Thursday, November 14, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 12

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  12

(Tien Kumalasari)

 

Sutris kembali merangkul lututnya, kali ini dengan menyembunyikan wajahnya di antara lutut itu. Bu Carik mendekat, duduk di sampingnya.

“Kamu seperti anak kecil saja Tris. Kamu harusnya bisa berpikir jernih. Mencari istri itu tidak mudah. Bukan karena dia cantik.”

“Arumi itu cantik dan baik. Dia juga rajin. Ibu pasti suka punya menantu dia. Jangan ikut-ikutan bapak. Menolak karena dia miskin.”

“Ibu tidak menolak, juga tidak memperhitungkan kaya dan miskinnya.”

“Kalau begitu Ibu setuju?” kata Sutris sambil mengangkat wajahnya.

“Tidak juga.”

“Ibu gimana sih? Kalau begitu Ibu pulang saja, Sutris nggak mau pulang.”

“Kalau kamu tidak mau pulang, lalu kamu mau mengerjakan apa?”

“Biar, biarlah Sutris mati saja,” rajuknya.

“Tris! Kamu waras tidak sih?”

“Sutris memang sudah gila. Ibu hanya mempermainkan perasaan Sutris saja. Katanya bukan menolak, tapi tidak berpihak pada Sutris.”

“Kamu tahu tidak, Arumi itu belum dewasa benar. Paling umurnya baru empat belas atau lima belas tahunan.”

“Sutris tahu, tapi kalau sudah dilamar kan dia tidak akan menerima laki-laki lain? Arumi itu cantik, pasti banyak yang suka.”

“O, ternyata kamu hanya takut keduluan orang lain?”

“Benar, Bu. Tolonglah bantu Sutris untuk membujuk bapak. Sutris tidak mau hidup tanpa Arumi.”

“Pikiran seperti itu adalah pikiran yang tidak benar. Kamu tidak percaya adanya takdir dan jodoh, bahwa semua itu sudah dituliskan dari atas sana. Kita tidak bisa memaksakan kehendak. Jadi artinya, kalau memang Arumi itu jodoh kamu, seribu pria mendekatinya, tetap dia akan menjadi milik kamu.”

“Manusia itu kan wajib berusaha, ya kan Bu?”

“Benar, tapi usaha yang benar. Jangan ngawur.”

“Sutris tidak ngawur. Ini usaha yang benar.”

“Benar menurut kamu, tidak benar menurut logika.”

“Ibu tahu apa tentang logika.”

“Lhoh, jangan menghina mbokmu ini, jelek-jelek begini ibu juga pernah sekolah. Kamu itu berpikirnya tidak logis. Menunjukkan bahwa kamu itu cupet.”

“Cupet itu apa?”

"Cupet itu sempit. Anak sekolahan tapi pikiran kamu sempit, mengarah ke sifat bodoh.”

“Jadi Ibu berpikir kalau Sutris ini bodoh?”

“Bodoh.”

“Bu!” Sutris ingin memprotes tapi ibunya tetap bersikukuh bahwa Sutris adalah bodoh.

“Seseorang yang tidak bisa berpikir jernih, bersikap ngawur, bertindak yang tidak wajar, itu namanya bodoh.”

“Bu, jangan begitu ….”

“Kenyataannya kan begitu. Ingin sesuatu, kalau tidak kesampaian pilih mati, itu kan bodoh? Memangnya kamu itu siapa, kok bisa menentukan hidup mati? Kalau kamu mati yang tidak wajar, misal bunuh diri, nanti rohmu akan menjadi hantu,” akhirnya bu Carik menakut-nakuti anaknya yang bodoh itu, dan kata-kata itu termakan oleh Sutris. Dia benar-benar ketakutan.

“Masa aku akan menjadi hantu Bu?”

“Mati karena memaksakan diri untuk mati itu rohnya gentayangan, tidak akan menemukan ketenteraman. Lanjutkan saja kemauan kamu itu, terserah kalau pengin jadi hantu,” kata bu Carik sambil berdiri.

