Thursday, November 21, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 18

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  18

(Tien Kumalasari)

 

Pak Truno keluar dari rumah yang kelihatan sangar dan wingit itu dengan perasaan gundah tak terkira.

Ia sudah tahu apa itu ayam cemani. Ayam yang keseluruhan bagian tubuhnya berwarna hitam. Bulunya, kaki cakarnya, paruhnya jenggernya. Pokoknya semuanya hitam. Ayam seperti itu, harganya bisa ratusan ribu. Belum uang yang diminta, sebanyak tujuh puluh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh rupiah. Dan nasi janganan yang juga tidak murah melengkapinya.

Bagi pak Truno yang hanya petani sederhana, mana mampu menyediakan sesajen sebanyak itu?

Mereka melangkah dengan lunglai. Perjalanan ke lereng gunung yang ditujukkan oleh salah seorang kenalan, di mana katanya terdapat dukun sakti, harus menggunakan angkutan yang hanya bisa berhenti di jalanan, sementara untuk menemukan rumahnya harus berjalan naik yang lumayan jauh, belum susahnya melakukan perjalanan kaki melalui tebing yang curam dan licin.

Sore hari mereka baru sampai di rumah, dengan jiwa dan raga yang sangat lelah.

Harapan untuk mendapatkan anaknya sudah pulang, punah sudah, ketika mendapati rumahnya masih lengang.

“Arumi, di mana kamu Nak?” lirih bu Truno.

“Dukun itu mengatakan bahwa Arumi bisa ditemukan,” kata pak Truno yang sebenarnya menyesal telah mendatangi seorang dukun.

“Apakah kita harus mencari persyaratan yang diminta dukun itu?”

“Aku tidak punya uang sebanyak itu,” ucapnya sedih.

“Lalu apa yang harus kita perbuat?” sahut mbok Truno dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.

“Aku akan mencoba meminjam uang pada seorang kenalanku.”

“Siapa? Ini sudah sore, sebentar lagi gelap.”

“KIta harus mendapatkan uang untuk persyaratan itu. Sebenarnya aku kurang percaya, tapi kita harus berusaha.”

Mbok Truno membiarkan suaminya meninggalkan rumah, untuk berupaya mendapatkan uang demi persyaratan sang dukun.

Mbok Truno menatap kepergian suaminya dengan kesedihan yang mendalam. Berkali-kali disebutnya nama Arumi dengan suara pedih dan menyayat.

***

Sutris sedang berjalan dengan langkah lunglai, ketika pencarian yang dilakukannya tidak membawa hasil. Ia menyusuri jalan dan bertanya kepada setiap orang yang dilaluinya, tapi tidak ada yang melihat Arumi sejak pagi dan sore hari itu.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti, dan Sutris terkejut melihat ayahnya.

“Dari mana kamu? Katanya kamu sakit?”

“Sudah tidak lagi. Aku tadi pagi pergi mencari Bapak di toko, untuk meminjam sepeda motor. Tapi Bapak tidak ada.”

“Mau apa meminjam sepeda motor?”

“Arumi hilang. Aku ingin membantu mencarinya.”

“Apa? Kamu mau meminjam sepeda motor hanya untuk mencari Arumi? Apa kamu sudah gila? Kamu sudah tahu bukan, kalau Arumi menolak kamu? Jadi mengapa kamu mempedulikannya?”

“Aku hanya ingin membantu. Kasihan orang tuanya, pasti bingung. Ini hal aneh, selamanya belum pernah ada gadis diculik di desa ini.”

“Biarkan saja, apa pedulimu?”

“Aku kasihan, terhadap nasib Arumi, juga kepada orang tuanya.”

“Dasar bodoh.”

Pak Carik menstarter sepeda motor dan menyuruh Sutris naik ke boncengannya.

Sutris ragu-ragu.

“Ini sudah sore, sebentar lagi gelap, apa lagi yang mau kamu kerjakan? Cepat naik, kita pulang.”

Sutris tak bisa berbuat lain kecuali menurut pada perintah sang ayah. Ia naik ke boncengan dengan hati kacau, sementara sang ayah seperti tidak peduli pada penderitaan orang lain.

Memang benar, hatinya sakit mendengar Arumi tidak mau menerimanya, tapi ketika Arumi entah bagaimana nasibnya, hatinya seperti tak rela. Ia harus membantunya, tanpa berharap apapun, asalkan Arumi pulang dengan selamat.

Perkataan ibunya tentang dugaan bahwa kemungkinan Arumi diculik, mulai menggerayangi hatinya. Barangkali benar, ada yang menculik Arumi. Siapa? Untuk apa? Sutris memijit kepalanya yang terasa pusing. Sementara bapaknya terus melajukan kendaraannya, tanpa Sutris menanyakannya, dari mana bapaknya pergi.

