AKU BENCI AYAHKU 22
(Tien Kumalasari}
Boy lari-lari kecil, mendekati ibunya.
‘Sekarang tidak ada lagi Bu, sudah pergi.”
“Kamu pasti salah.”
“Mana mungkin Boy salah mengenali bapak. Boy sangat benci dan selalu teringat wajahnya.”
“Ya sudah, sudah lewat. Kita tunggu ojol yang kita panggil.”
“Itu dia, sudah datang,” teriak Boy kegirangan.
“Ya, benar, ayo kita pergi. Ibu mengunci pintu dulu,” kata Monik yang kembali ke rumah untuk mengunci pintunya.
Ketika keluar dan mulai membonceng ojol itu, Monik melihat-lihat ke kiri dan kanan. Jangan-jangan memang Tomy yang memata-matainya.
“Tapi untuk apa?” bisiknya pelan.
“Ibu bilang apa?” Boy yang mendengar perkataan ibunya, walaupun lirih, segera menanyakannya.
“Tidak, ibu tidak bilang apa-apa.”
“Kita tetap menemui om Satria bukan?”
“Ya, tentu saja.”
“Tadi ibu bilang ‘untuk apa’.”
“Oh, bukan apa-apa, ibu hanya ingat tadi … ah, sudahlah, diam dan jangan bergerak-gerak, nanti kamu jatuh."
Boy tersenyum senang, ia merangkul pinggang driver ojol, sedangkan Monik masih kepikiran Tomy yang katanya melewati depan rumahnya. Ada harapan bahwa Boy salah lihat, tapi Boy anak pintar dan cerdas, ia tak akan begitu yakin kalau memang hal itu tidak membuatnya yakin.
***
Ojol itu berhenti di depan rumah Satria, dan Boy langsung berlari-lari ke arah rumah. Rumah itu masih tertutup, tampaknya Satria belum pulang dari bekerja. Tak tampak ada mobil di halaman.
Boy mengetuk-ngetuk pintu dengan tangan kecilnya, lalu tak lama kemudian pintu terbuka. Minar muncul dengan senyum lebar, begitu melihat Boy.
“Boy? Ini betul, kamu?”
“Ibu Minar, salaman dulu,” kata Boy yang kemudian mengulurkan tangannya, lalu meraih tangan Minar dan menciumnya.
“Anak baik, anak pintar,” katanya lalu melihat ke arah Monik yang baru muncul setelahnya.
“Monik, ayo kalian masuklah,” katanya ramah.
“Mana om Satria?” mata Boy mencari-cari.
“Om Satria belum pulang, hari ini dia lembur.”
“Boy ngajakin kemari, sudah lama,” kata Monik.
“Benar, lumayan lama. Apa kabar Monik?”
“Kami baik, tapi kamu kelihatan agak pucat, apa kamu sakit?”
“Baru kemarin aku keluar dari rumah sakit.”
“Kamu sakit apa?”
“Hampir saja aku keguguran, tapi untunglah dokter bisa menyelamatkannya.”
“Kamu hamil?”
Monik tertegun. Baru tadi dengan sombongnya, dia mengatakan bahwa dia lebih sempurna dari Minar. Ternyata Minar hamil. Monik tidak tahu bahwa Minar dan Satria menunda kehamilan karena tak ingin kuliah Minar yang hampir selesai menjadi terganggu.
“Atas doamu. Tadinya aku juga tidak merasa hamil.”
“Kamu hampir keguguran, karena kecapekan, barangkali?”
“Tidak, aku terjatuh, tapi tidak apa-apa. Sedikit perdarahan, tapi kemudian bisa teratasi. Tapi aku harus banyak istirahat,” kata Minar yang tidak mau mengatakan penyebab dirinya jatuh.
“Keguguran itu apa?” tanya Boy yang sejak tadi memperhatikan mereka bicara.
“Ibu Minar sedang mengandung. Ada adik bayi di dalam perut. Tapi karena jatuh, adik bayinya hampir keluar. Nah, kalau keluar belum waktunya, itu namanya keguguran,” kata Minar.
