Wednesday, December 4, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 29

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  29

(Tien Kumalasari)

 

Arumi masih tertegun. Keringat dingin tiba-tiba membasahi seluruh tubuhnya. Ingin ia menjawab, tapi mulutnya kelu, tak mampu mengucapkan apapun. Bachtiar menatapnya.

“Arumi, kamu kenapa?”

Arumi hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa perkataanku melukai hatimu?”

Lagi-lagi Arumi menggeleng.

“Maaf kalau aku lancang.”

Dan Arumi hanya mampu menggeleng seperti sebelumnya.

“Tapi aku bersungguh-sungguh. Bahkan kalau boleh, aku akan melamar kamu sekarang juga. Aku mencintai kamu.”

Tangan Arumi saling menggenggam, basah oleh keringat. Selama hidup, baru sekali ini mendengar kata cinta yang ditujukan padanya. Rasanya begitu tiba-tiba. Bachtiar hanya baik dan penuh perhatian. Tapi cinta? Arumi tak pernah menduganya. Apakah dia marah? Tidak. Ia hanya gemetaran. Apa dia akan menolak? Sepatah katapun tak mampu diucapkannya.

“Kamu marah?”

Arumi menggeleng lagi.

“Kamu menolak?”

Dan ketika untuk kesekian kalinya Arumi menggeleng, hati Bachtiar terasa begitu lega. Tidak menolak, bukankah artinya diterima? Bachtiar tidak tahu, bahwa hanya itulah hal yang bisa dilakukan Arumi. Tapi kalau memang menolak, bukankah dia bisa mengangguk?

“Terima kasih Arumi, berarti kamu juga sayang sama aku,” kata Bachtiar sambil tersenyum.

Arumi terkejut. Ia menerimanya? Kalau tidak apakah dia menolaknya? Tiba-tiba air mata sudah menggenangi pelupuknya. Bachtiar terkejut. Ingin sekali ia merengkuh tubuh mungil itu, tapi mana bisa dia melakukannya? Ia hanya bisa menatapnya iba.

“Maafkan aku Arumi, aku tidak ingin kamu terluka. Kalau kamu menolak, katakan saja, jangan takut. Aku akan menerima kenyataan ini. Aku tidak ingin memaksa kamu untuk menerimanya.”

Arumi mengusap air matanya dengan tangannya. Bachtiar meraih tissue yang selalu tersedia di mobilnya, diberikannya kepada Arumi.

“Kamu maafkan aku ya?”

Arumi menatap Bachtiar dengan senyuman tipis.

“Aku orang miskin,” akhirnya hanya itu yang keluar dari bibirnya, dengan gemetar pula.

“Maksudmu, karena kamu miskin, aku tak boleh jatuh cinta sama kamu?”

“Mana mungkin?”

“Tak ada yang tak mungkin. Cinta itu datang semau dia, kepada orang kaya, kepada orang miskin, siapa yang bisa melarang?”

“Jangan melamar ….”

“Memangnya kenapa? Kamu sudah punya calon yang akan menjadikanmu istri?”

Arumi menggeleng.

“Lalu apa yang menghalangi kalau memang kamu juga cinta?”

“Mana pantas?”

“Bagaimana kalau aku bilang pantas?”

“Aku takut.”

“Jangan takut, karena aku akan selalu ada di dekatmu.”

Mobil Bachtiar sudah sampai dipasar. Bachtiar menghentikannya, lalu meraih keranjang-keranjang Arumi, dibawanya turun.

Ketika ia membuka pintu mobil untuk Arumi, ia menatap wajah lugu yang seperti tertekan dan ketakutan. Kemudian Arumi memalingkan wajahnya.

“Kenapa? Aku tidak akan memakan kamu. Mau aku gendong turun?” goda Bachtiar.

Arumi buru-buru turun dari mobil. Bachtiar terkekeh.

Arumi meraih keranjangnya dan bergegas masuk ke dalam pasar. Bachtiar menatapnya sambil tersenyum. Di pintu pasar, seorang wanita menghentikan langkah Arumi, menuding ke arah bungkusan rempeyek. Arumi sibuk melayani dengan senyum cerah.

Bachtiar terus menatapnya. Ia selalu suka melihat senyuman itu. Ada rasa lega dihatinya. Ia yakin Arumi tidak menolaknya. Ia hanya takut seperti yang dikatakannya. Ia juga mengatakan bahwa dirinya miskin. Kesimpulannya adalah bahwa Arumi tidak menolak, hanya takut karena ada perbedaan status diantara mereka. Bachtiar kaya, Arumi miskin. Rupanya Bachtiar tak peduli.

Bachtiar masuk ke dalam mobil, masih tersenyum ketika Arumi terlihat sibuk dikerubuti pembeli. Bachtiar tak mau pergi. Ia terus menatap Arumi sambil senyum-senyum sendiri.

