KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02
(Tien Kumalasari)
Arumi menyandarkan tubuhnya, menikmati rasanya naik mobil bagus nan halus hampir tak bersuara, tapi berjalan laju. Debu jalanan karena kemarau, bertebaran ketika mobil hitam mulus itu lewat. Tapi udara di dalam mobil terasa sejuk. Arumi merem melek dibuatnya. Ia belum pernah naik mobil sebagus itu. Paling-paling naik angkutan pedesaan yang setiap hari lalu lalang melalui jalanan desa, yang lajunya kadang tersendat-sendat karena jalanan yang tidak rata. Tapi jalanan yang tak begitu bagus itu tak terasakan dengan mobil bagus milik Bachtiar. Ada sih, sedikit goyangan, tapi tak membuat perutnya mulas.
Arumi memejamkan matanya, kemudian terkejut ketika mobil itu berhenti. Ia membuka matanya, melihat sebuah warung makan yang ramai dikunjungi para pembeli. Maklum, saat makan siang sudah tiba.
“Ayo turun,” perintah Bachtiar, pemuda tampan sang pemilik mobil, yang ternyata sudah membukakan pintu untuknya.
Arumi turun dengan wajah tersipu. Ia hampir ketiduran.
“Di sini?”
“Ayo memilih makanan untuk ayahmu.”
Arumi mengikutinya masuk. Melihat piring-piring besar berjejer, berisi segala macam lauk yang aromanya menggugah selera.
“Ada banyak makanan di sini. Kamu ambil dari makanan yang berderet-deret itu, terserah berapa banyak. Ambil nasi dulu, eh bukan, ambil piringnya dulu, lalu isi nasi sesuka kamu, lalu pilih lauknya. Yang mana saja, diujung sana tunjukkan kepada kasir, aku akan membayarnya."
Lalu Bachtiar mengambil piring, mengisinya dengan nasi yang agak banyak, dan mengambil piring lagi, diisi ikan goreng, sayuran segala macam, dan ketika ia akan membayarnya di kasir, Arumi hanya diam, memegangi piring berisi nasi dan sepotong tahu dan tempe goreng, serta sayur bening.
“Hanya itu? Tambahkan ikan juga buat ayahmu,” perintahnya.
Karena Arumi tak menggubrisnya maka Bachtiar mengambilkan sepotong ayam bakar lagi, lalu semuanya diserahkan kepada kasir.
“Bungkus terpisah, antara ini, dan ini,” titahnya.
“Banyak sekali, pasti mahal, nanti bapak marah.”
“Kamu duduk di sana, menunggu. Ini biar aku yang mengurusnya,” katanya sambil mendorong bahu Arumi pelan.
Arumi hanya menurut, duduk dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya. Kalau harganya mahal, bagaimana? Apakah ayahnya membawa uang saat pergi ke sawah?
Ia masih saja berpikir, ketika Bachtiar selesai mendekatinya sambil membawa dua bungkusan.
“Ini, yang satu berikan ayahmu. Aku sudah minta piring dari plastik dan juga sendok, dan tissue basah untuk mencuci tangannya serta air minum dalam botol besar. Air itu sebagian juga bisa untuk mencuci tangan nanti.”
Arumi bengong, dan tak mampu mengatakan apa-apa ketika Bachtiar menarik lengannya dan mengajaknya menuju mobil.
"Bungkusan satunya yang lebih besar, bawalah pulang, untuk kamu dan ibumu.”
“Ini?”
“Sudah, dan jangan membantah.”
***
Bachtiar melajukan mobilnya pelan, ketika sudah sampai di area persawahan.
“Di mana ayahmu bekerja? Biar aku antar sampai ke tempat yang lebih dekat, supaya kamu tidak berjalan terlalu jauh."
“Berhenti di depan pohon sukun itu. Kelihatannya ayahku duduk di bawahnya.”
Bachtiar menatap laki-laki yang belum tampak tua sedang duduk sambil bersandar pada sebatang pohon sukun yang belum mulai berbuah. Daun-daun lebar dan rimbun, menjadi tempat berteduh yang nyaman. Bachtiar menghentikan mobilnya di sana.
Pak Truno terkejut melihat mobil berhenti di dekatnya, dan lebih terkejut lagi ketika melihat Arumi turun, lalu seorang laki-laki lagi mengikutinya.
