Friday, October 25, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 38

 MASIH ADAKAH MAKNA  38

(Tien Kumalasari)

 

Wanita itu menundukkan wajahnya. Tapi Rohana ingat baju yang dipakainya. Barangkali karena begitu miskin dia hanya punya satu atau dua baju yang dipakainya bergantian. Warna kotak-kotak merah hitam yang sudah kumal, dan sebuah gendongan yang tersampir di pundaknya. Ketika itu Rohana melihat wanita itu menggendong anaknya yang menangis karena lapar, lalu Rohana memberikan dua bungkus nasi yang sedianya untuk makan pagi dan siangnya.

Mengapa wanita itu sekarang duduk sendirian dan wajahnya pucat. Dimana anak laki-laki kecil yang waktu itu bersamanya?

Beberapa saat terakhir ini hati Rohana dipenuhi oleh rasa yang mudah sekali tersentuh. Barangkali kehidupan sengsara yang dialaminya, yang sebenarnya dirasanya sakit dan nyeri, tapi selalu dipendamnya, ditutupi dengan sifat keras dan arogan, dimana tak ada orang yang ditakuti dan disegani, sekarang nyeri yang terpendam itu tiba-tiba muncul, menciptakan rasa mudah tersentuh dan mudah meruntuhkan belas kasihan.

Ia mendekat dan menyapanya pelan.

“Bu, di mana anakmu?”

Wanita itu mengangkat wajahnya, dan Rohana semakin yakin, wanita itulah yang pernah ditemuinya.

“Mengapa tanya?” jawaban itu sangat kasar dan sangat tidak bersahabat. Tapi Rohana tidak tersinggung. Dalam keadaan susah yang sangat menghimpit, banyak orang menutupi kesusahannya dengan sikap yang tidak menyenangkan.

“Biasanya sampeyan selalu bersama anak sampeyan,” kata Rohana sambil duduk di sampingnya.

“Dia sakit. Entah dia akan hidup atau mati, aku tidak tahu.”

“Astaghfirullah, mengapa berkata begitu?”

“Apa tidak boleh? Ketika aku harus membeli obat yang harganya tidak terjangkau oleh tanganku, bukankah kemudian dia akan terus sakit atau bahkan akan segera mati?” mengucapkan kata terakhir ini air mata wanita itu bercucuran. Tangisnya sangat menyayat. Ia mengusapnya dengan selendang kumal yang tersampir di pundaknya, tapi air mata itu terus saja mengalir.

“Sakit apa dia? Berapa harga obatnya?”

Wanita itu tak menjawab.

“Mati dan hidup itu bukan milik kita. Hanya Allah yang menentukannya.”

“Anakku masih kecil. Ia kelaparan dan makan sembarang makanan. Tiba-tiba dia panas dan kejang-kejang. Aku lari kemari, dokter itu memberikan resep yang harga obatnya bukan main. Dan anakku harus dirawat pula. Aku bisa apa?”

Akhirnya wanita itu bisa bercerita tentang anaknya.

“Berapa harga obatnya?”

“Satu juta setengah. Uang apa sebanyak itu? Kalau boleh diganti daun, aku akan mencari daun sebanyak-banyaknya. Tapi uang kan bukan daun?”

“Katanya harus segera. Enak saja, apa mereka tidak tahu bahwa bocah itu anak orang miskin?” lanjutnya.

Rohana merasa sakit. Air mata ibu itu terasa seperti meremas hatinya. Ia meraba tas yang dibawanya. Tas yang diberi Kartika ketika ia masih di rumahnya. Tas bekas yang masih bagus, dan diberikannya ketika ia menyerahkan gajinya.

“Nenek simpan uangnya di sini, jangan sampai hilang,” katanya waktu itu.

Uang gaji itu masih ada di situ, jumlahnya tiga juta. Barangkali karena kasihan, Kartika memberinya lebih. Tadinya ia akan memberikannya kepada pak Trimo untuk menambah cicilan uang yang dicurinya, dan dianggapnya sebagai hutang.

Tapi perkataan pak Trimo sangat membuatnya sakit. Ia bahkan ingin mengembalikan uang yang pernah diberikannya sebanyak sepuluh juta, pemberian seorang nyonya kaya yang tadinya galak karena mengira anaknya mau diculik. Rohana pergi begitu saja dan membawa uangnya lagi. Sekarang ia merogoh tas itu, masih ada amplop gaji itu di dalamnya. Ia mengeluarkannya lalu memberikannya kepada wanita lusuh yang tak berhenti menangis itu.

“Apa ini?” tanyanya begitu Rohana menyerahkan amplop putih tebal itu.

“Itu uang. Pakailah untuk membeli obat anak sampeyan. Ada tiga juta di dalamnya. Barangkali bisa untuk membeli keperluan yang lain.”

Wanita itu terpana. Ia membuka amplopnya dan benar-benar melihat uang di dalamnya. Uang banyak yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Tangis itu seketika semakin keras. Ia menggenggam amplop itu, lalu memeluk Rohana dengan erat.

“Apa kamu malaikat? Kamu datang untuk menyelamatkan anakku?”

“Saya manusia biasa. Allah yang telah menolongmu. Segera beli obat sebelum terlambat.”

“Ya, baiklah, tentu saja.”

Wanita itu bangkit, setengah berlari menuju apotik.

Sekarang air mata Rohana yang berlinang. Rasa haru menyesak dadanya. Ternyata bisa memberi adalah anugerah yang tak ada taranya. Anugerah bagi dirinya, bagi nuraninya, bagi kehidupannya. Anugerah itu berupa rasa, entah rasa apa, yang jelas ada kepuasan yang membuatnya bahagia.

“Aku hanya melakukan sedikit kebaikan. Apakah aku masih punya makna dalam sisa hidupku ini?” gumamnya sambil mengusap air matanya.

Rohana belum ingin kembali ke ruang rawat inap pak Drajat, ada beberapa orang yang keluar masuk untuk membezoek, dan Rohana enggan berada di sana, pasti banyak orang akan bertanya, siapa dirinya. Rohana memilih duduk di sebuah bangku. Lalu tiba-tiba ia melihat Kartika. Ia tidak sendiri, tapi bersama pak Ratman. Tadinya ia ingin menyapa, tapi ketika melihat pak Ratman, ia mengurungkan niatnya. Masih ingat dia, hubungan yang kurang menyenangkan diantara mereka.

***

Kartika dan ayahnya disambut dengan ramah oleh keluarga pak Drajat. Walau begitu suasana di ruangan itu tidak begitu ramai. Mereka menjauh dari pak Drajat yang terbaring, dan tampak tidur, jadi mereka bicara pelan, apalagi perawat mengingatkan bahwa jangan terlalu banyak yang mengganggu pak Drajat.

Monik menarik tangan Kartika, ingin menanyakan sesuatu tentang ibu mertuanya, sekaligus berterima kasih karena telah menyelamatkan  sang ibu mertua dari kehidupan keras di jalanan.

“Sudah, jangan terus-terusan berterima kasih. Nanti kebanyakan, trus jadi kekenyangan,” katanya sambil tertawa.

“Yang aku heran, mengapa kamu tiba-tiba menaruh belas kasihan pada ibu mertuaku, lalu membawanya ke rumah kamu.”

“Entah kenapa ya, aku sendiri tidak tahu. Barangkali Tuhan menuntun aku untuk menjadi jalan pertemuan nenek dan keluarganya.”

“Iya, itu benar.”

“Tapi pada awalnya aku tertarik pada cerita salah seorang temanku.”

“Apa tuh, ceritanya?”

Lalu Kartika mengatakan tentang Rohana yang menyelamatkan seorang anak, lalu dikira penculik. Dan setelah tahu maka diberinya ia uang sepuluh juta.

Monik geleng-geleng kepala.

“Jadi begitu, ceritanya? Ibuku luar biasa ya?” kata Monik.

Tiba-tiba Minar yang ikut mendengarkan cerita Kartika menyela.

“Jadi uang sepuluh juta itu diberi oleh teman Kartika karena ibu menyelamatkan anaknya?”

Kartika mengangguk.

“Rupanya pak Trimo salah sangka. Ia mengira ibu mendapatkan uang sepuluh juta itu dengan cara yang tidak benar. Sebentar, aku akan menelpon Tegar tentang uang itu. Kata pak Trimo sih mau diberikan ke Yayasan Sosial apalah, Panti Asuhan atau apa, tapi kan dia harus tahu bahwa uang itu didapatkan ibu bukan dengan jalan yang tidak benar?” kata Minar sambil mengambil ponselnya.

Kartika tersenyum. Ia sudah tahu tentang hubungan ‘nenek’ dengan si tukang nasi liwet itu, karena si ‘nenek’ sudah mengatakan semuanya.

***

Tegar berada di warung pak Trimo pagi hari itu. Ia makan nasi liwet dengan sepotong paha serta sebutir telur. Lidahnya menari karena masakan pak Trimo memang enak. Ia sampai nambah dua kali, yang akhirnya merasa malu karena Binari terus mengawasinya.

Tegar terkekeh pelan.

“Aku sangat rakus bukan?”

Binari tertawa. Ia suka melihat gaya Tegar yang terkadang kocak tapi menggemaskan.

“Porsi nasi liwet biasanya memang tidak begitu banyak. Nambah sekali dua kali itu sudah biasa. Itu bukan rakus. Kalau masih mau nambah boleh kok.”

Tegar mengusap mulutnya dengan tissue, lalu meneguk es kelapa muda yang tinggal separonya.

Pagi hari itu Tegar membawa pesan ibunya untuk menerangkan tentang uang nenek Rohana yang pernah diberikan kepada pak Trimo. Uang itu didapat dari seorang wanita yang anaknya diselamatkan oleh nenek Rohana.

Pak Trimo sangat menyesal, dan berkali-kali meminta maaf karena mencurigai asal usul uang itu.

“Sungguh saya minta maaf, Nak. Saya telah berprasangka buruk. Apalagi ketika itu bu Rohana datang dengan wajah yang penuh bekas-bekas luka.”

“Tidak apa-apa, Pak. Sekarang nenek sudah ada di rumah om saya, dan tampaknya keadaannya sudah baik-baik saja.”

“Saya ikut senang. Memang selayaknyalah bu Rohana tinggal bersama keluarganya.”

“Iya Pak. Dan tentang uang itu, terserah pak Trimo saja. Berikan kepada orang yang membutuhkan, atau ke panti-panti anak yatim piatu. Semoga semua itu menjadi amal jariah bagi nenek saya.”

“Apakah tidak sebaiknya nak Tegar saja yang membawanya dan menyerahkannya? Saya kira saya agak kesulitan membagi waktu untuk itu, karena akhir-akhir ini ada banyak pesanan.”

“Tidak apa-apa Pak, baiklah, biar saya yang membawanya. Nanti saya antarkan nenek ke tempat yang layak menerima uang itu. Pasti nenek juga akan lebih merasa lega.”

“Kalau begitu biar Binari ambil uangnya.”

“Biar saya antarkan saja ke rumah Pak, sekalian saya pamit pulang.”

“Baiklah. Binar, nak Tegar akan mengantarkan kamu mengambil uang itu.”

“Nanti saya antarkan lagi kemari sambil saya pulang,” kata Tegar dengan wajah sumringah.

“Baiklah.”

Senang dong hati Tegar, sudah lama dia tidak memboncengkan Binari setelah Binari lulus sekolah. Dan pastilah demikian juga yang dirasakan Binari, kalau saja dia berani mengutarakannya.

***

Rohana senang menerima uangnya kembali, karena Minar sudah menukar uang pak Trimo yang pernah diambil olehnya. Ada pemikiran lain di hati Rohana tentang uang itu. Monik dan Tomy membiarkannya, karena yakin ibunya tak akan kabur lagi seperti dilakukannya pada waktu lalu.

Pagi-pagi sekali dia sudah ada di rumah sakit. Bukan untuk membezoek pak Drajat, tapi untuk menemui wanita yang kemarin menangis karena tak mampu membeli obat untuk anaknya.

Ia tak tahu di mana dia, dan tak tahu juga di mana anaknya dirawat.

Rohana menyesal tak sempat menanyakan namanya, apalagi nama anaknya. Ada ratusan, atau bahkan ribuan pasien di rumah sakit itu, bagaimana dia mencarinya?

Tapi ia tahu, wanita itu bukan golongan keluarga kaya, pasti ia ada diantara zal-zal orang yang kurang mampu.

Rohana berjalan menyusuri setiap lorong, mengamati setiap orang yang dilihatnya. Banyak anak kecil dirawat di sana, dan lagi-lagi dia harus tahu namanya.

Ketika dia sedang mencari-cari itu, tiba-tiba seorang wanita tua berpakaian bagus menatapnya tak berkedip. Melihat penampilannya, ia pastilah orang kaya. Ia berdiri di ujung gang, dan merasa jijik untuk melanjutkan langkahnya. Ada seorang pembantunya yang disuruhnya masuk untuk menemui entah siapa, sedangkan dia membalikkan tubuhnya menjauh.

“Baunya nggak enak, mual perutku,” gerutunya sambil menutup hidung. Tapi pandangan matanya kembali menatap ke arah Rohana.

Tiba-tiba dia berhenti.

“Hei, apakah kamu Rohana?”