Lalu Bachtiar menelpon seseorang, menanyakan tentang saluran air itu. Bachtiar mengangguk-angguk. Rupanya sudah beberapa hari yang lalu air bersih mengalir ke setiap rumah, termasik rumah pak Truno pastinya. Ia lupa menanyakannya pada Arumi, karena sibuk mengutarakan isi hati.

***

Sepasang pengantin masih ada di rumah pak Carik. Masih ada kesibukan di rumah itu, dari yang bersih-bersih dan membereskan sisa perhelatan semalam. Ada pertunjukan wayang kulit digelar di tengah malam, dengan lakon Parto Krama.

“Kamu capek?” tanya Suyono.

“Tidak, aku sedang berbahagia. Apa kamu juga berbahagia?”

“Tentu saja. Mana ada pengantin yang tidak berbahagia?”

“Kamu tadi malam seperti mencari sesuatu. Jangan bilang kamu ingin merokok,” kata Wahyuni sambil menatap tajam suaminya.

Suyono terkekeh.

“Tidak, aku mencari korek.”

“Mencari korek untuk apa? Merokok kan?”

“Tidak, ingin menyalakan lilin karena kamar gelap gulita.”

“Iya sih, aku juga takut kalau tiba-tiba gelap. Untunglah tidak lama.”

“Kenapa takut? Kan ada aku di dekat kamu?”

Wahyuni tersipu.

“Oh ya Mas, semalam kamu ngomong apa sama pak Bachtiar. Bisik-bisik begitu, lagi ngomongin rahasia ya?”

“Aku mengatakan tentang Arumi. Pak Bachtiar mengira Arumi akan menjadi menantu keluarga ini.”

“Lalu Mas bilang apa?”

“Arumi kan tidak suka pada Sutris?”

“Sebenarnya aku ingin, Arumi mau sama Sutris. Bukankah Sutris pernah menyelamatkannya? Kok tidak terbuka hati Arumi untuk mencintai penolongnya ya?”

“Apakah Sutris menolong karena mengharapkan imbalan?”

“Ya tidak. Tampaknya Sutris juga sudah melupakan Arumi, barangkali di tempat dia kuliah, Sutris sudah menemukan gadis cantik yang lain.”

“Semoga begitu. Pak Bachtiar tampaknya masih menaruh perhatian.”

“Pada Arumi?”

“Ya. Dia tampak gembira ketika aku mengatakan bahwa Arumi dan Sutris tidak saling menyukai.”

“Tapi pak Bachtiar datang dengan gadis cantik. Oh ya, aku ingat gadis itu. Dia pernah mampir ke toko, menanyakan di mana letak proyek yang digarap pak Bachtiar. Dia mengaku sebagai calon istrinya lhoh.”

“Semalam pak Bachtiar mengenalkannya sebagai teman, walau gadis itu nempel terus. Dia juga pernah datang ke proyek ketika itu, dan menanyakan di mana rumah Arumi juga.”

“Berarti Arumi kenal dong?”

“Entahlah. Sudah, jangan membicarakan orang lain. Aku mau keluar dulu, ketemu Sutris, katanya Sutris mau kembali ke kota hari ini.”

“Sarapan dulu saja.”

Suyono mengikuti istrinya ke ruang makan. Dilihatnya bu Carik sudah menyiapkan makan untuk mereka berdua.

“Kok hanya kami berdua Bu?” tanya Suyono.

“Bapakmu sama Sutris sudah makan lebih dulu. Mereka sedang berbincang di depan, sekarang giliran kalian. Ayolah.”

“Bu, ini apa?” teriak Wahyuni ketika melihat di dekatnya ada sebuah gelas dengan isinya yang kehijauan. Tapi yakin bukan sirup, karena baunya sangat menyengat.

“Itu buat kamu. Harus diminum, ayo minumlah sebelum makan.”

“Apaaa? Hiiiiyyy…” pekik Wahyuni sambil menunjukkan wajah jijik.

“Apa maksudmu? Pengantin baru harus minum jamu dulu. Cepat minum. Bukan anak kecil, masa harus dipaksa?”

“Untuk apa Bu? Aku kan tidak sakit?” kata Wahyuni dengan mulut cemberut.

“Itu bukan jamu untuk orang sakit. Minumlah dulu, ibu tungguin.”

“Wahyuni meraih gelas itu, mendekatkannya ke hidung, lalu hidungnya mengernyit.

“Yuni, cepat. Ditungguin suami kamu itu lhoh.”

“Makan dulu saja.”

“Tidak bisa, harus diminum sebelum makan.”

“Memangnya itu jamu untuk apa?” tanya Suyono yang sedari tadi melihat perdebatan antara istrinya dan ibu mertuanya.

