MASIH ADAKAH MAKNA 07
(Tien Kumalasari)
Rohana longak-longok dengan mata melotot, melihat pak Trimo menghitung uang. Lama sekali Rohana tidak melihat uang banyak kecuali hanya selembar selembar uang kecil, dan gemerincing uang receh yang tak seberapa.
Rasa ayam goreng yang tadi disantapnya bersama sambal dan lalapan, masih terasa di lidah. Ternyata sangat enak dan itu membuatnya ketagihan. Tapi ia harus mengeluarkan uang cukup banyak untuk itu. Tadi ketika makan di warung itu, ia hampir menghabiskan selembar lima puluhan ribu yang didapatnya dari ‘cucu-cucu’ nya. Tinggal selembar lagi, untuk besok masih cukup kalau mau berganti makan ikan sepotong, atau rendang daging di rumah makan Padang. Lalu habis deh. Besok apa lagi? Uang receh lagi? Nasi sebungkus dengan secuil ikan asin? Atau nemuin anak-anak muda tadi supaya diberi uang lagi? Mana mungkin? Mereka hanya menganggapnya peminta-minta yang harus dikasihani. Kalau ketemu lagi, belum tentu ia memberinya lagi sebanyak itu. Memangnya apa, setiap hari memberi uang peminta-minta dengan uang yang kelewat banyak?
Tapi di depan matanya ada uang setumpuk. Tak berkedip dia menatapnya. Lalu dilihatnya anak gadis laki-laki itu keluar sambil membawa segelas kopi. Rohana meneguk air liurnya. Tadi ia hanya minum segelas teh tawar. Kalau sekarang ada kopi … baguslah. Apakah dia harus mengetuk pintu agar dihidangkan juga untuknya segelas kopi? Terbayang wajah Binari yang selalu muram kalau menghadapinya, yang selalu diacuhkannya karena dia sedang butuh makan dan minum di rumah itu. Tapi sekarang ada rasa ingin menahan keinginannya bertamu. Ia lebih tertarik pada uang yang di gelar di meja.
Dilihatnya gadis itu duduk di depan ayahnya.
"Bapak mengumpulkan uang begitu banyak, mengapa tidak disimpan di bank saja? Biar aman."
“Apakah disimpan di rumah tidak aman? Mana ada maling mengincar harta orang yang rumahnya buruk seperti kita. Mereka pasti yakin tak akan mendapatkan apapun dari rumah orang miskin seperti kita.”
“Hanya untuk berjaga-jaga saja kok. Binar kira di bank lebih aman.”
“Nggak usah. Selamanya orang tuamu ini tidak pernah menyimpan uang di bank. Ribet. Ada aturannya, harus ini … harus itu … Biar saja begini, bapak simpan di bawah kolong, aman dah.”
“Bapak bekerja terlalu keras.”
“Demi menginginkan sesuatu, memang harus ada perjuangan. Pagi jualan, lalu siang istirahat sebentar, kerja lagi sampai sore atau malam. Bukan masalah. Bapak masih kuat bekerja. Yang penting kamu bisa melanjutkan sekolah. Kalau bisa jadi dokter,” kata pak Trimo sambil memasukkan lagi uangnya ke dalam kothak.
Binari tersenyum.
“Kok keterusan sih Pak, dari candaan kita kemarin dulu.”
“Keterusan bagaimana?” pak Trimo meneguk kopinya.
“Tadinya kan bicara tentang tulisan bapak yang jelek, lalu Binari mengumpamakan tulisan bapak itu seperti tulisan dokter. Lah kok jadi Bapak pengin Binari jadi dokter,” kata Binari sambil tertawa.
“Lha kamu penginnya jadi apa?”
“Pengin jadi apa ya ….”
“Nggak suka ya jadi dokter? Kamu tahu kan, dokter itu pekerjaan mulia. Mengobati orang sakit, tuh … mulia bukan?”
“Semua pekerjaan itu mulia kan Pak? Yang penting dijalani dengan tulus dan ikhlas. Juga yang sesuai dengan kemampuan kita. Ya kan?”
“Iya juga sih. Orang mengerjakan sesuatu pasti ada nilai positipnya. Kecuali pekerjaan maling.”
“Nah, itu juga pekerjaan. Tapi bukan pekerjaan mulia. Kalau Bapak ini, jelas melakukan pekerjaan mulia. Sangat-sangat mulia. Dibela-belain mengerjakan sesuatu yang tidak lazim demi membuat anaknya menjadi ‘orang’. Bukan main Bapak ini.”