“Oh, ada adik bayi di dalam perut ibu Minar?” kata Boy yang kemudian meraba perut Minar.
“Masih kecil, belum kelihatan,” sambung Monik.
“Nanti akan menjadi besar?”
“Iya, nanti akan besar, dan kalau sudah waktunya akan lahir. Nanti Boy akan punya adik. Apa Boy senang?” tanya Minar.
“Senang. Boy senang. Horee…”
Minar mengelus kepala Boy yang terus menerus memegangi perutnya.
“Apa ibuku bisa hamil? Kalau ibu hamil, Boy bisa punya dua adik,” kata Boy polos, membuat Monik dan Minar saling pandang. Bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan Boy.
“Ibu sudah punya kamu, jadi tidak hamil lagi,” jawab Monik sekenanya.
Boy mendekati ibunya dan mengelus perutnya.
“Tidak bisa ya, tak ada adik di dalam sini?”
Monik menggeleng-geleng.
“Ibu Minar harus makan banyak, supaya perutnya bertambah besar, lalu adik cepat keluar,” celoteh Boy sambil kembali mendekati Minar, membuat Minar dan Monik terkekeh geli.
“Aku buatkan minum dulu ya,” kata Minar sambil berdiri.
“Tidak usah, kami mau pamit dulu saja.”
“Lhoh, kenapa pulang Bu, kan om Satria belum datang.”
“Om Satria datangnya malam, ya kan, Minar?”
“Biasanya kalau lembur begini, pulangnya agak malam. Sebenarnya tidak apa-apa kalian menunggu. Nanti pulangnya biar diantar mas Satria.”
“Nggak ah, kami mau belanja dulu. Kalau menunggu, nanti pulangnya terlalu malam. Lain kali saja kami main lagi kemari.”
Karena ibunya memaksa, mau tak mau Boy harus mengikuti kemauannya.
“Bener ya, lain kali kita main kemari lagi,” kata Boy yang kecewa.
“Kalau kemari hari libur, mas Satria pasti ada di rumah. Tapi lebih baik ngabarin dulu.”
Monik mengangguk, lalu meraih ponselnya memanggil ojol.
“Kamu tidak ingin ketemu Tomy?” kata Minar sambil berbisik, ketika Boy agak menjauh.
“Untuk apa? Dia tak pernah menginginkan kami.”
“Tomy sudah bekerja di kantor mas Satria.”
“Apa? Mas Tomy malah bekerja di sini? Bukankah ….”
“Ceritanya agak panjang. Nanti kamu akan mendengar cerita sebenarnya. Tomy bekerja sebagai driver di kantor mas Satria.”
“Driver? Dia ….”
Pembicaraan itu berhenti ketika ojol yang dipanggil sudah datang.
***
Dalam belanja itu, perasaan heran masih menyertai pikiran Monik. Ia sudah tahu kalau suaminya diusir oleh ayahnya gara-gara ketahuan memiliki istri siri bernama Desy, wanita yang juga sudah dikenalnya. Tapi menurut Desy, Tomy sangat malas dan tidak mau berusaha mencari pekerjaan. Sekarang mau menjadi sopir?
“Ibu, apakah nanti kita juga membeli es krim?”
“Kita beli yang kotak besar saja, nanti dibawa pulang. Kalau kamu makan di sini, nanti kita bisa kemalaman.”
“Baiklah, nanti Boy mau yang coklat sama vanila ya Bu.”
“Baik.”
“Besok es krimnya akan Boy bawa ke rumah Mia. Mia juga suka es krim.”
“Baiklah, nanti beli dua kotak.”
“Horeeee…”
“Tapi ibu selesaikan belanjanya dulu.”
“Ibu beli ayam ya?”
“Sudah lama Boy tidak dimasakin ayam sama ibu ya. Baiklah, nanti ibu beli.”
“Di rumah Mia sudah sering makan ayam, tapi beda dengan masakan ibu.”