***

Begitu sampai di rumah, ayahnya langsung meminta agar istrinya menyiapkan makan, karena sejak siang belum makan. Sutris masuk ke kamar mandi.

“Memangnya Bapak dari mana? Ini Wahyuni belum pulang dari toko, pasti menunggu Bapak kembali.”

“Aku belum mampir ke toko. Pergi sejak pagi.”

Pak Carik duduk di kursi, menunggu sang istri menyiapkan makanan di piringnya.

"Memangnya Bapak pergi ke mana, mengapa pergi sejak pagi.”

“Ada urusan ke kota.”

“Urusan dagangan?”

“Yaa, macam-macam. Tambahin kuahnya, sama sayurnya,” perintahnya kepada sang istri.

“Tumben pergi sejak pagi sampai sore.”

“Kamu tidak usah ikut-ikutan, urusanmu adalah mengurusi rumah, memasak yang enak untuk aku. Cukup.”

Lalu pak Carik melahap makanannya, sementara istrinya sedikit merasa kesal karena pertanyaannya tidak dijawab dengan jujur. Biasanya kalau tentang dagangan, sang suami suka cerita, tapi kali ini pasti bukan masalah dagangan.

Ia tidak meneruskan bertanya, hanya menatap suaminya yang makan dengan sangat lahap, seperti orang kelaparan.

“Kamu siapkan air hangat, aku mau mandi.”

“Malam-malam, mau mandi?”

“Badanku lengket semua, aku harus mandi. Pokoknya siapkan air hangat. Taruh di kamar mandi.”

“Harusnya tadi mandi dulu, baru makan. Seperti Sutris yang begitu datang langsung mandi,” kata bu Carik yang belum sempat bertanya, mengapa bisa pulang bareng Sutris.

“Kamu kebanyakan mengatur. Turuti saja apa yang aku katakan,” kesal pak Carik, tapi meneruskan menyuap makanannya.

Bu Carik pergi ke dapur, menjerang air, untuk mandi sang suami.

Begitu selesai makan, pak Carik segera melepaskan bajunya, bersiap untuk mandi.

Bu Carik mengemasi sisa makanan di meja, dan ketika itu Sutris mendekat.

“Bu, aku mau makan.”

“Kamu tadi ke mana saja, kok bisa bareng bapak?”

“Sutris berjalan kaki, kebetulan bapak lewat, jadi bisa bareng.”

“Kabar Arumi bagaimana?”

Sutris menggelengkan kepalanya, kemudian duduk di kursi makan.

“Untung semuanya belum ibu singkirkan.”

“Jadi kepergian kamu untuk mencari Arumi belum mendapatkan hasil?”

Sutris menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ini kejadian aneh. Bagaimana Arumi bisa pergi dari rumah? Barangkali benar ada yang menculiknya. Tapi untuk apa, dan mengapa? Kalau Arumi anak orang kaya, pastilah karena penculik itu butuh uang. Tapi Arumi bukan anak orang berada.”

“Benar, kejadian ini aneh.”

“Setelah ini aku mau ke rumah lik Truno.”

“Mau apa, malam-malam ke sana?”

“Barangkali Arumi sudah pulang.”

“Lalu?”

“Aku kan merasa lega. Itu saja kok.”

“Terserah kamu, semoga semuanya baik-baik saja.”

“Waduh, sudah hampir gelap, bapak kok nggak balik ke toko?” teriak Wahyuni yang tiba-tiba masuk ke ruang makan.

“Mana bapak? Toko sudah aku tutup.”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Bapakmu juga belum lama datang, tadi datang-datang makan. Lalu mandi, entah di mana, tadi sepertinya sudah selesai mandi.”

Wahyuni berbalik, mencari ayahnya di kamar, tapi ia kembali dengan mulut cemberut.

“Ternyata bapak tidur,” katanya kesal.

“Tidur? Pasti ayahmu capek sekali. Biarkan saja. Cuci kaki tangan kamu dulu kalau mau makan, sekalian bareng adikmu."

“Aku sudah selesai, setelah ini mau ke rumah lik Truno.”

“Arumi sudah ketemu?” tanya Wahyuni.

“Belum, ini aku mau ke rumahnya. Siapa tahu dia sudah pulang.”

“Sebentar lagi maghrib,” kata sang ibu.

Tapi Sutris langsung pergi, dan terdengar sepeda motor dihidupkan, kemudian berlalu.

Wahyuni yang sudah mencuci kaki dan tangannya, kembali ke ruang makan. Ia juga lapar.

***

Sutris mengendarai sepeda motornya pelan. Cuaca mulai remang. Gelap di sekeliling jalan yang dilaluinya. Ketika sampai di depan rumah pak Truno, Sutris menghentikan sepeda motornya.