“Hei, mengapa kamu mengatakan yang bapak kerjakan ini tidak lazim?”
“Yang biasanya menjual nasi itu kan perempuan? Ini Bapak yang melakukannya.”
“Omong kosong apa itu. Kalau ada perempuan menjadi sopir angkutan umum, apa kamu juga akan menganggapnya sebagai tidak lazim? Bapak melakukan pekerjaan perempuan, tapi ada perempuan yang melakukan pekerjaan laki-laki. Mau bilang apa lagi kamu?”
Binari terkekeh geli. Memang benar sih apa yang dikatakan ayahnya. Perempuan bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki. Mengapa laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan perempuan?
“Bapakku memang luar biasa.”
Pak Trimo hanya tersenyum. Lalu ia berdiri, mengelus kepala anaknya, lalu membawa kotak uangnya masuk ke dalam kamar.
“Tidurlah, sudah malam,” katanya sebelum sampai di pintu kamar.
Binari meraih gelas kopi yang sudah kosong, lalu membawanya ke belakang.
Sementara itu Rohana yang bukan saja mengintip tapi juga menguping pembicaraan ayah dan anak itu, kemudian mengulaskan senyuman licik.
Ia meletakkan bungkusan bajunya di lantai teras, kemudian membaringkan tubuhnya di sana, dan tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari mulutnya. Tak lama kemudian dia bermimpi mengunyah rendang daging yang empuk di sebuah restoran, sambil berkipas karena kegerahan.
***
Di pagi buta pak Trimo sudah berkutat di dapur. Ia sedang memasukkan dagangannya ke tempatnya sebelum siap membawanya ke pasar. Binari membersihkan dapur, ketika sang ayah pergi mandi.
Ketika itu Rohana sudah tak berada di tempatnya berbaring. Ia pergi entah ke mana, sehingga ketika Binari menyapu rumah sampai ke teras, ia tidak menemukan siapa-siapa. Ia juga tak tahu kalau semalam ada yang tidur di teras.
Pak Trimo sudah meletakkan dagangannya di bocengan yang memang sudah diatur supaya bisa dipakai untuk meletakkan dagangannya.
Pagi masih remang, tapi pak Trimo sudah siap berangkat. Binari mengantarkannya sampai kedepan.
“Hati-hati, Pak.”
Pak Trimo melambaikan tangannya, kemudian menghilang dibalik pagar. Binari masuk ke dalam. Ia sudah mencuci sebagian perangkat kotor, lalu tergesa mandi.
Ia bangun agak kesiangan tadi, karena tidur terlalu malam, gara-gara menemani sang ayah menghitung uangnya. Binari terharu, tabungan sang ayah sudah mencapai sepuluh juta lebih, hampir dua puluhan juta malah. Jerih payah yang diharapkan bisa mewujudkan cita-cita luhur sang ayah, demi menjadikan anak gadisnya menjadi ‘orang’.
Binari tak bisa mencegah sang ayah melakukannya, walau sedih ketika melihat ayahnya kecapekan.
“Semoga aku bisa mewujudkan keinginan Bapak,” gumamnya sambil masuk ke kamar mandi.
“Menjadi dokter?” gumamnya lagi sambil tersenyum.
“Aku harus belajar lebih giat, kalau aku punya nilai bagus, bisa mendapat bea siswa, alangkah senangnya. Bapak tak akan terlalu banyak mengeluarkan uang."
Ketika ia mandi itu, tiba-tiba didengarnya suara aneh, seperti benda jatuh. Binari terkejut. Ia segera menyelesaikan mandinya, berpakaian lalu bergegas keluar.
Tak ada siapa-siapa. Suara apa tadi? Ia melongok ke arah depan. Pintu memang lupa tidak ditutup tadi. Binari keluar, dan tak meliat siapapun.
“Mungkin hanya perasaanku saja,” katanya sambil mengenakan seragam sekolah nya, bersiap untuk berangkat.
***
Ketika menunggu ojol itu, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya. Binari terkejut ketika si pengendara membuka helmnya.
Tentu saja dia tidak lupa wajah ganteng itu.
“Mas Tegar?”
“Mau berangkat? Ayuk sekalian.”
“Nggak usah, aku naik ojol saja.”
“Jangan, sekalian aku pergi ke kampus.”
“Bukankah rumah mas Tegar jauh dari sini? Kok pagi-pagi sudah sampai di sini?”