“Arumi?” tegurnya heran.
Tapi sebelum Arumi menjawab, Bachtiar mendekat, meraih tangannya lalu menciumnya. Pak Truno tidak sempat menarik tangannya yang kelihatan kotor, karena Bachtiar menariknya begitu saja tanpa rasa jijik
“Ini ... “
“Perkenalkan, nama saya Bachtiar. Saya dari kota dan kebetulan membuat kesalahan.”
“Kesalahan apa? Sampeyan membawa anak gadis saya sehingga dia terlambat mengirim makan siang untuk saya?” tegurnya tak suka, walau sebenarnya sungkan melihat sikap Bachtiar yang tampak santun, walau dia tampak kotor dan bau karena keringat bercucuran membasahi bajunya.
“Bukan Pak, saya tanpa sengaja hampir menyerempet Arumi, dan membuat rantang berisi makanan yang akan dikirimkannya untuk Bapak, tumpah berantakan. Lalu saya ajak Arumi membeli nasi di warung sana, sebagai ganti atas makanan yang tumpah karena saya.”
Pak Truno menatap Arumi yang sedang menenteng tas, lalu meletakkannya di tanah begitu saja.
“Apa Bapak membawa uang?” tanya Arumi tiba-tiba.
“Uang? Uang untuk apa?”
“Arumi, kan aku sudah bilang bahwa ini semua untuk mengganti makanan yang tumpah? Jadi kamu tidak usah meminta ayahmu untuk menggantinya,” kata Bachtiar menjelaskan.
“Jadi ….”
“Saya mohon maaf, karena banyak urusan, saya harus pergi sekarang. Sekali lagi saya mohon maaf,” kata Bachtiar sambil kembali menyalami tangan pak Truno dan menciumnya lagi, barulah dia berlalu.
“Tapi Mas, ini banyak sekali, pasti mahal,” seru Arumi.
Bachtiar menoleh dan tersenyum, lalu menggoyangkan sebelah tangannya. Tapi kemudian dia berteriak.
“Arumi, rantangmu ketinggalan!” teriak Bachtiar sambil menunjukkan rantang kotor yang baru diambilkan dari depan tempat duduk Arumi.
Arumi mendekat setengah berlari.
“Terima kasih atas semuanya,” kata Arumi. Dan Bachtiar seperti melihat matahari pagi menyembul dari balik bukit.
***
Pak Truno menyendok nasi yang sudah ditaruh di dalam piring plastik, setelah dibubuhi lauk yang beraneka macam.
“Dia itu orang kaya.”
“Pasti Bapak terlalu lama menunggu, dan siap memarahi Arumi bukan?” kata Arumi sambil mencomot sepotong tempe yang disisihkan ayahnya.
“Bapak bukannya marah, tapi khawatir. Biasanya sudah datang, mengapa sampai lama tidak juga muncul. Orang tua kan selalu begitu.”
“Arumi sebenarnya mau kembali pulang dan meminta lagi nasinya pada simbok. Tapi orang itu merasa salah, dan ingin menggantinya dengan membelikannya untuk Bapak, bahkan juga masih banyak lagi yang dia pilih, katanya untuk simbok juga.”
“Mengapa kamu tidak menolaknya? Jangan kesenangan kalau diberi orang.”
“Bagaimana bisa Arumi menolak? Arumi sudah mengambil sepotong tahu dan tempe, lalu semangkuk sayur bening. Dia tiba-tiba memarahi Arumi lalu mengambilkan lagi sepotong ayam, dan entah apa lagi yang dia ambilkan. Lalu dia menyuruh Arumi duduk menunggu, dan ketika dia datang, dia sudah menenteng barang-barang ini. Tadinya Arumi kira dia beli untuk keluarganya, ternyata diberikan Arumi semua.”
“Dia itu orang kaya, tapi baik. Bapak sungkan ketika dia meraih tangan bapak lalu menciumnya. Kamu kan tahu, kalau istirahat, bapak hanya mencuci tangan di parit, dan sisa-sisa lumpur masih tampak di sana-sini.”
“Arumi juga heran.”
“Dia beda dengan Sutris, yang kalau memanggil-manggil kamu hanya berteriak di pinggir jalan.”