“Itu jamu segar untuk wanita. Biar segera hamil,” katanya kemudian sambil berbisik, membuat wajah Wahyuni kemerahan, sedangkan Suyono hanya tersenyum-senyum.

“Memangnya kalau tidak minum jamu ini lalu tidak bisa hamil?”

“Biar sehat, segar, kalau hamil juga bayinya sehat. Jangan banyak bertanya.”

“Mas,” Wahyuni menatap suaminya, memohon agar membelanya supaya sang ibu tidak memaksanya.

“Minumlah, besok kamu sudah pasti hamil,” canda Suyono.

“Maaaas,” Wahyuni merengek manja.

“Yuni..”

“Baunya nggak enak.”

“Tutup hidungmu, lalu minumlah, sekali tenggak pasti habis.”

Wahyuni memegang erat gelasnya, lalu mendekatkan ke mulutnya. Sebelah tangannya memencet hidung, lalu dengan terpaksa menenggaknya sampai habis.

“Hueeekkkk, minum … mana minum… “ pekiknya.

Suyono meraih gelas minum, diberikannya kepada sang istri. Wahyuni masih mengernyitkan hidungnya.

“Segera makan, pahitnya akan segera hilang.”

Wahyuni meraih sepotong paha ayam yang segera dilahapnya, untuk menghilangkan rasa pait dan sengir yang dirasakannya.

Bu Carik pergi dengan tersenyum senang, dan Suyono segera menyendok makanannya yang sedari tadi sudah siap di piring.

***

Pak Carik sedang  bicara dengan Sutris. Tidak di dalam rumah, tapi di pelataran, di bawah pohong nangka.

“Saya ke kota sebentar lagi Pak.”

“Iya aku tahu, aku ingin menunjukkan sebuah pesan di ponsel bapak, semalam,” kata pak Carik sambil mengulurkan ponselnya. Pesan itu dari Luki.

Sutris membacanya dan mengerutkan alis tanda tak suka.

“Perempuan itu ketakutan.”

“Kamu jangan main-main. Segera hubungi Arumi dan ingatkan tentang pembicaraannya dengan non Luki.”

“Arumi sudah mengerti apa yang harus dia lakukan.”

“Kamu harus mengingatkannya. Kamu kan bapak beri ijin untuk kuliah, dengan janji kamu harus menjaga rahasia ini rapat-rapat.”

“Iya.”

“Jawab dengan serius. Ingat, apa kamu ingin bapakmu ini masuk penjara?”

“Makanya, jangan melakukan hal-hal yang berbahaya. Penculikan itu perbuatan kriminal. Ada hukumannya kalau sampai ketahuan.”

“Sutris, kok kamu malah menakut-nakuti bapakmu sih?”

“Bapak takut?”

“Pokoknya camkan kata bapakmu ini, jangan main-main. Kalau bapakmu benar-benar masuk penjara bagaimana?”

“Iya, aku sudah mendengarnya.”

“Baiklah, ini uang saku dan bayar semesteran. Jangan boros-boros,” katanya sambil memberikan sejumlah uang kepada anak laki-lakinya.

“Wah, dapat sangu banyak nih,” kata Suyono yang tiba-tiba mendekat.

“Cukup buat makan dan bayar semesteran Mas,“ jawab Sutris sambil memasukkan uang ke dompetnya.

“Yang namanya cukup, berarti tidak kurang kan?”

“Sutris ini kalau tidak dipesan baik-baik, suka semaunya sendiri. Boros.”

“Pantesan tadi bicara serius sekali.”

“Memberi bekal agar dia bisa berlaku baik, tidak mengecewakan orang tua,” kata pak Carik, yang disambut Sutris dengan pura-pura terbatuk-batuk. Sesungguhnya Sutris memang kesal kepada ayahnya, sudah sejak kejadian penculikan itu Sutris tidak pernah dekat secara emosional sebagai anak dan ayah. Rasa mendongkol tapi tak tega membuat ayahnya dipenjara, membuat hatinya terus tertekan.

“Masih nanti kan, berangkatnya?”

“Nggak Mas, sekarang. Nanti kalau terlalu siang, panas dijalan. Aku mau pamit dulu pada ibu,” katanya langsung beranjak ke belakang. Mereka tidak tahu, bahwa sudah sejak tadi Suyono menguping pembicaraan mereka. Sedikit kurang mengerti, tapi masalah masuk penjara itu ternyata membuat Suyono bertanya-tanya.

***

 Arumi sangat terkejut, ketika dagangannya habis dan mau pulang, ia melihat mobil Bachtiar masih ada di depan pasar. Ia ingin menghindar, tapi Bachtiar berteriak memanggilnya, sambil berlari mengejar.

“Arumi, ayo pulang bersama-sama.”

“Mengapa Mas masih di sini?”