“Kalau mau ke kampus, aku memang lewat sini. Ayo naik,” katanya seperti bertitah.
Dan Binari berdebar tak karuan. Mengapa si ganteng ini begitu ingin memboncengkan dirinya.
“Ayo cepat, nanti terlambat lhoh.”
Binari ‘terpaksa’ menurut, naik ke boncengan sepeda motor Tegar.
“Pegangan,” katanya sebelum menjalankan motornya.
Binari pegangan sadel. Mana mungkin pegangan pada pinggang si ganteng ini. Nanti dikira gadis murahan, bagaimana?
Sepeda motor itu melaju dan tak lama kemudian sudah sampai di depan sekolah Binari.
“Pulang jam berapa?”
“Belum tahu, sering ada tambahan. Terima kasih ya Mas,” kata Binari, kemudian membalikkan tubuhnya masuk ke halaman sekolah. Tegar memandangi ekor kuda yang bergoyang goyang itu lalu tersenyum sambil menjalankan motornya kembali, ketika si ekor kuda sudah berbaur dengan teman-temannya dan tak lagi tampak.
Tegar memacu motornya lagi. Tapi ketika itu tiba-tiba seorang wanita tua melintas. Beruntung Tegar bisa mengeremnya sambil mengomel panjang-pendek.
Tapi ketika memandangi siapa wanita itu, Tegar heran. Mengapa dimana-mana bertemu dia? Wanita itu menatap Tegar sekilas, kemudian berlalu dengan cepat.
Rohana agak berdebar ketika nyaris tertabrak motor, dan itu adalah ‘cucunya’ lagi. Tapi ia bergegas menghindar. Tak jauh dari tempat itu, ia memasuki sebuah rumah makan padang, dan memesan rendang daging seperti mimpinya semalam. Ia juga memesan kopi manis, dan meminta agar dibungkuskan dua bungkus sekaligus nasi rendang untuk dibawa setelah makan. Wajahnya sumringah. Tadi dia mandi di kamar mandi dekat POM bensin. Tubuhnya terasa segar, lalu rasa lapar menggerayangi perutnya. Di seberang jalan ada warung rumah makan padang, lalu ia bergegas menyeberang. Itu sebabnya tadi dia nyaris tertabrak sepeda motor. Coba sampai tertabrak, pasti ia tak bisa menyantap nasi rendang daging seperti diinginkannya.
Ia mengunyahnya perlahan, sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, barangkali ada orang yang dikenalnya. Untunglah tidak ada. Rohana melanjutkan makan, dan minta tambah seporsi lagi. Entah apa sebabnya, hari ini Rohana berpesta makan. Hatinya sedang gembira. Ia tak pernah merasa segembira ini.
Dunia sedang memandikannya dengan uang. Tak peduli pada yang didengarnya semalam, bahwa pekerjaan yang tidak mulia adalah mencuri. Huh, peduli apa dengan kata-kata laki-laki itu. Dasar bodoh. Mencari uang sih tidak usah membanting tulang sepertimu. Gumamnya dalam hati, sambil terus mengunyah makanannya.
Keluar dari warung makan itu, Rohana menjinjing bungkusan makanan yang dipesannya. Dia tidak perlu keluar masuk warung untuk makan sehari ini. Tapi karena kekenyangan, rasa kantuk menyerangnya. Ia mencari emperan toko yang masih tutup dan berbaring di sana. Tapi kemudian dia terbangun dengan kaget, karena pesuruh toko yang sudah saatnya buka, segera mengusirnya dengan kasar. Bahkan dia memukul-mukul kakinya dengan sapu.
“Hei, bangun! Ini toko, bukan rumahmu.”
Rohana melangkah pergi sambil mengumpat kesal.
Tapi kemudian dia sadar, bahwa tak bisa berlama-lama berada di kota itu. Ada yang ditakutkannya.
“Aku harus pergi ke kota lain,” katanya kemudian melangkah menjauh dengan cepat.
***
Satria sedang menerima telpon dari Tomy, yang mengatakan bahwa besok liburan, mereka akan berjalan-jalan ke luar kota. Liburan tinggal tiga hari lagi, ada tanggal merah setelah Minggu, jadi ada liburan tiga hari.
Minar merasa senang.
“Nanti aku akan membuat arem-arem untuk bekal,” katanya.
“Mengapa sudah sore Tegar belum juga pulang?”
