Cepat atau lambat, polisi akan menangkapnya. Bukankah dia sudah bicara dengan polisi yang kebetulan malah dia yang menelponnya?

“Aku menelpon non Luki, kenapa polisi yang mengangkat? Jangan-jangan non Luki malah sudah tertangkap,” gumamnya sambil membenamkan kepalanya pada bantal. Ia ingin lari. Tapi kata 'polisi' tadi ia sudah diawasi. Sungguh celaka. Siapa sebenarnya yang melapor?

***

Bachtiar memasuki rumahnya setelah memarkir mobilnya di halaman. Lampu di ruang tengah masih benderang. Ia mendengar sang ibu bicara pelan, jadi dia tak mendengar apa yang dibicarakan.

Begitu muncul, bu Wirawan sudah berteriak gembira.

“Syukurlah kamu mau datang, Tiar.”

Tapi Bachtiar tak melihat sang ayah. Hanya ada ibunya, dan bu Nuke, yang tampaknya juga datang tanpa suami.

Bachtiar menyalami ibunya dan bu Nuke, tak lupa mencium tangannya juga.

“Apa kabar Tante?” sapanya kepada bu Nuke. Tapi yang di sapa tiba-tiba malah menangis tersedu.

“Ada apa?”

“Luki, Tiar … Luki,” katanya tersendat.

“Kenapa Luki? Apakah masih di rumah sakit?”

“Tidak, sudah pulang. Tap ..pi… tap ..pi…”

Bachtiar menunggu. Ada perasaan tak enak tiba-tiba. Apakah Luki menjadi cacat? Apakah Luki … ah, entahlah. Mengapa juga Bachtiar dilibatkan dalam permasalahan Luki?

“Ternyata dokter menemukan penyakit mematikan di tubuh Luki,” lalu bu Nuke kembali menangis. Bu Wirawan merangkul pundaknya.

“Sabar jeng, sabar.”

“Penyakit mematikan apa?”

“Kanker ganas, Tiar. Umurnya tinggal enam bulan lagi, kata dokter.”

Bachtiar terkejut. Separah itu? Pantas bu Nuke manangis sejadi-jadinya seharian ini. Itu kata ibunya.

“Tiar, kalau kamu sudah menjadi orang tua, pasti kamu akan bisa merasakan, bagaimana perasaan orang tua ketika mengetahui penderitaan anak yang sedemikian berat. Bahkan sudah tersurat bahwa dia akan meninggal paling lama enam bulan lagi. Sedih, Tiaaaar, sediiiih,” lalu bu Nuke menangis lagi sejadi-jadinya.

 “Tante, mati dan hidup itu bukan manusia yang menentukan.”

“Tapi itu kata dokter, Tiar.”

“Dokter itu juga manusia, bukan?”

“Dengan pemeriksaan yang serba mutakir, mungkinkan apa yang dikatakan itu salah? Tiar, aku mempercayai apa kata dokter.”

“Selalu memohon kepada Yang Maha Kuasa, Tante. Pertolongan itu datang tanpa kita duga, kalau kita memohon dengan bersungguh-sungguh.”

“Tiar, dalam saat seperti ini, aku sudah memohon kepada Yang Maha Kuasa. Entah nanti bagaimana nasib Luki, tapi aku tetap ingin memberikan kebahagiaan untuk dia di akhir sisa hidupnya yang tidak seberapa lama.”

“Itu bagus, Tante.”

“Tiar. Yang didambakan Luki selama ini adalah, bisa memiliki kamu sebagai suami,” rintih bu Nuke, membuat Bachtiar terperanjat.

“Tante, itu tidak mungkin. Saya sudah punya istri. Belum lama kami menikah,” kata Bachtiar yang berkurang rasa simpatinya karena perkataan itu.

“Tiar, kamu harus merasa kasihan pada Luki. Umurnya tidak akan lama. Bayangkan kalau keinginan semasa hidupnya tidak terlaksana, bukankah dia akan meninggal dengan penasaran?” sambung sang ibu.

“Tapi Bu, permintaannya itu tidak masuk akal. Saya sudah beristri. Mana mungkin saya harus punya istri lagi?”

“Tiar, istrimu itu hanya gadis desa, dia tidak akan mengerti kalaupun kamu menikah lagi. Ini untuk sekedar memberi kebahagiaan pada Luki pada sisa hidupnya Tiar, apa kamu tidak kasihan padanya?”

Bachtiar agak marah mendengar ibunya mengatakan bahwa istrinya ‘hanya gadis desa’. Dia sangat mencintainya. Dan Arumi gadis yang baik.

“Dia itu memikat kamu, bukankah karena kamu punya harta yang banyak?” sambungnya.