Monik tertawa. Anak kecil bisa membedakan rasa masakan? Boy hanya berlebihan. Tapi Monik tak ingin mengomentarinya. Ia melanjutkan belanja, lalu membelikan dua kotak es krim, untuk Boy dan untuk Mia.
***
Rohana sedang berdiri termangu di depan rumah pak Ratman. Hari masih sore. Hari-hari terakhir ini Rohana selalu dihantui hutangnya kepada pak Ratman, yang jumlahnya tidak sedikit. Alasan mobil yang dijual dan belum seluruhnya terbayar, hanya alasan saja untuk menghindari pemaksaan orang-orang utusan pak Ratman. Ia sedang kebingungan, karena tak lama lagi dia harus menepati janjinya. Sebulan yang dijanjikannya sudah hampir sampai pada waktunya. Ia teringat celotehan orang-orang pak Ratman ketika berbisik sambil terkekeh ketika mau pulang dari rumahnya. Barangkali kalau dia mau mendekati atau merayu pak Ratman, hutangnya akan bisa diatasi. Mungkin pak Ratman bisa memberi keringanan dengan mencicil sebisanya, atau bahkan menganggapnya lunas, kalau ia mau menukar dengan tubuhnya. Rohana masih cantik menarik, tak terlalu sulit menaklukkan hati seorang Ratman yang walau sudah tua tapi kaya raya. Lagi pula bukan rahasia lagi kalau pak Ratman punya banyak simpanan. Tapi Rohana tidak begitu tertarik. Pak Ratman lebih tua dari bekas suaminya, dan wajahnya hanya pas-pasan. Masih lebih ganteng Murtono yang dianggapnya jelek dan tidak menarik. Tapi ini kan keadaan memaksa. Menyangkut janji yang harus ditepati, dan sangat berat membebaninya.
Uang itu sudah lama dipakainya. Untuk bersenang-senang dan memamerkan kepada teman-temannya bahwa dia masih seorang wanita kaya. Sekarang dia baru tahu, bahwa berhutang sangatlah berat. Pernah terpikir olehnya untuk minta tolong pada Murtono, tapi Rohana merasa malu. Ia tak mau disebut miskin dan punya hutang.
Rohana masih berdiri di luar pagar. Tapi kakinya sudah lelah berdiri. Ia menepis segala keraguan, dan menghempaskan rasa jijik yang sudah terbayang seandainya ia berhasil menaklukkan pak Ratman dengan rayuannya.
Kakinya melangkah perlahan, dan tak lama kemudian sudah sampai di depan rumah. Rumah itu tidak tertutup, sehingga Rohana tak perlu menekan bel tamu dengan tangannya yang sedikit gemetar.
Ia mematung di bawah tangga, sampai kemudian seseorang keluar menemuinya.
“Siapa?” seorang wanita yang tidak bisa dibilang muda, keluar menyambutnya. Ia menatap Rohana dengan pandangan curiga. Dandanannya tidak begitu mewah, justru terkesan sederhana, dengan pakaian yang sederhana pula. Apa dia pembantu pak Ratman?
“Saya, mau ketemu pak Ratman.”
“Oh, suami saya sedang istirahat, ada perlu apa?”
Rohana tertegun. Wanita itu istri pak Ratman? Mengapa dandanannya sesederhana itu? Walau di rumah saja, biasanya istri orang-orang kaya tetap berdandan cantik, atau setidaknya memakai pakaian bagus. Seperti dirinya … misalnya.
“Ada perlu apa?” wanita itu bertanya lagi karena Rohana tampak bengong melompong.
“Ini Bu, saya … ingin bicara tentang … mm.. soal … pinjaman saya,” kata Rohana berterus terang, karena khawatir, kalau belum-belum malah dikira perempuan simpanan pak Ratman.
“Oh, baik. Akan saya sampaikan,” bu Ratman membalikkan tubuhnya tanpa bertanya lebih lanjut. Ia sudah tahu suaminya meminjamkan uang kepada banyak orang.