“Biasa dia mampir-mampir. Dia itu suka sama seseorang,” kata Minar bersungut-sungut.
“Siapa? Teman kuliah?”
“Bukan, yang menemukan dompetnya itu. Dia seorang gadis, masih SMA, tapi Tegar kelihatannya suka.”
“Ah, masih SMA, masih jauh. Tegar juga masih kuliah. Tapi kalau seumur Tegar itu jatuh cinta, sudah lumrah. Kuliahnya hampir selesai.”
“Tegar itu sama dengan Mas. Gampang sekali jatuh cinta.”
“Eh, kata siapa? Aku jatuh cinta juga setelah hampir selesai kuliah. Sebelum-sebelumnya belum pernah lho. Kamu yang pertama, dan terakhir.”
“Kayak lagu saja,” kata Minar sambil tersenyum, tersipu. Kalau Satria bercerita pada Tegar bahwa kisah cintanya sangat indah, itu benar adanya. Liku-liku cintanya pada Satria sangat unik. Nyaris tidak kesampaian, karena perbedaan status dan kasta.
Tiba-tiba terdengar sepeda motor berhenti.
“Tuh, anaknya datang. Apa Mas mau menegurnya tentang perasaannya pada gadis itu?”
“Tidak, biarkan saja. Cinta itu kan bisa datang kapan saja. Yang penting bisa menjaga agar tidak melewati batas-batas yang ada.”
“Selamat sore, Bapak sudah pulang,” katanya sambil mencium tangan ayah dan ibunya.
“Tegar mendapat kabar baik.”
“Kabar apa?”
“Minggu depan adalah libur tiga hari, om Tomy ngajakin kita jalan-jalan bersama,” katanya riang.
“Kamu sudah tahu rupanya? Om Tomy menelpon kamu?”
“Bukan om Tomy, tapi mas Boy.”
“Ya sudah, mandi sana dulu, nanti kita bicara lagi.”
***
Di hari liburan itu mereka pergi berlibur, dan sudah ada di sebuah hotel, sebelum jalan-jalan.
Ketika itu Boy dan Tegar masih berada diluar untuk memarkirkan mobil, sementara ayah mereka memesan kamar.
Ketika mau mengunci mobil, tiba-tiba Boy melihat sesuatu. Dompet. Boy dan Tegar melihat dompet itu.
“Tunggu dulu, ini dompet Bapak,” kata Boy, sambil mengambil dompet dari tangan Tegar. Tiba-tiba beberapa foto terjatuh. Keduanya sibuk memungut.
“Bapak ini, menyimpan foto-foto lama di dompet,” kata Boy.
Tiba-tiba sebuah foto yang baru saja dipungut, membuat Boy terkejut.
“Ini … ini kan … ini kan … “
“Siapa?”
“Aku ingat dia sekarang,” pekik Boy yang kemudian bergegas masuk ke dalam hotel untuk mencari ayahnya.
***
Besok lagi ya.
Suwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteEmAaMa 07...telah tayang
Matur sembah nuwun Mbak Tien
Tetap sehat..Tetap semangaat .💪😍
Salam ADUHAI..dari Antapani
🙏😍💐🌹
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
Salam ADUHAI dari Sollo
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteSami2 pak Lstief
Delete🍒🫐🍒🫐🍒🫐🍒🫐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
eMAaeM_07 sdh tayang.
Matur nuwun nggih,
doaku smoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia
lahir bathin. Aamiin.
Salam seroja...😍🤩
🍒🫐🍒🫐🍒🫐🍒🫐
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jrng Sari
Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 07, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Salam sehat kembali ibu Uchu
DeleteTerima kasih perhatiannya
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien ...
Gpp ora malit (pinjem istilah jeng Rose)
Salam ADUHAI
Sami2 mas Kakek
DeleteADUHAII deh
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriiyanto
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteTayang gasik...