“Menunggu kamu, ayo masuk ke mobil,” katanya sambil lagi-lagi meraih keranjang Arumi yang sudah kosong, membawanya ke mobil, membuat Arumi mau tak mau harus mengikutinya.

“Laris ya? Dapat uang berapa?”

“Banyak,” jawab Arumi singkat.

“Alhamdulillah, ikut senang mendengarnya,” katanya sambil menjalankan mobilnya.

“Katanya mau ke proyek?”

“Semuanya sudah beres. Aku cukup memantau dengan menelpon. Besok semuanya beres. Kamu sudah menikmati air bersih itu kan?”

“Terima kasih banyak.”

“Sama-sama,” kata Bachtiar sambil tersenyum.

Arumi terdiam. Debar yang dirasakan sudah agak berkurang, tapi senyuman itu membuatnya gelisah. Bagaimana ada orang setampan dia? Lalu Arumi dalam hati memarahi dirinya sendiri yang dengan tak tahu malu memuji ketampanan seorang pria. Ia memalingkan wajahnya ke samping.

“Nanti aku mau ketemu bapak dan ibumu.”

“Untuk apa?”

“Langsung mengatakan bahwa aku akan mengambilmu sebagai istri. Kapan saja kamu siap. Menunggu kamu menamatkan SMA mu aku juga sanggup.”

Arumi terbelalak. Langsung ketemu bapak dan simboknya?

Arumi belum sempat menanggapi, ketika ponsel Bachtiar berdering. Dari ibunya lagi.

“Bachtiar, cepatlah ke rumah sakit.”

“Ada apa lagi?”

“Luki mau dioperasi, ada pecahan kaca di kepalanya.”

“Bukankah sudah ada orang tuanya?”

“Keberangkatannya tertunda, ada yang menghambat. Persetujuan operasi dilakukan melalui telpon, mereka minta ibu yang menandatanganinya.”

“Kenapa Bachtiar harus ke sana?”

“Ibu sendirian Tiar, tolonglah,” kata bu Wirawan dengan nada memelas.

Bachtiar segera menutup ponselnya.

“Arumi, aku minta maaf, ada urusan mendadak, nanti kamu aku turunkan di depan rumah ya, besok pagi aku datang menemui bapak ibumu. Tolong sampaikan maafku karena tidak bisa menemuinya sekarang.”

“Baiklah, tidak apa-apa. Aku turun di jalan saja,” kata Arumi yang merasa lega.

***

Bachtiar bukan memikirkan Luki, tapi ibunya. Sang ibu selalu takut mendengar kata operasi, karena dulu pernah dioperasi ketika melahirkan adiknya, yang akhirnya sang adik meninggal di dalam perut.

Ia sudah memasuki rumah sakit, mencari keberadaan ibunya. Ternyata sang ibu  malah duduk diluar kamar rawat Luki. Ia lega melihat Bachtiar sudah mendekat ke arahnya.

Ketika sampai di depan meja perawat, seorang perawat menghentikannya.

“Pak, ini dari polisi. Ponsel ibu Luki. Tertinggal di mobilnya.”

“Oh, baiklah, terima kasih.” kata Bachtiar yang segera memasukkan ponsel itu ke sakunya, lalu mendekati sang ibu.

***

Besok lagi ya.

 

45 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdullilah .terima ksih bunda .salam sht sll uno bunda sekeluarga🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  5. Maturnuwun bu Tien, semoga bu Tien bersama pak Tom dan amancu sll sehat dan bahagia, salam hangat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai deh

      Delete
  6. Apa mas Tiar nanti membuka buka ponsel Luki? Bisa terbongkar rahasia Luki yang telah menyatroni Rumi.
    Mungkin pak Carik kirim pesan ke Luki, tapi dibuka Tiar. Jadi heboh pasti.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  7. Wah seru tuh nanti kl hp Luki pas dipegang Tiar, lalu pak Carik kirim pesan, kan bunyi dan muncul notif nya...wkwk.😅

    Terima kasih, ibu Tien. Sehat selalu.🙏🏻😘😘😀

    ReplyDelete
  8. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 29 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Arumi...meneteskan air mata bukan sedih tapi pertanda gembira 😁😁

    Cepat atau lambat aksi penculikan Arumi yng di lakukan oleh Luki, pasti akan ketahuan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  9. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Yg di tunggu² sdh hadir
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien selalu sehat² n tetap semangat

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
    Sehat dan bahagia selalu bersama keluarga, aamiin ..

    ReplyDelete
  11. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Ermi

    ReplyDelete
  12. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Wedeye

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Maunya Luki & pak Carik segera tertangkap ya 😁. Wah bikin penasaran , semakin aduhaiii

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien💖

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 39

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  39 (Tien Kumalasari)   Dengan heran Saraswati mengangkat ponselnya. Sudah lama sekali, sejak Dewi kabur sa...