Ia mematikan mesinnya, untuk mencegah keluarga itu terkejut. Lalu ia menuntunnya perlahan sampai ke depan rumah.

Rumah gebyog itu sudah tertutup. Lampu minyak yang berkebat kebit dihembus angin, menerangi serambi, dan membuat ada sedikit penerangan di sekitarnya.

Sutris sudah mendekat, dan mendengar tangis mbok Truno perlahan terdengar.

Tangisan itu membuat Sutris yakin bahwa Arumi belum ketemu. Ia belum mengetuk pintu, ia juga tak berteriak memanggil setelah di waktu yang terakhir kalinya dia datang, lalu pak Truno menyemprotnya dengan ungkapan marah karena dia selalu berteriak.

“Kita tidak mampu, jadi kita lupakan saja dukun itu. Beberapa teman petani tak ada yang bisa membantu kita. Satu-satunya orang kaya di kampung ini hanyalah pak Carik. Mana mungkin dia mau meminjamkan duit untuk kita?”

“Tapi bagaimana kalau perkataan dukun itu benar? Arumi bisa ditemukan asal ada persyaratan itu kan?”

“Lalu aku harus bagaimana lagi?” kata pak Truno putus asa.

Sutris hanya mendengar sekilas, tapi sedikit banyak ia mengerti. Rupanya pak Truno dan istrinya baru saja ke dukun, dan ada persyaratan yang pastinya dengan jalan melakukan sesuatu, tapi persyaratan itu membutuhkan uang. Sutris punya sedikit uang, apakah bisa membantu? Sutris akan mencoba bertanya, barangkali uang yang dimilikinya akan segera ketemu.

Tangannya menggapai pintu, dan mengetuknya perlahan. Hanya sedetik, kemudian terdengar jawaban.

“Siapa?”

“Saya, Lik.”

“Seperti suara Sutris,” kata pak Truno pelan.

“Buka saja Pak, barangkali ada kabar tentang Arumi yang dia bawa.”

Derit pintu terbuka terdengar. Samar Sutris melihat bayangan pak Truno. Tidak segarang biasanya. Pastilah karena hatinya sedang tak senang.

“Bolehkah saya masuk?”

Pak Truno tidak menjawab, tapi memberi jalan untuk Sutris agar masuk ke dalam. Sutris duduk tanpa dipersilakan, pak Truno kembali duduk di samping istrinya.

“Tris, kamu membawa kabar tentang Arumi?” tanya mbok Truno sambil mengusap air matanya.

“Saya seharian berusaha mencarinya, tanpa hasil.”

“Lalu mau apa kamu datang kemari?” suara pak Truno agak meninggi.

“Saya sudah beberapa saat berdiri di balik pintu, dan mendengar apa yang sampeyan bicarakan. Apa sampeyan butuh uang?”

“Kamu mendengarnya?”

Sutris mengangguk. Lalu bu Truno menceritakan apa yang terjadi di rumah dukun yang dikunjunginya. Sutris tidak mempedulikan tentang kepergian mereka ke dukun. Kalau memang dia bisa membantu, dia ingin membantu.

“Lik, saya punya sedikit uang. Kalau memang  bisa membantu, aku akan memberikan uangnya.”

Mata pak Truno berkilat. Ia melupakan rasa kesalnya pada Sutris, dan ada rasa senang ketika Sutris mau memberikan uangnya. Mbok Truno sudah menceritakannya, dan Sutris pasti sudah tahu berapa kira-kira yang dibutuhkannya.

“Uang yang saya punya tidak banyak, kira-kira hanya beberapa ratus ribu, barangkali lebih, mau saya lihat dulu. Besok pagi saya mau datang kemari lagi.”

“Benarkah?  Benarkah kamu mau membantu?” kata mbok Truno penuh harap.

Sutris mengangguk, menggambarkan kepastiannya.

“Nanti aku akan mencicilnya, percayalah,” kata pak Truno.

Sutris pulang sambil berpesan agar pak Truno dan istrinya tenang saja, karena dia akan membantu.

***

Sutris sampai di rumah ketika rumah sudah sepi. Ia masuk dan melihat ibunya sudah ada di kamarnya, dan Wahyuni juga tidak kelihatan batang hidungnya.

Sutris menuju kamarnya, membuka almari dan menghitung uang yang dimilikinya. Wajahnya berbinar karena ia punya uang lima ratusan ribu yang besok pagi akan diberikan kepada pak Truno. Sutris yang sebenarnya cara berpikirnya sangat sederhana, merasa bahwa dengan uang itu Arumi akan benar-benar bisa diketemukan.

***

Pagi itu Sutris sudah mandi dan rapi. Ibunya sedang menyiapkan sarapan. Tapi Sutris tidak mengira ayahnya akan bangun sepagi itu, bahkan juga sudah rapi.