“Buu.”

“Ibu mau pulang, hari hampir gelap. Kamu bukan anak kecil, pilih yang terbaik untuk hidup kamu.”

“Buuu!”

“Dan tentunya untuk mati kamu. Pilih cara terbaik.”

Sutris tiba-tiba benar-benar merasa takut. Ibunya tampak tidak takut mendengar dia ingin mati, sungguh tega. Lha Sutris kan hanya mengancam saja? Mana berani dia bunuh diri?  Padahal sebenarnya bu Carik sangat takut kalau hal itu benar-benar terjadi. Orang tua mana yang tega membiarkan anaknya mati? Bu Carik hanya mencoba meredakan gejolak gila di hati Sutris, yang ingin melamar karena takut keduluan yang lain. Memangnya gampang melamar seorang gadis? Belum tentu orang tuanya mengijinkan, belum tentu juga gadisnya mau. Banyak yang bu Carik katakan tadi untuk membuat Sutris mengerti. Sutris masih bergeming.

Bu Carik melangkah sambil menajamkan pendengarannya, apakah sang anak yang sedang dimabuk kepayang itu mengikutinya, atau tidak. Lalu tanpa menoleh, bu Carik merasa lega karena terdengar langkah mengikutinya, dan dia yakin, tujuh puluh lima persen apa yang dikatakannya berhasil masuk ke telinganya.

***

Begitu sampai di rumah, Sutris langsung masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di pembaringan.

Malam itu, Wahyuni masuk ke kamarnya dan membawakannya makan.

“Hei, bangun. Disuruh ibu makan. Nih, aku sudah membawanya ke sini. Makan dulu.”

Sutris bergeming.

“Makan, apa kamu benar-benar ingin mati? Kata ibu kamu pengin mati kalau tidak berhasil melamar Arumi?” kata Wahyuni dengan nada mengejek.

Jadi ibunya sudah bicara? Dengan ayahnya? Apakah ayahnya takut dirinya mati? Sutris ingin tahu, lalu ia membuka matanya.

“Ibu mengatakannya sama kamu?” tanyanya kepada sang kakak yang duduk menunggu di kursi dekat pembaringan.

“Bukan sama aku. Tuh, lagi rame sama bapak.”

“Rame gimana maksudmu?”

“Ya rame, ibu bilang kalau bapak tidak mau melamar Arumi, maka kamu memilih mati.”

“Lalu apa kata bapak?” tanyanya lagi penuh harap.

“Bapak malah marah-marah.”

“Marah?”

“Hanya karena Arumi, kamu ingin mati? Benar, kamu ingin mati? Soalnya kelihatannya bapak juga keberatan melakukannya.”

“Bapak keberatan?”

“Kamu seperti tidak mengenal bapakmu saja. Ya sudah, kalau kamu tetap ingin mati, berarti nggak mau makan? Biar aku bawa keluar lagi saja makanan ini. Padahal ibu mengambilkan potongan ayam besar di sini,” kata Wahyuni sambil berdiri, kemudian meraih piring yang tadi diletakkannya di atas meja.

“Hei, apa maksudmu?” teriak Sutris yang sebenarnya memang sangat lapar. Sejak pagi dia tak memasukkan apapun ke dalam perutnya.

“Berarti nggak jadi mati dong kalau makan.”

Sutris bangkit dan merebut piringnya, membuat Wahyuni keluar sambil terkekeh-kekeh.

***

Di depan pintu Wahyuni bertemu dengan sang ibu.

“Dia mau makan?”

“Dia tidak ingin mati, mana mungkin nggak mau makan?” kata Wahyuni seenaknya.

“Yuni, kau jangan ngomong seenak kamu terhadap adikmu. Dia lagi sedih, pasti gampang tersinggung.”

“Yuni nggak ngapa-ngapain dia kok.”