Rohana masih berdiri, karena bu Ratman tidak mempersilakannya duduk. Mungkin lupa, atau memang tidak ingin.
Ketika seorang laki-laki tua menyembul dari balik pintu, Rohana membungkukkan sedikit badannya.
Laki-laki itu menatap dengan mata sipitnya. Ia membetulkan kaca mata minusnya untuk bisa melihat lebih jelas.
“Saya Rohana pak.”
“O, bu Rohana? Kok berdiri saja di situ. Silakan masuk.”
Barulah Rohana merasa lega, kemudian naik ke tangga teras. Ia menolak ketika pak Ratman mengajaknya masuk ke rumah.
“Di sini saja.”
Ketika mereka duduk berhadapan, Rohana menundukkan wajahnya.
“Ada apa Bu? Menurut surat yang Ibu buat, bulan depan yang Ibu janjikan, kurang beberapa hari lagi.”
“Benar, saya datang kemari karena mobil saya belum lunas terbayar seluruhnya. Jadi, mungkin saya minta mundur beberapa hari lagi.”
“Beberapa hari itu berapa? Saya tak biasa menagih hutang dengan mundur-mundur begini.”
“Soalnya saya sakit, dan belum bisa mendapatkan uang. Sekarang saja sebenarnya saya masih sakit,” kata Rohana sambil memijit kepalanya.
“Coba katakan, beberapa hari itu tanggal berapa? Harus jelas, dan setelah ini saya tidak mau mundur lagi. Ini perlakuan khusus kepada Ibu, berbeda dengan kepada para penghutang lain lhoh. Karena ibu cantik dan sebenarnya memang orang berada.”
“Saya terlibat penipuan yang cukup besar,” kata Rohana yang entah dari mana datangnya, bisa meruntuhkan air mata dan mengatakan dengan suara mengandung isak.
“Kasihan. Suami Ibu, dimana?”
“Saya … janda.”
“O, janda?”
“Saya akan menepati janji saya. Bapak jangan khawatir, saya sekarang permisi dulu, saya merasa sangat pusing, kan saya mengatakan bahwa sebenarnya saya masih sakit.”
“Baiklah, Ibu naik apa?”
“Saya akan memanggil taksi,” katanya sambil berdiri.
Tapi tiba-tiba tubuh Rohana terhuyung, hampir saja roboh ke lantai, kalau pak Ratman tidak menangkapnya dengan sigap.
“Oh, maaf,” Rohana mengeluh.
Mata pak Ratman berkedip-kedip. Aroma parfum Rohana menusuk hidungnya, mengelus jantungnya.
“Baiklah, ibu duduk dulu, saya akan mengambil kunci mobil, ibu akan saya antarkan saja.”
“Saya naik taksi saja.”
“Jangan membantah, tunggu sebentar,” kata pak Ratman yang kemudian masuk ke dalam rumah, mengambil kunci mobil.
Rohana tersenyum culas, tapi ada sedikit rasa bergidik di hatinya.
***
Monik sudah selesai belanja. Ia belanja agak banyak. Barang kebutuhan sehari-hari memang sudah menipis. Karena bawaan yang banyak itulah, kemudian Monik memilih naik taksi saja.
Boy senang, karena tidak harus duduk berdesakan dengan himpitan barang-barang yang dibawa ibunya.
“Lebih enak naik taksi bukan Bu?” katanya dalam perjalanan pulang itu.
“Kalau bawaan ibu sedikit, ya tidak naik taksi.”
“Karena mahal?”
“Ya.”
Driver taksi tersenyum mendengar celoteh Boy yang tak habis-habisnya.
“Kita hampir sampai,” katanya kemudian.
Beberapa puluh meter lagi taksi akan berhenti di depan rumah, ketika tiba-tiba Monik melihat mobil Satria melintas.
Taksi yang ditumpangi Monik dan Boy sudah berhenti. Monik membayar ongkosnya setelah menurunkan barang belanjaannya.