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah cerbung M A M mantul 👍🌷🌹💐
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun psk Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSaami2 ibu Anik
DeleteMatur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah ... terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteSuwun bu Tien...sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
DeleteAamiin atas doanya
Matur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulilah MAM 07 sdh tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🪸🌷🌷
ReplyDeleteAamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam aduhai aaduhai
Alhamdulillah... MAM 07 tayang. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu, bahagia dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 07* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Mks bun MAM 7 sdh tayang......aduh benarkah rohana jadi mencuri uang nya pak trimo, kasihan pak trimo sama binari kalau bener uang nya dicuri sama rohana
ReplyDeleteTunggu besok saja coba, bener" rohana apa bkn yaaaaa
Sami2 Ibu Supriyati
DeleteWaduh, Rohana bikin ulah lagi. Tapi bu Tien pasti akan membuat cerita ini berakhir happy end. Matur nuwun ibu tercinta
ReplyDeleteSami2 eyang Titi tersayang
DeleteAlhamdulillah " Masih Adakah Makna-07 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selslu
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturt nueun ibbu Ting
Ternyata Tomy Moniq Minar Satria tidak peka dan cenderung ABAI pada Rohana. Di tahun berapapun setting cerita ini, tak ada gerakan hati utk melacak keberadaan ibu kandung mereka. Dari Boy kecil sampai kuliah selesai sekitar 15 tahun gak ada upaya apa apa. Gak logis...
ReplyDeleteTerima kasih perhatiannya.
DeleteDalam dunia nyata memang nggak.logis. tapi ini cerita. Dan sudah diceritakan bahwa ibunyalah yang menjauh dari anak2nya. Bahkan ketika jatuh miskinpun dia juga bersembunyi.
Btw ini kritik yang membangun. Banyak cerita nggak logis. Mohon maaf kalau mengecewakan.
Berarti Anda nggak memahami bahasa cerita. Baca dong siapa yang nggak peduli pada orang tuanya? Satria, Tomy, Monik, Minar??
DeleteRohana lah (si antagonis) yang tidak peduli sama anak, menantu bahkan cucu²nya..... Maunya duwit.... duwit dan duwit ...
Bahkan TEGA MALING tabungan pak Trimo yang dengan tulus ikhlas membantu saat dia kelaparan dan tumpangan tidur di teras, mandi, cuci baju.
Terima kasih rekan atas kritik Anda.
Semangat Bu Tien semoga kritik ini tidak melemahkan semangat Bu Tien untuk memberikan hiburan pada para penggemar Cerbung Tien Kumalasari. Maju terus, rawe² rantas, malang² putung 💪💪💪
Terima kasih atas semua perhatian. Jari tangan ttua ini sudah berusaha menerangkan, tapi bahasa saya tidak tertangkap oleh pembaca.
DeleteTidak apa2 kok. Saaya senang sda yang mengkritikk. Saya kananusia biasa. Terkadang ada yang tidak bbisa saya jangkau. Mohon dimaklumi. Salam hangat untuk dagoesta the orgaanizer.
Matur nuwun , aku keri wae , nek royokan dhisik dhisikan ora isa
ReplyDeleteSammi2 mbak Yaniiik
DeleteAlon2 waton kelakon
Maturnuwun Bu Tien .... semoga selslu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteApakah karakter Rohana tdk bisa diubah ya ,😁🤭 tp itu yg bikin gemes n penasaran ya .
Boy & Tegar baru tahu kl itu nenek nya ,seru nih
Gak usah di rubah Mbh put Ika, disetiap cerita bu Tien ada peran antagonisnya..... Ini justru yang menjadi cerbung bu Tien, menjadi lebih hidup/greget dan bikin penasaran para pembacanya...
Delete
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~07 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga panjenengan sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..🤲
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Rasanya memang benar Rohana yang mengambil uang pak Trimo. Tentu sulit dilacak kalau Rohana langsung pergi ke kota lain.
ReplyDeleteNah..Binar mulai ada bayangan jadi dokter. Akankah kesampaian...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSalam seroja dan bahagia bersama keluarga, aamiin.
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteWORO-WORO
DeleteBagi yang ada rezeki berlebih, dibuka kesempatan untuk bagi yang mau beramal...... Kita tahu (walau ybs belum menyadari) uang tabungan sebesar hampir 20 juta untuk persiapan kuliah putrinya, telah raib.
Bagi yang berminat bersedekah, bisa menghubungi Kakek Habi.
🤣😂😀🙏🙏🙏
Hehee.
DeleteAda2 saja mas Kakek nih
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Salam sehat² selalu n
Salam aduhai
Aamiin Yaaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Foto Rohana...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteWalaah...kok jadi rendah sekali to derajat Rohana...dari orang kaya sampai mencuri, bukan main! Penasaran bertobatnya gimana nanti ya?🤔
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏😘😘😀
Sami2 ibu Nana.
DeleteSalam sehat juga.
Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien, salam sehat
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteRohana....Rohana....
ReplyDeleteBnyk lah Istighfar biar sadar
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDelete