MASIH ADAKAH MAKNA 35
(Tien Kumalasari)
Indira dan Azka menatap wanita tua yang mendekat sambil menunduk. Ia seperti menyembunyikan wajahnya, yang sembab dan tampak kuyu. Ia kemudian berjalan melalui pintu samping. Kartika berdiri, dan menyapa dengan khawatir.
“Nenek dari mana?”
Tapi Rohana terus melangkah. Kartika membalikkan tubuhnya, masuk ke dalam, bermaksud menemui nenek yang tampak sedang tidak seperti biasanya.
Mereka bertemu dari arah dapur. Kartika harus membukakan pintu belakang karena terkunci.
“Oh, maaf,” hanya itu yang dikatakan Rohana.
“Tidak apa-apa, masuklah.”
Rohana masuk lalu mengunci lagi pintunya.
“Apa yang terjadi?” kata Kartika yang kemudian mengambilkan segelas minum air putih yang diulurkannya kepada Rohana.
“Duduk dan minumlah Nek.”
“Terima kasih,” katanya. Ia kemudian meneguk minuman itu beberapa teguk. Tapi kemudian air matanya meleleh.
Kartika duduk di depannya. Membiarkan Rohana menenangkan hatinya dengan menangis.
“Dia sudah meninggal,” isaknya.
Kartika menatapnya iba. Jadi orang yang akan diberinya uang telah meninggal?
“Siapa?”
Rohana meletakkan sebuah kothak di meja dapur. Kartika belum menanyakan tentang kothak itu. Ia membiarkan Rohana sampai tangisnya mereda.
Rohana meneguk lagi air putihnya.
“Katakan ada apa, kalau Nenek sudah merasa tenang.”
”Maaf kalau saya terlambat kembali kemari.”
“Tidak apa-apa. Saya sudah menduga, pasti terjadi sesuatu pada Nenek. Tapi saya lega, Nenek pulang dengan selamat.”
“Teman saya tidak selamat.”
“Teman yang tadi Nenek datangin?”
“Tadi saya bertemu seseorang, dia anak teman saya, yang bernama Sofia. Saya heran dia masih mengingat saya. Dia bilang ibunya ingin bertemu saya, dan sudah sepuluh tahunan dia mencari keberadaan saya.”
“Rupanya dia sahabat lama Nenek?”
“Sebenarnya kami tidak begitu bersahabat. Dia memberikan ini ….”
Rohana menunjuk ke arah kotak kardus yang dibungkus kain batik.
“Ini adalah uang dua puluh juta, yang dulu dia pinjam dari saya. Padahal saya sudah melupakannya.”
“Jadi teman Nenek ingin bertemu Nenek, hanya untuk mengembalikan hutangnya kepada Nenek?”
“Keadaannya sudah buruk. Dia bercerita panjang dengan pelan karena tubuhnya lemah, lalu anaknya membawa dia ke rumah sakit. Saya mengikutinya, tapi kemudian dia meninggal.”
Rohana kembali terisak. Dengan terbata ia menceritakan pertemuannya dengan teman lamanya, sampai ketika dia mengantarkannya ke rumah sakit, dan menungguinya sampai dia meninggal.
“Begini rasanya kehilangan ….” tangisnya lagi.
***
Sementara itu Indira dan Azka masih berbincang di teras, tanpa tahu apa yang terjadi. Pratama, ayah Azka yang keluar, justru bertanya kepada mereka.
“Kenapa dia?”
“Memangnya ada apa Pak?”
“Aku mendengar nenek menangis.”
“Menangis?” tanya Azka dan Indira hampir bersamaan.
“Ia bersama ibumu, nggak jelas apa yang dibicarakan, tapi aku mendengar nenek menangis.”
“Tadi juga ketika masuk seperti sudah tampak menunduk, wajahnya sembab,” kata Azka.
“Aku seperti pernah melihat wajah itu,” tiba-tiba kata Indira.
“Aku serumah, tapi hampir tidak pernah bertemu dia. Pagi sekali, minuman dan sarapan sudah tersedia, lalu aku dan bapak pergi ke kantor. Sore atau bahkan malam ketika pulang, ibu sudah menyuruhnya beristirahat. Sebulan di sini belum pernah bertegur sapa.”
“Kamu sibuk sekali, sih,” kata Indira.
“Aku sedang belajar. Jangan sampai mengecewakan Kakek.”
“Benar, Indira. Kelak, kalau kalian sudah menikah, semoga Azka sudah bisa menguasai semuanya sehingga tidak harus berada di kantor seharian. Dengan begitu akan banyak waktu luang untuk kamu,” kata Pratama.
Indira tertawa. Padahal Indira sendiri juga hampir seharian berada di kantor. Itu juga karena kakeknya.
Rupanya para pebisnis sudah mempersiapkan kelanjutan bisnisnya jauh-jauh hari kepada para keturunannya, agar kalau dia sudah tak ada, bisnis itu tetap berjalan sesuai yang diinginkan. Syukur-syukur bisa menjadi lebih besar.
“Tidak apa-apa Pak, selagi masih muda. Kakek saya juga berkata begitu kepada saya,” jawab Indira.
“Ini kok ada tamu tapi tidak dibuatkan minum sih?” tegur Pratama.
“Oh iya, biar aku ambilkan,” kata Azka sambil bangkit.
“Jangan, biar aku ambil sendiri saja,” sambung Indira yang juga segera berdiri.
Ketika sampai di dapur, Kartika sedang menyuruh nenek untuk beristirahat.
“Ya sudah, Nenek pasti lelah. Sekarang mandi dulu saja, dan istirahat. Nanti saatnya makan aku panggil Nenek. Ya.”
Rohana berdiri, lalu beranjak masuk ke dalam kamarnya.
“Uangnya ketinggalan, Nek.”
Rohana kembali, mengambil kotak pemberian Sofia yang memaksanya harus menerima uang itu.
Ketika Rohana berbalik, Azka dan Indira memasuki dapur.
“Eh, kalian? Aduh, ibu lupa membuatkan minum untuk kalian,” seru Kartika.
“Biar saya membuat minum sendiri, Bu.”
“Indi sedang belajar menjadi seorang ibu rumah tangga,” seloroh Azka.
“Oh, begitu? Baiklah. Silakan membuat minuman sendiri, ibu mau mandi.”
“Bu, Nenek tadi kenapa? Bukan karena kecelakaan, kan?” tanya Azka sebelum ibunya pergi.
“Hush. Kecelakaan apa. Dia itu sedih, menceritakan temannya yang tadi meninggal.”
“Dia pergi mengunjungi temannya?”
“Sebenarnya tidak. Dia hanya bertemu anaknya, yang mengatakan bahwa ibunya ingin bertemu Nenek. Ternyata itulah saat terakhir Nenek bertemu dengan temannya itu, jadi dia sedih sekali.”
“Innalillahi …”
“Ya sudah, buat minum dan cari cemilan sendiri, ibu mau mandi dulu. Bau acem …”
***
Tapi malam itu Rohana tak bisa tidur. Dia juga menolak untuk makan ketika Kartika membangunkannya. Hari itu adalah hari yang sangat buruk baginya. Dicurigai mendapatkan uang dengan jalan yang tidak benar, dan membuatnya menangis kesakitan karena hati terasa bagai dirajang-rajang. Lalu ia kehilangan seorang teman. Mereka tidak begitu dekat, hanya teman berhura-hura, tapi sang teman ternyata tidak melupakannya, hanya karena uang dua puluh juta yang pernah dipinjamnya. Padahal Rohana sudah melupakannya. Bukankah saat itu dia masih seorang wanita yang kaya raya?
Tapi melihat saat-saat Sofia menghembuskan napas terakhirnya, hatinya terasa pedih. Ia melihat kepergian yang tak akan mungkin bisa bertemu kembali. Ia merasa penyesalan demi penyesalan mengusik batinnya karena toh saat mati dia tidak akan membawa apapun juga. Hura-hura, kemewahan, gemerlapnya harta, apa yang terjadi sekarang? Sang teman sudah tak ada, dan apa yang dia miliki sekarang? Hanya sepotong tubuh dengan sedikit daging beselimut kulit keriput, dan selembar pakaian seadanya untuk menutupinya.
Rohana kembali menangis. Biarlah semuanya berlalu, bukankah sekarang dia ingin mendandani sisa hidupnya dengan banyak hal baik dan bersih dari noda dan dosa?
Rohana keluar dari kamar, menuju ke kamar mandi untuk berwudhu.
Doa-doa dan permohonan ampun yang mengalun bagai membubung ke ujung langit, yang semoga Allah subhanahu wata’ala mendengarnya.
Ketika ia terisak dalam pasrah dan penyesalan, Pratama sedang mau berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Suara aneh yang terdengar dari kamar Rohana membuatnya tertarik. Perlahan ia membukanya, yang kebetulan memang tidak terkunci, lalu ia terpana melihat Rohana sedang bersujut. Hati Pratama bergetar. Perlahan ia menutupkan lagi pintunya, lalu kembali ke kamar dengan rasa penuh penyesalan. Ia telah mencurigai Rohana selama ini, dan tidak mempercayai bahwa dia benar-benar orang baik. Malam itu, Pratama sadar bahwa dugaannya salah. Dalam hati ia berjanji akan lebih menghargai dan menghormati pembantunya yang tua itu, dan yang selalu hanya istrinya saja yang memberinya perhatian.
***
Pagi hari itu Rohana seperti biasa berkutat di dapur. Hampir semalaman dia tak bisa tidur, tapi dia tidak melupakan tugasnya untuk membuatkan minuman pagi untuk ‘majikannya’, sebelum bersih-bersih rumah ketika para ‘majikan’ sudah berangkat bekerja.
Ia sedang menuangkan segelas susu coklat ketika tiba-tiba Azka muncul.
“Nenek, minum untuk saya sudah ada? Saya mau keluar kota pagi-pagi.”
“Oh, iya, Tuan Muda. Tuan muda kalau mau coklat susu, ini sudah ada,” kata Rohana sambil meletakkan segelas coklat susu yang baru dituangnya.
“Iya Nenek. Tidak apa-apa. Saya tunggu di ruang makan ya.”
“Baik, tuan muda.”
Rohana sudah mencuci wajahnya berkali-kali, tapi ternyata tidak bisa menghilangkan rona sembab yang melingkupi wajahnya.
Ia meletakkan nampan dengan segelas coklat di hadapan Azka.
“Nenek jangan memangggil saya ‘tuan muda’. Panggil saya Azka.”
Rohana hanya mengangguk. Ia tahu Azka sedang menatapnya.
“Nenek sakit ya?”
“Tidak.”
“Wajah Nenek sangat pucat. Kalau sakit, istirahat saja dulu.”
“Tidak apa-apa.”
“Lhoh, Azka sudah duluan ngopi nih,” kata Pratama yang sudah rapi juga. Keduanya akan pergi ke luar kota pagi-pagi.
“Ini Nenek membuatkan coklat susu untuk Azka.”
“Nenek, saya minta kopi pahit ya,” kata Pratama kepada Rohana yang sudah melangkah ke belakang.
“Baik,” jawabnya sambil menoleh sekilas.
Rohana selalu membuat minuman yang berbeda setiap pagi. Ada kopi pahit, ada coklat susu juga. Tapi dia tidak tahu, untuk siapa masing-masing minuman itu. Sekarang ia tahu, Azka dan Pratama lebih suka kopi. Berarti coklat susu itu untuk Kartika.
“Kelihatannya Nenek sakit,” kata Azka.
“Ya, tiba-tiba kasihan melihatnya,” jawab sang ayah yang kemudian duduk sambil menunggu kopi pahitnya.
“Beberapa kali Azka mengingatnya, seperti pernah ketemu Nenek, tapi lupa di mana.”
“Pastinya di jalanan. Bukankah ibumu ketemu dia di jalanan?”
“Iya Pak, pastinya sih.”
“Kalian mau sarapan apa?” tiba-tiba Kartika muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Ia akan mengantar mereka ke bandara.
“Roti bakar saja,” kata Azka.
“Nggak usah, kita sarapan di bandara saja, takut terlambat,” sambung Pratama.
“Baiklah kalau begitu.”
Nenek membawakan kopi pahit pesanan Pratama, dan coklat susu untuk Kartika.
“Terima kasih Nenek. Kok Nenek kelihatan pucat. Habis ini istirahat saja di kamar, tidak usah mengerjakan apa-apa. Semua masih bersih kok.”
Rohana tersenyum tipis.
“Tidak apa-apa.”
“Saya nanti setelah mengantarkan anak dan suami ke bandara, langsung ke kantor ya Nek, Nenek jangan lupa sarapan, makan siang. Pokoknya saat makan harus makan, tidak boleh sungkan.”
“Baik.” kata nenek sambil berlalu, tapi kemudian dia berhenti.
“Nanti saya akan takziah ke pemakaman teman saya, bolehkah?”
“Apa rumahnya jauh?”
“Saya akan langsung ke pemakaman saja.”
“Baiklah, tapi Nenek hati-hati, dan kalau sudah selesai segera pulang ya,” kata Kartika.
“Baik,” katanya kemudian berlalu.
“Jangan lupa membawa payung Nek, ada di belakang. Udara sangat panas,” pesan Kartika. Rohana hanya mengangguk.
“Kasihan, nenek kelihatan sedih sekali setelah kehilangan temannya,” kata Kartika.
“Lewat tengah malam aku melihatnya shalat sambil menangis.”
“Wajahnya sampai pucat begitu. Barangkali dia tidak tidur semalaman.”
“Aku seperti pernah melihat wajah seperti nenek itu,” kata Azka sambil menghabiskan coklat susunya.
“Kamu sudah mengatakannya berkali-kali,” kata Kartika.
“Ya, tadi juga mengatakannya lagi.”
“Ayo, nanti terlambat, segera siap-siap. Mana yang harus dibawa,” kata Kartika mengingatkan.