“Bapak kok tiba-tiba membandingkan mas Bachtiar dengan mas Sutris?” tanya Arumi penuh selidik.
“Bukan membandingkan. Sama-sama sebagai teman kamu, atau apalah, teman atau kenalan, tapi sikapnya berbeda. Orang kampung tidak memiliki sopan santun yang sama dengan orang kota.”
“Bapak jangan begitu. Di kampung dan di kota pasti berbeda. Jangan karena Sutris tidak pernah mencium tangan Bapak, lalu Bapak menganggap Sutris itu buruk.”
“Kok tiba-tiba kamu membela Sutris? Jangan bilang kamu suka sama dia.”
“Iiih, Bapak. Lha kenapa Arumi harus benci sama Sutris? Kan Sutris tidak salah apa-apa?”
“Ya sudah, bapak sudah selesai. Kenyang, beli nasinya banyak banget.”
“Nggak apa.apa, biar Bapak kuat dan sehat. Sekarang Arumi mau ke sumber dulu terus pulang.”
“Kamu langsung pulang saja, biar bapak nanti yang ke sumber, setelah selesai pekerjaan bapak. Biar mbokmu bisa segera menikmati makanan pemberian orang kaya,” kata pak Truno sambil mencuci tangannya dengan air dalam botol yang disiapkan oleh Bachtiar.
***
Arumi memasuki rumah sambil masih bersenandung … bapak pocung … dudu watu … dudu gunung …
“Rumiiii!” mbok Truno berteriak dari dapur.
“Ya Mbok.”
“Kok kamu tidak mengambil air dari sumber?”
“Tadi Rumi mau mengambil, dilarang bapak. Katanya sepulang dari sawah, bapak yang mau mengambilnya. Klentingnya Rumi tinggal di sana.”
“Ya sudah kalau begitu. Bawa apa kamu itu?”
“Ini makanan enak, Mbok. Besok Simbok tidak usah memasak lauk.”
Mbok Truno membuka bungkusan dengan heran. Bau gurih menyergap hidungnya.
“Walah … walah … ini makanan kok banyak banget. Trus ini ada nasi juga, simbok baru mau masak nasi ini tadi.”
“Nggak usah, ini lebih dari cukup. Masak nasinya besok saja.”
“Bapakmu menang lotre ya? Kok beli lauk begini banyak, ikan … daging … sayur apa pula ini?”
“Jaman sekarang apa masih ada lotre sih Mbok,” kata Arumi sambil tertawa melihat mboknya tampak girang seperti anak kecil mendapat mainan.
“Kalau begitu bapakmu dapat duit dari mana?”
“Ini bukan bapak yang beli. Ini dikasih orang, gara-gara ada mobil hampir nyerempet Rumi sehingga kiriman makanan untuk bapak berantakan.”
“Gimana sih nduk, aku nggak ngerti, kamu bicara apa?”
Lalu pelan-pelan Rumi menceritakan kejadian yang menimpanya, sehingga seorang pemuda menggantinya dengan membelikannya makanan yang enak-enak.
“Owalaaah, jadi begitu ceritanya. Tapi itu peringatan untuk kamu lho nduk, adanya kamu mau keserempet mobil, itu kan karena kamu berjalan seenaknya, ke tengah jalan, ya kan?”
“Ya enggak Mbok, Rumi berjalan ke pinggir. Pengemudi itu yang seenaknya menjalankan mobilnya.”
“Tapi kenapa ia memberi makanan sebanyak ini. Kamu kesenangan ya menerimanya.”
“Bapak juga mengira begitu, dan menegur Rumi kenapa tidak menolaknya. Lha tahu-tahu sudah dibungkus lalu diberikan, mau menolak bagaimana?”
“Ya sudah, bagaimanapun itu namanya rejeki. Ya sudah, ayo kita makan, simbok juga lapar nih,” kata mbok Truno sambil menaruh lauk pauk itu ke dalam wadah yang dipilah-pilahnya sendiri-sendiri.
***
Siang hari itu, Wahyuni datang ke warung. Pak Carik sedang belanja karena barang dagangannya menipis, sehingga Sutris menjaga toko dengan beberapa pembantunya.
Sutris heran ketika melihat sang kakak datang dengan tergopoh-gopoh, seperti ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting.