“Ya sudah, biarkan saja dulu dia di kamarnya, tadi susah payah ibu membujuknya.”

“Bu, sebenarnya Yuni juga sudah ingin punya suami,” kata Wahyuni sendu, sambil menuju ke arah dapur.

Bu Carik mendengarnya, dan merasa sangat prihatin. Sesungguhnya bu Carik lebih memikirkan jodoh untuk Wahyuni, daripada memikirkan keinginan anak bungsunya yang tidak masuk akal.

Ia melihat Wahyuni duduk di kursi dapur, dan sang ibu mengikuti duduk di depannya.

“Ibu juga sudah ingin punya menantu dari kamu Yun. Tapi kan ibu sering bilang, bahwa jodoh itu yang menurunkan adalah Allah Yang Maha Kuasa.”

“Aku ingin sekali punya jodoh seperti pak Bachtiar.”

Bu Carik membelalakkan matanya. Bachtiar sudah menjadi buah bibir karena ia menjadi tokoh yang sedang membangun proyek pasar di desanya. Ia juga terkenal tampan dan halus budi pekertinya. Bu Carik pernah melihatnya ketika melewati proyek itu, dan Bachtiar menyapanya dengan manis. Sekarang Wahyuni ingin mendapatkan jodoh sepertinya? Sedih bu Carik memikirkan hal tak mungkin itu. Dia sadar, Wahyuni memiliki wajah yang tidak cantik, ditambah mulutnya yang usil, dan sering membuat orang-orang dusun membicarakan dengan perasaan tak suka.

“Mungkinkah Yuni bisa mendekati pak Bachtiar? Tapi dia sudah punya calon istri. Yuni pernah melihat calon istrinya itu. Dia cantik sekali. Pastilah nggak mungkin dia suka pada Yuni. Ya kan Bu?”

Bu Carik tersenyum, dipegangnya tangan anak gadisnya dengan lembut.

“Karena aku tidak cantik, maka tidak segera mendapatkan jodoh, ya Bu?”

"Yuni, kecantikan wajah itu hanyalah kecantikan semu. Banyak orang tidak cantik di dunia ini tapi bisa mendapatkan jodoh. Artinya apa, bahwa kecantikan di dalam hati nurani itu lebih dari kecantikan yang bisa dilihat kasatmata.”

“Lalu apa yang harus Yuni lakukan?”

“Bersikap lebih baik, santun, menghormati semua orang, jangan pernah mengejek atau merendahkan, dan banyak lagi sikap baik yang harus kamu lakukan. Jangan berkecil hati kalau wajahmu kurang cantik dibanding yang lain. Kamu tahu penjual tempe yang ada di pasar? Dia itu, maaf, bopeng. Tapi dia punya suami dan punya anak. Mereka hidup dengan baik.”

Wahyuni menundukkan wajahnya. Mencoba mengingat apa yang pernah dilakukannya. Mencoba menghitung berapa kali dia dimaki orang karena menghina, karena merasa menjadi anak orang kaya, dan masih banyak lagi hal tidak menyenangkan yang dialaminya karena ulahnya sendiri.

“Apa saya jahat?” gumamnya pelan.

“Kamu hanya tidak bisa menata perilaku dengan baik. Belajarlah memperbaiki semuanya, itu lebih menarik dari wajah cantik. Percayalah pada biyungmu ini.”

“Dengan begitu Yuni akan mendapat jodoh ganteng seperti pak Bachtiar?”

“Jodohmu sudah ada yang mengatur. Selalu bersujud dalam setiap ibadah, dan memohon yang terbaik untuk dirimu.”

Bu Carik meninggalkan anak gadisnya yang mulai merenungi setiap kata yang diucapkan sang ibu. Semoga Wahyuni bisa menjalankannya, kata dan harap bu Carik sambil beranjak ke depan untuk menutup pintu rumah. 

Di desa, jam delapan malam sudah terlalu larut untuk menutup semua pintu-pintu.