“Sudah Azka siapkan semuanya, ibu tidak usah khawatir,” kata Azka.
***
Tomy sedang sarapan pagi, menikmati sepotong pisang goreng sambil membuka-buka koran pagi. Tiba-tiba ia melihat sebuah kolom berita duka.
“Apa ini bukan teman ibu ya?” serunya.
“Siapa Mas?”
“Ini, meninggal kemarin sore, dimakamkan nanti siang. Namanya Sofia Andarini. Ini seperti nama teman ibu.”
“Belum tentu juga kan Mas, nama bisa saja sama.”
“Dulu rumahnya dekat kantor bapak, tapi nggak tahu sekarang alamatnya beda.”
“Apa Mas akan melayat ke sana?”
“Kalau tempat pemakamannya sih tiap hari aku lewat, nanti aku tanyakan, apa benar dia. Aku sih tidak begitu kenal, cuma saja ada pemikiran, jangan-jangan ibu mendengar berita ini dan ikut melayat di sana.”
“Wah, kalau begitu Mas perlu datang melayat. Semoga bisa bertemu ibu.”
“Semoga ibu mendengarnya dan ingin mengantarkan temannya ke peristirahatannya yang terakhir.”
“Kalau begitu Mas harus cepat-cepat mencari tahu tentang dia.”
“Barangkali benar dia, salah seorang anaknya Lukman, dia pelukis. Nih dia ada tertulis di sini. Nanti aku akan ke pemakamannya saja.”
***
Panas begitu terik. Rohana datang ke pemakaman Sofia dengan membawa payung. Banyak pelayat yang datang. Rohana melihat peti berhiaskan bunga-bunga mulai diturunkan ke liang lahat. Mulutnya berkomat-kamit membacakan doa, dengan air mata merebak di pelupuknya.
Sampai acara pemakaman selesai, Rohana masih tegak di sana. Ia menaburkan bunga yang dibelinya sendiri.
'Selamat jalan, Sofia. Uang darimu akan aku pergunakan untuk sesuatu yang berguna, agar menjadi bekal amalmu di sana.’
Rohana melangkah perlahan untuk meninggalkan pemakaman. Ia meraih payungnya yang semula diletakkan di tanah, tapi kakinya tersandung batu. Sepasang tangan merengkuhnya, dan membantunya berdiri. Lalu mereka saling pandang dengan perasaan heran.
***
Besok lagi ya.
Suwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
Delete🌻💛🌻💛🌻💛🌻💛
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
eMAaeM_35 sdh tayang.
Matur nuwun nggih,
doaku smoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia.
Aamiin. Salam seroja. 😍
🌻💛🌻💛🌻💛🌻💛
Matur nuwun Bunda Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 35, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah cerbung MAM inspiratif untuk Baik 👍🩵semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah pas adzan 'isya bisa komen.
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Matur nuwun Bu Tien...
Mudah²an orang yang menolong Rohana adalah Tomy, anak yang dirindukannya .....
Matur nuwun salam sehat penuh berkat , tetap semangat ya Jeng Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah "Masih Adakah Makna 35" sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteApa Rohana ketemu Tomy? Kalau ya pasti Tomy mengenalinya. Apa Rohana masih akan bersembunyi lagi? Kapan mau bersatu dalam satu keluarga bahagia.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Matur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Penasaran siapa yg menolong Rohana, kemungkinan Toni... Bagaimana cerita selanjutnya sabar... tunggu besok ya!!! Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu, bahagia dan aduhaiii....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda
Semoga sehat walafiat
Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~35 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Terima kssih
ReplyDeleteTerima ksih bunda..slmt mlm dan slmt istrhat..salam sehat selalu dri skbmi🙏🙏🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
Sehat selalu kagem bunda njih...
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteTerharu,,,,, Tomy kah atau Lukman
Matur nuwun ugi ibu Ika
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien...🙏
Sehat dan bahagia selalu kagem bunda njih...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 35 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Azka dan Indira pangling dengan penampilan nenek berjilbab, yang sebenar nya adalah nenek Rohana.
Wkt Rohana jatuh di pemakaman, ada orang yang menolong nya, mungkinkah itu Tomy? Klu adegan ini sdh jelas, mereka saling pandang memandang dan Rohana sangat merindukan anak nya tsb 😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 35* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terimakasih Bu Tien... 🙏🙏
ReplyDeleteSami2.
DeleteApa kabar Prisc21
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Nah, sudah dekat tuh...sebentar lagi Rohana bisa dikenali keluarganya.
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu.🙏🏻🙏🏻🙏🏻😘😘😀
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Rohana kembali bertemu temannya yang lain...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien....
Sami MasMERa
DeleteMakasih mba Tien
ReplyDelete