“Ibu menyinggung perasaan Bachtiar. Arumi bukan gadis seperti itu. Dia hampir menolak semua pemberian Bachtiar, dan Bachtiar harus memaksanya ketika memberikan sesuatu untuk dia.”

“Halaaah, itu kan hanya akal-akalannya saja.”

“Kalau ibu merendahkan istri Bachtiar, lebih baik Bachtiar pergi,” kata Bachtiar sambil berdiri, kemudian beranjak pergi. Tapi tiba-tiba bu Nuke bangkit, mengejarnya lalu bersimpuh di hadapan Bachtiar, membuat Bachtiar terkejut, kemudian ikut bersimpuh didepannya.

“Tiar, aku sama sekali tidak memandang rendah istri kamu. Aku percaya, kamu menikahinya karena dia baik. Tolong jangan marah, Tiar. Tapi aku mohon, tolonglah tantemu ini, demi sisa hidup Luki, Tiar. Bantulah. Nikahilah dia. Umurnya tidak akan lama,” katanya sambil kembali menangis dan malah menubruk pangkuan Bachtiar, membuat Bachtiar kebingungan.

“Tante jangan begini, berdirilah.”

“Tiar, tolonglah. Biar kamu anggap aku mengemis, tidak apa-apa, tolong Luki, Tiar. Aku tidak bisa memberikan apa-apa, kecuali hanya mewujudkan apa yang menjadi keinginannya selama ini. Tolong Tiar. Tolonglah, punya istri dua kan tidak apa-apa, lagi pula umur Luki tidak akan lama lagi, apa tega kamu membiarkannya sengsara?”

Bu Nuke sangat nekat. Ia tak mau mengangkat kepalanya dari pangkuannya, membuatnya risih dan juga sungkan.

“Begini saja Tante. Biarkan saya pulang dulu untuk menenangkan pikiran. Saya tidak menolak keinginan Tante, tapi saya juga tidak berjanji untuk menerimanya. Istri saya yang orang desa, adalah istri yang sangat saya cintai. Saya tetap akan berbicara dengan dia mengenai hal ini.”

Bu Nuke mengangkat kepalanya. Tapi tiba-tiba bu Wirawan menyela dan mengatakannya dengan keras.

“Kalau harus minta ijin pada istri, ya tidak mungkin. Mana ada seorang istri yang membiarkan suaminya menikah lagi? Omong kosong apa kamu ini.”

“Berdirilah Tante, saya akan secepatnya memberi kabar. Ini begitu tiba-tiba dan saya belum bisa menata hati saya.”

“Baiklah, aku pegang janjimu, dan percaya, sebagai laki-laki yang baik, kamu pasti akan menaruh belas kepada penderitaan seseorang,” katanya sambil berdiri, lalu mengusap air matanya.

“Saya pamit dulu,” katanya dan berlalu.

Bu Nuke kembali duduk, setelah saling pandang dengan bu Wirawan. Entah apa artinya pandangan itu.

***

Bachtiar masuk ke rumah, melihat lampu masih benderang. Ada suara televisi, tapi tak ada yang menontonnya. Dilihatnya Arumi tertidur di sofa, matanya terpejam lelap. Trenyuh Bachtiar menatapnya. Seorang gadis miskin, yang terus menerus direndahkan oleh ibunya. Gadis cantik polos, yang mengatakan mau dinikahinya karena mengagumi dirinya, bukan karena harta yang dimilikinya. Bachtiar sanggup melakukan apa saja demi kebahagiaan Arumi. Tapi memberinya madu? Ya Tuhan, ia sudah sering mendengar, dimadu itu sakit sekali. Kebanyakan wanita tak ingin berbagi cinta. Lalu tangis bu Nuke, lalu kepolosan Arumi. Bachtiar tak sanggup menyakitinya.

Ia mendekati Arumi, kemudian menggendongnya masuk ke kamar. Arumi yang terlelap, terkulai di dadanya. Harum rambutnya menyentuh hidungnya. Wangi yang membuatnya berdebar. Ia meletakkan Arumi di atas ranjang, menatapnya berlama-lama. Ia mengelus pipinya lembut, juga bibirnya. Lalu ia teringat pada janjinya, tak akan menyentuhnya sebelum Arumi menyelesaikan SMA nya.

Bachtiar membungkuk, mencium keningnya, kemudian menyelimutinya.

“Arumi, aku sangat mencintaimu, tapi ijinkan aku menikah lagi,” bisiknya pelan.