***

Ketika Bachtiar memasuki halaman rumahnya, ia melihat mobil diparkir di halaman. Mobil ibunya. Dan wajah Bachtiar menjadi muram ketika melihat sang ibu tidak sendirian, sedang duduk santai di teras rumah. Ada Luki di sampingnya, yang segera berdiri ketika melihat Bachtiar turun dari mobil.

“Baru pulang Tiar?” sapa Luki manis.

“Ya, ada perlu apa malam-malam datang kemari?”

Jawaban tak ramah itu membuat senyuman Luki menjadi surut. Bachtiar juga melewatinya yang sedang berdiri, lalu langsung duduk di depan ibunya. Luki terpaksa membalikkan tubuhnya dan kembali duduk di samping wanita yang selalu mendukungnya itu.

“Mana bapak? Kenapa ibu pergi sendiri?” sapa Bachtiar.

“Ibu kan tidak sendiri? Tuh sama Luki. Bapakmu bilang capek, jadi tidak ibu ajak.”

“Kamu jam segini baru pulang?”

“Banyak yang harus Bachtiar kerjakan.”

“Jangan terlalu sibuk pada pekerjaan. Kamu harus memikirkan diri kamu sendiri.”

“Pekerjaan itu kan juga penting. Apalagi kalau bisa meringankan beban orang lain. Itu mulia, bukan?”

“Kamu memikirkan orang lain, tapi tidak memikirkan diri kamu sendiri. Kamu sudah menjadi perjaka tua.”

Bachtiar tertawa.

“Bachtiar masih muda, belum ada tiga puluh tahun. Ya kan?”

“Sudah waktunya berumah tangga.”

“Ibu bicara itu lagi. Nanti Bu, Bachtiar belum ingin berumah tangga. Nanti istri Bachtiar kesal kalau terus-terusan Bachtiar tinggal untuk bekerja.”

“Ada yang sanggup mengantarkan kamu sebelum berangkat kerja, dan menunggumu saat pulang. Ya kan?” kata sang ibu sambil menoleh ke arah gadis di sampingnya.

“Belum sekarang, Bu. Bachtiar mohon jangan memaksa sekarang ini.”

“Karena gadis desa itu?”

Bachtiar terkejut. Ia tak menjawab, menatap ibunya penuh tanda tanya.

“Karena gadis bernama Arumi?” lanjut ibunya.

“Dari mana ibu tahu semua itu?”

“Kamu tidak perlu tahu dari mana ibu mengetahui semua itu. Apakah itu benar?”

“Bachtiar sudah bilang belum berpikir ingin menikah, jadi jangan membawa-bawa Arumi atau siapapun juga.”

“Kamu jangan mengelak. Satu yang harus kamu mengerti, ibu tidak sudi punya menantu orang desa. Secantik apapun dia,” kata ibunya sambil berdiri, lalu menggaet lengan Luki, diajaknya pergi.

“Ibu salah terima karena mendengar berita yang tidak benar. Kalaupun Bachtiar ingin menikah, tidak sekarang.”

“Nanti? Tapi dengan gadis desa itu? Tidak, Tiar. Tidak! Jodohmu adalah Luki. Ini yang ibu inginkan, apa kamu ingin membuat ibumu kecewa?”

Bachtiar tak menjawab. Ia bergeming di kursinya. Bertanya-tanya dalam hati, darimana sang ibu menemukan nama Arumi.

“Jodohku adalah Luki? Tidak,” gumamnya sambil berdiri, kemudian memasukkan mobilnya ke garasi.

***

Pagi hari itu Bachtiar mampir ke rumah pak Truno. Dilihatnya pak Truno sedang duduk di bangku bambu yang terletak di depan rumah. Ia berdiri ketika melihat Bachtiar datang.

“Nak Bachtiar, pagi-pagi sudah sampai di sini?” sapanya ramah.

“Bu Truno ada?”

“Di belakang, sedang mencari sayuran, barangkali.”