“Sarapan dulu kalau mau pergi,” kata bu Carik sambil menyiapkan sarapan dibantu Wahyuni.

Sutris sedikit kecewa. Sedianya dia akan memakai sepeda motor ayahnya agar bisa mengantarkan uangnya dulu kepada pak Truno. Tapi karena sang ayah juga akan pergi pagi-pagi, maka pupuslah harapannya. Tapi tidak, Sutris sering pergi berjalan kaki ke rumah Arumi. Itu tidak memberatkan baginya, hanya saja akan sampai di sana lebih lama. Apa boleh buat, daripada membuat ayahnya marah, atau bahkan menghalanginya membantu pak Truno.

Sutris ikut duduk sarapan diantara ayah ibunya dan juga kakaknya.

“Urusannya apa sih, pagi-pagi harus berangkat?” tanya bu Carik.

“Aku kan sudah bilang, kamu tidak usah ikut-ikutan mengurus apa yang aku lakukan,” kata pak Carik sengit, dan membuat bu Carik lebih baik bungkam.

“Tris, kamu ikut bapak sekarang.”

Sendok yang penuh makanan dan hampir masuk ke mulut Sutris terlepas begitu saja, jatuh berdenting di piring.

“Kenapa kamu ini Tris?” tanya ibunya.

“Makan saja tidak becus,” omel ayahnya.

“Aku tidak mau ikut Bapak, aku menunggu toko saja,” bantah Sutris.

“Ini penting. Kamu tidak boleh membantah,” kata pak Carik tandas.

Pak Carik menyelesaikan sarapannya, dan memberi isyarat kepada Sutris agar mengikutinya. Bu Carik menatap pak Carik yang kemudian menerima sebuah panggilan telpon.

“Iya Non, saya tahu. Jangan khawatir,” lalu pak Carik meneruskan bicara sambil melangkah kedepan, tapi terus memberi isyarat kepada Sutris agar pergi bersamanya.

Sutris mendekati ibunya.

“Bu, ini uang saya bungkus saputangan, tolong ibu berikan kepada pak Truno,” katanya pelan.

“Ini uang apa?”

“Uang dari Sutris, berikan saja. Ceritanya nanti kalau aku sudah kembali,” katanya sambil mengulurkan bungkusan uang, lalu mengikuti ayahnya yang sudah nangkring di atas sepeda motornya.

***

Besok lagi ya.

54 comments:

  1. 🌴🌷🌛🌛🌜🌜🌷🌴

    ***************************
    Alhamdulillah, KaBeTeeS_18 sudah tayang.

    Terima kasih
    Bu Tien, sehat selalu dan selalu sehat nggihhhh.

    Waduh..., muncul dukun klenik, disuruh bawa qyam hitam mulus/cemani dan lain-lain.
    Yuk...., kita ikuti ceritanya.

    ***************************

    🌴🌷🌛🌛🌜🌜🌷🌴

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  3. 🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁
    Alhamdulillah 🙏🤩
    KaBeTeeS_18 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍🦋
    🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai deh

      Delete

  4. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 18* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  5. Innalilahi wainnailaihi roji'uun.
    Nderek bela sungkawa nggih Budhe.
    Ingkang kapundut (Karanganyar) kanca sekolah?
    Mugi Gusti paring pangapura dosa2nya lan diparingi panggenan ing Surga. Aamiin

    ReplyDelete
  6. Bunda Tien, smg.sehat2 selalu n matur nuwun atas tayangannya yg gasik

    ReplyDelete
  7. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  8. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  9. Ooh...nampaknya ini "kerja sama" pak Carik dengan Luki ya...nyulik Arumi supaya bisa dekat dengan Bachtiar. Kalau benar ya memang licik sekali mereka.😰

    Terima kasih, ibu Tien...semoga sehat2 di musim hujan ini ya...🙏🏻😘😘😀

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  11. Serem cerita nya,. 🤭ada Mbh dukun

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya, 🤗🥰

    ReplyDelete
  12. Jaman gini kira2 mbah dukun pake HP nggak ya....

    ReplyDelete
  13. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 18 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Kemungkinan pak Carik dan Luki, terlibat dlm hilang nya Arumi.

    Pak Carik akan memberi kejutan buat Sutris.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  14. Agak ruwet ini... terus siapa yang nyulik dan apa tujuannya. Kalau pak Carik, apa mau menjual Rumi ya.
    Tapi kok ngajak Sutris, apa akan memaksa Rumi...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun palk Arif

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  15. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat² selalu

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu.

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu.

    ReplyDelete

LAMBAI TANGANMU

LAMBAI TANGANMU (Tien Kumalasari) Kembali terbayang Senyum yang masih mekar Bagai matahari pagi cerah bersinar Semangat yang selalu menyala ...