Tapi mata Monik terbelalak, melihat mobil Satria berhenti tak jauh dari rumahnya, hanya sedikit berseberangan. Ia juga sangat terkejut, ketika melihat Tomy turun dari dalam mobil itu.
***
Besok lagi ya
Yes
ReplyDeleteYessssss jeng Susi
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Delete🌷☘️🌷☘️🌷☘️🌷☘️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
AaBeAy_22 sdh hadir.
Manusang nggih, doaku
semoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia
lahir bathin. Aamiin.
Salam seroja...😍🤩
🌷☘️🌷☘️🌷☘️🌷☘️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 22 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng In
ADUHAI 3X
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Wiwik
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteABeAy episode 22..sudah tayang
Matur nuwun Mbak Tien
Salam sehat
Salam ADUHAI..dari Bandung
🙏🥰🤗🩷🌹🌸
Sami2 jeng Ning
DeleteADUHAI dari Solo
Alhamdulilah ak be ay 22 sdh tayang , maturnuwun bu Tien semoga ibu Tien sekeluarga selalu sehat dan slm lundungan Allah SWT, salam hangat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteTerimakasih bunda tien
ReplyDeleteSami2 ibu Salamah
DeleteAlhamdulillah ABeAy_22 sdh tayang, ada-ada saja Rohana, mau juga merayu pa Ratman ayah Kartika .....
ReplyDeleteTergiurkah pak Ratman?
Kita tunggu besuk malam ..... Apa jare penulise.
Salam ADUHAI mbak Tien
This comment has been removed by the author.
DeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~22 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Djodhi
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien cerbung sdh tayang
Semoga bu tien sehat2 selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Matur nuwun ,
ReplyDeleteWadooh Rohana buat jebakan
Kejebak gak yaaa pak Ratman
Sami2 mbak Yaniiik
DeletePanas
ReplyDeleteNgeyup pak Joyo
DeleteHatur nuhun Aku Benci Ayahku 22 dah hadir tambah penasaran aja.
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sehat selalu, Amiin 🥰🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Utinah
Rohana mencoba ni.. masih laku gak ya, dipasaran. Jangan jangan sampai dirumah nanti limbung lagi.
ReplyDeleteKalau Tomy didekatkan lagi dengan Monik apa masih bisa ya, mengingat Boy sudah mencap sebagai bapak yang jahat.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Hamdallah. cerbung Aku Benci Ayahku -22 telah hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat dan bahagia selalu bersama amancu di Sala. Aamiin
Minar harap hati2, Monik bisa sering ke rumah mu, krn ada udang di balik batu.
lho 😁
Rohana datang ke rmh pak Ratman mengeluarkan jurus maut, agar pak Ratman bertekut lutut...berhasilkah ya ?
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Apakah niat culas Rohana berhasil? Apakah Monik dan Tomy akan rujuk? Kita tunggu besok kelanjutan kisah nya... Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan semakin aduhai...
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 22* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Wedeye
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam hangat ... semoga sehat dan bahagia selalu bersama keluarga, selalu dalam lindungan Ilahi
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Umi
Nampaknya cerita ini makin panjang...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien K
Pinisirin moga Monik msh ada jodoh dg Tomi
Semoga bunda Tien sehat selalu,bahagia dan selalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin
Salam Aduhai dari Banjarmasin
Waah...sebenarnya harus 'diluruskan' ibunya ya, kalau si Boy yg msh kecil sering menyatakan 'benci' pada ayahnya, itu akan membangun persepsi buruk di otak mungilnya. Kasihan sekali ke depannya.☹️
ReplyDeleteBtw, terima kasih, ibu Tien...Salam sehat selalu.🙏🙏🙏
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰💐
ReplyDeleteMonik baru tahu kl Tomy. ngontrak dekat rumah nya. semoga terbuka hatinya , hihi
Waduh Rohana semakin menggila , semoga pak Ratman TDK kepincut ya 😁
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam bahagia selalu aduhai