“Tris … aku beri tahu kamu Tris, kamu harus tahu. Ini masalah penting yang harus kamu camkan dan pikirkan, agar tidak salah pilih dan menyesal di kemudian hari.”
Sutris menatap kakaknya heran.
“Kamu ini bicara tentang apa sih Mbak, omong nggak karuan, aku tidak mengerti.”
“Ini tentang pacarmu yang kamu puja-puja setinggi langit itu Tris, supaya kamu tidak salah pilih. Cari istri itu jangan hanya karena cantik, tapi harus punya budi pekerti yang baik.”
“Aku tetap nggak ngerti apa yang kamu katakan Mbak, bikin pusing.”
“Waduh, jadi orang kalau bodoh ya begini ini. Aku tuh bicara tentang pujaan hatimu yang bernama Arumi itu lho Mblung … Gemblung.”
“Arumi kenapa? Aku tahu mbak Yuni nggak suka sama dia, tapi jangan sampai Mbak bicara yang nggak benar tentang dia.”
“Nggak benar? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Arumi ketemuan dengan seorang laki-laki guanteng, bawa mobil, lalu dibawa pergi entah kemana.”
“Maksudmu, Arumi dibawa seseorang dengan mobil?”
“Iya. Orangnya guanteng, mobilnya mentereng.”
“Siapa dia?”
“Ya nggak tahu lah aku, aku sedang berjalan sendirian, dan melihat Arumi dibawa wong bagus. Nggak nyangka, Arumi yang katanya masih kecil itu ternyata mempunyai pekerjaan yang menjijikkan.”
Sutris segera berdiri karena perkataan Wahyuni menyulut amarahnya.
“Kamu mau ke mana? Mbok ya sudah, kenapa harus dipikirkan? Berita yang aku bawa ini penting untuk kamu ketahui, supaya kamu bisa memilih mana yang baik dan membuang mana yang buruk. Arumi bukan gadis pilihan, pekerjaannya menjijikkan. Biar wajahnya cantik, tapi kalau kelakuannya nggak benar, untuk apa dipuja setinggi langit?”
“Aku tidak percaya. Aku harus ketemu dia dan menanyakannya,” kata Sutris yang kemudian nekat beranjak pergi, tak peduli kalau nanti sang ayah memarahinya lagi.
***
Sutris berteriak-teriak di siang menjelang sore itu di rumah pak Truno. Ia ingin membuktikan perkataan Wahyuni, apa benar Arumi dibawa pergi oleh seorang laki-laki dengan mobil.
“Mbok Truno, mbok Truno …. Mbook.”
Tapi Sutris terkejut, ketika yang muncul di depan pintu adalah pak Truno, yang menatapnya dengan wajah garang.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteHoreeee, jeng Nuning malit.
DeleteSenadyan durung sehat isih isa mblayu buanter.....
Mesti nganggo sepatu roda
DeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteSyukron Bu Tien....
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
Sehat selalu
Salam ADUHAI
πππ₯°
Sami2 jeng Ning
DeleteSehat selalu dan ADUHAI yaa
Suwun mb Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang.
ReplyDeleteππ©·ππ©·ππ©·ππ©·
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
KaBeTeeS_02 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhaiππ¦
ππ©·ππ©·ππ©·ππ©·
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02* sdh hadir...
Demoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah sudah tayang cerbung " Ketika Bulan Tinggal Separoh 2 " maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun πππ·π·π©·π©·
ReplyDeleteAlhamdulillah telah tayang KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02 terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdullilah .slmt malam bunda salam sehat sllππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteAlhamdulillaah dah tayang, langsung baca... Makasih Bunda
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH~02 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..π€²
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 02 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Selamat santai berakhir pekan Bunda.
Waduh Wahyuni..tdk tahu cerita yang sesungguh nya, dadi ngelek elek Arumi. Sutris dadi muntab....tensi nya langsung tinggi...π
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tienπ·π·π·π·π·
Mulailah terjadi kasak kusuk atas kejadian yang menimpa Arum. Tapi baik juga kalau Sutris mau mengklarifikasi.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Gawat Sutris teriak- teriak,ketemu bpknya Arumi, boleh ketemu Arumi apa tidak ya... Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii....
ReplyDelete