Rohana bukannya tak ingat siapa dia, hanya enggan menyapa. Ia tak suka bercerita tentang perjalanan hidupnya, sehingga ia menghindari siapapun yang dulu pernah menjadi teman lamanya. Tapi wanita tua itu memaksanya untuk berhenti.

“Kamu Rohana kan? Mengapa memakai kerudung seperti itu? Untuk menyembunyikan bahwa kamu kelihatan tua?” ejeknya.

“Lisa, aku sedang terburu-buru.”

“Tunggu, kamu mau memasuki ruangan yang di sana itu? Itu ruangan orang-orang miskin. Aku mengurungkan niatku masuk, nggak tahan baunya. Ya ampuun, orang-orang semacam itu sungguh tak paham tentang kebersihan. Bau kamar mandi sampai menyengat, membuat perutku mual.”

Rohana ingin terus melangkah pergi, tapi wanita bernama Lisa itu memegang tangannya.

“Rohana, aku belum selesai bicara. Aku heran melihat penampilan kamu. Kamu menghilang selama bertahun-tahun, dan ketemu dengan penampilan yang berbeda. Apakah kamu sudah jatuh miskin? Aku dengar rumah kamu sudah dijual, demikian juga rumah kamu berikutnya.”

“Aku sedang mencari temanku, anaknya  sakit dan kemungkinan dirawat di situ,” kata Rohana sambil menunjuk ke arah ruangan yang berderet-deret, dan setiap ruang berisi sekitar empat atau enam pasien.

“Kamu punya teman orang miskin? Memalukan. Tadi aku mau ke sana, karena anak pembantuku juga sakit di situ. Tapi aku hanya mengantar saja. Mana mungkin aku mau masuk ke ruangan bau seperti itu.”

Rohana merasa muak, Lisa masih begitu sombong. Lebih baik dia segera pergi.

“Hei, mau ke mana?”

Lisa menariknya kuat, sehingga tas yang dibawa Rohana terjatuh, dan karena lupa menutupnya, isinya terburai di lantai.

“Heii, apa yang kamu lakukan?” pekik Rohana kesal.

Rohana ingin memungut uangnya yang berserakan, tapi seorang wanita lain kemudian mendekat dan ikut memunguti uang-uang itu.

lisa yang melihatnya segera mendorong wanita itu sehingga jatuh terjengkang.

***

Besok lagi ya.

 

42 comments:

  1. Alhamdulillah.....
    Matur nuwun bu Tien, cerbungnya sdh tayang ...

    ReplyDelete
  2. 💚🍀💚🍀💚🍀💚🍀
    Alhamdulillah 🙏🤩
    eMAaeM_38 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍🦋
    💚🍀💚🍀💚🍀💚🍀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sari
      Salam aduhai juga

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 38" sudah tayang, syukurlah bu Rohana menjadi lebih baik , maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷

    ReplyDelete
  6. Terima kasih, bu Tien cantiik.... semoga sehat sekeluarga💕❤️

    ReplyDelete
  7. Trimakasih Bu Tien...... semoga selalu sehat

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah cerbung MAM baik👍🩵semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  9. Hatur nuhun bunda🙏selamat mlmdan salam shtsll unk kel..🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete
  10. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 38, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~38 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete

  15. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 38* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  16. Alhamdulillah cerbung asyiik sudah tayang. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu, bahagia senantiasa dan aduhaii...

    ReplyDelete
  17. Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 38 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Rohana bertemu Lisa, dulu teman hura hura dan rival nya. Lisa msh angkuh dan sombong. Jadi masalah nih uang Rohana berhamburan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  18. "Apakah aku masih punya makna dalam sisa hidupku ini?” gumamnya sambil mengusap air matanya"...Hebat Bunda terimakasih Motifikasinya untuk kami

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah. Matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu, bahagia senantiasa dan aduhaii...💖

    ReplyDelete
  20. Terima kasih bu Tien ... M A M ke 38 sdh tayang & baru dibaca ...
    Alhamdulillah Enny & kelrg sehat dan baik2 saja ... Semoga bu Tien & kelrg sll happy dan sehat wal'afiat ... Salam Aduhai

    ReplyDelete
  21. Waah...kasihan juga Rohana ya...dia dipertemukan dgn org2 dari masa lalunya, itu merupan 'sanksi sosial' juga lho...krn keadaan sdh benar2 terbalik. Semoga dia kuat dan sungguh2 bertaubat ya...🙏🏻

    ReplyDelete
  22. Makasih mba Tien.
    Semoga Rohana tetap pada keinginannya utk menjadi manusia yg lebih baik

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...