Arumi menggeliat. Bachiar terkejut, apa ia mendengar apa yang dikatakannya? Tapi Arumi meraih guling, lalu dipeluknya erat. Matanya masih terpejam. Tidurnya sangat nyenyak. Ingin Bachtiar mendekapnya erat, tapi diurungkannya. Suasana sangat mendukung untuk melupakan janji agar  tidak menyentuhnya dulu, tapi ia memilih pergi. Bukankah Arumi mau menjadi istrinya karena mengagumi dirinya? Kekaguman itu bukankah akan sirna kalau mengetahu sang suami ingkar pada janjinya?

Sekali lagi Bachtiar mencium keningnya, lalu meninggalkan kamarnya setelah menggantikan lampu benderang di kamar itu, dengan lampu kamar yang redup.

Ketika Bachtiar menutup pintu, Arumi membuka matanya.

“Apa aku tadi bermimpi buruk?” keluhnya.

***

Besok lagi ya.

 

69 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  2. 🥰🌹❤️🌴🥰🌹❤️🌴

    Alhamdulillah KaBeTeeS_38 sudah tayang.

    Terima kasih Bu Tien, semoga Bunda Tien sehat selalu dan selalu sehat.
    Aamiin yaa Robbal'alamiin 🤲

    🥰🌹❤️🌴🥰🌹❤️🌴

    ReplyDelete
  3. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  4. Terima kasih cerbung nya Mbak Tien

    Semoga sehat dan bahagia selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Kharisma

      Delete
  5. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  6. Yeeeeee..... tayang gasik. Matur nuwun bunda Tien, salam sehat n bahagia dri Bintaro

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun jeng Tien , , ora sayah ,yaaaa , sing bar saka Magelang.
    Jaga kesehatan .

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillaah KBTS-38 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
    Aamiin
    Salam Aduhai🙏

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah sampun tayang, maturnuwun bu Tien... semoga bu Tien sekeluarga sll sehat dan bahagia, salam hangat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apakah bachtiar mau menikahi luki???? Gak mungkin ..masa karena tangisan bu nuke terus bersedia menikahi .... tak mungkiiiiiin.

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  10. Alhamdulillah...salam sehat n semangat bu Tien

    ReplyDelete
  11. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 38 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Selamat berakhir pekan Bunda.

    Tiar kamu adalah orang pinter, kamu jangan percaya 'drama bikinan' ibu nya Luki dan ibu mu. Sebaik nya kamu cek n ricek ke rumah sakit tempat Luki di rawat, temui dokter nya, baru kamu dapat jawaban nya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  12. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  13. Mks bun KBTS 38 nya, jadi ikutan sedih bun.......selamat mlm smg bunda Tien selalu sehat serta bahagia bersama kelrg tercinta

    ReplyDelete
  14. Bgmn kalo Bachtiar beristri 2....

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun Bu Tien, KBTS nya - Mugi Ibu sll dlm Lingkup Nya
    n smoga epsde KBTS nya msh panjaaang …..
    asyiik je ….

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah KBTS~38 sudah hadir, maturnuwun Bu Tien .

    ReplyDelete
  17. Sabaaar ya Arumi, kl harus berbagi dg Luki , tp hati Bachtiar hanya untukmu
    Walaupun Itu akal2 an ibunya Bachtiar & ibunya Luki anaknya sakit , jd doanya
    Penisiriin.... gemes

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    ReplyDelete
  18. smoga klg baru Tiar Arumi Indah pd akhirnya n klg Pak Trimo & klg bsr Pak Wirawan guyub rukun .

    ReplyDelete
  19. Tiar tentunya tidak segera percaya kepada bu Nuke. Perlu ditanyakan kepada dokter, kalau benar cancer apa ada kemungkinan bisa disembuhkan.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  20. Jangan Bachtiar di prank ibunya dan bu Nuke tentang sakitnya Luki ..awas sj kau Luki ...
    Alhamdulillah
    Syukron nggih Mb Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun ibu..... Wah trs tentang otak penculikan apakah Bachtiar tdk ingin mengungkap?. Semoga ia tdk jadi laki2 lemah yg mudah tertipu

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  23. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien sehat² selalu n tetap semangat

    ReplyDelete
  25. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
  26. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Supriyati

    ReplyDelete
  27. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun jeng Sari

    ReplyDelete
  28. Wah, modus jadul...alasan berpenyakit parah dipakai untuk menjerat lelaki, memaksa menikahi sebelum ajal tiba. Bukan main si Luki...😰

    Terima kasih, bu Tien. Sehat selalu.🙏🏻

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah.... Sdh bs mengikuti lagi... Mtnw mbakyu.. Sehat selalu

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 19

    JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  19 (Tien Kumalasari)   Zaki menatap Kinanti, menunggu jawaban. Tapi Kinanti tampak tak mengacuhkannya. Ia m...