Bachtiar langsung masuk, ia membawa sebuah bungkusan. Di dapur ia tidak menemukan mbok Truno maupun Arumi, ia melongok keluar, dan melihat keduanya sedang memetik kacang panjang di kebun.

“Ada mas Tiar,” teriak Arumi yang kemudian mendekat. Mbok Truno mengikutinya.

“Saya hanya sebentar Bu. Ini, tadi membeli gula Jawa, saya bawakan juga untuk Ibu,” kata Bachtiar sambil mengulurkan bungkusan kepada mbok Truno.

“Lhoh, ini apa?”

“Gula Jawa. Saya membelinya untuk membuat wedang sereh nanti malam, sekalian beli untuk Ibu.”

“Ya ampuun. Ini ulah kamu Rumi, kamu bilang kalau gula jawa di rumah sudah menipis, kemarin.”

“Iya sih. Tapi mas Tiar kok ya repot-repot amat. Oh ya, kemarin ada yang nyari Mas kemari lho Mas, apa sudah ketemu?”

“Siapa?”

“Calon istri Mas.”

Bachtiar terkejut. Bayangan Luki melintas, wajahnya berubah muram.

***

Besok lagi ya.

50 comments:

  1. 🩵🫐🩵🫐🩵🫐🩵🫐
    Alhamdulillah 🙏🤩
    KaBeTeeS_12 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍🦋
    🩵🫐🩵🫐🩵🫐🩵🫐

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  3. 🌴🌷🌛🌛🌜🌜🌷🌴

    ***************************
    Alhamdulillah, KaBeTeeS_12 sudah tayang.

    Terima kasih
    Bu Tien, tetap berkarya.
    Sudahkan Anda tersenyum hari ini?
    Salam SEROJA dari Bandung.

    ***************************

    🌴🌷🌛🌛🌜🌜🌷🌴

    ReplyDelete
  4. Maturnuwun bu Tien... smg ibu selalu sehat dan dlm lindungan Allah SWT , salam hangat dan aduhai aduhau bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai selalu

      Delete
  5. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.... trm ksh bunda Tien

    ReplyDelete
  7. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  8. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  9. Bagaimana ini, Arumi jadi rebutan yang muda" tapi ditolak orang tua mereka. Jadi ruwet ni..
    Wahyuni jadi perawan tua ya. Makanya ubah perangaimu yang buruk itu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Wah, memang memprihatinkan ini anak2 pak Carik, semua bagaikan 'pungguk merindukan bulan'... udaah...ntar Sutris ditabrakkan sama Luki ajalah. Tapi Wahyuni sama siapa ya? Bu Tien munculkan tokoh baru pasti...wkwk.😅

    Terima kasih, ibuu...sehat selalu ya...🙏🏻😘😘

    ReplyDelete
  11. Slmt mlm bunda..terima ksih cerbungnya .slm sht sll🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien
    Salam sehat wal'afiat semua ,🤗🥰

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 ibu Reni
      Salam sehat bahagia juga dari Solo

      Delete
  14. Alhamdulillah " Ketika BulsnbTinggal Separuh - 12" sdh hadir.
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete

  15. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 12* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  16. Memang cinta itu perasaan kok ya Tris.
    Gak bisa di bantah.

    ReplyDelete
  17. Terimakasih bunda Tien, sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
  18. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 12 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Weleh...weleh...ada gonjang ganjing di kel nya Pa Carik. Sutris bertindak bodoh Yuni juga, pengen menikah dengan lelaki tampan seperti Bachtiar, padahal wajah nya Yuni bermuka 'pera' 😁😁
    Beruntung mbok Carik bersikap bijaksana, dapat menasehati mereka.

    ReplyDelete

SENANDUNG KECILKU

SENANDUNG KECILKU (Tien Kumalasari) Hai senja, kau datang ketika merah jingga mewarnai langit dibarat sana ada senandung kecil berkumandang ...